Rahmiaji, Lintang Ratri (2011) Rekonstruksi Wacana Cantik. Suara Merdeka . ISSN 0215-5125
Microsoft Word 19Kb |
Abstract
Jika anda memiliki waktu senggang cobalah sesekali naik angkutan umum, karena seringkali ada percakapan menarik yang menginspirasi. Diantaranya adalah dialog antara dua pelajar SMU laki-laki mengenai gambaran ‘sasaran’ malam minggunya. Ada dua nama yang tersebut. Si teman bertanya “Seperti apa si A?”. Dia menjawab “ Cantik. Putih”. Si teman bertanya lagi “ Kalo si B, cantik nggak?”. Tampak berpikir dulu, kemudian menjawab singkat “Manis.” Dalam hati saya tahu pasti si B kulitnya coklat atau sawo matang. Bukanlah hal aneh lagi jika kita melihat salon kecantikan, spa, gym, dan semacamnya sibuk melayani gadis-gadis belia yang siap menghamburkan ratusan ribu rupiah dalam tempo sekejap. Sebagai contoh, Klinik Estetika, Semarang menjadi salah satu bukti kerelaan perempuan untuk memenuhi tuntutan globalisasi yang menyeragamkan definisi cantik. Rata-rata hampir 300 orang dari seluruh Jawa, mayoritas perempuan, setiap hari, bersedia menunggu berjam-jam, bahkan sehari penuh untuk konsultasi kecantikan kulit. Masih ditambah dengan biaya pembelian produk minimal 400 ribu rupiah setiap bulannya, belum termasuk ongkos peeling (pengelupasan), cottering (pengambilan tahi lalat dan kutil), facial (pembersihan jerawat dan komedo), bedah laser, dan injeksi pemutihan kulit sesuai permintaan. Beberapa pihak mengatakan bahwa kecantikan itu relatif bagi tiap orang, tapi, nyatanya secara sadar atau tidak sadar ada banyak kekuatan, seperti media massa, pemerintah, produsen alat-alat kecantikan, organisasi perempuan, dan sebagainya, yang mencoba memberikan definisi dan pola pikir sendiri tentang apa yang disebut (perempuan) cantik itu. Ayu Utami dalam Parasit Lajang menegaskan putih per definisi adalah cantik. Definisi cantik memang cenderung diasosiasikan dengan putih. Hampir tidak pernah perempuan berkulit coklat dibilang cantik. Alih-alih cantik adalah manis, menarik, eksotik dan lain-lain. Saya jadi teringat dengan parodi Srimulat, mereka selalu mengidentifikasikan cantik dengan perempuan yang berkulit putih, begitu putihnya sehingga kalau minum kopi, hitam kopi akan tampak mengaliri leher. Namun parodi juga menyiratka nilai serius. Kriteria putih sebagai kecantikan yang ideal memang berlaku sungguhan. Konstruksi Wacana Cantik Apabila Karl Marx menjelaskan bagaimana matter menciptakan mind, maka Berger dan Luckmann menjelaskan bagaimana mind menciptakan matter melalui teori konstruksi sosial. Naomi Wolf dalam bukunya, Beauty Myth (1900), menyebutkan setelah perempuan menjadi lebih mandiri, terdidik, dan memiliki kekuatan ekonomi sendiri, kekuatan patriarki menguasai perempuan melalui senjata terakhirnya yang sampai kini tak terpatahkan: mitos kecantikan. Menurut mitos perempuan dikondisikan untuk selalu tampil indah (baca: cantik). Untuk memenuhi mitos tersebut, perempuan rela mengeluarkan banyak biaya menjaga penampilan fisiknya. Mitos kecantikan merupakan salah satu hasil belajar manusia untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, khususnya hubungan biologis. Hubungan ini apabila dilihat secara material, badan merupakan tujuan. Seperti material lainnya manusia memeberi nilai material dengan harga (standar). Agaknya, kecantikan dijadikan standar penilaian bagi perempuan. Featherstone menjelaskan mitos ini disosialisasikan sehingga terbentuk pemahaman: Laki-laki melihat perempuan. perempuan harus menyadari bahwa ia sedang dilihat laki-laki Sepanjang sejarah peradaban, tubuh perempuan dianggap sebagai objek kecantikan. Bagaimana perempuan menilai tubuhnya berkaitan dengan bagaimana lingkungan sosial dan budaya di luar dirinya menilai tubuh perempuan.Artinya, perempuan akan selalu berusaha menyesuaikan bentuk tubuh mereka dengan kriteria masyarakat tentang konsep kecantikan itu sendiri (Jurnal perempuan edisi 15, 200 : 10). Merujuk pada penelitian Julian Rotten 1966, masyarakat kolektif itu dikatakan memiliki locus of control, yang lebih eksternal, dia merasa bahwa, eskternal itu dalam arti lingkunganlah yang mengontrol saya, dan bukan saya yang mengontrol lingkungan. Jika kita berbicara tentang keinginan menjadi cantik, berdasarkan Teori Maslow mengenai motif pemenuhan kebutuhan manusia, yakni kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk diterima, maka cantik termasuk dalam kebutuhan akan penghargaan, bahwa seseorang ingin ‘dilihat’. Terciptalah kebutuhan “Aku ingin dihargai sebagai orang yang cantik.” Pengalaman Aquarini, dalam bukunya Becoming White menjelaskan kondisi tersebut, “suatu waktu dalam kehidupan saya, menjadi putih adalah sangat penting sehingga saya memutuskan untuk menghentikan berenang, drumband, dan mendaki gunung, ketika saya dituntut untuk menjadi putih agar dianggap cantik, disukai, mempunyaipacara, dan agar menjadi "normal" secara sosial ". Proses penerimaan wacana dominan secara sukarela ini disebut dengan Hegemoni. Hegemoni dijalankan oleh kelompok tertentu untuk memenangkan pertarungan sosial demi mencapai kepentingan tertentu. Menurut Gramsci, hegemoni bekerja melalui konsensus, berbeda dengan indoktrinasi atau manipulasi, salah satu kekuatan hegemoni adalah menciptakan wacana dominan tertentu melalui penciptaan kesadaran palsu yang dikemas menjadi common sense, sehingga dipahami sebagai kebenaran yang kemudian diterima dengan sukarela. Sementara itu, Stuart Hall, konsensus tidak timbul secara alamiah dan spontan tetapi terbentuk lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi. Realitas diproduksi oleh representasi dari kekuatan-kekuatan dominan yang ada dalam masyarakat. Wacana berperan sebagai arena pertarungan sosial untuk mendefinisikan realitas, dimana semuanya diartikulasikan melalui bahasa. Jadi mengapa cantik harus dipahami sebagai putih, tinggi, langsing, bukan sebagai gemuk, hitam dan pendek, adalah hasil dari pertarungan sosial memperebutkan makna cantik, sehingga penafsiran cantik adalah putih, tinggi, langsing lebih diterima dan dianggap benar, sedangkan penafsiran cantik adalah gemuk, hitam dan pendek dianggap menyimpang. Disinilah kemudian peran media massa menandakan realitas dalam pandangan tertentu. Majalah perempuan telah lama dituding sebagai media yang turut menciptakan dan mengukuhkan konsep kecantikan yang tidak realistis. Apabila kita membaca “Gadis” memang bisa merasakan bagaimana wacana cantik disuntikkan sedini mungkin kepada anak perempuan, terutama melalui iklan.Penelitian terhadap 1000 orang siswa SMU Al.Azhar 01 Jakarta Pusat menunjukkan hasil bahwa adanya kecenderungan siswa mendukung konsep kecantikan kulit yang ditampilkan dalam iklan, dalam hal ini produk Pond’s White Beauty (Noverini, 2002: 41). Merekonstruksi Wacana cantik Tubuh perempuan ideal telah mengalami sejumlah transformasi, namun masih terus dibongkar, dikonstruksi, direkonstruksi, dan dieksplorasi besar-besaran. Pada periode renaisance tubuh ideal adalah yang tergambar pada lukisan minyak saat itu, penuh dan bulat. Pada awal abad ke-19 kecantikan didefinisikan dengan wajah dan bahu yang bundar dan tubuh yang montok. Sementara itu, memasuki abad ke-20 kecantikan identik dengan perempuan dengan pantat dan paha besar. Di Afrika dan India umumnya perempuan dianggap cantik jika ia bertubuh montok terutama ketika ia telah menikah, sebab kemontokannya menjadi lambang kemakmuran hidupnya. Tahun 1965 model Inggris, Twiggy, menghentak dunia dengan tubuhnya yang tipis. Di Indonesia perubahan nilai-nilai kecantikan belum genap 50 tahun. Sampai awal tahun 1970-an, anak-anak sekolah masih belajar peribahasa seperti "rambutnya bak mayang terurai" untuk menunjukkan rambut yang panjang dan ikal adalah rambut yang indah. Untuk orang Jawa sampai tahun 1980-an masih dikenal istilah nawon kemit, artinya bentuk tubuh seperti lebah yang pinggangnya sangat ramping tetapi dengan bentuk pinggul penuh berisi. Representasi tubuh ideal yang kini diwakilkan oleh Barbie, adalah tubuh ideal yang tidak akan mudah dicapai oleh siapapun, karena kita lahir berdasarkan genetika. Namun media terus menerus mengatakan Barbie adalah ikon tubuh yang ideal. Meluruh sudah definisi cantik yang mengatakan rambutnya bak mayang terurai, matanya bak bintang timur, pipinya bak sepau dilayang, atau bibirnya bak merah delima. Sekarang tidak berlaku lagi ikal mayang, justru tren mengatakan rambut indah adalah yang lurus sehingga semua orang bergegas untuk direbonding. Hal ini membuka kemungkinan bahwa wacana cantik, meskipun masih terikat dengan budaya patriarki, mengalami perubahan cara pandang sesuai dengan perkembangan kemampuan berpikir manusia. Beberapa orang bisa menyadari bahwa cantik itu tidak selalu membutuhkan justifikasi orang lain, karena memang perempuan tidak terlahir bergantung pada orang lain untuk diakui cantik, tapi lebih disebabkan oleh tuntutan lingkungan yang membuat seseorang jika tidak sanggup memenuhi akan merasa terancam, merasa tidak aman. Hal ini senada dengan penjelasan Ninik L. Karim, bahawa cantik bisa muncul dalam penghargaan terhadap diri sendiri. Pada masyarakat individualistik, hal tersebut bisa dengan mudah muncul, namun pada masyarakat kolektivistik, seperti masyarakat Indonesia, kesempatan untuk menghargai diri sendiri sangat kecil. Hegemoni sendiri selalu bekerja dalam proses yang cair, Stuart Hall menyebutnya sebagai ‘ theathre of struggle"dimana di dalam masyarakat yang memiliki sifat dinamis, perjuangan antar ideologi yang berkontradiksi selalu berubah secara konstan. Proses ini berlangsung terus menerus yang kemudian menimbulkan pembentukan keseimbangan yang labil antara kepentingan kelompok yang kuat dengan kepentingan kelompok yang lebih rendah, keseimbangan dimana kepentingan kelompok yang dominan tetap berlaku. Melihat dari perspektif Gramscian, media massa diinterpretasikan sebagai instrumen untuk menyebarkan dan menguatkan hegemoni dominan, namun demikian media massa juga dapat digunakan untuk menyebarkan ide-ide yang meng-counter hegemoni tersebut. Ideologi dalam media yang dipengaruhi produksi sosial, produksi media dan sistem budaya, menyediakan sebuah pemikiran bagi anggota komunitasnya. Anggota komunitas sebagai khalayak media seolah-olah menerima dan menjadikannya sebagai pengetahuan mereka. Akan tetapi, seringkali terjadi hambatan dalam proses penerimaan tersebut, sebagai contoh ketika konstruksi cantik yang berisi konsep-kansep dominan seperti berkulit putih dan bertubuh langsing, diterima oleh khalayak yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka akan menemui hambatan secara biografis, biologis, dan sosial. Khalayak yang seperti ini bisa saja membentuk definisi tandingan mengenai konstruksi cantik, sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Kelompok ini akan memulai proses sosialisasinya sendiri. sosialisasi ini akan terjadi jika ada suatu tempat (wadah) yang berfungsi sebagai media pendistribusian definisi tandingan. Jadi, ketika individu-individu kehilangan rasa aman atau mengalami alienasi, maka ancaman terhadap struktur objektif mulai muncul, biarpun hanya dalam kesadaran subjektif, kenyataan yang dipahami dalam kesadaran individu. Inilah yang disebut proses re-sosialisasi atau rekonstruksi. Kata reconstruction, menurut kamus Oxford Advance Learners (1995)berarti, to create a full description of something that has existed or happened by using facts thata re known. Proses rekonstruksi ini dilakukan oleh media massa, organisasi perempuan, bahkan oleh kekuatan industri kecantikan sendiri. Masing-masing berusaha membangun suatu makna baru atas kecantikan. Tentu saja, melalui perang wacana, supaya ide, atau ‘ideologi’ baru atas kecantikan bisa diterima dan sampai kepada khalayak. Jika pada masyarakat telah terbentuk suatu konstruksi sosial tentang sesuatu, maka proses rekonstruksi bisa membentuk konstruksi sosial yang baru diantara komunitas tertentu yang melakukan resosialisasi. Dengan kata lain akan terjadi sebuah rekonstruksi makna yang akan dilakukan individu ketika mulai merasa tidak nyaman dengan apa yang diandaikan orang tentang dia. Maka bukan tidak mungkin, jika kita konsisten, dapat lantang menyerukan : putih itu cantik, tidak putih juga cantik. (Tulisan ini sudah dimuat di Suara Merdeka, Rubrik Wacana, Kamis, 21 April 2011)
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | H Social Sciences > H Social Sciences (General) |
Divisions: | Faculty of Social and Political Sciences > Department of Communication |
ID Code: | 43838 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 07 Oct 2014 09:24 |
Last Modified: | 07 Oct 2014 09:24 |
Repository Staff Only: item control page