PEMILIHAN MODEL ORGANISASI DAN TERWUJUDNYA PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Susanty, Aries (2009) PEMILIHAN MODEL ORGANISASI DAN TERWUJUDNYA PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE. J@TI UNDIP, IV (1). pp. 78-88. ISSN 1907 - 1434

[img]Microsoft Word - Published Version
152Kb

Abstract

Ketidakmampuan penerapan prinsip good corporate governance (GSC) didemonstrasikan dalam survei dengan konstrain yang diklasifikasikan dalam 3 konstrain yaitu konstrain internal, konstrain eksternal dan konstrain yang berasal dari struktur pemilik. Konstrain internal meliputi komitmen pemimpin dan pekerja, tingkat pemahaman prinsip GCG oleh pemimpin dan pekerja, keefektifan sistem kontrol internal dan formality trap (implementasi CG hanya untuk memenuhi regulasi). Konstrain internal yang disebutkan berkaitan dengan fungsi internal perusahaan. Sebagai sebuah organisasi bisnis, korporasi tidak mampu mencapai tujuan menerapkan GCG dengan sukses bila tidak didukung elemen internal organisasi. Untuk membentuk fungsi internal diperlukan diagnosa korporasi dengan model organisasi. Dalam hal ini, penulis menggunakan beberapa kriteria untuk memilih model yang paling tepat dari 10 model yang ada. Dari beberapa kriteria dapat disimpulkan bahwa Adaptasi Pascal merupakan model yang paling tepat. Model ini dapat menggambarkan hubungan antara kondisi tiap elemen organisasi dengan kesuksesan implementasi prinsip GCG. Kata kunci: Prinsip Good Corporate Governance, model organisasi Abstract The inability to implement the principles of good corporate governance (GCG) as demonstrated in the surveys is due to a number of constraints which can be classified into three; namely internal constraints, external constraints, and constraints coming from the structure of ownership. Internal constraints cover the commitment of leaders and workers, the level of understanding of GCG principles from leaders and workers, good example from leaders, the corporate culture supporting the implementation of GCG principles, effectiveness of internal control system, and formality trap (implementing CG only to meet regulations). The issues in the internal constraints mentioned are related to the internal functions of the company. As a business organization, corporation is unable to achieve its goal to successfully implement GCG principles since it is not support by its internal elements of the organizations. In order to fix the internal functions, it is necessary to diagnostic the corporation by the model of organization. In this case, we must used some criteria to choose the most approritate model to fix the internal functions, since there are ten models that we can use to diagnostic the organization. Based on some criteria we can conclude that Pascale’s Adaptation is the most appropriate model to fix internal functions. Pacsale’s Adaptation model can depict the relationship between condition of every elements of organization with the successful implementation of GCG principles. Keywords: Good Corporate Governance Principles, Models of Organization PENDAHULUAN Di Asia, termasuk Indonesia, corporate governance (CG) mulai banyak diperbincangkan pada pertengahan tahun 1997, yaitu saat krisis ekonomi melanda negara-negara tersebut (Indaryanto, 2004). Berbeda dengan pelaksanaan CG di negara-negara maju, Black pada tahun 2001 menyatakan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang (seperti di Asia) pelaksanaan CG mempunyai variasi yang besar. Besarnya variasi tersebut menyebabkan CG merupakan faktor yang berdampak signifikan untuk meningkatkan nilai saham dari perusahaan (Black, Jang, dan Kim, 2003). Kondisi pelaksanaan CG oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Hasil survai yang dilakukan oleh Credit Lyonnaise Securities (CLSA) sejak tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 memberikan nilai yang rendah kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam mewujudkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG), bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Secara garis besar, pelaksanaan survai tersebut dapat dibagi dua. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2003, CLSA melakukan penilaian terhadap perlaksanaan CG berdasarkan pada tujuh dimensi berikut: (i) disiplin, (ii) transparansi, (iii) kemandirian, (iv) akuntabilitas, (v) tanggung jawab, (vi) keadilan, dan (vii) kepedulian sosial. Pada tahun 2004 sampai dengan 2007, CLSA melakukan kerjasama dengan Asian Corporate Governance Association (ACGA) dalam menilai pelaksanaan CG oleh perusahaan-perusahaan di kawasan Asia. Berbeda dengan tiga tahun sebelumnya, kali ini penilaian pelaksanaan CG didasarkan pada lima dimensi makro, yaitu: (i) hukum dan peraturan, (ii) penegakkan hukum dan peraturan baik oleh regulator maupun oleh pasar, (iii) lingkungan politik, (iv) standar-standar akuntansi dan auditing serta (v) budaya CG. Gambar 1Gambaran Pelaksanaan CG oleh Perusahaan-perusahaan di Kawasan Asia Selama Tahun 2001 – 2006 Secara keseluruhan, hasil survai dari CLSA dapat digambarkan sebagaimana tampak dalam Gambar 1. 2. Hasil penelitian Sulistyanto dan Nugraheni menunjukkan bahwa pelaksanaan CG belum mampu mengurangi manipulasi laporan-laporan keuangan yang dipublikasikan oleh perusahaan-perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) (Sulistyanto dan Wibisono, 2003) Kedua kondisi di atas menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mampu melaksanakan CG dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu mewujudkan prinsip-prinsip GCG dengan baik. Penyebabnya, terdapat sejumlah kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan tersebut pada saat perusahaan berupaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip GCG. Kendala ini dapat dibagi tiga, yaitu kendala internal, kendala eksternal, dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan. Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman pimpinan dan karyawan perusahaan tentang prinsip-prinsip GCG, kurangnya panutan atau teladan yang diberikan oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung terwujudnya prinsip-prinsip GCG, serta belum efektifnya sistem pengendalian internal (Djatmiko, 2004; Poeradisastra, 2005; The Indonesian Institute for Corporate Governance, 2007). Kendala eksternal dalam pelaksanaan CG terkait dengan perangkat hukum, aturan dan penegakannya. Fuady pada tahun 2003 mengakui bahwa peraturan mengenai pasar modal di Indonesia masih sederhana untuk kondisi pasar yang cukup kompleks dan peraturan yang masih sederhana tersebut belum ditegakkan sepenuhnya atau tingkat penegakannya masih sangat lemah (Patriadi, 2001). Lemahnya penegakan hukum pada pasar modal dapat dilihat dari ringannya sanksi yang diberikan oleh Bapepam kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran dibandingkan dengan kerugian akibat pelanggaran itu sendiri; bahkan, Bapepam pernah tidak mengenakan sanksi apapun kepada sejumlah emiten yang tidak membayar denda selama tiga tahun berturut-turut (Winasis, Abdullah, dan Sibuea, 2004). Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan. Berdasarkan prosentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham hanya memiliki saham sebesar 5,00% atau kurang). Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh struktur kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan dengan baik karena pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang dapat menggunakan sumber daya perusahaan secara dominan sehingga dapat mengurangi nilai perusahaan (Pinteris, 2002). Sama seperti halnya kendala eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari struktur kepemilikan dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal yang efektif, seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-hak dan tanggung jawab secara adil diantara berbagai partisipan dalam organisasi (Dewan Komisaris, Dewan Direksi, manajer, pemegang saham, serta pemangku kepentingan lainnya), dan dampak negatif ini juga akan hilang jika dalam stuktur organisasinya, perusahaan mempunyai Komisaris Independen dengan jumlah tertentu dan memenuhi kualifikasi yang ditentukan (syarat-syarat yang ditentukan untuk menjadi Komisaris Independen). Keberadaan Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong dan menciptakan iklim yang lebih independen, obyektif, dan menempatkan keadilan sebagai prinsip utama yang memperhatikan kepentingan pemegang saham minoritas dan pemangku kepentingan lainnya. Peran Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong diterapkannya prinsip dan praktik CG pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia, termasuk BUMN (Zaini, 2002). Upaya perusahaan untuk menghadirkan sistem pengendalian internal yang efektif tersebut terkait dengan upaya perusahaan untuk mengatasi kendala internalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dampak negatif dari struktur kepemilikan akan hilang jika perusahaan mampu mengatasi permasalahan yang terkait dengan kendala internalnya. Permasalahan dalam kendala internal terkait dengan fungsi dari sejumlah elemen yang terdapat di dalam organisasi perusahaan. Perusahaan sebagai suatu organisasi bisnis tidak dapat mencapai tujuannya untuk mewujudkan prinsip-prinsip GCG karena tidak didukung oleh fungsi dari sejumlah elemen yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini, untuk membenahi fungsi dari sejumlah elemen yang terdapat di dalam oragniasi perusahaan, diperlukan model organisasi. Model organisasi merupakan representasi dari suatu organisasi yang membantu seseorang untuk lebih memahami secara jelas dan cepat apa yang diamati dalam organisasi tersebut. Secara lebih rinci, Burke menjelaskan berbagai kegunaan dari model organisasi: (i) model membantu untuk meningkatkan pemahaman tentang perilaku organisasi, (ii) model membantu untuk mengelompokkan data tentang organisasi, (iii) model membantu menginterpretasikan data tentang organisasi, dan (iv) model membantu untuk memberikan bahasa yang umum serta singkat tentang organisasi (Falletta, 2005). Menurut Falleta (2005), sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1992 terdapat beberapa model organisasi yang telah dikembangkan oleh pakar. Secara rinci, model-model tersebut adalah: (i) Weisbord’s Six Box Model pada tahun 1976, (ii) Congruence Model for Organizational Analysis pada tahun 1977, (iii) McKinsey 7-S Model (Model 7-S dari McKinsey) pada tahun 1980 dan 1981, (iv) Tichny’ s Technical Political Culture (TPC) Framework pada tahun 1983, (v) High Performance Programming pada tahun 1984, (vi) Diagnosing Individual and Group Behaviour pada tahun 1987, dan (vii) Burke-Litwin Model of Organizational Performance and Change pada tahun 1992. Pada tahun 1990, Model 7-S dari McKinsey dikembangkan oleh Pascale menjadi Model Pascale’s Adaptation (Pascale, 1990) dan pada tahun 1994, Model 7-S dari McKinsey dikembangkan lagi oleh D’Aveni menjadi New 7-S (D’ Aveni, 1994). Disamping kesembilan model tersebut, akhir-akhir ini berkembang pula sebuah model yang memberikan perspektif sistem untuk memahami kinerja yang dicapai oleh suatu organisasi. Model tersebut adalah Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCtPE). MBCtPE pertama kali dikembangkan pada tahun 1987 oleh U. S Congress dalam rangka mengadopsi prinsip-prinsip manajemen pengendalian kualitas (TQM) (NIST,2003). Dengan demikian, sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1994 terdapat 10 (sepuluh) model organisasi. Sehubungan dengan cukup banyaknya model organisasi yang dapat digunakan untuk membenahi fungsi-fungsi internal organisasi, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah model mana yang paling tepat untuk membenahi fungsi internal organisasi sehingga model tersebut dapat menggambarkan dengan jelas hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG dengan baik? TINJAUAN PUSTAKA Organisasi Sebagai Suatu Sistem yang Terbuka Organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka mengacu pada pandangan yang dikemukakan oleh teori organisasi moderen yang berkembang sejak tahun 1950-an. Dalam teori ini, organisasi cenderung dipandang sebagai berikut: (i) organisasi merupakan suatu sistem yang terbuka, (ii) di dalam organisasi terjadi transformasi masukan yang menghasilkan keluaran tertentu, masukan diperoleh dari lingkungannya sedangkan keluaran akan diberikan organisasi kepada lingkungannya, (iii) di dalam organisasi terdapat elemen-elemen yang penting yang saling berhubungan satu sama lain, serta (iv) organisasi memiliki tujuan dan batasan tertentu yang membedakan organisasi tersebut dari lingkungannya. Pandangan tentang organisasi yang dikemukan oleh teori organisasi moderen tersebut, terutama memberikan wawasan kepada manajemen untuk memandang organisasi secara keseluruhan maupun sebagai bagian dari lingkungan eksternal (Reksohadiprodjo dan Handoko, 2004). Secara lengkap, penggambaran organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka dapat dilihat pada Gambar 2. berikut. Gambar 2. Organisasi sebagai sistem terbuka dari Kast dan Rosenzweig pada tahun 1986 (Kreitner dan Kinicki, 2004) Dalam perkembangannya, pandangan tentang organisasi sebagai suatu sistem terbuka yang dikemukakan oleh teori organisasi moderen telah digunakan oleh beberapa pakar untuk membuat model-model organisasi. Karateristik Sistem dari Sepuluh Model Organisasi Sebagaimana telah disinggung pada Bagian Pendahuluan, sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1994 terdapat 10 (sepuluh) model organisasi. Model-model ini dapat pula disebut sebagai model sistem dari organisasi, karena pada dasarnya, model-model ini terkait dengan penggambaran organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka dengan berbagai elemen yang membentuknya. Sebagai suatu sistem, karateristik dari kesepuluh model tersebut dapat rinci berdasarkan sejumlah faktor yang membentuknya dan menurut Daellenbach (1994), faktor-faktor yang membentuk karateristik dari suatu sistem dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pengamat (observer): siapa yang tertarik pada sistem? 2. Tujuan (purpose): mengapa mendefinisikan sistem? 3. Lingkungan (environment): hal-hal yang terdapat di luar sistem yang menentukan batas-batas dari sistem. 4. Input (inputs): hal-hal yang mempengaruhi sistem tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem; input dapat berupa seseuatu yang dapat dikendalikan atau tidak dapat dikendalikan oleh sistem (variabel atau parameter keputusan). 5. Output (outputs): hal-hal yang dipengaruhi oleh sistem, termasuk ukuran dari kesuksesan. 6. Komponen atau elemen (components): hal-hal yang terdapat di dalam sistem. 7. Hubungan atau proses transformasi (relationship/ transformation process): hubungan antara input, output, dan komponen-komponen dari sistem. Selanjutnya, berdasarkan faktor-faktor yang menjadi karateristik dari suatu sistem tersebut, kesepuluh model yang telah diuraikan dalam Bagian Pendahuluan dapat dirinci sebagaimana tampak dalam Tabel 2. PEMILIHAN MODEL ORGANISASI Kriteria Pemilihan Model Kriteria adalah serangkaian standar yang dapat digunakan untuk memilih sesuatu, sehingga suatu keputusan dapat dibuat setelah suatu subyek diidentifikasikan (www.indiana.edu/~iuaudit/ glossary. html,2005). Dengan kata lain, kriteria adalah standar yang dapat digunakan untuk membedakan satu subyek terhadap subyek lainnya sehingga dapat dihasilkan suatu keputusan. Berdasarkan kondisi ini, faktor-faktor yang menggambarkan karakteristik dari setiap model sistem organisasi (siapa pengamat dari sistem, tujuan sistem, lingkungan sistem, input, output, dan komponen sistem, serta hubungan atau proses transformasi di dalam sistem), dapat dibedakan menjadi faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai kriteria dan faktor-faktor yang tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk memilih model sistem organisasi yang dapat menggambarkan dengan jelas hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG. Dalam hal ini, hanya faktor-faktor yang dapat membedakan dengan jelas antara satu model sistem organisasi dengan model organisasi lainnya yang dapat digunakan sebagai kriteria. Berikut adalah faktor-faktor yang tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk memilih model sistem organisasi: Pengamat. Pengamat tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk memilih model sistem organisasi. Pengamat dari seluruh model sistem organisasi adalah mereka yang akan mengambil keputusan untuk memecahkan masalah yang terkait dengan organisasi. Adanya pandangan tentang kesamaan pengamat bagi seluruh model, menyebabkan faktor pengamat tidak dapat dijadikan sebagai kriteria untuk memilih model atau sebagai kriteria yang membedakan satu model dengan model yang lainnya. 1. Lingkungan sistem. Berdasarkan penggambaran lingkungan dalam model, model-model dapat dibedakan menjadi dua. Model-model yang menggambarkan lingkungan secara eksplisit dan model-model yang menggambarkan lingkungan secara implisit (tidak eksplisit). Akan tetapi karena tujuan dari pemilihan model ini adalah memilih model yang dapat menggambarkan dengan jelas kondisi dari setiap elemen organisasi (fungsi-fungsi internal yang terdapat di dalam organisasi), maka tidak menjadi masalah apakah model menggambarkan lingkungan eksternal secara eksplisit atau implisit. Dengan kata lain, berdasarkan kondisi yang perlu digambarkan dengan jelas oleh model yang terpilih, penggambaran lingkungan dalam model bukan merupakan kriteria atau bahan pertimbangan yang tepat untuk memilih model. 2. Eksplisit tidaknya penggambaran input dan output. Berdasarkan input-ouputnya, kesepuluh model dapat dibedakan menjadi dua. Model-model yang menggambarkan input-outputnya secara eksplisit dan model-model yang tidak menggambarkan input-outputnya eksplisit. Eksplisit atau tidaknya penggambaran input dan output di dalam model tidak dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih model Hal ini disebabkan, sebagaimana digambarkan dalam Gambar 2.1, sebagai suatu sistem, model-model tersebut tetap memerlukan input dan menghasilkan output tertentu. Input dapat berupa sumber daya manusia dan modal, sedangkan output dapat berupa produk, jasa, kepuasan manusia, keberlangsungan pertumbuhan organisasi, keuntungan sosial, dan sebagainya. Dengan demikian, berdasarkan hasil eliminasi tersebut, hanya ada empat faktor yang dapat dijadikan sebagai kriteria untuk memilih model, yaitu ujuan sistem, cakupan dari output sistem, komponen sistem, dan hubungan atau proses transformasi di dalam sistem. 1. Tujuan model vs tujuan pemilihan model Sebagaimana tampak dalam Tabel 2.1.,tidak ada satupun model yang tujuannya sama persih dengan tujuan pemilihan model yaitu mendapatkan model organisasi yang dapat menggambarkan dengan jelas hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG. Namun demikian, dilihat dari tujuan awal yang ingin dicapai oleh setiap model, kesepuluh model tersebut dapat dibedakan menjadi model-model yang tujuannya memang kurang sesuai karena tidak mampu menggambarkan dengan jelas hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG dan model-model yang cukup sesuai karena dapat menggambarkan dengan cukup jelas hubungan tersebut. Model-model yang tujuannya kurang sesuai karena tidak mampu menggambarkan dengan jelas hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG, dapat dirici sebagai berikut: Weisbord’s Six Model, Tichy’s TPC Framework, High-Performance Programming, Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence Diagnosing Individual and Group Behaviour, serta New 7-S. • Weisbord’s Six Model merupakan model yang hanya bertujuan untuk melihat kesenjangan antara apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi. Secara lebih rinci model ini bertujuan untuk memodelkan penyelesaian isu-isu internal di dalam organisasi, terutama dengan mencari kesenjangan antara apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi. Berdasarkan tujuannya, model ini kurang tepat untuk dipilih karena belum dapat menggambarkan dengan jelas hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan kinerja yang akan dicapai, yaitu keberhasilan perusahaan untuk mewujudkan prinsip-prinsip GCG • Congruence Model for Organizational Analysis bertujuan untuk memodelkan dampak kekongruenan dari berbagai level perilaku organisasi (perilaku level individu, kelompok, dan sistem) terhadap kinerja individu dan kinerja yang dicapai organisasi. Berdasarkan tujuan tersebut, model kurang tepat untuk dipilih karena yang ingin digambarkan dalam model yang terpilih adalah hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi (bukan hubungan antara berberbagai level perilaku organisasi) dengan kinerja yang dicapai organisasi, yaitu terwujudnya prinsip-prinsip GCG (bukan dengan kinerja individu). • Tichy’s TPC Framework merupakan model yang secara spesifik bertujuan untuk memodelkan dinamika hubungan diantara permasalahan teknik, politik, dan budaya serta memodelkan hubungan diantara elemen-elemen organisasi dalam menyelesaikan dinamika dari permasalahan teknik, politik, dan budaya tersebut. Berdasarkan tujuan tersebut model kurang tepat untuk dipilih karena yang ingin digambarkan dalam model yang terpilih adalah hubungan antara kondisi dari setiap organisasi dengan kinerja yang akan dicapai, yaitu keberhasilan perusahaan untuk mewujudkan prinsip-prinsip GCG dan tidak bermaksud untuk memodelkan dinamika hubungan diantara permasalahan teknik, politik, dan budaya yang berkembang di organisasi. • High-Performance Progamming merupakan model yang bertujuan untuk memodelkan perilaku pimpinan terhadap perfomansi yang dicapai oleh organisasi Berdasarkan tujuan tersebut, model kurang tepat untuk dipilih karena yang ingin digambarkan dalam model terpilih adalah hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi (tidak hanya kondisi dari elemen kepemimpinan) dengan kinerja yang dicapai, yaitu keberhasilan perusahaan untuk mewujudkan prinsip-prinsip GCG. • Diagnosing Individual and Group Behaviour merupakan model yang bertujuan untuk memodelkan keterkaitan antara kinerja di level kelompok dan individu, termasuk kualitas kehidupan kerja terhadap output atau kinerja yang dicapai organisasi. Berdasarkan tujuannya, model ini kurang relevan karena yang ingin digambarkan dalam model yang terpilih adalah hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi (bukan keterkaitan antara kinerja di level kelompok dan individu) dengan keberhasilan perusahaan untuk mewujudkan prinsip-prinsip GCG e. • Model Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence (MBCtPE) merupakan model yang betujuan untuk memodelkan peran dari kategori-kategori (elemen-elemen) yang terdapat dalam organisasi dalam rangka mengadopsi prinsip-prinsip manajemen pengendalian kualitas, dimana kepemimpinan merupakan pendorong yang utama yang diikuti dengan dua pendorong lainnya yaitu manajemen strategik dan fokus pada konsumen dan pasar. Berdasarkan tujuan tersebut, model kurang tepat untuk dipilih karena yang ingin digambarkan dalam model yang terpilih adalah hubungan antara setiap kondisi elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG, bukan hanya kondisi dari elemen kepemimpinan, elemen manajemen strategik, dan elemen fokus kepada konsumen dan pasar dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG • New 7-S merupakan model yang kurang relevan untuk digunakan, karena model tidak terkait dengan elemen-elemen organisasi. New 7-S lebih menggambarkan cara-cara untuk melakukan interupsi pada kondisi persaingan yang sangat ketat, sedangkan yang ingin digambarkan dalam rangka pembenahan fungsi internal organisasi adalah kondisi dari setiap elemen organisasi dengan kinerja yang akan dicapai, yaitu keberhasilan perusahaan untuk mewujudkan prinsip-prinsip GCG. Berbeda dengan ketujuh model diatas, tiga model lainnya yaitu, Model 7-S dari McKinsey, Burke-Litwin Model of Organizational Performance and Change, dan Model Pascale’s Adaptation adalah model-model yang cukup tepat untuk memodelkan hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG. • Model 7-S dari McKinsey bertujuan untuk memodelkan kekongruenan perubahan yang terjadi pada seluruh elemen organisasi dalam rangka mencapai output yang diinginkan. Berdasarkan hal ini, Model 7-S dari McKinsey dapat digunakan untuk memodelkan kekongruenan perubahan kondisi yang terjadi pada setiap posisi elemen organisasi dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip GCG. • Burke-Litwin Model of Organizational Performance and Change bertujuan untuk memodelkan posisi dari elemen-elemen transformasional dan elemen-elemen transaksional dalam menyikapi satu dorongan perubahan tertentu. Berdasarkan hal ini, Burke-Litwin Model of Organizational Performance and Change dapat digunakan untuk memodelkan kondisi dari setiap elemen-elemen organisasi yang termasuk dalam elemen transformasional dan elemen transaksional dalam menyikapi satu dorongan perubahan, yaitu mewujudkan prinsip-prinsip GCG. • Model Pascale’s Adaptation bertujuan untuk memodelkan wahana perjalanan bagi organisasi, dimana untuk suatu keadaan, setiap elemen organisasi dapat dipetakan pada posisi tertentu yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Berdasarkan hal ini, melalui pemetaaan setiap elemen organisasi pada posisi tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, model Pascale’s Adaptation dapat digunakan untuk memodelkan hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG. 2. Cakupan output model vs cakupan output dari pembenahan fungsi internal organisasi. Berdasarkan cakupan outputnya, kesepuluh model dapat dibedakan menjadi model-model yang outputnya adalah kinerja organisasi secara keseluruhan dan model-model yang membagi outputnya dalam berbagai level organisasi (level individu, level kelompok, dan level organisasi). Dalam hal pembenahan fungsi internal organisasi, output yang dituju adalah kinerja organisasi secara keseluruhan yaitu terwujudnya prinsip-prinsip GCG. Berdasarkan hal ini, Weisbord’s Six Model, Model 7-S dari McKinsey, High Performance Programming, Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence, Model Pascale’s Adaptation, dan New 7-S merupakan model-model yang lebih tepat untuk dipilih dibandingkan dengan ketiga model lainnya karena cakupan output dari model-model tersebut sejalan dengan cakupan output yang diharapkan akan dihasilkan dari pembenahan fungsi internal organisasi. 3. Komponen model vs komponen dalam pembenahan fungsi internal organisasi Berdasarkan komponennya, kesepuluh model dapat dibedakan menjadi model-model yang membedakan komponennya dalam berbagai level organisasi (level individu, level kelompok, dan level organisasi) dan model-model yang tidak membedakan komponennya dalam berbagai organisasi. Disamping itu, model-model juga dapat dibedakan menjadi model-model yang komponen atau elemennya terkait dengan elemen organisasi (seperti struktur, sistem, kepemimpinan, dan sebagainya) dan model-model yang komponen atau elemennya terkait dengan cara organisasi bertindak (membangun kecepatan, meningkatkan kepuasan pemegang saham, dan sebagainya). Sebagaimana tampak dalam Tabel 2.1, hanya Diagnosing Individual and Group Behaviour yang membedakan komponennya untuk berbagai level organisasi dan hanya New 7-S yang komponen atau elemennya menggambarkan cara dari organisasi bertindak. Berdasarkan hal tersebut, dari kesepuluh model organisasi, hanya Diagnosing Individual and Group Behaviour dan New 7-S yang kurang tepat untuk dipilih karena komponen dari kedua model tersebut tidak sejalan dengan komponen yang akan digambarkan dalam pembenahan fungsi internal organisasi. Komponen yang akan digambarkan dalam pembenahan fungsi interrnal organisasi adalah kondisi dari setiap elemen organisasi, bukan cara dari setiap elemen organisasi dan tidak dibedaan menurut level organisasi. 4. Hubungan atau proses transformasi vs hubungan atau proses transformasi dari pembenahan fungsi internal organisasi Untuk hubungan atau proses transformasi antar elemen, model-model dapat dibedakan menjadi dua, yaitu model-model yang hubungan antar elemennya tidak atau kurang jelas dan model-model yang hubungan antar elemennya jelas. Model-model yang hubungan antara elemennya jelas dapat dibedakan lagi menjadi: (i) model-model yang hubungan antar elemennya hanya bersifat dua arah saja, (ii) model-model yang membedakan hubungan antar elemennya menjadi hubungan yang bersifat satu arah dan dua arah, tetapi tidak membedakan mana hubungan yang relatif lebih kuat dari yang lainnya, dan (iii) model-model yang membedakan hubungan antar elemennya menjadi hubungan yang bersifat satu arah, dua arah, hubungan yang relatif lebih kuat, dan hubungan yang relatif lebih lemah. Model-model yang hubungan antar elemen atau proses transformasinya kurang atau tidak jelas, tidak dapat dipilih sebagai model untuk penelitian ini. Alasannya, model yang hubungan antar elemen atau proses transformasi kurang atau tidak jelas, tidak dapat memenuhi kriteria mekanisme transparansi sehingga penelitian ini tidak dapat membuat hubungan yang jelas antara posisi elemen-elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG. Siregar pada tahun 1991 menyatakan bahwa suatu model dikatakan baik jika seseorang dapat melihat mekanisme suatu model dalam memecahkan masalah; artinya seseorang bisa menerangkan kembali (melakukan rekonstruksi) tanpa ada yang disembunyikan. Jadi, jika dalam model tersebut terdapat suatu formula, maka formula tersebut dapat diterangkan kembali (Simatupang, 1994). Dengan demikian, berdasarkan kriteria kejelasan proses transformasi, terdapat dua model kurang tepat untuk dipilih karena tidak dapat menggambarkan dengan jelas hubungan antara kondisi setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG, yaitu Weisbord’s Six Box Model dan High Performance Programming. KESIMPULAN DAN SARAN Secara ringkas, hasil dari pemilihan model ini dapat dilihat pada Tabel 1. berikut. Tabel 1. Hasil Pemilihan Model Tanda ceklist (√) yang terdapat pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa model cukup tepat untuk dipilih karena dapat menggambarkan dengan cukup jelas hubungan antara kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG; sedangkan tanda silang menyatakan kondisi yang sebaliknya. Berdasarkan hal ini, Model 7-S dari McKinsey dan Model Pascale’s merupakan 2 (dua) buah model yang paling tepat untuk dipilih karena keduanya mempunyai tanda ceklist (√) yang paling banyak. Model Pascale’s Adaptation sendiri merupakan perkembangan lebih lanjut dari Model 7-S dari McKinsey (Pascale, 1990). Dibandingkan dengan Model 7-S dari McKinsey, Model Pascale’s Adaptation mempunyai kelebihan. Model Pascale’s Adaptation menggambarkan secara lebih detil berbagai kondisi yang dihadapi oleh setiap elemen organisasi. Penggambaran secara detil ini dilakukan dengan memberikan kontinum yang memiliki dua polaritas dalam setiap elemennya. Adanya kontinum dengan dua polaritas ini memberikan kemudahan untuk menunjukkan strategi seperti apa, struktur seperti apa, sistem seperti apa, staf seperti apa, corak seperti apa, kecakapan seperti apa, serta nilai-nilai bersama seperti apa yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Berdasarkan hal ini, dibandingkan dengan Model 7-S dari McKinsey, Model Pascale’s Adaptation merupakan model yang lebih tepat untuk dipilih. Hasil penelitian ini terbatas pada memilih satu model yang paling tepat untuk menggambarkan dengan jelas kondisi dari setiap elemen organisasi dengan terwujudnya prinsip-prinsip GCG. Akan tetapi, dari model yang terpilih, penelitian ini belum menentukan kondisi elemen organisasi yang bagaimana yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. Berdasarkan hal ini, penelitian lanjutan dapat dilakuan dengan mengkaji model yang terpilih secara lebih dalam sehingga dapat ditentukan strategi seperti apa, strategi seperti apa, struktur seperti apa, sistem seperti apa, staf seperti apa, corak seperti apa, kecakapan seperti apa, serta nilai-nilai bersama seperti apa yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. DAFTAR PUSTAKA 1. Black, B., Jang, H., dan Kim, W. (2003), Does Corporate Governance Affect Firm Value? Evidence from Korea, Research Paper Series,, KDI School of Public Policy and Management, 05/11. 2. Chen, K.C.W, Chen, Z., dan Wei, K.C.J. (2003), Disclosure, Corporate Governance, and The Cost of Equity Capital in Emerging Markets, Working Paper Series, Social Science Research Network. 3. D ‘Aveni, R.A. (1994), Hypercompetition, The Free Press, New York. 4. Daellenbanch, H.G. (1994), System and Decision Making, John Wiley & Sons, Chichester-England. 5. Des Grades (2004), Role Agricultural Cooperatives in Agricultural Development- The Case of Menoufiya Governorate, Disertasi, Rheinischen Friedrich-Wilhelms-Universitat, Egypt. 6. Djatmiko, H.E. (2004), Ada Kemajuan, Banyak Keprihatinan, SWA, XX, 4. 7. Falletta, S.V. (2005), Organizational Diagnostic Models: A Review & Synthesis, Leadersphere Inc., http://leadersphere.com/orgmodels.pdf. 8. Gill, A. (2002), CG Watch : Corporate Governance in Emerging Markets, http:// www.clsa.com 9. Gill, A. dan Allen, J. (2003), CG Watch Corporate Governance in Asia, http:// www.clsa.com 10. Gill, A. dan Allen, J. (2005), CG Watch Corporate Governance in Asia, http:// www.clsa.com 11. Gill, A. dan Allen, J. (2007), CG Watch Corporate Governance in Asia, http:// www.clsa.com 12. Indaryanto, K.G. (2004), Konsepsi Good Corporate Governance, dalam Suprayitno, G., Indaryanto, K.G, Yasni, S., Krismatono, D., Rita, L., dan Rahayu, R.G., Komitmen Menengakkan Good corporate Governance, The Indonesian Institute for Corporate Governance, Jakarta, Indonesia. 13. Kreitner, R. dan Kinicki, A. (2004), Organizational Behaviour, McGraw-Hill Companies. Inc, New York. 14. NIST (2003), Baldridge National Quality Program, www.baldrige.nist.gov 15. Pascale, R. (1990), Managing on the Edge: How Successful Companies Use Conflict to Stay Ahead, dalam Fox, C., McKinsey’s 7-S and Pascale’s Adaptation Thereof, http://www.chrisfoxinc.com/7SAndPascale. htm. 16. PassMatrix (2004), Module 100: General Management and Organization, Samples Modul Certified Associate Business Manager, http://www.apbm. org/pdf/cabm-sample-modules/100.pdf 17. Patriadi, P. (2004), Segi Hukum Bisnis dalam Kebijakan Privatisasi BUMN Melalui Penjualan Saham di Pasar Modal Indonesia, Kajian Ekonomi dan Keuangan, 8, 1, 32-75 18. Pinteris, G. (2002), Agency Costs, Ownership Structure and Performance in Argentine Banking, Working Paper, Department of Economics, University of Illinois. 19. Poeradisastra, T. (2005) : GCG, Antibiotik yang Ditakuti Perusahaan, SwaOnline, http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian. 20. Reksohadiprodjo, S. dan Handoko, H. (2004) : Organisasi Perusahaan: Teori, Struktur dan Perilaku, BPFE, Yogyakarta. 21. Sulistyanto, S. dan Wibisono, H. (2003) : Rekayasa Keuangan: Refleksi Sikap Oportunis Manajer?, Seri Kajian Ilmiah, 12, 1, http://artikel.us// hsulistyanto4.html. 22. The Indonesian Institute for Corporate Governance (2007) : Corporate Governance Perception Index (CGPI), http://www.iicg.org 23. Winasis, K.W., Abdullah, dan Sibuea, P. (2004), Lolosnya Kasus Indosat, http://www.majalahtrust.com/hukum.

Item Type:Article
Subjects:T Technology > T Technology (General)
T Technology > TS Manufactures
Divisions:Faculty of Engineering > Department of Industrial Engineering
Faculty of Engineering > Department of Industrial Engineering
ID Code:9469
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:28 Apr 2010 10:13
Last Modified:28 Apr 2010 10:13

Repository Staff Only: item control page