LUMBANRAJA, ANGGITA DORAMIA (2016) TINJAUAN HUKUM URGENSI UPACARA ADAT PERKAWINAN PADA MASYARAKAT BERSUKU BATAK TOBA DI DAERAH RANTAUAN PASCA BERLAKUNYA UU PERKAWINAN DENGAN PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM. [Experiment] (Unpublished)
| PDF 88Kb | |
| PDF 462Kb |
Abstract
Budaya hukum merupakan salah satu komponen hukum yang turut mempengaruhi efektivitas bekerjanya hukum itu. Budaya hukum berisi nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai budaya ini bersifat abstrak yang berada di dalam ranah das sollen yang menjadi pedoman berperilaku bagi masyarakat. Sedangkan peraturan yang berlaku yakni hukum positif berada di dalam ranah das sein yang bersifat konkrit. Hakikatnya hukum positif hadir sebagai implementasi atau pengejawantahan dari das sollen, sehingga peraturan-peraturan hukum yang berlaku di Indonesia seyogyanya tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Apabila terjadi perbedaan di antara das sollen dengan das sein maka akan terjadi tegangan (spanning) di antara keduanya. Kondisi spannung kedua hal inilah yang kita pandang sebagai permasalahan hukum. Atau dapat kita ibaratkan sebagai dua arus tegangan yang kita sebut sebagai spannungverhältnis. Dalam kasus judicial review Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi di mana UU Perkebunan dianggap sudah tidak mengakomodir lagi unsur nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Secara substansial, ternyata UU 18/2004 membuka ruang yang luas bagi pelestarian eksploitasi secara besar-besaran pengusaha perkebunan terhadap lahan perkebunan dan rakyat, serta menciptakan adanya ketergantungan rakyat terhadap pengusaha perkebunan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaturan mengenai luas maksimum dan luas minimum tanah yang dapat dijadikan sebagai lahan perkebunan, yang pada akhirnya menimbulkan adanya konsentrasi hak penggunaan tanah yang berlebihan oleh pihak pengusaha. Implikasi lebih lanjutnya adalah sebagian besar hak guna usaha yang dimiliki pengusaha perkebunan lambat laun menggusur keberadaan masyarakat adat atau petani yang berada di sekitar atau di dalam lahan perkebunan. Akibatnya masyarakat adat atau petani tersebut tidak lagi memiliki akses terhadap hak milik yang telah turun temurun mereka kuasai atau bahkan kehilangan lahannya. Didalam Pasal 21 dan Pasal 47 UU No. 39 tahun 2014 ini tidak mengatur hal yang serupa dengan sebelumnya. Pasal ini pada intinya mengatur tentang ruang gerak perusahaan perkebunan. Pasal 21 mengatur tentang Sumber daya genetik, sedangkan Pasal 47 mengatur tentang kewajiban perusahaan perkebunan untuk memiliki kewajiban. Pada akhirnya UU Perkebunan ini tidak hanya melindungi pihak perusahaan perkebunan semata namun mulai memperhatikan perlindungan terhadap Sumber Daya Alam maupun pihak lain termasuk masyarakat. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan perubahan UU Perkebunan diharapkan masyarakat mampu merasakan nilai-nilai dasar hukum (menurut Gustav Radbruch) yakni Keadilan, Kegunaan (zweckmazigkeit), Kepastian Hukum Kata Kunci : antropologi hukum, pluralisme hukum
Item Type: | Experiment |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Faculty of Law > Department of Law |
ID Code: | 75653 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 21 Aug 2019 13:19 |
Last Modified: | 21 Aug 2019 13:19 |
Repository Staff Only: item control page