Rahmiaji, Lintang Ratri (2012) Perempuan dan Kekerasan Atas Nama Cinta. Suara Merdeka . ISSN 0215-5125
Rich Text (RTF) 55Kb |
Abstract
Barangkali jatuh yang menjadi tren sepanjang masa, adalah jatuh cinta. Jatuh cinta menjadi seperti kebutuhan pokok manusia. Jika media massa diyakini menjadi fourth estates, maka cinta, telah menjelma menjadi fourth basic needs. Lalu mengapa ini jadi soal? Lebih fokusnya lagi persoalan perempuan? toh bukan penyakit yang harus dilawan habis-habisan. Tapi sesungguhnya cinta diasumsikan sebagai salah satu penyebab utama hidupnya patriarki selama beratus tahun peradaban. Sebagian besar karena cinta, perempuan memilih mengalah dalam menghadapi kekerasan dalam rumah tangga. Disinilah awal mula penindasan fisik maupun simbolik pada perempuan, yang hadir atas nama cinta. Kekerasan Simbolik Banyak pihak serta merta berasumsi, setelah setara dalam pendidikan dan pekerjaan, maka perempuan menjadi merdeka. Nyatanya, masih ada selubung-selubung kesadaran palsu yang melingkupi pemikiran perempuan. Soal cinta ini memang tampak absurd bagi rasionalitas. Bayangkan saja, dalam sebuah blog, seorang dokter kejiwaan mengungkap bahwa salah satu pasiennya mengalami kebutaan histeria, artinya reaksi tubuh yang membutakan diri untuk menghilangkan trauma akibat KDRT yang dialaminya, dan anehnya perempuan ini memilih tetap diam agar rumah tangganya “baik-baik” saja. Jika kekerasan fisik adalah jenis yang kasat mata, maka perempuan mungkin tidak sadar telah mengalami pula kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah mekanisme berkomunikasi yang dijiwai oleh relasi kekuasaan tidak setara, di mana perempuan adalah salah satu kaum minoritas yang sering tersubordinasi. Disinilah bahasa, seperti pemikiran Bordieau, berjalin kelindan dengan kekuasaan. Siapa yang menentukan bahasa dimaknai sebagai apa, dialah yang berkuasa. Hal ini ditujukan untuk melestarikan pemikiran utama kaum dominan, dalam hal ini laki-laki. Kekerasan simbolik, meminjam pemikiran Gramsci hadir sangat hegemonik, artinya sebegitu halusnya praktik dominasi yang terjadi menyebabkan perempuan tidak menyadari bahkan ternaturalisasi tanpa perlawanan. Bahasa kemudian menjadi petunjuk bagi perempuan mengenai apa yang boleh atau tidak untuk dilakukan. Pada saat kita menerima simbol “Istri”, maka melekat pula tuntutan norma sebagai istri dalam budaya patriarki. Kita tentu akrab dengan istilah konco wingking, atau jika itu dianggap terlalu klasik, maka kini tentu istilah “suami sebagai imam” telah diamini banyak perempuan. Meyakini suami sebagai imam menimbulkan konsekuensi yang secara langsung mensubordinasi perempuan. Apapun urusan dikembalikan pada “kebaikan” suami. Imam, berarti menempatkan istri sebagai pengikut. Cinta kemudian direduksi sebagai kepatuhan, ketidakberdayaan, sebagian meyakininya sebagai keikhlasan, nrimo ing pandum. Setelah menikah, perempuan seolah tidak butuh lagi pernyataan cinta, mereka adalah robot-robot yang siap sedia melayani kebutuhan rumah tangga. Demi cinta, istri harus ada di rumah sebelum suami pulang kerja, istri harus memastikan ada makanan (yang enak), rumah bersih, anak-anak terurus, dan masih berenerji melayani suami di malam hari. Cinta ini membatasi istri untuk mengikuti seminar, membeli buku-buku, melakukan penelitian di luar kota, promosi jabatan (yang menjadikannya super sibuk di kantor), atau bahkan membaca buku bisa dianggap sebagai kemewahan bagi sebagian perempuan. Beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga (baik fisik, seksual, psikis, juga ekonomi) hadir secara langsung maupun tidak langsung karena “cinta” perempuan. Memposisikan sebagai subordinat, membuat laki-laki merasa berhak melakukan apapun yang menurutnya wajar, lumrah, di-boleh-kan, dst. Seperti memukul istri, berpoligami, memaksa berhubungan meski istri tidak menginginkannya, menyerahkan semua urusan rumah tangga, membatasi ruang gerak, sampai praktik-praktik trafiking (penjualan manusia). Diamnya para istri, melanggengkan penjajahan yang hadir atas nama cinta. Lebih parahnya, suami tidak perlu membuat pakta tertulis tentang itu, karena perempuan sedemikian patuh bagaikan dalam penjara panoptikon. Bahkan beberapa perempuan mengungkapkan tidak pernah membayangkan laki-laki selain suaminya, ketika bercinta. Luar biasa, bahkan di ruang imajipun, perempuan tidak bisa merdeka. Satu hal yang turut menyumbangkan penindasan atas nama cinta ini, bahwa perempuan memiliki konsep luhur tentang cinta yakni menjaga keutuhan, harmoni, dan kebersamaan. Lebih dari cinta, cita-cita ini melebur menjadi bagian dari harga diri, yang tentu juga diperkuat oleh lingkungan sosial dan budaya, Perempuan merasa malu jika tidak bisa menjaga keutuhan rumah tangga, maka demi cinta, ia rela mikul dhuwur mendhem jero. Meskipun suami “rusak”, dialah imam dalam keluarga, habis perkara. Manajemen Cinta Konon katanya jika sedang merasakan cinta, maka hilanglah sudah akal sehat, padahal akal sehat tidak hilang tapi kita sengaja menghilangkannya karena ada harapan. Harapan bahwa pasangan akan berubah seperti yang kita inginkan. Perempuan baru tersadar ketika badan sudah lebam, suami menikah lagi, harta benda lenyap, terkena aids, dan berbagai masalah lain yang muncul akibat kesadaran palsu, keyakinan pada mitos tentang cinta. Erich Fromm, filsuf dan psikolog, penulis “The art of Loving” menampar saya dengan kesadaran bahwa tidak ada yang namanya jatuh cinta, atau tak berdaya karena cinta. Hal ini karena Fromm meyakini cinta itu adalah keterampilan (skill) yang bisa dipelajari dan dikembangkan, artinya bisa diatur (manageable). Seorang teman mengistilahkannya dengan On dan Off, maksudnya cinta itu bisa “dihidupkan” dan “dimatikan” sesuai keinginan kita. Menjadi lilin yang mengorbankan dirinya demi menerangi yang lain juga bukan cinta, ini bukan soal keihklasan, ini soal kejernihan berpikir. Karena perempuan yang juga mencintai dirinya, akan lebih mencintai kehidupan.
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | H Social Sciences > H Social Sciences (General) |
Divisions: | Faculty of Social and Political Sciences > Department of Communication |
ID Code: | 43840 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 07 Oct 2014 09:27 |
Last Modified: | 07 Oct 2014 09:27 |
Repository Staff Only: item control page