Faktor – factor yang berhubungan dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan (studi di Kota Semarang)

Sutarman, Sutarman (2008) Faktor – factor yang berhubungan dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan (studi di Kota Semarang). Jurnal Epidemiologi . (Unpublished)

[img]
Preview
PDF
86Kb

Abstract

Faktor – factor yang berhubungan dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan (studi di Kota Semarang) Sutarman1, Ludfi Santoso2, Sakundarno Adi3 Factors related to the delay of office in submitting report outbreak from Puskesmas to Municipality Health Service in Semarang (Case study in Semarang municipality) Background. Disease outbreak is significant increase of case or death in epidemiology in spesific area in certain period Execution control and prevention measures very important to prevent disease spreading, addition of patient case and cuts short ill so lessens severity. Purpose of research. Obtains information of factors relating delay of officer in submitting report outbreak from Puskesmas to Municipality Health Service in Semarang covering officer factor, leader and support of activity. Method. Research design is observasional research with nested case control type, is modificated from kohort study, population with all outbreaks sick in Puskesmas on 2006 -2007 year and sample study submitting report outbreak to case, past time report outbreak to control. Result. Proven factors related to delay of officer in submitting report of outbreak are; long duty under 14 years OR= 3,91 ( 95 % CI=1,08–14,14), handles of outbreak programme over than 6 year OR = 4,68 (95% CI = 1,29– 18,88), doesn't understand starting report outbreak OR= 5,96 ( 95% CI= 1,70 – 20,87), no weekndly report form ( W-I form) OR= 5,23 ( 95% CI = 1,38 – 19,79, double duty OR= 5,89 ( 95% CI= 1,35 – 25,79), no motivation from leader OR= 7,92 ( 95% CI= 1,24 – 27,97) and no attention from leader OR=5,95 ( 95% CI= 1,77 – 20,02). Conclusion. Proven factor correlated are : long duty , long handles of outbreak programme, officer doesn't understand when starts to report of outbreak, there is no W-1 form , double duty , no motivation and no attention with probability 83,8. Just unprovable factor correlated are; education, long duty, training of Survailans epidemiology, understanding of officer for determination of outbreak, and policy factor of leader . Keyword : Outbreak report, Delay, Nested case control PENDAHULUAN Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan kejadian kesakitan/ kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu1). 1. Mahasiswa Magister Epidemiologi UNDIP 2. Program Studi Magister Epidemiologi Program Pasca sarjana UNDIP Penyakit menular merupakan masalah di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Penyakit menular timbul karena adanya mikro organisme yang beragam terdapat dalam populasi.2) Penanggulan penyakit menular perlu dijalankan secara cepat, sistimatis dan berencana sehingga dibutuhkan informasi yang cepat, tepat berdasarkan pengumpulan data yang teratur, karena penyakit menular bila telah diketahui gejala klinis, diagnosa Artikel Publikasi PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com dan masa inkubasi maka dapat dilakukan pelacakan sumber infeksi.3) Di negara sedang berkembang dan beriklim tropis seperti Indonesia beberapa penyakit menular masih sering menimbulkan wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) dan akan berdampak terhadap kehidupan sosial politik, sehingga perlu pengambilan keputusan yang cepat dan tepat untuk segera dilakukan penanggulagan. Dasar untuk pengambilan keputusan dibutuhkan suatu informasi dari catatan dan laporan yang cepat dan tepat.4) Penanggulangan penyakit menular akan menjadi semakin sulit apabila ada keterlambatan dalam menyampaikan informasi kejadian KLB karena daerah terjangkit semakin luas”.5) Dalam Undang-undang No 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular pasal 11 yang intinya menganjurkan kepada siapa saja yang mempunyai tanggung jawab dalam lingkungan tertentu yang mengetahui adanya penderita penyakit wajib melaporkan kepada unit kesehatan terdekat dalam waktu secepatnya. Uraian tersebut sesuai pasal 2 yang mempunyai maksud untuk melindungi penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan wabah/KLB sedini mungkin, dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat.6) Di Indonesia kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular dan keracunan makanan cukup tinggi.Berdasarkan laporan Sub.Dit Surveilans selama tahun 2006 tercatat sebanyak 1.268 kejadian KLB, dengan penderita sebanyak 59.389 jiwa dan meninggal sebanyak 747 (CFR =1,26 %). Di Jawa Tengah tiap tahunnya dijumpai Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular dan kasus keracunan makanan cenderung meningkat dan KLB yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi lebih sedikit dari kejadian luar biasa yang sebenarnya, selama tahun 2005 terjadi KLB dengan frekwensi sebanyak 295 kejadian, dengan kasus sebanyak 4.307 orang, berasal dari Kabupaten/Kota yang disampaikan ke Dinas Kesehatan Provinsi pada akhir tahun 2005 menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat kejadian KLB sebanyak 456 kejadian dengan jumlah kasus 6.129 orang, meninggal 15 orang. Pada tahun 2006 terjadi KLB dengan frekwensi sebanyak 305 kejadian, dengan kasus sebanyak 4.584 orang, meninggal 14 orang. Informasi yang berasal dari Kabupaten/Kota yang disampaikan ke Dinas Kesehatan Provinsi pada akhir tahun 2006 menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat kejadian KLB sebanyak 518 kejadian dengan jumlah kasus 7.436 orang, meninggal 22 orang. (Data hasil rekapitulasi Seksi KLB Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah). Dari data kejadian penyakit tersebut perlu diwaspadai bahwa penularan penyakit di masyarakat tetap berlangsung karena kasus yang tertangkap di pelayanan kesehatan tidak dilaporkan sebagai KLB sehingga tidak ditindak lanjuti penanganan di masyarakat, hal tersebut dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat .7) Setiap program menerapkan sistim dalam pengumpulan informasi kesehatan melalui pelaporan secara rutin dan berjenjang, supaya sistim berjalan efektif setiap petugas memahami dengan baik sistim yang diterapkan untuk memperlancar pekerjaan yang dilaksanakan sehingga informasi segera sampai ke pimpinan unit pelayanan kesehatan dan dilaporkan kepada tingkat organisasi yang lebih atas.8) Setiap pekerjaan atau kegiatan memerlukan data dan informasi, demikian juga dari adanya pekerjaan atau kegiatan akan menghasilkan data dan informasi baru, sehingga manusia semakin sadar akan pentingnya informasi bagi kehidupan terutama bagi para pimpinan atau manajer untuk membuat keputusan dengan cepat, tepat dan benar.9) Peran petugas Puskesmas amat penting dalam penyampaian KLB mengingat Puskesmas merupakan wahana PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com meninggal 10 orang. Informasi yang sumber informasi yang dapat langsung dari masyarakat, sehingga informasi masalah penyakit atau masalah kesehatan segera diketahui lebih akurat.10) Untuk melaksa nakan penanggulangan KLB sedini mungkin diperlukan sistim informasi kesehatan yang dapat memberi data dan informasi tentang kondisi, derajat/status kesehatan, sumber daya, out put kegiatan/ program dan informasi lain yang berhubungan dengan upaya kesehatan dalam rangka proses pengambilan keputusan, karena sebuah sistem informasi yang baik harus mampu memberikan informasi yang akurat, relevan, lengkap, tepat waktu, dan ringkas.11) Pelaporan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit biasanya sebagian besar menjadi masalah karena rumitnya formulir pengisian, juga dikarenakan oleh beberapa faktor internal petugas seperti motivasi petugas itu sendiri, beban kerja, status pendidikan, pemahaman penentuan kriteria KLB, pemahaman penetapan waktu mulai perhitungan 24 jam dan faktor eksternal meliputi faktor kepemimpinan, politis dan kebijakan yang diterapkan. Pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota saat mengetahui adanya indikasi Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan menggunakan Form W-1 dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.1) Jika pelaporan disampaikan dengan segera maka upaya penanggulangan akan cepat dilaksanakan mengingat sifat wabah/KLB harus dilakukan usaha yang sungguhsungguh sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kejadian KLB ditanggulangi kurang dari 24 jam. Untuk mengarahkan pasien berobat melalui jalur pelayanan kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) agar terpantau dan menghindari pasien yang ringan tertumpuk di Rumah Sakit serta dapat termonitor bila terjadi peningkatan yang bermakna untuk dilaporkan dan dilakukan tindakan di lapangan.12) Pada kejadian wabah/KLB penyakit maka diprediksi akan terjadi transmisi di suatu wilayah yang semakin melebar sehingga jumlah penderita dan kematian diperkirakan akan bertambah banyak. Mengingat KLB perlu ditanggulangi dengan segera sehingga wilayah terjangkit, penderita, transmisi dan kematian dapat ditekan sekecil mungkin perlu informasi/ pelaporan segera. Hal ini tentu tidak mudah karena sebagai modal dalam melakukan pelaporan memerlukan mental petugas yang peduli dan sadar untuk menyam paikan laporan dimaksud. Keseluruhan rangkaian kegiatan pelaporan kejadian KLB pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan pendekatan edukatif dan karenanya menjadi kegiatan lanjutan serta bagian yang tak terpisahkan dengan kegiatan sebelumnya di tingkat kecamatan atau Puskesmas.13) Faktor-faktor yang dapat berhubung an dengan informasi adanya kejadian KLB penyakit menular tidak sampai atau terlambat antara lain petugas tidak memahami data yang harus diinformasikan karena tidak membuat PWS, kebijakan pimpinan untuk menanggulangi kejadian penyakit sendirian karena anggapan kalau terjadi KLB merupakan kegagalan program, alasan politis, anggapan petugas bila melaporkan KLB akan merepotkan, tidak tersedia form W-1, tidak tersedia biaya untuk proses laporan KLB, petugas mempunyai beban kerja rangkap dan lain sebagainya.14) Kejadian Luar Biasa (KLB) yang dilaporkan tepat waktu, tindakan penanggu langan dilapangan juga lebih cepat dan biasanya diikuti sampai dengan 2 (dua) kali masa inkubasi oleh petugas Dinas Kesehatan Kota Semarang. Dari gambaran survai pendahuluan ternyata kejadian penyakit yang masuk kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) dan tidak dilaporkan tepat waktu masih tergolong banyak, hal ini memungkinkan terjadi transmisi penyakit menular secara PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com menular apabila tidak dilaporkan segera terus menerus akibat mobilitas penduduk, sehingga dipandang perlu untuk dilakukan penelusuran karena selama ini belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang berhubungan dengan petugas sehingga petugas terlambat menyampaikan laporan kejadian KLB penyakit menular yang terjadi diwilayah kerjanya. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini: adalah untuk Memperoleh informasi faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlambatan petugas dalam penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang, meliputi faktor petugas, pimpinan dan pendukung kerja. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilaksanakan merupa kan desain penelitian observasional dengan rancangan studi Kohort varian/ modifikasi jenis Nested case control, dimana studi ini secara harfiah terdapatnya bentuk studi Kasus kontrol yang bersarang di dalam rancangan penelitian kohort, peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel setelah studi kohort selesai.15,16) Dalam studi analitik ini penelitian mempelajari variabel dari subyek dengan efek yang positif berasal dari kelompok KLB yang dilaporkan terlambat sebagai kasus dan dari subyek yang tidak terkena efek berasal dari kelompok KLB yang dilaporkan tidak terlambat sebagai kontrol.16, 17, 18) Populasi studi Semua kejadian KLB di Kota Semarang yang dilaporkan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang dan tercatat pada laporan Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Semarang yang terpilih sebagai kelompok kasus dan kelompok kontrol. Subyek penelitian ini adalah laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang yang dilaporkan tepat waktu (kurang dari atau sama dengan 24 jam) (lebih dari 24 jam) sebagai kasus.Besar sampel yang digunakan sebagai sampel minimal dalam penelitian ini yaitu 116, dimana 58 sampel kasus dan 58 sampel kontrol Pengolahan data meliputi Cleaning, coding, editing dan entri data. Analisis data hasil penelitian disajikan secara bivariat dengan uji X2 (chi square) yaitu menganalisis hubungan masing-masing faktor dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang dan mendapatkan risiko (Odds Ratio), yang bermakna dengan tingkat kepercayaan µ = 0,05 dan Confiden Interval (CI) = 95 %.. Selanjutnya variabel yang mempunai korelasi cukup kuat dalam hal ini p < 0,05 dan p < 0,25 pada analisis bivariat bermakna dilakukan analisis multivariat. Untuk memperoleh hubungan variabel bebas dan variabel terikat dilakukan uji Regresi Logistik Ganda dengan metode Barward strepwise conditional. Kemungkinan interaksi antara dua variabel atau lebih dilakukan apabila ada kemungkinan hubungan statistik dengan memasukkan interaksi kedalam model. HASIL Proporsi kelompok tingkat pendi dikan setara SMA pada kasus (62,1%) lebih tinggi dibanding kontrol (46,6 %), Pendidikan D-3 keatas pada kelompok kasus sebesar 37,9 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 53,4 %. Dari analisis statistik OR = 1,88 (95 % CI = 0,89 – 3,94) nilai p= 0,093 secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/yang menangani/ melaporkan KLB (nilai p> 0,05). Proporsi kelompok lama tugas PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com sebagai kontrol dan laporan KLB terlambat kurang dari 15 tahun (62,1%) lebih tinggi dibanding kontrol (41,4 %), lama tugas lebih dari 15 tahun pada kelompok kasus sebesar 37,9 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 58,6 %. Dari analisis statistik OR = 2,32 (95 % CI = 1,10 – 4,88) nilai p= 0,026 secara statistik ada hubungan yang bermakna, menunjukkan bahwa keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/yang menangani/melaporkan KLB (nilai p< 0,05). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori manajemen sumberdaya manusia yang mutakhir oleh Siagian Sondang P. Yang mengutarakan bahwa lama bertugas dari seorang karyawan/ pegawai pada unit organisasi akan memberi nilai positif karena memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan organisasi, banyak hal yang diperoleh dari segi informasi tentang hal yang tidak selalu mudah. Proporsi kelompok lama menangani KLB kurang dari atau sama dengan 7 tahun 41,4 % lebih rendah dibanding kontrol (82,8 %), lama menangani KLB lebih dari 7 pada kelompok kasus sebesar 58,6 % lebih tinggi dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 17,2 %. Dari analisis statistik OR = 6,80 (95 % CI = 2,88 – 16,04) nilai p= 0,001 secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyam paian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/yang menangani/melaporkan KLB(nilai p< 0,05). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori manajemen sumberdaya manusia yang mutakhir oleh Siagian Sondang P. Yang mengutarakan bahwa kinerja seseorang petugas akan cenderung menurun apabila dihadapkan dengan tugas-tugas yang rutin apalagi jika karyanya tidak dapat dihargai disamping itu juga kinerjanya akan cenderung menurun karena merasa jenuh dengan Proporsi yang pernah mengikuti pelatihan pada kelompok kasus sebesar 15,5 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 41,4 %. Dari analisis statistik OR = 3,84 (95 % CI = 1,59 – 9,28) nilai p= 0,002 secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/ yang menangani/melaporkan KLB (nilai p< 0,05) Proporsi kelompok dengan frekwensi pelatihan 1 kali 44,4 % lebih tinggi dibanding kontrol (37,5 %), sedangkan frekwensi pelatihan lebih dari 1 kali pada kelompok kasus sebesar 55,6 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 62,5 %. Dari analisis statistik OR = 1,33 (95 % CI = 0,28 – 6,30) nilai p= 1 secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna, menunjukkan bahwa keterlam batan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/ yang menangani/ melaporkan KLB (nilai p> 0,05). Proporsi kelompok dengan tugas rangkap 84,5 % lebih tinggi dibanding kontrol (62,1 %), sedangkan tugas tidak rangkap pada kelompok kasus sebesar 15,5 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 37,9%. Dari analisis statistik OR = 3,33 (95 % CI = 1,37 – 8,08) nilai p= 0,006 secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/yang menangani/melaporkan KLB (nilai p< 0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori beban kerja oleh Siagian SP yaitu pada dasarnya manajemen yang diterapkan dalam organisasi menyangkut perlakuan terhadap para pegawai/karyawan dan berkisar pada upaya memanusiakan manusia ditempat kerja, dimana pekerjaan yang menjadi PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com pekerjaannya. tanggung jawabnya akan menjadi berat apabila telah dibebani tanggung jawab pekerjaan yang lebih dari satu kegiatan (tugas rangkap), karena masalah yang akan dihadapi bahwa pekerjaan yang dipikulnya akan menambah beban tanggung jawab. Proporsi kelompok dengan tidak ada motivasi pada kasus 75,9 % lebih tinggi dibanding kontrol (32,8 %), sedangkan yang ada motivasi pada kelompok kasus sebesar 24,1 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 67,2 %. Dari analisis statistik OR = 6,45 (95 % CI =2,86 – 14,56) nilai p= 0,001 secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/ yang menangani/ melaporkan KLB (nilai p< 0,05). Hal ini sesuai dengan teori Soekidjo N. Tahun 1997 yang mengungkap kan bahwa motivasi merupakan hal penting untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu hal yang diinginkan dalam atau akan dilaksanakan sebagai respon terhadap pekerjaan. Proporsi kelompok dengan tidak ada kebijakan pimpinan pada kasus 41,4 % lebih rendah dibanding kontrol (63,8 %), sedangkan yang ada kebijakan pimpinan pada kelompok kasus sebesar 58,6 % lebih tinggi dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 36,2 %. Dari analisis statistik OR = 2,5 (95 % CI = 1,18 – 5,28) nilai p= 0,016 secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/yang menangani/ melaporkan KLB (nilai p< 0,05). Proporsi kelompok dengan tidak ada perhatian pimpinan pada kasus 69 % lebih tinggi dibanding kontrol (22,4 %), sedangkan yang ada perhatian pimpinan pada kelompok kasus sebesar 31 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 77,6 %. Dari analisis statistik OR = 7,69 (95 % CI = 3,351 – 17,66) nilai p= 0,001 secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/yang menangani/melaporkan KLB (nilai p< 0,05). Hal ini sesuai dengan teori Nursalam pada Manajemen keperawatan aplikasi dalam praktek keperawatan profesional yaitu bahwa motivasi kerja petugas/ karyawan/pegawai di Indonesia tidak lepas dari pengawasan/perhatian karena masih tergantung pada pimpinan sehingga perlu diperhatikan terus menerus. Proporsi kelompok dengan tidak paham waktu mulai penentuan pelaporan KLB pada kasus 77,6 % lebih tinggi dibanding kontrol (37,9 %), sedangkan yang paham waktu mulai penentuan pelaporan KLB pada kelompok kasus sebesar 22,4 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 62,1 %. Dari analisis statistik OR = 5,66 (95 % CI = 2,51 – 12,78) nilai p= 0,001 secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/yang menangani/ melaporkan KLB (nilai p< 0,05). Karena. Ketentuan tersebut telah ditetapkan pada buku petunjuk kerja melalui Keputusan Dirjen PPM-PLP no 451 tentang Pedoman penyelidikan epidemiologi dan penanggu langan Kejadian Luar Biasa (KLB). Proporsi kelompok dengan tidak paham untuk penentuan KLB pada kasus 87,9 % lebih tinggi dibanding kontrol (39,7 %), sedangkan yang paham untuk penentuan KLB pada kelompok kasus sebesar 12,1 % lebih rendah dibanding pada kelompok kontrol sebesar 60,3 %. Dari analisis statistik OR = 11,09 (95 % CI = 4,29 – 28,64) nilai p= 0,001 secara statistik ada hubungan yang bermakna PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/ yang menangani/ melaporkan KLB (nilai p< 0,05). Ketentuan tersebut sesuai dengan buku petunjuk kerja melalui Keputusan Dirjen PPM-PLP no 451 tentang Pedoman penyelidikan epidemiologi dan penanggu langan Kejadian Luar Biasa (KLB). Proporsi kelompok dengan tidak tersediannya form W-1 di Puskesmas pada kasus 56,9 % lebih tinggi dibanding kontrol (25,9 %), sedangkan yang tersediannya form W-1 di Puskesmas pada kelompok kasus sebesar 43,1 % lebih rendah dibanding pada kelompok Kontrol sebesar 74,1 %. Dari analisis statistik OR = 3,78 (95 % CI = 1,73 – 8,29) nilai p= 0,001 secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan keterlambatan penyampaian laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota Semarang oleh petugas pemegang program/yang menangani/melaporkan KLB (nilai p< 0,05). Sesuai dengan keputusan Departemen Kesehatan RI, melalui Keputusan Dirjen PPM-PLP no 451 tahun 1991 telah menerbitkan buku petunjuk kerja tentang Pedoman penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB). Dimana telah ditentukan bahwa pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setiap ditemukan kejadian KLB dengan menggunakan form W-1, hal tersebut sampai sekarang masih berlaku untuk memperlancar proses pelaporan. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Rangkuman dari beberapa variabel yang berhubungan dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan (studi di Kota Semarang) Variabel OR 95 % CI Nilai p Pendidikan < D-3 1,88 0,89 – 3,94 0,093 Lama tugas < 15 th 2,32 1,10 – 4,88 0,026 Lama menangani KLB > 7 th 6,8 2,88 – 16,05 0,0001 Tidak latihan survailans 3,84 1,59 – 9,29 0,002 Frekwensi pelatihan 1 kali 1,33 0,28 – 6,30 1,0 Tidak paham KLB 11,09 4,29 – 28,64 0,0001 Tidak paham jam mulai lapor s/d <24 jam 5,14 2,31 – 11,47 0,0001 Tidak ada W-1 3,78 1,73 – 8,29 0,001 Tugas rangkap 2,87 1,17 – 7,00 0,02 Ada Kebijakan 2,91 1,36 – 6,20 0,05 Tidak ada perhatian 6,33 2,83 – 14,19 0,0001 Tidak ada motivasi 6,45 2,86 – 14,56 0,0001 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Tabel 2 Rangkuman Hasil analisis multivariat model akhir logistik Variabel B OR 95% CI Nilai p Lama tugas <15 th 1,36 3,91 1,08 – 14,14 0,038 Lama menangani KLB > 7 th 1,34 4,68 1,29 – 18,88 0,018 Tidak paham jam mulai lapor KLB 1,79 5,96 1,70– 20,87 0,005 Tugas rangkap 1,77 5,89 1,35 – 25,79 0,018 Tidak ada W-1 di Puskesmas 1,66 5,23 1,38 – 19,79 0,015 Tidak ada motivasi dari pimpinan 1,27 7,92 1,24 – 27,97 0,001 Tidak ada perhatian dari pimpinan 1,78 5,95 1,77 – 20,02 0,004 PEMBAHASAN Hasil analisis multivariat menghsilkan model prediksi dengan persamaan regresi logistik dengn probabilitas sebagai berikut: 1 p = ____________ 1 + e – Z 1 p = ________________________ __ 1 + 2,71 - [-9,33 + 1,364 +1,344 +1,785 +1,774+1,655+1,270+1,783] p = 83,8 %. Dari persamaan regresi logistik, variable yang berhubungan secara bersamasama terhadap keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan terdapat 7 (tujuh) variabel. Variabel petugas yang lama bekerja kurang dari 15 tahun, menangani KLB lebih dari 7 tahun, tidak memahami arti dari mulainya jam untuk melaporkan KLB, tidak tersedia W-1 di ada motivasi dari atasan, tidak ada perhatian dari atasan mempunyai probabilitas atau resiko terlambat menyampaikan laporan kejadian KLB sebesar 83,8 %. Lama tugas mempunyai nilai positif karena petugas telah banyak pengalaman, sering terpapar bahkan pernah melakukan kegiatan program KLB pada saat membantu petugas pemegang program. Petugas yang lama tugasnya masih sedikit akan mempunyai peluang terlambat sebesar 2,32 kali dibandingkan yang mempunyai lama tugas yang cukup, tetapi seorang petugas tidak akan terkonsentrasi dalam program KLB jika tidak diberi tanggung jawab sebagai pemegang program, namun setelah diberi tanggung jawab dalam waktu yang lama dalam tugas yang tidak terlalu banyak fariasi petuga tersebut akan menjadi jenuh sehingga mempengaruhi kinerja akan menjadi turun dan akan menyebabkan terlambat dalam menyampaikan setiap ada KLB sebesar 6,8 kali. Pelaksanaan tugas khususnya tanggung jawab untuk menyampaikan laporan setiap ada kejadian KLB disampaikan kurang dari 24 jam PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Puskesmas, adanya tugas rangkap, tidak sehingga kejadiannya cepat ditanggulangi sesuai standar pelayanan minimal (SPM) yaitu Kelurahan/desa yang terjadi KLB ditangani kurang dari 24 jam. Pemahaman tersebut harus dimiliki oleh petugas. Petugas yang tidak paham akan berpeluang menyampaikan laporan KLB menjadi terlambat sebesar 5,66 kali dibanding yang memahami waktu mulai melapor. Form standart untuk menyampaikan laporan setiap ada kejadian KLB adalah W-1. Form ini tidak semua petugas mengerti walaupun mempunyai lama tugas yang cukup karena tidak diberi tanggung jawab untuk mengampu program KLB. Form pelporan baku (W-1) harus tersedia di Puskesmas karena Puskesmas yang tidak memiliki form W-1 akan mempunyai risiko menyampaikan laporan kejadian KLB terlambat sebesar 3,78 kali dibanding dengan yang teredia form W-1 di Puskesmas. Faktor lain untuk menjadi terlambat menyampaikan laporan KLB walaupun tersedia form W-1 di Puskesmas karena petugas tidak mempunyai kesempatan untuk membuat laporan, walaupun sudah lama diberi tanggung jawab menangani KLB karena mengerjakan tugas lainnya (tugas rangkap). Petugas yang mempunyai tugas rangkap akan menyampaikan laporan KLB terlambat sebesar 3,33 kali dibanding dengan petugas yang tidak memiliki tugas rangkap. Petugas yang mempunyai tugas rangkap apa bila dalam waktu bersamaan dituntut untuk menyelesaikan tugastugasnya akan mengganggu tugas pokoknya, untuk memacu kinerja tetap baik, diperlukan suport/motivasi dan perhatian dari pimpinan dalam bentuk nasehat yang dilakukan minimal sekali dalam setahun ataupun insentif. Petugas yang tidak ada motivasi yang diberikan oleh pimpinan akan mempunyai peluang terlambat menyampaikan laporan setiap ada KLB sebesar 6,45 kali dibanding dengan petugas yang diberi motivasi oleh dilakukan kepada petugas selaku bawahan pada pelaksanaan tugas minimal berupa teguran apabila dalam melaksanakan tugasnya kurang baik. Petugas yang tidak ada perhatian dari Pimpinan ternyata mempunyai peluang untuk menyampaikan setiap ada KLB terlambat sebesar 7,69 kali dibanding pada petugas yang ada perhatian dari Pimpinan Puskesmas. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian ini adalah faktorfaktor yang ada hubungannya dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota semarang adalah faktor lama tugas, lama menangani KLB, faktor pemahaman petugas mulai penentuan waktu pelaporan KLB, faktor tidak ada W-1 di Puskesmas, faktor tugas rangkap dari petugas Pemegang program/yang menangani /melaporkan KLB, faktor tidak ada motivasi dari pimpinan Puskesmas dan faktor tidak ada perhatian dari pimpinan Puskesmas, sedangkan faktor yang tidak terbukti ada hubungannya dengan faktor yang ada hubungannya dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan laporan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota semarang adalah; faktor pendidikan, lama tugas, Pelatihan Survailans epidemiologi, faktor pemahaman petugas untuk penentuan KLb,dan faktor kebijakan pimpinan Puskesmas. Dukungan dari beberapa yang terbukti tidak ada hubungan dengan keterlambatan petugas dalam menyampaikan lapoan KLB dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota karena kejadian KLB yang selama ini dilaporkan berasal dari laporan rumah sakit, laporan DKK dan laporan dari masyarakat tidak dari hasil analisis kegiatan pelayanan di Puskesmas. Sebagai saran perbaikannya adalah petugas PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com pimpinan. Perhatian pimpinan puskesmas dalam menangani bidang tugas yang lama tugasnya cukup, jangan terlalu lama memegang program, petugas yang menangani kegiatan KLB harus memahami waktu mulai punya kuwajiban harus melaporkan KLB ke jajaran yang lebih atas, Puskesmas segera dipenuhi form W-1 untuk pelaporan setiap ada KLB dalam bentuk buku dan form lainnya yang diperlukan dalam program penanggulangan KLB, petugas diberi tugas pokok menangani KLB sedang lainnya sebagai tugas kedua (rangkap) dengan TUPOKSI yang jelas yaitu setiap terjadi KLB tugas rangkapnya ditinggal dan Petugas dengan posisi yang lebih tinggi untuk dapat memperhatikan pekerjaan bawahannya dan dapat memberikan motivasi kerja, DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Dirjen PPM-PLP no 451. Pedoman penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Jakarta 1991: Hal 47-51 2. Michael.J., Pelczar.Jr. dan Chan E.C.S. Dasardasar Mikrobiologi. Terjemahan Hadioetomo R.S., Imas Teja, Tjitrosomo S.S., Angka S.L.. UI Press, Jakarta 2006; hal 156-168. 3. Bennett F.J. Diagnosa komunitas dan Program Kesehatan. Yayasan Essentia Medica. 1987: hal 34-37 4. Departemen kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pemberantasan penyakit menular dan penyehatan Lingkungan Pemukiman Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi Subdit Surveilan. Pelaporan KLB dan wabah. Jakarta 1989: Hal 9-21 5. Departemen kesehatan RI. Direktorat Jenderal PPM dan Penyehatan lingkungan pemukiman. Penyusunan perencanaan program pembangunan kesehatan bidang pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan pemukiman. Jakarta 2000:2001; hal 1-10 6. Undang-undang RI no 4. Wabah penyakit menular. Jakarta, 1984: Hal 1-13 7. Walack SS. Kretz SE. Rural Medicine. Obstacles and Solutions for self Sufficiency. University Health Policy Consortium. Lexington Books DC. Company Lexington, Massachusetts Toronto 1981 hal 129-135 8. Vaughan J.P., Morrow R.H.. Panduan Epidemiologi bagi pengelolaan kesehatan Kabupaten. Terjemahan Aulia H., Farouk H. Institut Teknologi Bandung. Bandung, 1993; ISBN 979-8001-78-8 : Hal 61-63 9. Amsyah Z . Manajemen sistim informasi. Jakarta 2001 : Hal 27-28 10. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Buku petunjuk pelaksanaan surveilans. Semarang, 2000 : Hal 21-37 11. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Modul pelatihan P2KT. Semarang, 2001; Hal 5-17 12. Bres P. Tindakan darurat kesehatan masyarakat pada Kejadian Luar Biasa. terjemahan Hari Kusnanto, Laksono Trisnantoro. University Gajah Mada Press Yogyakarta, 1995 ; Hal 3-10 13. Departemen kesehatan RI. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Pusdiklat SDM Kesehatan. Kebijakan pengembangan desa siaga. Jakarta, 2006 ; Hal 17-21 14. United Nations High Commissioner for refugees. “Hand book for an Emergencies. Geneva, second edition June 2000 : Hal 105- 121 15. Nasution S. Metode Research. PT Bumi Aksara. Jakarta, 2001; ISBN 979-526-235-1 : Hal 131-137 16. Sastroasmoro S, Ismail S.. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Sagung Seto. Jakarta, 2002: Hal 97-141 17. Rothman KJ, Greenland S. Modern Epidemiology second. Edition Lippincott Williams & Wilkin S ; A wolters kliever company 1998; hal 71- 75. 18. Gordis L ; Epidemiology. Second edition. Copyright 2000, 1996 by W.B.Saunders Company. Printed in the United Stated States of America; Hal 132-153 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com

Item Type:Article
Subjects:R Medicine > R Medicine (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Epidemiology
ID Code:6492
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:04 Feb 2010 12:26
Last Modified:04 Feb 2010 12:26

Repository Staff Only: item control page