DIASPORA SUKU BUGIS DI WILAYAH TANAH BUMBU, KARESIDENAN BORNEO BAGIAN SELATAN DAN TIMUR TAHUN 1842-1942

MANSYUR, Mansyur (2012) DIASPORA SUKU BUGIS DI WILAYAH TANAH BUMBU, KARESIDENAN BORNEO BAGIAN SELATAN DAN TIMUR TAHUN 1842-1942. Masters thesis, Program Pascasarjana Undip.

[img]
Preview
PDF
339Kb
[img]
Preview
PDF
888Kb
[img]
Preview
PDF
745Kb

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui diaspora orang Bugis di wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur tahun 1842-1942. Penelitian tesis ini merupakan kajian Sejarah Maritim dengan pendekatan Antropologi. Dalam hal ini mengkaji bagaimana proses dan kontinuitas diaspora Bugis di wilayah Tanah Bumbu. Penelitian dilakukan menggunakan metode sejarah dengan tahapan penelitian yakni heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Teori yang digunakan adalah teori diaspora klasik dari Safran. Dalam penelitian ditemukan bahwa diaspora Bugis ke wilayah Tanah Bumbu di Karesidenan Borneo (Kalimantan) bagian Selatan dan Timur, “embrio”-nya terbentuk pada abad ke-18 dan berlangsung secara intensif pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20. Kesinambungan diaspora Bugis ke wilayah ini berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama atau diaspora awal berlangsung sejak pertengahan abad ke-19 atau sekitar tahun 1842. Faktor utama yang mendorong terjadinya diaspora Bugis ke Borneo (Kalimantan) adalah naluri merantau atau sompe. Kemudian meningkatnya pelayaran dan perdagangan di “daerah otonom” Bugis di Kalimantan bagian tenggara (Pagatan, Cantung dan Batulicin) turut menunjang “kesinambungan” diaspora dalam kurun waktu tersebut. Jaringan diaspora Bugis di Kalimantan bagian tenggara terbentuk karena peranan pionir passompe’ (perantau) Bugis ke wilayah Borneo (Kalimantan), yakni La Maddukelleng Arung Singkang dari Wajo, Sulawesi Selatan pada kurun waktu sebelumnya yakni tahun 1726. La Madukelleng berkelana ke daerah Kerajaan Pasir dan akhirnya menjadi raja di Kerajaan Pasir. Kemudian jaringan diaspora Bugis “menyebar” ke wilayah Kalimantan bagian tenggara (Tanah Bumbu), pada tahun 1735-an. Dipelopori oleh matoa Puanna Dekke yang membuka daerah Pamagatan menjadi Kerajaan Bugis Pagatan tahun 1735-1800, atas izin dari Sultan Banjar, Panembahan Batu. Pionir Bugis lainnya, Andi Paseere atau Arung Turawe juga berperan dalam membuka wilayah Cantung, Batulicin dan Sebamban tahun 1775. Proses diaspora ini mencapai puncaknya pada tahun 1842-an dengan meningkatnya pelayaran dan perdagangan di wilayah Pagatan, Cantung dan Batulicin dengan wilayah lainnya yakni ke Jawa dan Sulawesi Selatan. Kemudian kesinambungan diaspora ini juga didukung makin kokohnya “hegemoni” Kerajaan Bugis Pagatan. Selanjutnya, diaspora Bugis ke Kalimantan tahap kedua berlangsung sejak awal abad ke 20 atau awal tahun 1900-an. Dalam jangka waktu empat dasawarsa, yakni tahun 1900 hingga tahun 1942, terjadi peningkatan intensitas migrasi kelompok etnik Bugis-Makassar ke Kalimantan dalam jumlah yang lebih besar. Migran ini terutama dari daerah Bone dan Wajo. Alasan utama migran Bugis melakukan mallekke dapureng (migrasi menetap) adalah faktor ekonomi. Pada umumnya migran berasal dari kalangan petani dan nelayan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Selain itu, diaspora juga disebabkan kondisi politik di Sulawesi Selatan pada tahun 1906 yang tidak kondusif karena pemerintah kolonial Belanda sudah menguasai hampir seluruh daerah di Sulawesi Selatan. Dampak diaspora pada abad ke-20 ini adalah munculnya kampoeng-kampoeng Boegis di sepanjang pesisir Pagatan, Tanah Bumbu. Munculnya tradisi Mappanretasi dan migrasi musiman nelayan Pegatang atau Pappagatang pada tahun 1920-1930-an. Kemudian terdapat “industri” pembuatan perahu di Kampung Pedjala, Pagatan tahun 1912. Keberadaan perusahaan Pertambangan Batubara Pulau Laut pada tahun 1913, turut menjadi faktor penarik tidak langsung bagi migrasi orang Bugis di daerah ini. Dalam kurun waktu tahun 1930, keberadaan Ponggawa (pengusaha ikan) Bugis turut memberikan andil terhadap perkembangan ekonomi di Tanah Bumbu di tengah depresi ekonomi tahun 1930-an. Usaha perikanan ini dibangun oleh orang Bugis yang berasal dari strata sosial “to-maradeka” (orang merdeka) dan “anakarung” (bangsawan/elit tradisional). Karena faktor depresi ekonomi tahun 1930, orang Bugis di Pagatan juga mengembangkan sistem pertanian bahuma dan membuat kopra yang juga menjadi bagian dari strategi adaptasi ekonomi Bugis. Keberadaan ponggawa (pengusaha ikan) dan sawi (pekerja/buruh perikanan) dalam jaringan ekonomi ini, menciptakan hubungan patron-klien atau biasanya disebut ajjoareng-joa’. Sayangnya hubungan patron klien ini mulai pudar pada tahun 1930-an. Kesinambungan diaspora orang Bugis di Tanah Bumbu dari abad ke-18 hingga abad ke-20, terpelihara berkat peranan aspek pelayaran dan perdagangan. Armada perahu layar Bugis menunjukkan peranannya dalam interaksi pelayaran dan perdagangan antara orang Bugis di wilayah Tanah Bumbu dengan daerah asal di Sulawesi Selatan. Armada perahu tradisional ini seperti pinisi, pelari maupun sekonyer. Hubungan perdagangan Kalimantan-Sulawesi pun makin ramai seiring dengan dilaluinya jalur Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur (Pagatan, Batulicin dan Kotabaru) ke Sulawesi bagian selatan oleh armada Koninklijk Paketvaart Maatshappij (KPM) milik pemerintah Hindia Belanda sejak awal abad XX. The purpose of this study is to study the Bugis diaspora to the southeastern part of Borneo and its contiunity during the period 1842-1942. The issues to be examined includes the relationship between the Bugis diaspora and the processes and sustainability especially in Tanah Bumbu region, Residency of Zuider- en Oosterafdeeling van Borneo in during 1842-1942. Besides, this research also tries to answere of why the Bugis people could maintain its identity in the interaction with other tribes in the area of the Tanah Bumbu in 1842-1942. This research can be categorized as maritime history. In this case, for examining of how the relationship between the Bugis diaspora and the processes and sustainability in Tanah Bumbu, Southeastern Borneo, historical method was applied. The method comprises four stages, i.e. heuristic, source criticism, interpretation, and historiography. Approach used in this study is anthropological approach by using theory of classical diaspora especially from Safran. The study found that there are two stages to the Bugis diaspora in Borneo (Kalimantan) region. The first phase occurred after the fall of Makassar by the VOC in 1669. Diaspora was pioneered by the prince and some of his followers who were also descendants of the nobility. In addition to political factors, the diaspora was also motivated by Bugis people instinctively wande or sompe'. The destination area of Bugis diaspora in Borneo, were the Pasir and Tanah Bumbu region. In order to maintain its existence, with the permission than Sultan of the Banjarmasin kingdom, Bugis migrants established the Pagatan kingdom in 1750. Furthermore, the Pagatan kingdom would be the "home base" of Bugis migrants who migrated from South Sulawesi to the Tanah Bumbu region. The second phase of diaspora occurred in the early of 1900s. It closely linked with the expansion of Dutch colonial rule in South Sulawesi. Then the economic factors, namely to find more areas of potential in the field of fisheries, agriculture and plantations. This causes the formation of diaspora identity to Ugi' the emergence of kampoeng-kampoeng Boegis, mappanretasi’ ceremony, "boat building industry” in Kampoeng Pedjala, social mobility among the to-maradeka into the economic elite, patron-client relationship of Buginese or ajjoareng-joa, and the solidarity of the Bugisnese or pesse'. Subsequently, this historical process also formed the emergence of ponggawa Bugis which during the Great Depression in the 1930s worked in agriculture and fisheries. In the context of the Bugis diaspora, the relationship between the Buginese in the Tanah Bumbu region and the homeland in South Sulawesi, preserved by the Bugis traditional shipping. This is also enhanced by the development of the Koninklijk Paketvaart Maatshappij (KPM) of the Dutch which connected southeastern Kalimantan and South Sulawesi. Keywords: diaspora, identity, patron-client relationship.

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:H Social Sciences > HN Social history and conditions. Social problems. Social reform
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in History
ID Code:42536
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:28 Feb 2014 08:42
Last Modified:28 Feb 2014 08:42

Repository Staff Only: item control page