-
   
  Nomor 3  
Juli - Desember 2006
 
 
 
ARTIKEL ASLI
 
Home
Latar Belakang
Redaksi
Pedoman Penulisan
 
PAST ISSUE

M3 Nomor 2

   
  EFEK PEMBERIAN LIGNIN, CELLULOSA & AMORPHOPHALLUS ONCOPHYLLUS TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGIK KOLON TIKUS WISTAR (Penelitian eksperimental laboratorik pada tikus Wistar yang diinduksi 1,2 DMH subkutan, diet tinggi lemak dan protein)
-

PENDAHULUAN

Prevalensi kanker kolon di Amerika pada tahun 1999 menduduki peringkat kedua dengan jumlah penderita mencapai 20 juta orang. Di negara berkembang, kanker kolon menduduki urutan kedelapan tertinggi. Hal ini kemungkinan besar akibat kebiasaan makan makanan rendah serat. Faktor diet tinggi lemak dan protein, serta makanan berkadar serat rendah, meningkatkan insidensi kaker kolon. Wargovich menyatakan bahwa upaya peningkatan konsumsi serat dan penurunan asupan lemak mampu menghambat terjadinya kanker kolon. Menurut studi dari Kellog Company dan American Cancer Society (ACS), penggunaan kadar lemak rendah dan diet tinggi serat dapat mencegah terjadinya kanker kolon serta menurunkan progresifitas polip kecil menjadi maligna. Nixon juga menambahkan bahwa lemak jenuh dan lemak hewani menaikkan risiko kanker kolon, sedangkan konsumsi tinggi sayuran, serat dan sereal menurunkan risiko kanker kolon. 1-5
1,2 Dimethylhidrazine (DMH) dapat menginduksi kanker kolon. Druckrey et.al. pertamakali menginduksi kanker kolon pada tikus dengan menggunakan bahan ini. Target utama induksi adalah intestinum, khususnya kolon dan rektum. Spesies hewan coba, rute pemberian dan dosis mempengaruhi karsinogenisitas 1,2 DMH. Selektifitas target organ berdasarkan rute pemberian 1,2 DMH untuk menginduksi kanker kolon telah ditegaskan oleh Wiebecke et.al pada penggunaan tikus dengan spesies yang sama. Pemberian 1,2 DMH secara subkutan merupakan cara yang dapat diandalkan untuk menginduksi kanker kolon pada hewan pengerat.6,7
Diet tinggi lemak meningkatkan efek karsinogenesitas 1,2 DMH pada intestinum tikus. Reddy et.al membuktikan bahwa kelompok tikus yang menerima diet tinggi protein dan lemak bersama induksi 1,2 DMH mengalami insiden tumor kolon yang lebih tinggi daripada kelompok tikus yang diinduksi, namun dengan diet normal protein dan lemak normal. Robbins juga menyatakan bahwa diet tinggi protein dan lemak termasuk faktor lingkungan, yang merupakan faktor terpenting etiologi kanker kolon.4,7
Amorphophallus oncophyllus (A. oncophyllus) sering juga disebut iles-iles, termasuk tanaman herba dan termasuk ke dalam Famili Araceae yang tersebar di daerah tropis dan subtropis. Dahulu, A. oncophyllus tidak pernah dilirik orang, namun saat sekarang, banyak diminati oleh pasar luar negeri karena memiliki manfaat yang beragam, antara lain; untuk keperluan industri makanan, obat-obatan, kosmetika, kertas, tekstil, karet sintetis dan lainnya. Bahkan, menurut Dekker dan Richard, A. oncophyllus dapat berperan sebagai dietary fiber yang dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Studi Ohtsuki mendapatkan bahwa sebagian besar umbi A. oncophyllus tersusun oleh sel-sel glukomannan yang terdiri dari glukosa dan mannosa, yang diduga berpotensi sebagai anti kanker.4,7
Berbagai data hasil penelitian menemukan bahwa glukomannan, merupakan serat dengan viskositas tertinggi yang dapat menyerap air, sehingga dapat membentuk gel berviskositas tinggi. Gel inilah yang akan memperpendek transit intestinal, menyebabkan peluang bagi bakteri untuk bereaksi dengan kandungan feses menjadi berkurang, sehingga kontak karsinogen dengan mukosa usus dihambat. Kemampuan glukomannan dalam mengikat partikel karsinogen untuk diekskresikan keluar tubuh juga berhubungan dengan pencegahan kanker. John Potter (Fred Hutchinson Cancer Research Center) menyatakan bahwa penurunan risiko kanker kolorektal berbanding lurus dengan konsumsi serat. Dari tiga belas studi kasus kanker kolorektal didapatkan bahwa makanan kaya serat berkorelasi terbalik dengan risiko kanker kolon. Robbins juga menyatakan bahwa diet rendah serat merupakan salah satu faktor predisposisi kanker kolon. 4,7
Peneliti di Indonesia belum ada yang melakukan induksi kanker kolon dengan 1,2 DMH, demikian juga studi tentang efek A. oncophyllus dalam menghambat karsinogenesis kolon oleh 1,2 DMH. Setelah mengetahui kondisi tersebut di atas, maka penelitian ini diharap dapat membuktikan potensi preventif lignin, cellulosa dan A. oncophyllus terhadap karsinogenesis kolon dengan melihat perbedaan gambaran histopatologik kolon tikus Wistar.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang dilakukan selama sembilan minggu, di Laboratorium Biokimia dan Anatomi Fakultas Kedokteran UNDIP. Desain yang digunakan adalah randomized post test control group. Populasi dan sampel yang diteliti adalah 36 tikus Wistar jantan dengan kriteria inklusi; umur 12 minggu, berbobot 180-200 gram, sehat, aktivitas dan tingkah laku. Setelah dilakukan aklimatisasi selama satu minggu dengan diberi pakan standar diet murni dari AIN (American Institute of Nutrition) 93M dan minum secara ad libitum, tikus dipilih secara acak dan dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing terdiri dari 9 ekor tikus. Kelompok I adalah kontrol. Kelompok II diberi diet lignin, ditambah diet tinggi lemak dan tinggi protein selama 8 minggu. Kelompok III diberi diet cellulosa, ditambah diet tinggi lemak dan tinggi protein selama 8 minggu, kelompok III, 8 Wistar, A. oncophyllus, ditambah diet tinggi lemak dan tinggi protein selama 8 minggu; kelompok II, III, IV diinduksi karsinogen (1,2 DMH subkutan 1 mg /Wistar/minggu). Diet lignin, cellulosa, dan A.oncophyllus mulai diberikan pada minggu kelima. Pada awal minggu kesembilan, seluruh tikus diterminasi, kemudian kolon desendens dari distal flexura colon sinistra sampai dengan batas antara kolon dan rektum diindentifikasi dan dilakukan pemrosesan jaringan secara histopatologik.
Skoring histopatologik dimodifikasi dari standar WHO, yaitu; normal dinilai dengan angka 0, hiperplasia epitel kelenjar dengan angka 1, displasia ringan epitel kelenjar dengan angka 2, displasia sedang epitel kelenjar dengan angka 3, dan displasia berat epitel kelenjar dengan angka 4. Hiperplasia epitel kelenjar adalah penambahan jumlah sel epitel kelenjar mukosa kolon. Displasia ringan ditandai dengan inti sel yang membesar & hiperkromatik, tetapi polaritas inti hanya sedikit menurun dan sedikit gambaran mitosis. Displasia sedang berupa inti sel pleomorfik, mulai berlapis-lapis dan kelenjar lebih padat yang ditandai dengan pola ”back to back”, penurunan sekresi musin dan mitosis lebih banyak. Displasia berat secara mikroskopik ditandai dengan inti lebih pleomorfik, bertumpuk-tumpuk, loss of polarity tetapi belum ada invasi melalui muskularis mukosa ke dalam submukosa. Penghitungan skoring perubahan histopatologik dan morfologi sel epitel mukosa kolon dilakukan pada satu preparat dari tiap blok parafin. Tiap kolon tikus dijadikan satu blok parafin, masing-masing blok parafin dihitung sebagai satu sampel. Bila ditemukan lebih dari satu bentuk perubahan (seperti hiperplasia dan displasia) pada satu preparat, scoring diambil dari perubahan yang tertinggi.
Data yang terkumpul diolah dengan program komputer SPSS 11.0 for Windows. Tiap variabel dianalisis secara deskriptif dengan menghitung mean dan standar deviasinya, lalu dibuat grafik batang. Analisis analitik dengan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney.

Next Page >>

<<Previous Page

 

 
     
www.m3undip.org
 

Berdiri tahun 2005, dipulikasi oleh: Tim Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang