SERTIFIKASI PRODUK PANGAN OLAHAN DI KOTA SEMARANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI PRODUK PANGAN OLAHAN TEH OLEH PT. INDOTIRTA JAYA ABADI)

Abstract

Permintaan konsumen akan produk pangan terus berkembang. Konsumen tidak hanya menuntut produk pangan yang bermutu, bergizi, aman, dan lezat, namun juga sesuai selera atau bahkan dapat membangkitkan efek gengsi bagi yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu, dalam inovasi atau kreasi terhadap produk pangan, aspek selera konsumen juga patut dipertimbangkan. Memang sampai saat ini penerapan standarisasi dan sertifikasi pangan olahan masih bersifat sukarela (voluntary), belum bersifat wajib (mandatory), oleh karena itu pelaku usaha mempunyai pilihan apakah produk yang dihasilkan akan di sertifikasi atau tidak. Masalah dalam penelitian ini ialah bagaimanakah penerapan sertifikasi produk pangan olahan Teh di Kota Semarang ditinjau dari undang-undang perlindungan konsumen dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penerapan sertifikasi tersebut. Tujuan penulis mengadakan penelitian ini untuk menganalisis penerapan sertifikasi produk pangan olahan Teh di Kota Semarang dan menganilis hambatan-hambatan yang dihadapi oleh berbagai pihak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan Yuridis Empiris, spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan adalah data primer, yaitu data hasil wawancara dengan responden di lapangan, dan data sekunder yang berasal dari bahan pustaka. Berdasarkan hasil penelitian, penerapan sertifikasi produk pangan olahan Teh oleh PT. Indotirta Jaya Abadi meliputi: perusahaan menyerahkan dokumen permohonan (termasuk perjanjian sertifikasi dan informasi biaya yang diperlukan), tinjauan permohonan oleh lembaga sertifikasi, evaluasi (penilaian proses produksi dan penilaian sistem manajemen yang relevan, termasuk pengambilan dan pengujian sampel produk), tinjauan hasi evaluasi, keputusan sertifikasi, penerbitan sertifikat kesesuain dan perjanjian lisensi tanda SNI. Penerapan sertifikasi produk pangan olahan bersifat sukarela tidak memihak kepada konsumen dan tidak relevan dengan undang-undang perlindungan konsumen, karena undang-undang perlindungan konsumen mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar dan menjamin mutu barang berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang berlaku dimana kewajiban tersebut dapat dicapai dengan cara sertifikasi. Begitu juga dengan budaya pelaku usaha dan budaya kosumen juga tidak sesuai dengan pola hidup masyarakat, karena masih banyak pelaku usaha yang tidak mensertifikasi produknya dan masih banyak konsumen membeli produk yang belum tersertifikasi. Hambatan-hambatan yang dihadapi, eksternal: keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia tentang sertifikasi, modal atau biaya untuk sertifikasi, komitmen mempertahankan kualitas, daya beli masyarakat terbatas, tidak tau SNI dan budaya masyarakat membeli produk tidak tersertifikasi. Internal: perbaikandokumen, konsistensi dalam mempertahankan sistem manajemen mutu, dan kerja berdasarkan SOP susah diterapkan. Penulis menyarankan kepada pelaku usaha untuk memproduksi produk yang memenuhi standar demi mendapat kepercayaan dari konsumen dan demi kelangsungan produksi perusahaan jangka panjang, sedangkan untuk Pemerintah dan BBTPPI penulis menyarankan agar dapat memfasilitasi SNI yang dibutuhkan oleh pelaku usaha, kemudian pemerintah diharapkan membuat aturan yang mewajibkan penerapan sertifikasi pangan olahan.