Kunarti, Umi (2005) TITER Imunoglobulin G (IgG) Difteri pada anak sekolah (Studi Kasus Di Kota Semarang). Jurnal Epidemiologi . (Unpublished)
| PDF 98Kb |
Abstract
TITER Imunoglobulin G (IgG) Difteri pada anak sekolah (Studi Kasus Di Kota Semarang) Oleh : Umi Kunarti. Program Studi Magister Epidemiologi UNDIP Semarang Konsentrasi Epidemiologi lapangan Tesis tahun 2004. Abstrak. Jawa Tengah tahun 2002 terjadi Kejadian Luar Biasa difteri di 11 Kabupaten/Kota dengan jumlah kasus 53. 31 kasus diantaranya dilaporkan dari Kota Semarang. Universal Child Immunization atau UCI (DPT 3) telah dicapai ditingkat Kota Semarang.. Belum pernah dilakukan evaluasi serologi dari imunisasi DPT dan BIAS Tujuan penelitian mengetahui Titer IgG difteri yang sudah terbentuk pada anak sekolah serta perbedaan IgG yang terbentuk karena potensi vaksin, umur, jumlah imunisasi, interval waktu, cara pemberian, keadaan gizi, kepadatan hunian, riwayat sakit kuli, tenggorok. Rancangan penelitian Cross sectional study. Subyek penelitian anak sekolah di desa KLB difteri tahun 2002 di Kota Semarang. Penetapan sampel secara acak dan proporsional random sampling. Besar sampel 221 anak ( sampel darah vena 3 ml). TK Tri Tunggal, Dian Wacana, TK Supriyadi, SD Dian Wacana, YSKI, Marsudirini, Tlogosari Kulon.. Pemeriksaan titer IgG difteri dilakukan dengan teknik Enzym Imuno Assay di Puslitbang Dep Kes. dengan cara Diftolisa G ( bakteri tunggal). Sebanyak 7,2% anak titer IgG nol (0), 92,8% anak memiliki titer > 0,1 – 1,5 IU/ml.Titer maksimum tertinggi 1,5 IU/ml pada anak TK Tritunggal, titer maksimum terendah 0 IU/ml pada anak TK Supriyadi. Potensi vaksin DPT yang digunakan memenuhi persyaratan yang ditetapkan WHO, BPOM. Hasil ke 5 sampel antara 77,04 IU/DTM – 218,08 IU/DTM. The Diphteria G Immunoglobulin Titer in School Children. Case Study In Kota Semarang. By: Umi Kunarti. Master degree of Epidemilogy Program Diponegoro University. Majoring in Field Epidemiology Tesis, 2004. Abstract. In Central Java at 2002, 11 Districts have reported 53 dhipterea cases. 31 cases of them were reported by Kota Semarang. Universal Child Immunization (UCI) DPT3 has been reached at the city areas.Health Departement has not evaluated yet to serology of DPT routine immunization and BIAS. This research aims to know the diphteria G immunoglobulin titer in school children and factors that cause diferential in occurring titer because vaccine potency, age, amount of immunization werw got to baby, time interval getting immunization , the way giving immunization, nutrition, density population, the history of skin sickness, and tonsillitis, The cross sectional research. Subject of the research are pupils school at the village whereas outbreak diphteria was occurred at Kota Semarang in 2002. the method of sampling is proporsional random sampling. The sampling is 221 children, blood sample is vena 3 ml those are TK Tritunggal, Dian Wacana, TK supriyadi, SD Dian wacana, YSKI, Marsudirini, Tlogosari kulon. Treatment to the vena blood sample is using single diphteria IgG Titer with Enzyme Immuno Assay at Center of Research and Development Health departement. There were 7,2% children IgG titer Nul (0), those 92,8% children have titer >0.1 – 1,5 IU/ml. The titer top of maksimum are 1,5 IU/ml reach at children TK Tritunggal, the titer top of low are nul (0) IU/ml reach at children TK Supriyadi. Potency DPT vaccine were used of result equal as Standart WHO and BPOM. The five sample DPT that is 77,04 IU/DTM – 218,08 IU/DTM PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Pendahuluan. Penyakit difteri masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia bahkan penyakit ini cenderung menjadi penyakit endemis. Berdasarkan laporan WHO tahun 2001, penyakit ini di beberapa negara dunia masih menjadi penyakit endemik dengan gambaran incidence rate sebagai berikut1 : Tabel. Incidence Rate Penyakit Difteri per 100.000 anak usia < 15 tahun di berbagai Negara selama tahun 1990 - 2000 Sumber : WHO , 2001 Global Summary. Sebelum program imunisasi diperkenalkan di negara berkembang tahun 1970, diperkirakan kasus difteri sejumlah 1 juta kasus setiap tahunnya dengan jumlah kematian antara 50.000 – 60.000.3 Kasus difteri dilaporkan telah terjadi penurunan di semua negara bagian sampai tahun 1990 dan eradikasi difteri sangat mungkin dipertimbangkan.2 Di Indonesia jumlah kasus difteri per 100.000 ribu anak usia <15 tahun tahun 1980 sebanyak 3674 (IR = 6.05), gambaran kasus tahun 1990 sebanyak 2200 kasus (IR = 3.35), keadaan tahun 1995 sebanyak 597 kasus (IR = 0.91), dan tahun 2000 terlaporkan 273 kasus (IR = 0.41).1,3 Incidence rate difteri tahun 2000 telah terjadi penurunan dibanding tahun 1990, tetapi hal ini belum dapat dipastikan apakah kasusnya benar-benar turun.. Dari hasil evaluasi kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di Indonesia tahun 1972 diperkirakan setiap tahun ditemukan 28.500 balita menderita difteri tenggorok dan 5000 anak di antaranya meninggal.4 Beberapa hasil identifikasi penyebab terjadinya KLB difteri di Propinsi Jawa Tengah berdasarkan pengamatan dan penyelidikan dilapangan dilaporkan antara lain, di RS dr.Kariadi (tahun 1972), kejadian pada bayi baru lahir yang disebabkan adanya kuman difteri pada alat penyedot lendir dan tenaga yang berhubungan langsung dengan bayi-bayi didapatkan 32 orang positif difteri5. Kejadian luar biasa tahun 1991 di Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang6 sebanyak 23 kasus dengan kematian 8 orang (CFR 44,4%), proporsi umur penderita tertinggi terjadi pada usia 5-14 tahun disusul usia 1-4 tahun, sedangkan status imunisasinya baru diperoleh sampai dengan dosis pertama dan kedua. Kejadian luar biasa difteri di Propinsi Jawa Tengah melalui laporan W1 (KLB) tahun 2000 tercatat 1 kejadian, tahun 2001 12 kejadian, dan tahun 2002 tercatat 53 kejadian. KLB difteri tahun 2001 di Desa Dukuhturi Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes, jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 77 suspek kasus dengan kematian 1 kasus (CFR = 1.3%) pada kelompok umur 0-4 tahun. Angka serangan/attack rate pada berbagai kelompok umur 0-4 tahun (AR 5,4%), 5-9 tahun (AR 26,4%), 10-14 tahun ( AR 10,8%), 15-19 tahun (AR 5,5%). 20-24 tahun (AR 10,0%), >25 tahun (AR 9,6%).Pada saat dilakukan penyelidikan No Negara 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 1 Bangladesh 1.54 801 855 487 285 0.56 0.32 0.19 0.24 0.11 0.04 2 Brazil 1.25 495 276 252 245 0.34 0.36 0.06 0.44 0.40 0.10 3 China 0.13 231 146 124 119 0.03 - 0.01 0.01 0.005 0.006 4 India 2.74 12550 8115 7131 3040 0.65 0.76 0.40 0.41 0.53 0.92 5 Irak 0.13 261 389 239 132 1.55 5.24 3,23 1,97 1,51 0,36 6 Rusia - 1869 3897 15229 39703 113,33 44,82 13,67 5,05 3,07 - 7 Thailand 58 53 40 28 40 0,11 0,31 0,22 0,235 0,31 0,08 8 Vietnam 509 511 497 167 166 0,62 0,53 0,57 0,49 0,31 0,43 9 Philiphina 921 1004 759 323 316 0,64 - 0,50 0,30 0,23 0,31 10 Indonesia 3,35 1342 129 82 64 0,91 0,85 6,63 0.02 0,174 0.035 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com lapangan diperoleh informasi bahwa kasus yang meninggal ada hubungannya dengan keluarga yang menderita sakit tenggorok kronis. Pelaksanaan program imunisasi DPT sampai dosis ketiga di Jawa Tengah telah berjalan antara 10-12 tahun. Selanjutnya dimantapkan dengan pemberian dosis keempat yang dilakukan serentak pada golongan anak sekolah SD kelas satu lewat Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Kejadian difteri tahun 2002 cenderung meluas antara lain Brebes 3 kasus, Kota Pekalongan 1 kasus, Kabupaten Kendal 2 kasus, Kabupaten Pati 2 kasus, Kudus 1 kasus, Kota Semarang 31 kasus, Sukoharjo 1 kasus, Wonosobo 1 kasus, Jepara 1 kasus, Rembang 1 kasus, Grobogan 9 kasus.. Dari 11 Kabupaten yang melaporkan tersebut, laporan adanya kasus difteri selama tahun 2000 s/d 2002 berturut-turut adalah Brebes, Grobogan, Kota Semarang, Kota Semarang tahun 2002 ini memberikan gambaran lonjakan kejadian sangat mencolok dibanding tahun 2001. Sebanyak 53 kejadian pada tahun 2002 tersebut distribusi umur kasus <1 tahun 7,54%, 1-4 tahun 35,84%, 5-9 tahun 43,39%, 10-14 tahun 5,56%, >- 15 tahun 7,54%. Imunisasi difteri telah memberikan bukti dapat menekan terhadap kejadian kematian. Pemberian imunisasi yang luas pada masyarakat dapat memperkecil menularnya penyakit bilamana cakupannya tinggi dan merata sehingga terbentuk imunitas kelompok. Untuk memastikan titer antibodi yang telah terbentuk pada kelompok yang telah diimunisasi DPT/DT, secara laboratorium dapat dibuktikan dengan pemeriksaan serologis yaitu dengan melakukan pengukuran terhadap kadar antitoksin difteri atau Imunoglobulin G (Ig G). Ig G ini dapat ditemukan pada serum darah. Seseorang memiliki daya proteksi minimal bila titernya antara 0,01 – 0,1 IU/ml, dan dikatakan tidak memiliki proteksi terhadap penyakit difteri jika titer antibodinya kurang dari 0,01 IU/ml, sedangkan dengan kadar antibodi diatas atau sama dengan 1,0 IU/ml akan memberikan perlindungan dalam jangka panjang.7. Hasil pengukuran titer antibodi difteri (Ig G) yang dilakukan terhadap 40 anak yang telah diimunisasi DPT sebagai respon KLB difteri diwilayah desa Cikalong Kabupaten Cianjur tahun 2001 setelah 1 bulan pasca imunisasi, Ig G yang terbentuk memberikan hasil yang kurang memuaskan. Sebanyak 25% anak berumur diatas 5 tahun titer antibodinya nol (0). Padahal angka cakupan imunisasi dasar di Desa Cikalong tersebut angka cakupan menunjukkan lebih dari 95%. Dengan memeriksa kenaikan titer antibodi yang timbul setelah pemberian vaksin hal ini dapat dinilai efektifitas vaksin. Di Kota Semarang cakupan imunisasi DPT 1-3 sudah tinggi dalam 8 tahun terakhir, yaitu DPT 1 telah mencapai antara 96,5%-129,9% dan DPT3 antara 88,5%- 118,5%. Proporsi umur kasus difteri tahun 2002 tertinggi pada golongan umur 5-9 tahun ( 43,39%) dan umur 1- 4 tahun (35,84%) yaitu golongan anak sekolah. Penanggulangan KLB difteri di Kota Semarang selama tahun 2002 ditanggulangi sebanyak 29 kejadian, dengan jumlah kontak 1256, diperiksa swab 574 kontak (45,70%), sebanyak 14 (2,43%) hasil swab positif, jumlah kontak diprofilaksis sebanyak 1249 orang dengan dosis erythromycin 40mg/BB diberikan selama 5 hari dan 66 ADS untuk injeksi pada penderita. Kasus yang dirawat disarana kesehatan rata rata menginap selama 6 hari- 15 hari. Upaya pengobatan maupun pencegahan untuk mengantisipasi KLB difteri telah dilakukan di Kota Semarang, juga Kabupaten lain di Jawa Tengah, diantaranya dengan intervensi imunisasi rutin DPT dan Imunisasi booster lewat BIAS, Namun masih didapatkan kejadian penyakit difteri cenderung meluas di daerah Jawa Tengah pada berbagai kelompok usia. Sementara ini pengukuran titer Imunoglobulin G terhadap penyakit difteri belum pernah dilakukan. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Bahan dan cara Besar sampel 221 anak meliputi TK Tri Tunggal, Dian Wacana, TK Supriyadi, SD Dian Wacana, YSKI, Marsudirini, Tlogosari Kulon. Sampel yang diambil darah vena 3 ml. Penetapan sampel penelitian diambil secara acak dan proporsional (proportional random sampling) baik pada anak-anak sekolah play group, TK maupun anak sekolah dasar, dengan perhitungan sampel sebagai berikut 8: Z2 1-1/2 α P (1-P) n = ------------------ d 2 Dengan nilai P = 14.57% (attack rate difteri pada kelompok umur < 15 tahun), nilai Z1-1/2 α 1.96 (interval kepercayaan 95%), dan ketepatan 5% Kriteria inklusi subyek penelitian : Anak sekolah play group, TK, dan SD kelas 1 dan kelas 2 yang berumur 2 – 9 tahun, Orang tua menyetujui anaknya diikutkan dalam penelitian dengan memberikan pernyataan persetujuan (inform consent) Kriteria eksklusi. Anak yang pernah sakit difteri tidak diikutkan dalam penelitian, diganti yang lain secara acak. Analisa data : Data penelitian dianalisis secara deskriptif dan analitik. Data dekriptif untuk menggambarkan karkateristik sampel sedangkan data analitik menggunakan analysis of variance (ANOVA), untuk menguji perbedaan antar kelompok pengamatan dengan menggunakan nilai variasi (varians) yaitu berupa variasi antar kelompok dan variasi masing-masing kelompok pengamatan.9 Analisis penelitian ini menghitung rerata Ig G difteri menurut variabel penelitian.. Hasil penelitian dan pembahasan Titer Ig G Difteri. Hasil pengukuran titer Ig G difteri dalam darah yang dilakukan pada anak sekolah TK dan SD sebanyak 221 anak, memberikan hasil yang bervariasi dari yang belum mempunyai titer antitoksin difteri (0) sampai yang tertinggi titernya sebesar 1,5 IU/ml . Tabel Distribusi titer Ig G Difteri pada Anak sekolah Di Kota Semarang tahun 2003. No Titer IgG Difteri Frekwensi (anak) % 1 0,0 16 7,2 2 0,1 29 13,1 3 0,2 26 11,8 4 0,3 25 11,3 5 0,4 15 6,8 6 0,5 3 1,4 7 0,6 8 3,6 8 0,7 5 2,3 9 0,8 17 7,7 10 0,9 13 5,9 11 1,0 5 2,3 12 1,1 13 5,9 13 1,2 25 11,3 14 1,3 14 6,3 15 1,4 4 1,8 16 1,5 3 1,4 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Sebanyak 7,2% anak Ig G difteri (0 IU/ml) sedangkan 92,8% telah memiliki Ig G difteri mulai dari 0,1 IU/ml sampai 1,5 IU/ml. Rerata titer paling tinggi dicapai di SD Marsudirini (rerata 0,908 IU/ml) dengan standard Deviasi sebesar 0,356 sedangkan rerata titer terendah dicapai di TK Supriyadi (Rerata 0,160 IU/ml) dengan standard deviasi 0,119. Terdapat perbedaan yang bermakna antara terbentuknya titer Ig G difteri dengan lokasi sekolah (F = 12,532; p < 0,05). Tinggirendahnya pada titer maksimum di TK Tritunggal dan TK Islam Supriyadi dapat dijelaskan karena TK Tritunggal dari 62 anak cakupan imunisasi DPT lebih 3 kali sebanyak 90,32 %.sedangkan pada TK Supriyadi dari 20 anak imunisasi lebih 3 kali hanya 5 %. Dengan banyaknya perolehan imunisasi dasar pada anak sekolah membuktikan kadar titer yang terbentuk lebih tinggi. Pemberian berulang pada sistem pembentukan kekebalan secara humoral bermanfaat untuk mempertahankan terbentuknya titer yang protektif. Potensi vaksin DPT Hasil uji potensi vaksin masih memenuhi syarat baik untuk ketetapan WHO maupun Balai POM, akan tetapi terdapat perbedaan hasil potensi vaksin tersebut di Puskesmas Poncol dengan Puskesmas Tlogosari Wetan. Perbedaan terjadi karena saat penyimpanan di Puskesmas, serta suhu pembawaan kelapangan. Berdasarkan suhu penyimpanan vaksin di Puskesmas dalam 3 tahun terakhir di 2 Puskesmas sebagai berikut · Suhu penyimpanan vaksin di Puskesmas Poncol menunjukkan frekwensi terbanyak pada suhu 3-4 derajad masing masing pada tahun 2000, 2001, 2003. · Suhu penyimpanan vaksin di Puskesmas Tlogosari Wetan menunjukkan frekwensi terbanyak pada suhu 6-7 0 C tahun 2000 dan 2001, sedangkan tahun 2002 frekwensi suhu terbanyak pada suhu 7-8 0C. Tabel. Hasil Uji Potensi Vaksin Difteri dalam vaksin Jerap DPT. Oleh BPOM Jakarta Tahun 2003. Asal Sampel Nomor Batch Potensi (IU/DTM) Puskesmas Tlogosari kulon/TK Supriyadi dan SD Tlg-sari. 000242 108,56 ( 86,08 – 136,82 ) Puskesmas Miroto/TK Tri Tunggal 000222 118,94 ( 95,25 – 149,00 ) Puskesmas Halmahera/ SD YSKI 000202 118,56 ( 87,76 – 161,11 ) Puskesmas Tlogosari wetan/ TK dan SD Dian Wacana 000431 151,19 ( 108,19 – 218,08 ) Puskesmas Poncol/ SD Marsusirini 000132 105,23 ( 77,04 – 143,23 ) Vaksin yang dilakukan uji potensi adalah vaksin DPT sisa penggunaan pelayanan di Posyandu. Sebelum vaksin DPT yang akan dikirim untuk dilakukan uji di Jakarta, dilakukan pengamatan terhadap suhu perjalanan vaksin sampai kelapangan dan selesai pelayanan di lapangan. Dilakukan pencatatan suhu perjalanan vaksin tersebut mulai dikeluarkan dari AE di Puskesmas sampai vaksin dikembali-kan ke Puskesmas. Dalam 3 kali (pengamatan) kegiatan ke Posyandu diperoleh gambaran Jumlah 221 100 PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com untuk Puskesmas Poncol vaksin dikeluarkan dari AE Puskesmas suhu antara 3-4 0C, selesai pelayanan suhu mencapai 8 derajad dan vaksin kembali ke Puskesmas suhu 80C. Puskesmas Tlogosari Wetan vaksin dikeluarkan dari Almari Es Puskesmas suhu 7 derajad, selesai pelayanan suhu mencapai 7 derajad dan vaksin kembali ke Puskesmas suhu 7 derajad. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Umur. Hasil penelitian memberikan gambaran semakin bertambahnya umur anak titer akan semakin menurun, dan akan meningkat kembali setelah mendapatkan imunisasi ulangan. Pada gambar berikut dapat terlihat titer difteri pada umur awal tinggi dan menurun terus hingga usia mancapai balita (4-5 Tahun) dengan rerata titer Ig G 0,36 IU/ml, dengan adanya stimulans pada usia 6-7 tahun titer meningkat kembali mencapai (Ig G 0,7 IU/ml) dan akan menurun sejalan tanpa adanya stimulan ulang. Hasil penelitian serologi difteri pada anak anak di Jerman oleh Cathey Mathei, Pierre van Damme et.al tahun 1993-1994 menunjukkan pola yang sama dengan Kota Semarang, yaitu titer antitoksin difteri pada umur muda 0-14 bulan sangat tinggi, selanjutnya titer menurun sangat tajam sampai usia 35-44 bulan (3-4 tahun), dan kembali meningkat pada usia 45-54 bulan, diikuti peningkatan yang cukup tajam pada usia 56- 64 bulan atau sekitar umur >4 - >5 tahun, selanjutnya terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya usia. Peningkatan titer pada usia > 4 - > 5 tahun dikarenakan adanya suntikan booster, dan titer menurun kembali sehubungan sifat kekebalan yang terbentuk pada imunisasi difteri adalah humoral. Bila dikaitkan dengan penggunaan jadwal untuk imunisasi DPT di Jerman adalah umur < 14 bulan diprogramkan DPT 4 kali, selanjutnya booster diberikan pada usia 5- 6 tahun dan 15-16 tahun. Persamaan hasil penelitian serologi difteri pada anak anak di Semarang dan German terhadap turun dan naiknya titer antitoksin difteri dikarenakan banyaknya frekwensi DPT/DT yang diperoleh yaitu dengan imunisasi ulangan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rusmil dan Chairulfallah tahun 2001 di Cianjur terhadap titer difteri pada saat terjadi KLB memberikan gambaran yang sama dengan hasil penelitian di Kota Semarang yaitu prosentase subyek dengan titer tidak protektif makin bertambah setelah 1 tahun pasca imunisasi, sehingga pada usia 5-6 tahun kurang dari 25% yang masih memiliki nilai protektif minimal, dan pada usia diatas 6 tahun prosentase yang memiliki titer protektif minimum maupun lebih, naik kembali. Naiknya titer tersebut pada kelompok umur 6-7 tahun dimungkinkan karena adanya stimulan imunisasi tambahan program BIAS. Hasil penelitian di Kota Semarang, titer tidak protektif pada Kelompok umur muda memiliki risiko 9 kali dibanding umur yang lebih tua (> 7 tahun) bermakna secara statistik. RP : 9,375. CI 95% : 1,261 - 69,691. p < 0,05. Hasil penelitian serologi difteri pada anak-anak di Kota Semarang, German dan Cianjur mendukung teori pembentukan kekebalan humoral yaitu titer akan menurun tanpa didukung dengan penambahan dosis imunisasi. Pada anak umur 6-7 tahun yang memasuki sekolah setingkat SD dengan program BIAS telah mendapat suntikan DT hal ini yang meningkatkan titer. . PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 Titer Ig G 0,9 0,6 0,4 0,4 0,7 0,8 0,7 0,3 2-3 th 3-4 th 4-5 th 5-6 th 6-7 th 7-8 th 8-9 th >9 th Gbr . Rerata titer Ig G difteri menurut Gbr. Rerata titer Ig G Difteri menurut kelompok umur di Kota Sema- kelompok umur anak di Jerman rang tahun 2003. (Sumber : Cathy Mathei, et.al. 1994) Penggunaan jadwal pada daerah yang pernah terjadi KLB seperti dinegara Thailand untuk mempertahankan titer protektif dilakukan pemberian DPT dengan jadwal DPT 1,2,3 diberikan umur 2,4,6 bulan, DPT 4 diberikan umur 18-24 bulan, 4-5 tahun. Dan Boster Td umur 12- 16 tahun. Jadwal imunisasi DPT yang diprogramkan di Kota Semarang DPT diberikan mulai umur 2 bulan lanjutan suntikan ke 2, ke 3 masing masing interval 1 bulan, pada suntikan ke 4 diberikan saat SD klas 1.Dengan riwayat pelaksanaan jadwal program tersebut , setelah dilakukan penelitian didapatkan gambaran titer menurun cukup tajam sampai mencapai usia 4-5 tahun, hal ini bila dikaitkan dengan umur kejadian kasus kasus difteri di Jawa Tengah, gambaran distribusi kasus proporsi terbesar mengelompok pada usia 1-4 tahun 35,84% dan usia 5-9 tahun 43,39%. Jumlah DPT/DT yang diterima, Jumlah/dosis yang didapat bertambah sejalan dengan tambahnya usia. Titer Ig G semakin menurun sejalan bertambahnya usia. Banyaknya imunisasi DPT/ulangannya yang diperoleh dari 221 anak setelah dianalisa secara statistik diperoleh perbedaan yang bermakna antara pembentukan titer Ig G difteri menurut banyaknya imunisasi DPT/DT yang diperoleh (F = 3,153; p<0,05). Pada hasil penelitian di Rusia pada tahun 2000 yang dilakukan oleh Markina, Nekrassova, Filonov, dan Magdei 10,11,,12,13 diungkapkan bahwa status imunisasi merupakan faktor yang berperan untuk terbentuknya titer anti difteri. Penelitian Setiawan dkk (tahun 1993)14di Jakarta kadar protektif anak akan terbentuk setelah diimunisasi 3 kali berkisar antara 68,3-81%. Hasil penelitian di Kota Semarang memberikan gambaran sejalan dengan penelitian. Yang dilakukan di Rusia titer rerata optimal (Ig G:1,200 IU/ml) terjadi dengan jumlah suntikan 6 kali. Berdasarkan perolehan jenis imunisasinya dari 61 subyek yang mendapatkan DPT sampai 3 kali Rerata titer 0,487 IU/ml, sebanyak 75 subyek telah diimunisasi DPT BIAS PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com 3 kali + DT 1 kali rerata titer 0,697 IU/ml, sebanyak 55 subyek telah diimunisasi DT 1 kali Rerata titer 0,825 IU/ml, dan 30 subyek tidak DPT 3 kali & DT rerata titer 0,230 IU/ml. Meskipun titer yang terbentuk semuanya menunjukkan titer yang protektif namun dengan riwayat telah mendapat jenis imunisasi DT menunjukkan titer yang terbentuk paling tinggi Dengan analisa statistik menunjukkan ada perbedaan terbentuknya titer IgG menurut pemberian suntikan ulangan dan bermakna secara statistik. (F.15,763 ; p <0,05). Dengan tabel 2x2, didapatkan anak yang tidak diimunisasi DPT 3 kali dan DT mempunyai risiko tidak protektif 4,95 kali dibanding yang mendapatkan DPT 3kali maupun DT dan bermakana secara statistik. RP 4,95, CI 95% (1,99 – 12,30), p < 0,05). N = 156813 11215911 11189 261284974 256311324 421132 1 Frekuensi imunisasi 1 2 3 4 5 6 7 Kadar titer difteri 2.0 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 Kelompok umur 2-3 tahun 3-4 tahun 4-5 tahun 5-6 tahun 6-7 tahun 7-8 tahun 8-9 tahun 9-10 tahun 187 204 130 29 53 27 35 50 94 Interval waktu diimunisasi. Hasil penelitian di Kota Semarang menunjukkan interval >2 bulan pada pemberian imunisasi dasar titer yang terbentuk paling tinggi (0,726 IU/ml). Orenstein (tahun 1983) dalam penelitiannya, bayi yang diimunisasi dengan selang waktu 2 bulan akan membentuk titer antitoksin yang lebih tinggi dibandingkan dengan selang waktu 1 bulan, namun setelah 1 tahun tidak terdapat perbedaan yang bermakna. dengan interval pemberian yang lebih panjang didapatkan titer yang lebih tinggi. Hasil penelitian di Kota Semarang menunjukkan gejala yang sama dengan hasil penelitian Orenstein yaitu titer yang terbentuk tinggi (0,726 IU/ml) dengan interval >2 bulan, dibanding dengan interval pemberian 1 atau 2 Bulan. Analisa secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna terbentuknya titer Ig G menurut lamanya interval pemberian imunisasi DPT dengan (F = 0,956; p > 0,05). Perbedaan hasil dari Orenstein dengan penelitian di Kota Semarang terdapat pada periode saat pengukuran titer. Di Kota Semarang pengukuran titer dilakukan pada subyek bukan bayi dan pengukuran titer tidak diterapkan 1 tahun dari suntikan dasar. Dengan tabel 2x2, risiko tidak protektif pada pemberian imunisasi DPT dengan interval >2 bln sebesar 2,29 kali dibanding dengan interval 1-2 bulan dan tidak bermakna secara statistik. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Cara pemberian imunisasi. Sebanyak 221 responden, 66 anak di antaranya memberikan keterangan mengalami bengkak di tempat suntikan (dari bengkak kemerahan sampai bengkak bernanah), 136 tidak ada riwayat bengkak setelah disuntik dan 19 anak lupa. Analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara terbentuknya titer IgG dengan teknik penyuntikan (F = 9,093; p < 0,05). Rerata titer yang tidak bengkak/sehat lebih tinggi dibanding rerata titer yang ada riwayat bengkak masing-masing (0,679 IU/ml dan 0,573 IU/ml). Hal ini mendukung bila teknik penyuntikan benar akan mendukung terbentuknya titer yang optimal. Pada kasus dengan timbulnya reaksi abses dingin akan mengganggu pembentukan antibodi yang dapat dijelaskan karena homogenitas vaksin tidak merata dan tidak dapat disalurkan dalam sistim peredaran darah, sehingga tidak dapat membentuk antigenik Analisis tabel 2 x 2, Ratio prevalens tidak protektif pada kelompok anak diimunisasi yang timbul bengkak sebesar 2,47 kali dibanding anak yang diimunisasi tidak timbul bengkak, tetapi tidak bermakna secara statistik (RP = 2,47; CI 95% = 0,78 – 7,81; p > 0,05). Status Gizi. Status gizi anak ditetapkan dengan cara pengukuran Tinggi badan menurut Umur, dimaksudkan untuk mendapatkan keadaan gizi masa lalu, didapatkan sebanyak 9 anak (4,1%) gizi kurang (rerata titer 0,400 IU/ml), 195 anak (88,2%) normal (rerata titer 0,624 IU/ml) dan 17 anak (7,7%) keadaan gizi lebih (rerata Titer 0,535 IU/ml). Rerata titer Ig G difteri yang terbentuk berbeda sejalan dengan status keadaan gizi. Keadaan gizi kurang, titer yang terbentuk lebih rendah dibanding dengan Gizi normal, namun perbedaan status gizi tersebut tidak bermakna secara statistik (F = 1,239; p >0,05). Hasil penelitian di Kota Semarang memberikan hasil akhir yang sejalan dengan penelitian Awdeh dkk (tahun 1977) di Lebanon yang menjelaskan bahwa respon anti terhadap difteri dan tetanus antara berbagai tingkat gizi menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna15. Walaupun status gizi kondisi kurang namun tubuh masih mampu membentuk titer yang protektif (0,400 IU/ml), seperti pendapat para pakar di bidang gizi diungkapkan kalau pembentukan respons antibodi membutuhkan bahan-bahan esensial juga protein. Hal tersebut pernah dilakukan penelitian di negara berkembang pada anak-anak, disebutkan kekurangan nutirsi pada umur muda terbukti berkorelasi dengan kegagalan perkembangan respons imun terutama respons imun selluler. Demikian pula yang dikemukakan oleh Kusmiati DK dan Fatimah Muis, adanya defisiensi mikronutrien akan mengubah kualitas respons imun.16 Pembentukan titer tidak protektif menurut status gizi, dengan analisis tabel 2 x 2, yaitu Rasio prevalens titer tidak protektif pada anak kelompok gizi kurang sebesar 3,36 kali dibanding kelompok anak dengan keadaan gizi baik (RP = 3,36; CI 95% = 0,89 – 12,63; p > 0,05). Kepadatan hunian. Kepadatan huni berkaitan dengan penularan penyakit pernafasan, infeksi kulit dan mata, didapatkan rerata titer Ig G pada padat huni 0,100 IU/ml dan tidak padat huni Ig G 0,610 IU/ml, tidak bermakna secara statistik (F = 1,217; p > 0,05). Gambaran mengenai kepadatan hunian suatu rumah tangga (seminar SKRT 1986) adalah jumlah penghuni dalam keluarga yang dihubungkan dengan luas lantai rumah.Kepadatan hunian sangat berkaitan dengan penularan penyakit pernafasan diantaranya penyakit difteri. Mendasari dari cara penularan penyakit difteri lewat droplet, dengan asumsi bahwa tempat istirahat / kamar tidur sesuai dengan persyaratan rumah sehat yang kurang dari (8m2) berisiko terhadap penularan penyakit difteri. Dari hasil penelitian didapatkan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna antara terbentuknya titer IgG menurut kepadatan hunian dengan F: 1,217 ; p > 0,05. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com Riwayat sakit kulit. Difteri kulit pada manusia dapat menjadi difteri tenggorok dengan adanya kontak antara kulit tangan dengan mulut ataupun lewat benda lain. Kuman difteri dengan tipe mitis dapat menjadi toksik karena adanya peran dari bacteriophage, sehingga kuman yang tidak toksik dapat menjadi toksik Dalam penelitian ini juga dilakukan pengukuran apakah ada perbedaan terbentuknya titer Ig G dengan sakit kulit, dengan mendasari pada prinsip paparan secara alami akan meningkatkan titer. Sebanyak 20 anak yang sakit kulit rerata titer (0,710 IU/ml) sedangkan yang tidak sakit rerata titer (0,598 IU/ml) atau lebih rendah. Analisa secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna terbentuknya titer IgG difteri menurut riwayat sakit kulit dengan yang sehat (F : 1,082; p >0,05). Sebagai ilustrasi hasil penelitian Tan Eng Tie (tahun 1965) di Cempaka Putih Jakarta17 telah berhasil melakukan isolasi kuman difteri. Hasil dari isolasi kuman pada tenggorok dan kulit yang didapatkan tipe mitis var Belfanti (60%) dan C. Ulcerans (40%) yang pada umumnya menyebabkan tonsilitis dan luka kulit dengan sedikit toksemia. Dengan tebel 2x2 titer tidak protektif pada kelompok yang sakit kulit dibanding yang tidak sakit kulit tidak dapat dihitung karena pada kelompok yang sakit kulit 100% adalah protektif.Tabel. 5.30. Riwayat sakit tenggorok. Sebagai reservoir penyakit difteri adalah penderita dan carrier, keduanya merupakan sumber penularan. Pada beberapa kejadian sering pula didapatkan kuman difteri yang virulen ditemukan pada hapus hidung atau tonsil dari orang yang sehat dan tidak memperlihatkan gejala sakit, karena infeksi kuman akan mengaktifkan terbentuknya reaksi antara antigen antibodi, Selama tubuh memiliki antibodi yang cukup infeksi pada tubuh tidak akan berlanjut menjadi sakit. IgG memiliki sifat opsonin yang efektif. Hasil pemeriksaan terhadap kondisi tenggorok yang dilakukan pada saat survei dilaksanakan didapatkan 82 anak yang sakit titer rerata 0,541 IU/ml sedangkan yang sehat 139 dengan rerata titer 0,647 IU/ml Tidak ada perbedaan yang bermakna terbentuknya titer menurut sakit tenggorok (F 2,707, p > 0,05). Kesimpulan. Sebanyak 7,2% anak dengan titer yang tidak protektif IgG nol agar ditindak lanjuti dengan pemberian imunisasi dasar, sebanyak 26,2% dengan titer IgG >0,1-1,0 IU/ml ditindak lanjuti dengan imunisasi ulangan, sedangkan yang telah memiliki IgG >1,0- 1,5 IU/ml imunisasi ulang dijadwalkan dalam 5 tahun mendatang. Untuk perlindungan terhadap penyakit difteri pada kelompok risiko penambahan dosis imunisasi diperlukan untuk meningkatkan titer yang protektif. Dengan imunisasi DPT/DT kekebalan yang terbentuk bersifat humoral, dengan demikian stimulasi penambahan dosis ulangan sangat berperan dalam mempertahankan titer. Di Kota Semarang titer IgG menurun tajam pada usia mencapai 4-5 tahun sedangkan distribusi kasus difteri di Jawa Tengah proporsi terbesar mengelompok pada usia 1-4 tahun 35,84% dan usia 5-9 tahun sebesar 43,39%. Saran . Disarankan pemberian imunisasi DPT dan DT mengacu jadwal yang direkomendasikan dari IDAI tahun 2000 Titer yang sangat protektif dapat ditempuh dengan jadwal Imunisasi dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan dengan interval pemberian 4-6 minggu, Ulangan DPT 4 diberikan 12 bulan setelah DPT3 yaitu usia 18-24 bulan selanjutnya DPT 5 diberikan pada saat masuk usia sekolah yaitu umur 5–7 thn. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com DAFTAR PUSTAKA 1. WHO, 2001, Vaccine Preventable Diseases. Monitoring System, 2001 Global Summary Department of Vaccines and Biologicals, World Health Organization, Geneva. 2. WHO, 1984, Expanded Programme for Vaccine and Immunization, Feasilibility. 3. Direktorat Epim – Kesma, 2001, Data Surveilans Tahun 2000, Direktorat Jenderal PPM & PL Depkes RI, hal. 48-51. 4. WHO, 1999, WHO Recommended Surveillance Standards, Second Edition, p.41-44. 5. Sarjono, Tansu, dan Hariyono, Kekebalan Terhadap Difteri pada Bayi Baru Lahir dan Hubungannya Dengan Ibu di RS Dr. Kariadi, Semarang dalam Bulletin Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang, hal.40-43. 6. Kantor Wilayah Dep. Kes, 1991, Laporan KLB difteri di Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah, Kanwil Depkes (Unpublished). 7. Iain, R.B. Hardy, 1998, Diphtheria in Bacterial Infection of Humans, Epidemiology and Control, Alfred S. Evans And Philip S. Brachman (Editor), Third edition, Plenum Medical Book Company, New York, p.253-264/7 8. Lemeshow, Stanley, Hosmer Jr, David W., Klar, Janelle, & Lwanga, Stephen K, 1997, Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Penyunting Hari Kusnanto, Gajah Mada University Press. 9. Pratiknya, Ahmad Watik, Dasar Dasar Analisis Statistik 1991, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Jogyakarta. Hal 77-84. 10. Markina SS, Maksimova NM, Vitek CR, Bogatireva EY, Monisov AA. Diphteria in the Russian Federation in the 1990s, J Infect. Dis. 2000; 181 (suppl): S27-34. 11. Nekrassova LS, Chudnaya LM, Marievski VF, Oksiuk VG, Gladkaya E, Bortnitska II, et al. Epidemic diphtheria in Ukraine, 1991-1997. J Infect. Dis. 2000; 181 (Suppl):S35-40. 12. Filonov VP, Zakharenko DF, Vitek CR, Romanovsky AA, Zukhovski VG. Epidemic diphtheria in Belarus, 1992-1997. J Infect. Dis. 2000;181(suppl):S41-46. 13. Magdei M, Melnic A, Benes O, Bukova V, Chicu V, Sohotski V. Epidemiology and control of diphtheria in the republic of Moldova, 1946-1996. J Infect Dis. 2000;181(suppl):S47-54. 14. Setiawan M, Sudiyanto, Almusa D, Prijanto M. Kadar antibodi bayi yang mendapat imunisasi difteri, pertusis dan tetanus di RSCM, Puskesmas dan Posyandu. Bul. Penelitian Kesehatan, 1993;21(2):40-52 15. Suyitno, Hariyono, 1983, Prevalensi Kurang Kalori Protein Anak Balita, Respon Antibodi, dan Efek Samping Vaksin Difteri, Tetanus dan Pertusis (DTP) di Kecamatan Mijen Semarang Disertasi, Universitas Diponegoro, hal.41-45 16. Kusmiyati DK dan S. Fatimah Muis, 2001, Pengaruh Gizi terhadap Daya Tahan, Media Medika Indonesiana, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Vol 36, no 1. 17. Mulyati Priyanto.Dkk, 1986, Difteri pada penyakit Kulit di Cempaka Putih dan Tanjung Priok, Buletin Penelitian Kesehatan Volume 14, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Dep.Kes RI. PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | R Medicine > R Medicine (General) |
Divisions: | School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Epidemiology |
ID Code: | 4927 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 21 Jan 2010 13:46 |
Last Modified: | 21 Jan 2010 13:46 |
Repository Staff Only: item control page