PENERAPAN KLAUSULA BUY BACK GUARANTEE DALAM PERJANJIAN KERJASAMA PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT ANTARA DEALER DENGAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

Abstract

Buy back guarantee merupakan terobosan baru dalam bisnis pembiayaan dan masih jarang dipergunakan, sehingga dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha terkait untuk menambah kepercayaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang disepakati demi mencapai tujuan dan melindungi kepentingan bisnis masing-masing. Pada kondisi aktual saat ini masih perlu dikaji beberapa permasalahan dalam penerapan buy back guarantee, antara lain : alasan penerapan buy back guarantee dalam transaksi pembiayaan kendaraan bermotor roda empat, bagaimana mekanisme pelaksanaan buy back guarantee, kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan buy back guarantee, dan upaya penyelesaian sengketa seperti apa yang dapat ditempuh oleh para pihak jika terjadi wanprestasi terhadap pelaksanaan buy back guarantee. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-empiris, dengan spesifikasi penelitian diskriptif analitis. Data yang dipergunakan adalah Data Primer yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menggunakan wawancara terhadap Retail Finance Manager PT Tata Motors Distribusi Indonesia, sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap KUHPerdata, peraturan perundangan, putusan pengadilan, buku-buku hukum, kamus hukum, ensiklopedia hukum, jurnal-jurnal hukum, disertasi hukum, tesis hukum, skripsi yang mempunyai korelasi dan relevan dengan permasalahan yang diteliti. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, bagi dealer buy back guarantee merupakan strategi pemasaran atas produk kendaraan yang akan dijual, bagi perusahaan pembiayaan buy back guarantee dapat mengurangi risiko kerugian akibat kegagalan debitur dalam membayar utang, dan bagi debitur buy back guarantee merupakan sarana untuk menyelesaikan kewajibannya terhadap perusahaan pembiayaan. Mekanisme pelaksanaan buy back guarantee diatur dalam perjanjian kerjasama pembiayaan kendaraan bermotor roda empat antara dealer dan perusahaan pembiayaan. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan buy back guarantee antara lain proses administrasi yang cukup lama, sehingga mengakibatkan harga jual kembali kendaraan yang telah tertagih dan terbayar klaim buy back guarantee mengalami penurunan. Sampai saat ini belum ada pranata hukum khusus yang mengatur mengenai prosedur pelaksanaan buy back guarantee. Jika terjadi sengketa dan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka pihak yang dirugikan harus mengajukan permohonan gugatan wanprestasi melalui pengadilan negeri setempat, hal ini berpotensi menimbulkan risiko hukum dan risiko biaya yang lebih besar karena harus melalui prosedur yang panjang dan dapat melalui beberapa tingkatan peradilan. Perkembangan bisnis yang begitu dinamis memerlukan pengelolaan secara efektif, maka sebaiknya buy back guarantee tetap dipertahankan sebagai cara praktis untuk mengurangi risiko kerugian bagi perusahaan pembiayaan akibat kegagalan Debitur dalam membayar utang. Jika terjadi sengketa, untuk segera mendapatkan pemenuhan hak sebaiknya para pihak menggunakan alternatif penyelesaian di luar pengadilan dengan cara negosiasi, atau cara lain seperti mediasi, dan konsiliasi. Otoritas Jasa Keuangan sebaiknya segera membentuk peraturan yang mengakomodir buy back guarantee dalam praktik pembiayaan, agar lebih memiliki kepastian hukum, dan dapat memberikan perlindungan maksimal.