PENGARUH MODIFIKASI OVITRAP TERHADAP JUMLAH NYAMUK AEDES YANG TERPERANGKAP

Sayono, Sayono (2008) PENGARUH MODIFIKASI OVITRAP TERHADAP JUMLAH NYAMUK AEDES YANG TERPERANGKAP. Jurnal Epidemiologi . (Unpublished)

[img]
Preview
PDF
64Kb

Abstract

1 PENGARUH MODIFIKASI OVITRAP TERHADAP JUMLAH NYAMUK AEDES YANG TERPERANGKAP SAYONO*, LUDFI SANTOSO**, M SAKUNDARNO ADI** * Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang ** Program Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro Semarang ABSTRACT BACKGROUND; Aedes mosquitoes are the arboviruses diseases vectors, including Yellow Fever, Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, and Chikungunya, that often cause an epidemic. One of the Aedes control methods is the use of lethal ovitrap. However, ovitrap modifications by using both attractant and gauze have not conducted in Semarang city. OBJECTIVE: to understand the effect of applying modified LO to the number of trapped-Aedes mosquitoes. METHOD: this study involves the quasi experiment and post test only control group design. Subject of the study is Aedes mosquitoes in nature. LO is made from discarded milk tin, black colored and covered by gauze. LO is added by hay infusion, rinse of shrimp, and rain water. Study area is the neighbourhood group (RW) I Kelurahan Pedurungan Tengah Semarang; it consists of 200 houses . Data are analyzed descriptively and analytically by using Mann-Whitney and Kruskal- Wallis statistical methods. RESULT : The number of trapped-Aedes mosquitoes during the period of study are 7.055, and distributed in indoors as many as 4.015 and outdoors as many as 3.040, respectively (p<0,0001). The mean of trapped-Aedes mosquitoes by type of attractant is 13,19 in LO with shrimp rinse water, 4,20 in LO with hay infusion, and 3.02 in LO with rain water respectively (p<0,0001). CONCLUSION; the number of trapped-Aedes mosquitoes in LO that placed in outdoors is higher than those in indoors, and shrimp rinse water is the most attractive attractant. SUGESTION; LO with shrimp rinse water can be used as the alternative method to control Aedes mosquito by communities. Key words : Aedes, lethal ovitrap, attractant, hay infusion, shrimp rinse water. PENDAHULUAN Aedes aegypti dan Aedes albopictus memiliki peran penting di bidang kesehatan. Kedua spesies merupakan vektor penyakit demam kuning (Yellow Fever; YF), demam dengue (Dengue Fever; DF), demam berdarah dengue (Dengue Hemorrhagic Fever; DHF) dan Chikungunya(1-4) yang sering menimbulkan epidemi dan kejadian luar biasa (KLB),(5) di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia.(1-4) Masalah mendasar dalam penanggulangan infeksi arbovirus, khususnya dengue dan chikungunya, adalah pengendalian vektor, terutama Ae aegypti.(6) Data yang ada menunjukkan kepadatan populasi Aedes (Indeks premis) di Indonesia tinggi; diperkirakan 20% atau 5% di atas ambang batas penularan,(7) bahkan di beberapa kota jauh lebih tinggi. HI di Kota Palembang 44,7%,(8) di Jakarta Utara 27,3%.(9) Indeks ovitrap (ovitrap index = OI) di Kota Semarang 36.6%, dengan persentase spesies Ae aegypti sebesar 72,78% dan Ae albopictus 27,22%.(10) Angka bebas jentik (ABJ) di Simongan dan Manyaran Semarang Barat sebesar 52,7% dan 46,51%(11) atau HI 47,3% dan 53,49%. Akibatnya, Kota Semarang menjadi daerah endemis tinggi DBD. Tahun 2006 terjadi 1.845 kasus (IR 13,0 per 10.000 penduduk), meningkat menjadi 2.924 kasus (IR 20,6/10.000) pada tahun 2007.(12) Hingga periode Januari – April 2008 kejadian kasus DBD di Kota Semarang urutan kedua di Jawa Tengah, setelah Kabupaten Jepara.(13) Program pengendalian vektor kurang berhasil di berbagai negara –termasuk Indonesia , karena terlalu bergantung pada pengasapan (fogging). Cara ini perlu biaya besar (5 milyar per tahun)(14), menimbulkan resistensi vektor akibat dosis yang tidak tepat, dan tidak berdampak panjang karena jentik nyamuk tidak mati. Resistensi Ae aegypti terhadap organofosfat di Salatiga berkisar antara 16,6 – 33,3 persen, sedangkan terhadap malathion 0,8% mencapai 66 – 82 persen.(15) Di Bandung, Ae aegypti juga resisten terhadap d-Allethrin, Permethrin, dan 2 Cypermethrin dengan Lethal Time 90% (LT90) antara 9 – 43 jam.(16) Oleh karena itu, program reduksi sumber larva dan menggalang partisipasi sektor non kesehatan menjadi sangat penting.(17) Pemanfaatan perangkap telur (ovitrap)untuk pengendalian Aedes telah berhasil dilakukan di Singapura dengan memasang 2.000 ovitrap di daerah endemis DHF.(17,18) Zeichner dan Perich (1999) memodifikasi ovitrap menjadi perangkap mematikan (lethal ovitrap; LO) larva dan nyamuk dewasa dengan menambah insektisida pada ovistrip dan menyebabkan kematian nyamuk Ae aegypti 45% - 100%.(19) Pengujian lapangan LO di Brazil dapat mereduksi densitas Ae aegypti (indeks kontainer) larva dan pupa secara nyata.(20) Sithiprasasna et al (2003) memodif ikasi ovitrap menjadi perangkap larva-auto (auto - larval trap) dengan memasang kassa nylon pada permukaan air.(21) Hal serupa juga dilakukan Tarmali di Yogyakarta dengan ovitrap yang ditutup kassa nylon yang diapungkan dengan gabus. Ovitrap ditaruh di dekat tandon air bersih. Cara ini berhasil menurunkan HI, CI, dan BI masing-masing sebesar 61,49%, 50,91%, dan 53,62%.(22) Modifikasi ovitrap dengan atraktan air rendaman jerami 10% dapat meningkatkan jumlah telur terperangkap delapan kali lipat(23,24) Atraktan air cucian kerang karpet (Paphia undulata) dan udang windu juga menarik nyamuk Ae aegypti gravid dalam memilih tempat bertelur, baik di laboratorium maupun di lapangan.(25) Fermentasi daun P maximum 15 – 20 hari juga meningkatkan jumlah telur nyamuk terperangkap secara signifikan(26) Atraktanatraktan tersebut terbukti menghasilkan CO2, ammonia, dan octenol yang mempengaruhi saraf penciuman nyamuk.(27-32) Kombinsi modifikasi ovitrap dengan atraktan dan kasa nylon belum pernah dilakukan di Semarang, dan perlu diketahui pengaruhnya terhadap jumlah nyamuk Aedes terperangkap. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai modifikasi LO terhadap jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap. METODE Penelitian ini termasuk eksperimental quasi, disebut juga preventive (community) trial karena dilaksanakan pada komunitas atau bertujuan untuk menghasilkan tindakan pencegahan(33,34) Rancangan yang digunakan yaitu post test only control group.(33) Subjek, Unit, Lokasi, dan Variabel Subjek penelitian adalah nyamuk Aedes (Ae aegypti dan Ae albopictus) di alam. Unit penelitian adalah rumah atau bangunan rumah yang ada di RT II dan VI RW I kelurahan Pedurungan Tengah, Semarang. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis atraktan pada modifikasi LO, sedangkan variabel terikat adalah jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap. Variabel luar yang diperhitungkan adalah musim dan keadaan cuaca, ukuran LO, tindakan/program pengendalian vektor, khususnya fogging focused (pengasapan terfokus). Hal ini dikendalikan dengan disain waktu, tempat, dan alat yang sama, sedangkan bila ada tindakan fogging focused, maka akan diukur dan dianalisis secara statistik untuk memperluas informasi dalam pembahasan hasil penelitian. Pengumpulan Data Data primer adalah jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap, indeks tradisional Aedes, dan fogging focused. Data ini diperoleh dengan memasang ovitrap standar pada unit penelitian. Data jumlah nyamuk Aedes terperangkap diambil 4 kali ulangan dengan selang waktu satu minggu. Data lain adalah kerapatan rumah, jarak antar rumah, kondisi fisik rumah dan sistem penyediaan air bersih. Data ini diamati secara umum sebagai informasi tambahan. LO dibuat dari bekas kaleng susu kental manis, dibuka bagian atas, serta dicat berwarna hitam. Untuk menghilangkan bau cat, kaleng direndam dalam air dan ditiriskan beberapa minggu. Kaleng diisi air hujan, air rendaman jerami, atau air rendaman udang 2/3 bagian, dan ditutup dengan kasa yang diapungkan spons keras (dibuat dalam bentuk donat). Atraktan air rendaman jerami dan udang dibuat dengan merendam 1 kg jerami pada 15 liter air dan 1kg udang pada 1 liter air, masing-masing diencerkan menjadi 10%. Pengolahan dan Analisis Data Data jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap dianalisis secara diskriptif dan analitik , kemudian dilakukan analisis analitik 3 dengan uji Analisis Varians satu jalan dan dua jalan (bila berdistribusi normal) atau Kruskal-Wallis (bila tidak berdistribusi normal), sedangkan perbedaan berdasarkan letak pemasangan LO dianalisis dengan Student t test (bila berdistribusi normal) atau Mann-Whitney (bila tidak berdistribusi normal). Indeks-indeks Aedes didiskripsikan berdasarkan kelompok perlakukan dan waktu pengamatan, dilanjutkan dengan menilai penurunan indeks, lalu dibandingkan dengan kategori nilai patokan HI < 5%, CI < 10% dan BI < 5%.(35) HASIL PENELITIAN Indeks Aedes (HI) dan angka bebas jentik (ABJ) di RW I Kelurahan Pedurungan Tengah berfluktuasi dari waktu ke waktu. Pada bulan Maret 2008 HI tertinggi terjadi pada minggu kedua (28,6%) dan terendah pada minggu kelima (4,8%) dengan rerata 14,2%. Tabel 2 Hasil PJB Puskesmas Tlogosari Wetan di RW I Kelurahan Pedurungan Tengah Maret – Mei 2008 Hasil PJB (%) Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV Minggu V Rerata Bulan HI ABJ HI ABJ HI ABJ HI ABJ HI ABJ HI ABJ Maret 14,3 85,7 28,6 71,4 4,8 95,2 18,6 71,4 4,8 95,2 14,22 83,78 Arpil 47,6 52,4 23,8 76,2 9,5 90,5 19,1 80,9 19,1 80,9 23,82 76,18 Mei 4,8 95,2 4,8 95,2 19,0 81,0 9,5 90,5 9,5 90,5 9,52 90,48 Sumber: Laporan Pemberdayaan Masyarakat dalam PSN Puskesmas Tlogosari (36) Pada bulan April 2008 HI tertinggi pada minggu kesatu (17,6%) dan terendah pada minggu ketiga (9,5%) dengan rerata 23,8%. Pada bulan Mei 2008 HI tertinggi terjadi pada minggu ketiga (19,0%) dan terendah pada minggu kesatu dan kedua (4,8%) dengan rerata 9,5%. Secara umum, indeks Aedes di wilayah tersebut menurun pada bulan Mei, dari 23,8% menjadi 9,5%, tetapi masih berada di atas ambang batas yang diperbolehkan, yaitu 5%. Indeks Aedes (HI) pada bulan Mei 2008 relatif le bih rendah dan stabil. Pada bulan Maret terjadi fluktuasi walaupun ada kecenderungan menurun, dan pada awal bulan April justeru tinggi sekali, menurun tajam pada minggu ketiga, dan meningkat lagi pada minggu keempat dan kelima. ABJ terendah terjadi pada minggu kesatu bulan April (52,4%) dan tertinggi pada minggu kesatu dan kedua bulan Mei, serta minggu ketiga dan kelima bulan Maret (95,2%). ABJ tertinggi telah mencapai angka yang diharapkan yaitu lebih dari 95%. Namun demikian, kondisi terakhir justeru mengalami penurunan, yakni hanya mencapai 90,5% yang berarti masih di bawah ambang batas bebas penularan penyakit, khususnya DBD. Tabel 3 Rerata Nyamuk Terperangkap pada Keseluruhan Hasil Pengamatan Jenis Atraktan Letak LO Min Maks Rerata Jumlah Std. Deviasi Dalam rumah 0 50 3,64 630 7,887 Luar rumah 0 50 4,77 816 8,105 Air rendaman jerami Total 0 50 4,20 1.446 8,004 Dalam rumah 0 92 11,83 2.034 18,789 Luar rumah 0 88 14,75 2.537 17,982 Air rendaman udang Total 0 92 13,29 4.571 18,421 Dalam rumah 0 35 2,20 376 5,174 Luar rumah 0 54 3,83 662 8,275 Air hujan (tanpa atraktan) Total 0 54 3,02 1.038 6,948 Dalam rumah 0 92 5,89 3.040 12,838 Luar rumah 0 88 7,78 4.015 13,281 Total Total 0 92 6,84 7.055 13,090 4 Hasil seluruh pengamatan menunjukkan bahwa nyamuk Aedes yang terperangkap pada semua LO sebanyak 7.055 ekor. LO berisi atraktan air rendaman udang menghasilkan nyamuk Aedes terperangkap paling banyak (4.571 ekor) dibanding LO berisi air rendaman jerami (1.446 ekor) dan air hujan (1.038 ekor). Nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO yang dipasang di luar rumah lebih banyak daripada LO yang dipasang di dalam rumah. Hal ini terjadi pada semua LO dengan jenis atraktan yang berbeda-beda. Jumlah total nyamuk yang terprangkap pada LO di luar rumah mencapai 4.015 ekor sedangkan di dalam rumah sebanyak 3.040 ekor. Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0,0001). Rerata nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO berdasarkan jenis atraktan menunjukkan gambaran yang berbeda. LO yang berisi atraktan air rendaman udang terdapat nyamuk Aedes terperangkap paling banyak (rerata 13,29 dan standar deviasi 18,42) dibanding LO yang berisi air rendaman jerami (rerata 4,20 dan standar deviasi 8,00) dan air hujan (rerata 3,02 dan standar deviasi 6,95). Hasil uji statistik Kruskall-Wallis menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0,0001). Rerata nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO berisi atraktan air rendaman jerami berbeda secara signifikan dengan rerata nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO berisi air rendaman udang (p<0,0001 dan 95% interval kepercayaan = -11,68 – [- 6,49]), dan tidak berbeda secara signifikan dengan nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO yang berisi air hujan (p=0,111 dan 95% interval kepercayaan =-0,18 – 2,55). Rerata nyamuk yang terperangkap pada LO berisi air rendaman udang berbeda secara signifikan terhadap LO yang lain, baik yang berisi air rendaman jerami (p <0,0001 dan 95% interval kepercayaan 6,49 – 11,68) maupun air hujan (p<0,0001 dan 95% interval kepercayaan 7,73 – 12,81). Rerata nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO yang berisi air hujan hanya menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan LO berisi air rendaman udangi (p<0,0001 dan 95% interval kepercayaan -12,81 – [-7,73]). HI, CI dan BI Berdasarkan hasil pemeriksaan rumah dan TPA yang ditemukan di lingkungan rumah dapat dihitung indeksindeks tradisional Aedes (Tabel 4.23). Tabel 4 Indeks-indeks Kepadatan Aedes Kelompok Perlakuan Pra Intervensi (%) Pasca Intervensi (%) Penurunan (%) HI 30 23 7 CI 15 10 5 BI 48 46 2 Kelompok Pembanding HI 33 29 4 CI 24 18 6 BI 67 65 2 Indeks Aedes pada kelompok intervensi maupun pembanding tampak mengalami penurunan. Penurunan HI pada kelompok intervensi berbeda (7%) dengan kelompok pembanding (4%), dengan selisih 3%. Indeks lainnya tidak berbeda antara kelompok intervensi dan pembanding. Indeks Ovitrap (Ovitrap Index) Indeks ovitrap menurun seiring waktu pengamatan. Pada akhir minggu kesatu diperoleh OI sebesar 65,% (60,5% di dalam dan 70,5% di luar rumah). Pada minggu kedua OI turun menjadi 52,7% (54,0% di dalam dan 55,0% di luar rumah). Pada minggu ketiga, OI naik menjadi 56,6% (50,4% di rumah dan 62,8% di luar rumah), tetapi pada minggu keempat turun lagi menjadi 45,0% (36,4% di dalam dan 53,6% di luar rumah). Hasil seluruh pengamatan menunjukkan penurunan OI sebesar 20,5%. Nilai OI dari seluruh hasil pengamatan sebesar 54,9% (49,4% di dalam dan 60,9% di luar rumah). 5 Tabel 5 Persentase Isi LO Berdasarkan Letak Pemasangan dan Waktu Pengamatan Minggu Letak LO Statistik Isi LO Total p Positif Negatif Kesatu Dalam rumah n 78 51 129 0,116 % 60,5 39,5 100, 0 Luar rumah n 91 38 129 % 70,5 29,5 100,0 Jumlah n 169 89 258 % 65,5 34,5 100,0 Kedua Dalam rumah n 65 64 129 0,533 % 50,4 49,6 100,0 Luar rumah n 71 58 129 % 55,0 45,0 100,0 Jumlah n 136 122 258 % 52,7 47,3 100,0 Ketiga Dalam rumah n 65 64 129 0,06 % 50,4 49,6 100,0 Luar rumah n 81 48 129 % 62,8 37,2 100,0 Jumlah n 146 112 258 % 56,6 43,4 100,0 Keempat Dalam rumah n 47 82 129 0,009 % 36,4 63,6 100,0 Luar rumah n 69 60 129 % 53,5 46,5 100,0 Jumlah n 116 142 258 % 45,0 55,0 100,0 Keseluruhan Dalam rumah n 255 261 516 0,000 % 49,4 50,6 100,0 Luar rumah n 312 204 516 % 60,5 39,5 100,0 Jumlah n 567 465 1032 % 54,9 45,1 100,0 PEMBAHASAN Secara umum, jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap selama empat minggu (empat kali) pengamatan mencapai 7.055 ekor, dengan rerata 6,84 ekor per LO. Namun demikian, tidak semua LO terdapat nyamuk Aedes terperangkap. Indeks ovitrap mencapai 56%. Pembahasan tentang nyamuk Aedes yang terperangkap dibedakan berdasarkan jenis atraktan, letak pemasangan LO dan waktu pengamatan. Jumlah nyamuk Aedes terperangkap menurut jenis atraktan LO yang berisi atraktan air rendaman udang menghasilkan nyamuk Aedes yang terperangkap paling banyak pada setiap periode pengamatan. Meskipun terjadi fluktuasi jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap, namun ada konsistensi dominasi rerata jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO yang berisi air rendaman udang. Hasil pengamatan secara keseluruhan menunjukkan rerata nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO yang berisi air rendaman udang 13,29 ekor, sedangkan pada LO berisi air rendaman je rami 4,20 dan pada LO berisi air hujan (tanpa atraktan) 3,02 ekor. Atraktan air rendaman udang menghasilkan nyamuk Aedes terperangkap 3 - 4 kali lebih banyak daripada air rendaman jerami maupun air hujan. Hasil uji statistik Kruskall-Wallis membuktikan adanya perbedaan rerata nyamuk Aedes yang terperangkap secara signifikan (p<0,0001) berdasarkan jenis atraktan pada LO. Banyaknya nyamuk Aedes yang terperangkap menunjukkan jumlah telur yang diletakkan, menetas menjadi larva dan pupa, serta berkembang menjadi nyamuk dewasa juga lebih banyak. Hal ini berarti pula bahwa nyamuk betina gravid yang bertelur pada LO berisi air rendaman udang lebih banyak daripada LO yang berisi jenis atraktan lainnya. Dengan kata lain, atraktan air rendaman udang memiliki daya tarik (atraktansi) yang lebih kuat daripada air rendaman udang dan air hujan. Air rendaman atau cucian udang dan 6 kerang mengandung sisa hasil metabolisme seperti feses, dan senyawa kimia lain, dalam bentuk gas maupun cair. Udang windu misalnya, mengekskresi feses, ammonia dan karbon dioksia. Ekskresi ammonia berkisar antara 26 – 30 gram per kilogram pakan yang mengandung 35% pellet, sedangkan ekskresi CO2 1,25 kali dari konsumsi oksigen.(37) Kedua senyawa merupakan atraktan yang baik bagi nyamuk Aedes. Selain disekresi udang, CO2 dan Amonia juga dihasilkan dari fermentasi (rendaman) bahan organik seperti jerami dan rumput P maximum, namun mungkin memiliki kuantitas dan kualitas yang berbeda sehingga menimbulkan dayatarik yang berbeda terhadap nyamuk Aedes. Kemungkinan lain adalah adanya zat, senyawa atau bahan atraktif lain yang terkandung dalam air rendaman udang yang tidak terdapat pada air rendaman jerami dan air hujan. Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik terhadap serangga (nyamuk) baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa ammonia, CO2, asam laktat, octenol, dan asam lemak. Zat atau senyawa tersebut berasal dari bahan organik atau merupakan hasil proses metabolisme mahluk hidup, termasuk manusia. Atraktan fisika dapat berupa getaran suara dan warna, baik warna tempat atau cahaya. Atraktan dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku, memonitor atau menurunkan populasi nyamuk secara langsung, tanpa menyebabkan cedera bagi binatang lain dan manusia, dan tidak meninggalkan residu pada makanan atau bahan pangan. Efektifitas penggunaannya membutuhkan pengetahuan prinsipprinsip dasar biologi serangga. Serangga menggunakan petanda kimia (semiochemicals) yang berbeda untuk mengirim pesan. Hal ini analog dengan rasa atau bau yang diterima manusia. Penggunaan zat tersebut ditandai dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Sistem reseptor yang mengabaikan atau menyaring pesanpesan kimia yang tidak relevan disisi lain dapat mendeteksi pembawa zat dalam konsentrasi yang sangat rendah. Deteksi suatu pesan kimia merangsang perilakuperilaku tak teramati yang sangat spesifik atau proses perkembangan.(38) Air rendaman jerami (hay infusion) dibuat dari 125 gram jerami kering, dipotong dan direndam dalam 15 liter air selama 7 hari (Polson et al, 2002).(23) Selanjutnya, penggunaan air rendaman ini dicampur dengan air biasa (tap water) dengan konsentrasi yang diinginkan. Polson et al (2002) menggunakan konsentrasi 10%, sedangkan Santos et al (2003) dengan berbagai konsentrasi.(24) Namun demikian, baik Polson maupun Santos menyimpulkan bahwa konsentrasi 10% menghasilkan telur terperangkap paling banyak. Sant’ana et al (2006)(26) menggunakan air fermentasi daun rumput P. maximum 15 – 20 hari secara anaerobik juga menghasilkan telur Aedes terperangkap lebih banyak daripada air biasa (tap water). Air rendaman jerami dan fermentasi rumput P. maximum meng-hasilkan CO2 dan ammonia; senyawa yang terbukti mempengaruhi saraf penciuman nyamuk Aedes.(25,30) CO2, asam laktat, dan octenol merupakan atraktan yang dikenali dengan sangat baik. Sekresi kulit lain juga hal penting karena aroma dari host hidup selalu lebih memiliki dayatarik daripada kombinasi dari bahan-bahan kimia tersebut dalam keadaan panas dan lembab. Asam lemak yang dihasilkan dari flora normal kulit merupakan atraktan yang efektif. Aroma ini efektif sampai jarak 7 – 30 meter, tetapi dapat mencapai 60 meter untuk beberapa spesies.(1) Penggunaan atraktan bervariasi antara lain air rendaman jerami(23,24) dan jenis rerumputan(26) tertentu, air rendaman kerang-kerangan dan udang.(25) Air rendaman bahan-bahan tersebut mengandung kadar CO2 dan Amonia yang cukup tinggi sehingga dapat menarik penciuman dan mempengaruhi nyamuk dalam memilih tempat bertelur. Senyawa tersebut dihasilkan dari proses fermentasi zat organik atau merupakan hasil ekskresi proses metabolisme.(37) Jumlah nyamuk Aedes terperangkap menurut lokasi penempatan LO LO yang dipasang di luar rumah terbukti menghasilkan lebih banyak nyamuk Aedes yang terperangkap (p<0,0001). Hal ini terjadi pada kelompok LO dengan atraktan yang berbeda-beda pada setiap periode pengamatan. Fenomena ini mengindikasikan bahwa aktifitas bertelur (oviposition) nyamuk Aedes lebih banyak terjadi di luar rumah. 7 Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Damar TB et al (2006) dan Widiarti et al (2006) yang menemukan bahwa ovitrap yang dipasang di dalam rumah menghasilkan telur yang terperangkap lebih banyak.(15,39) tetapi sesuai dengan penelitian Utomo M et al (2005) yang menemukan OI di luar rumah lebih besar daripada di dalam rumah.(39) Perbedaan ini terjadi karena lokasi kedua penelitian berbeda sehingga spesies yang dominan juga berbeda. Pada penelitian tersebut, Ae. aegypti lebih dominan daripada Ae. albopictus, sedangkan pada penelitian ini lebih banyak ditemukan Ae. albopictus daripada Ae aegytpi. Hal ini sesuai dengan penelitian Hendayani et al (2007) yang meneliti pada wilayah yang berdekatan sehingga menemukan spesies Ae albopictus lebih dominan daripada Ae aegypti.(40) Dominansi Ae.albopictus merupakan fenomena yang logis karena sebagian lokasi penelitian berbatasan langsung dengan wilayah lain yang berupa lahan atau pekarangan kosong dengan vegetasi yang cukup rapat. Kondisi ini memungkinkan untuk menjadi habitat Ae.albopictus, walaupun habitat sebenarnya adalah kawasan hutan atau daerah rural dengan vegetasi yang rapat. Perubahan lingkungan seperti pembukaan lahan tidur dengan vegetasi rapat menjadi kompleks perumahan mungkin menyebabkan Ae.albopictus kehilangan habitat aslinya dan bertahan hidup di area lain dengan kerapatan vegetasi yang cukup. Lahan, pekarangan atau kapling yang dibiarkan kosong di lingkungan perkotaan menjadi habitat yang baik bagi nyamuk Ae. albopictus yang migrasi dari habitat asalnya di hutan-hutan dan daerah vegetasi yang rapat di pedesaan atau pinggiran kota. Fenomena semacam ini banyak terjadi di kawasan pinggiran kota Semarang sehingga dominansi spesies Ae. albopictus merupakan hal yang logis. Ae albopictus berkembang biak pada kontainer temporer tetapi lebih suka pada kontainer alamiah di hutan-hutan, seperti lubang pohon, ketiak daun, lubang batu dan batok kelapa, serta berkembang biak lebih sering di luar rumah di kebun dan jarang ditemukan di dalam rumah pada kontainer buatan seperti gentong dan ban mobil.(2,3) Spesies ini memiliki telur yang dapat bertahan pada kondisi kering tetapi tetap hidup. Telur-telur diletakkan pada banban mobil dan terbawa ke berbagai daerah. (3) Jumlah nyamuk Aedes terperangkap menurut waktu pengamatan Secara umum, jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO mengalami penurunan seiring waktu pengamatan. Jumlah nyamuk Aedes terperangkap paling banyak terjadi pada pengamatan minggu kesatu, dan terus mengalami penurunan hingga puncaknya pada minggu ketiga. Jumlah nyamuk Aedes yang terperangkap sedikit meningkat pada pinggu keempat namun tidak melebihi hasil minggu kedua. Fenomena ini terjadi karena dua alasan terpenting, yaitu (1) penelitian ini dilakukan pada perubahan musim penghujan ke musim kemarau sehingga secara alamiah populasi nyamuk Aedes berkurang akibat berkurangnya tempat perindukan, (2) populasi nyamuk Aedes di lokasi penelitian semakin sedikit karena regenerasi terganggu akibat penggunaan LO. Penurunan curah hujan dan hari hujan mengurangi jumlah tempat penampungan air bersih (TPA) alamiah dan artifisial yang tersebar di sekitar pemukiman. Kondisi ini merupakan proses pengendalian populasi nyamuk secara alamiah. Disisi lain, populasi nyamuk Aedes yang ada tidak dapat meneruskan proses regenerasi secara maksimal karena adanya perangkap telur yang mematikan (LO). Fenomena ini dapat dilihat pada hasil pengamatan antara minggu kesatu dan kedua yang mengalami penurunan secara tajam (45,22%), dan antara minggu kedua dan ketiga (26,29%) atau sebesar 85,6% dari hasil pengamatan minggu kesatu. Jumlah nyamuk Aedes terperangkap pada minggu keempat mengalami peningkatan dibanding minggu ketiga. Hal ini terjadi karena nyamuk Aedes memiliki mekanisme beradaptasi yang cepat terhadap perubahan lingkungan. Dalam hal ini nyamuk menghadapi kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, yaitu terbatasnya tempat perindukan sehingga nyamuk betina gravid berusaha mencari tempat bertelur dan menemukan LO di lingkungan pemukiman. Disamping itu, adanya atraktan di dalam LO mempermudah nyamuk betina menemukan tempat perindukan. Penciuman nyamuk Aedes dapat menjangkau objek sejauh 36 meter.(1) 8 HI, CI dan BI Indeks Aedes (HI, CI dan BI) di daerah penelitian mengalami penurunan, masing-masing sebesar 7%, 5% dan 2% antara sebelum dan sesudah penerapan LO di daerah perlakuan, serta 4%, 6% dan 2% di daerah pembanding. Perbedaan yang cukup besar terjadi pada HI dengan selisih 3% antara daerah perlakuan dan pembanding. Indeks CI terjadi penurunan lebih besar pada kelompok pembanding, sedangkan BI mengalami penurunan yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan LO tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah kontainer yang positif dan rasio kontainer positif terhadap jumlah rumah yang diperiksa, namun lebih berpengaruh terhadap jumlah rumah yang positif jentik. Ovitrap index (OI) Hasil penelitian keseluruhan menunjukkan nilai OI sebesar 65%. Hasil ini lebih besar dari penelitian di Sampangan Semarang yaitu 36,6%.(11) OI menurun seiring waktu pengamatan dengan rerata penurunan 10,25% per minggu, dari 65% (minggu I) menjadi 45% (pada minggu IV). Pada mingu kesatu LO yang positif (terdapat nyamuk, pupa dan larva) masih tinggi (60,5% di dalam dan 70,5% di luar rumah), namun pada minggu keempat megalami penurun yang cukup tajam (49,4% di dalam rumah dan 60,5% di luar rumah). Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan LO dapat mempengaruhi indeks Aedes. Bila tiap LO dapat membunuh 6,84 ekor nyamuk dan setiap minggu dipasang 258 buah LO, maka jumlah nyamuk generasi baru yang mati tiap minggu adalah 1.764,72 ekor, dan penerapan LO selama 4 minggu berturut-turut dapat membunuh 7.055 ekor nyamuk. Artinya, ratusan ribu butir telur pada generasi berikutnya sudah dimusnahkan sebelum diproduksi oleh nyamuk-nyamuk Aedes baru karena terperangkap dan mati di dalam LO. SIMPULAN 1. Rerata nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO berbeda secara bermakna berdasarkan jenis atraktan; rerata terbanyak terjadi pada LO yang berisi atraktan air rendaman udang, diikuti air rendaman jerami dan air hujan. Air rendaman udang merupakan atraktan paling menarik diantara air rendaman jerami dan air hujan. 2. Rerata nyamuk Aedes yang terperangkap berbeda secara bermakna menurut letak pemasangan LO; nyamuk Aedes lebih banyak terperangkap LO di luar rumah. 3. Interaksi jenis atraktan dan letak pemasangan LO tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap rerata nyamuk Aedes yang terperangkap. 4. Rerata nyamuk Aedes yang terperangkap pada LO berbeda secara bermakna menurut waktu pengamatan; rerata tertinggi pada pengamatan minggu I dan terus menurun hingga minggu III dan sedikit meningkat pada minggu IV. Penurunan rerata mencapai 85,6%. 5. Interaksi antara jenis atraktan dan waktu pengamatan berpengaruh signifikan pula. Puncak rerata nyamuk Aedes terperangkap pada LO berisi rendaman udang terjadi pada pengamatan minggu I sedangkan pada air rendaman jerami dan air hujan terjadi pada minggu IV. 6. Indeks ovitrap pada minggu I sebesar 65,5% dan pada minggu IV 45,0%; penerapan LO dapat mereduksi OI 20,5%. 7. Indeks Aedes (HI, CI dan BI) di daerah penelitian mengalami penurunan masingmasing sebesar 7%, 5% dan 2% antara sebelum dan sesudah penerapan LO, sedangkan di daerah pembanding sebesar 4%, 6% dan 2%; penerapan LO yang dimodifikasi belum dapat memberikan gambaran dampak yang jelas terhadap indeks tradisional Aedes. SARAN 1. LO yang dimodifikasi dengan atraktan air rendaman udang terbukti dapat menghasilkan nyamuk Aedes terperangkap paling banyak, namun demikian untuk dapat direkomendasikan sebagai alat pengendalian nyamuk Aedes masih memerlukan penelitian lanjutan, terutama untuk menentukan pengaruh penerapan LO terhadap penurunan HI, CI dan BI secara nyata. 2. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa Ae albopictus lebih dominan daripada Ae aegypti, serta ditemukan pula nyamuk Culex. Namun demikian belum diketahui penyebab dominasi tersebut, disamping 9 belum teridentifikasi spesies dari nyamuk Culex yang ditemukan dan proporsinya terhadap hasil keseluruhan, sehingga diperlukan penelitian lanjutan. 3. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengidentifikasi dan menentukan tempat yang strategis untuk memasang LO sehingga dapat menjebak nyamuk sebanyak-banyaknya.. DAFTAR PUSTAKA 1. Foster WA, Walker ED. 2002. Medical and Veterinary Entomology. Edited by Gary Mullen dan Lance Durden. London: Academic Press. 2. Rozendaal JA. 1997. Vector Control. Methods for Use by Individual and Communities. Geneva: World Health Organization. 3. Service MW. 1996. Medical Entomology for Students. London: Chapman & Hall. 4. Beaty BJ, Marquardt WC. 1996. The Biology of Disease Vectors. Colorado: the University Press of Colorado. 5. Chin J. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Editor penterjemah: I Nyoman Kandun. Jakarta: Infomediaka. 6. Scott TW, Morrison AC. 2003. Aedes aegypti Density and the Risk of Dengue Virus Transmission. Chapter 14 p.187-206. http:// library.wur.nl/frontis/ malaria/14_scott.pdf. diakses 20 November 2007 7. Soeroso T, Umar IA. 2002. Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia Saat Ini. Dikutip dari Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, dalam Tatalaksana Kasus DBD. Penyunting: Sri Rejeki H Hadinegoro dan Hindra Irawan Satari. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 8. Budiyanto A. 2005. Studi Indeks Larva Nyamuk Aedes aegypti dan Hubungannya dengan PSP Masyarakat tentang Penyakit DBD di Kota Palembang Sumater Selatan. http//:www.balitbang.depkes.id. 9. Hasyimi M, Soekirno M. 2004. Pengamatan Tempat Perindukan Aedes aegypti pada Tempat Penampungan Air Rumah Tanggga pada Masyarakat Pengguna Air Olahan. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 3 No.1 April 2004: 37 – 42. http//:www.depkes.go.id. Diakes 23 Mei 2008. 10. Wahyuningsih NE, Dharmana E, Kusnawati E, Sulistiawan A, Purwanto E. 2007. Survei Aedes Spp. di Tiga Kota: Semarang, Purwokerto dan Yo gyakarta. Makalah disampaikan pada Konggres XII Jaringan Epidemiologi Nasional (JEN). Semarang: 19 – 20 Juli 2007. 11. Widiarti, Boewono DT, Widyastuti U, Mujiono, Lasmiati. 2006. Deteksi Virus Dengue pada Progeni Vektor Demam Berdarah Dengue dengan Metode Imu nohistokimia. Prosiding Seminar Sehari: Strategi Pengendalian Vektor dan Reservoir pada Kedaruratan Bencana Alam di Era Desentralisasi. Salatiga: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit. Hal.125 – 135 12. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Data Endemisitas DBD Kota Semarang 2007. 13. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Laporan Kasus Penyakit Demam Berdarah Dengue Periode Januari - April 2008. 14. Baskoro T, Nalim S. 2007. Pengendalian Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Disampaikan dalam Simposium Demam Berdarah Dengue. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 16 Mei 2007. 15. Boewono DT, Barodji, Suwasono H, Ristiyanto, Widiarti, Widyastuti U, Traspsilowati W, Blondine CP, Suskamdani, Anthon WP, Errytrina, Zuraidah, Kasmiyati, Soenarto N. 2006. Studi Komprehensif Penanggulangan dan Analisis Spatial Transmisi Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kota Salatiga. Prosiding Seminar Sehari: Strategi Pengendalian Vektor dan Reservoir pada Kedaruratan Bencana Alam di Era Desentralisasi. Salatiga: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit. Hal 98 - 115 16. Astari S, Ahmad I. 2005. Insecticide Resistance and Effect of Piperonyl Butoxide as a Synergist in Three Strain nof Aedes aegypti (Linn) (Diptera: Cullicidae) on Insecticide Permethrin, Sypermethrin, and d-Allethrin. Bul. Penel. Kesehatan Vol 33(2),2005:73 – 79. 17. World Health Organization. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Panduan Lengkap. Alih bahasa: Palupi Widyastuti. Editor Bahasa Indonesia: Salmiyatun. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 18. Teng TB. 2001. New Inisiatives in Dengue Control in Singapore. Dengue Bulletin Vol 25:1 – 6 19. Zeichner BC, Perich MJ. 1999. Laboratory Testing of a Lethal Ovitrap fos Aedes aegypti. Medical and Veterinary Entomol 13:234–238 20. Perich MJ, Kardec A, Braga IA, Prtal IF, Burge R, Zeichner BC, Brogdon WA dan Writz RA. 2003. Field Evaluation of a Lethal Ovitrap Against Dengue Vektors in Brazil. Medical and Veterinary Entomol 17:205-210 10 21. Sithiprasasna R, Mahapibul P, Noigamol C, Perich MJ, Zeinchner BC, Burge B, Norris SWL, Jones JW, Schleich SS, Colmen RE. 2003. Field Evaluation of a Lethal Ovitrap for the Control of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Thailand. J Med Entomol 40(4): 455 – 462. 22. Tarmali A. 1996. Penggunaan Perangkap Telur Pembunuhan Diri guna Mengendalikan Populasi Vektor Demam Berdarah Dengue di Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Dati II Sleman. Tesis. Tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada. 23. Polson KA, Curtis C, Seng CM, Olson JG, Chanta N, Rawlins SC. 2002. The Use of Ovitrap Baited with Hay Infusion as a Surveillance Tool for Aedes aegypti Mosquitoes in Cambodia. Dengue Bulletin Vol 26: 178 – 184 24. Santos SRA, Melo-Santos MAV, Regis L dan Albuquerque CMR. 2003. Field Evaluation of Ovitrap with Grass Infusion and Bacillus thuringiensis var israelensis to Determine Oviposition Rate of Aedes aegypti. Dengue Bulletin Vol 27: 156 – 162 25. Thavara U, Tawatsin A, dan Chompoosri J. 2004. Evaluation of Attractants and Egglying Substrate Preference for Oviposition by Aedes albopictus (Diptera: Culicidae). Journal of Vector Ecology 29 (1): 66 – 72 26. Sant’ana AL, Roque RA, dan Eiras AE. 2006. Characteristics of Grass Infusion as Oviposition Attractants to Aedes (Stegomyia) (Diptera: Culicidae). J Med Entomol Vol 43: 214 – 220 27. Geier M, Bosch OJ, Boeckh J. 1999. Ammonia as an Attractant Component of Host Odour for the Yellow Fever Mosquito, Aedes aegypti. Chem Senses 24: 647 - 653 28. Bosch OJ, Geier M, Boeckh J. 2000. Contribution of Fatty Acids to Olfactory Host Finding of Female Aedes aegypti. Chem Senses 25: 323 - 330 29. Steib BM, Geier M, Boeckh J. 2001. The Effect of Lactic Acid on Odour-Related Host Preference of Yellow Fever Mosquitoes. Chem Senses 26: 523 - 528 30. Dekker T, Geier M, Cardé RT. 2005. Carbon dioxide Instantly Sensitizes Female Yellow Fever Mosquitoes to Human Skin Odours. The Journal of Experimental Biology 208: 2963 - 2972 31. Russel RC. 2004. The Relative Attractiveness of Carbondioxide and Octenol in CDC – and EVS-type Light Traps for Sampling the Mosquitoes Aedes aegypti (L.) and Aedes polynesiensis Marks, and Culex quinquefasciatus (Say) in Moora, French Polynesia. Journal of Vector Ecology 29(2): 309 - 314 32. Kawada H, Honda S, Takagi M. 2007. Comparative laboratory Study on the Reaction of Aedes aegypti and Aedes albopictus to Different Attractive Cues in a MosquitoTrap J Med Entomol 44(3):427-432 33. Friedman GD. 2004. Primer of Epidemiology. Fifth Edition. Singapore: McGraw-Hill Education (Asia). 34. Rossignol A. 2007. Principles and Practice of Epidemiology. Singapore: McGrow-Hill p.188 – 205 35. Focks DA. 2003. A Review Of Entomological Sampling Methods and Indicators For Dengue Vectors. Infectious Disease Analysis Gainsville,Florida,USA p10 36. Puskesmas Tlogosari Wetan. Laporan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengamatan Jentik Berkala di Wilayah Puskesmas Tlogosari Wetan Tahun 2008. 37. ACE. 2003. Tiger Prwan (Penaeus monodon) and White Legged Shrimp (P vannamei). Agriculture Report: XX Diakses 24 Nopember 2007 di http://www.ace4all.com/ live200611/ docs/P%20monodon.htm 38. Weinzierl R, Henn T, Koehler PG, Tucker CL. 2005. Insect Attractants and Traps. ENY277 (dipublikasikan oleh Kantor Entomologi Pertanian, Universitas Illionis ). http://edis. ifas.ufl.edu. Diakses 20 Oktober 2007 39. Utomo M, Sigit Tyasmono dan Sayono. 2005. Perbedaan Kepadatan Telur Aedes spesies pada Ovitrap yang dipasang di dalam dan di luar rumah di desa Kandangrejo, Klambu, Grobogan. J Kesehat Masy Indones. Vol 2 No 1 tahun 2005. 40. Hendayani Y, M Utomo, Sayono. 2007. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Air Rendaman Jerami Terhadap Jumlah Telur Aedes sp yang Terperangkap. J Kesehat Masy Indones Vol 4 No 1 tahun 2007.

Item Type:Article
Subjects:R Medicine > R Medicine (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Epidemiology
ID Code:6486
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:04 Feb 2010 12:20
Last Modified:04 Feb 2010 12:20

Repository Staff Only: item control page