SUPRAPTO, SUPRAPTO (2011) ALIH FUNGSI LAHAN PERSAWAHAN RAWA PASANG SURUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENGELOLAAN PRASARANA JARINGAN TATA AIR TERBANGUN. PhD thesis, Program Pascasarjana Undip.
PDF Restricted to Repository staff only 2171Kb |
Abstract
Pada tahun-tahun terakhir ini, alih fungsi pemanfaatan lahan pada lahan persawahan reklamasi rawa dari lahan pertanian menjadi non pertanian seperti perkebunan kelapa sawit, kelapa, dan karet marak dilakukan oleh masyarakat. Alih fungsi lahan dilakukan masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, namun demikian telah menimbulkan dampak negatif bagi pelaku alih fungsi lahan dan masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam alih fungsi lahan tersebut. Menyangkut masalah ini, sangat diperlukan suatu kebijakan yang mantap agar diperoleh pilihan langkah yang tepat dalam pemanfaatan lahan hasil reklamasi rawa yang ada saat ini. Hal penting dalam penentuan kebijakan tersebut adalah adanya dukungan informasi yang akurat seberapa besar laju alih fungsi lahan yang terjadi per tahun, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan pendapat para ahli. Besaran laju alih fungsi lahan diperoleh dari output pengolahan data hasil survey yang terkait dengan berbagai variabel faktor pendorong, proses, dan pengaruh terhadap alih fungsi lahan persawahan rawa yang ditinjau dari aspek pemerintahan, teknik, sosial, dan ekonomi. Dalam penelitian ini dilakukan survey di lima provinsi yaitu Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Papua. Penelitian ini terbatas hanya meninjau daerah persawahan reklamasi rawa yang dikembangkan pemerintah dimana saat ini terjadi alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Besarnya nilai laju alih fungsi lahan per tahun dan isu-isu yang berkembang terkait alih fungsi lahan persawahan hasil reklamasi rawa tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan para ahli dalam memilih masukan alternatif kebijakan. Pendapat dari beberapa ahli kemudian diolah menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) untuk menentukan alternatif kebijakan yang perlu dilakukan yaitu apakah alih fungsi lahan dihentikan, diperlambat, atau dibiarkan tetap berjalan baik dengan atau tanpa ekstensifikasi. Hasil analisis dengan data survey tahun 2008 menunjukkan bahwa besaran laju rata-rata alih fungsi lahan adalah sebesar 6 %/tahun pada lahan persawahan pasang surut yang menjadi perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan tersebut ternyata secara sangat signifikan dipengaruhi oleh persepsi petani terhadap faktor-faktor kondisi infrastruktur, harga kelapa sawit, dan harga padi. Hasil analisa AHP, menunjukkan para pakar menyatakan bahwa optimalisasi pada pemanfaatan lahan hasil reklamasi rawa pasang surut di Indonesia dapat ditempuh dengan memperlambat alih fungsi lahan (tingkat prioritas sebesar 38,2%). Selebihnya para pakar menyatakan bahwa alih fungsi lahan supaya dihentikan, namun di lain pihak sebagian pakar menyatakan sebaiknya dibiarkan saja tetapi pemerintah mencari lahan pengganti. Menunjuk pandangan masyarakat terhadap pelayanan jaringan tata air, peningkatan kinerja operasi dan pemeliharaan (OP) yang maksimal sangat diperlukan, karena akan membantu meningkatkan persepsi yang positif dari para petani yang masih melakukan budidaya tanam padi. Hasil analisa menunjukkan bahwa, peningkatan persepsi dari kondisi saat ini yang kurang baik menjadi sangat baik dapat membantu menurunkan laju alih fungsi lahan dari 6 %/tahun berkurang menjadi 3,15 %/tahun. Langkah-langkah aspek teknik sipil yang dapat ditempuh untuk daerah yang terlanjur alih fungsi lahan atau sebagian alih fungsi lahan, pihak pemerintah perlu segera melakukan perubahan kriteria jaringan tata air yang sesuai dengan jenis tanamannya, re-organisasi petugas OP, peningkatan infrastruktur jaringan tata air. Dan langkah selanjutnya adalah sosialisasi pada masyarakat tentang pemanfaatan lahan reklamasi rawa pasang surut untuk tanaman pangan yang ramah lingkungan guna mendukung usaha ketahanan pangan Nasional. Kata kunci : Alih fungsi lahan, persawahan rawa pasang surut, laju alih fungsi, pengelolaan prasarana tata air terbangun. In recent years, conversion from lowland reclaimed agriculture to non-agricultural land, such as palm oil, coconut, and rubber plantation has mainly been done by local community. Lowland conversion is done for a purpose to obtain better livelihood, nevertheless it has caused either direct or indirect negative impacts to them and those who are not involved. Concerning this issue, it needs an identification of policy in order to obtain appropriate action options in the utilization of present reclaimed lowlands is required. The most important matters in determining the policy are the support of accurate information of land conversion rate per year, it’s influence factors and experts’ opinions. The land conversion is obtained from an output of the survey processing data, which includes influencing factors, processes, and impacts on land conversion in terms of governmental, technical, social, and economical aspects. The survey is conducted in five provinces, they are South Sumatera, Riau, Jambi, West Borneo, and Papua. This research is limited in reviewing reclamation swamp rice farming area developed by current government where conversion to palm oil plantation occur. The value of land conversion rate per year and growing issues related to reclaimed lowland conversion become further consideration of experts in determining the policy alternatives. The experts’ opinions are then processed by using AHP (Analytical Hierarchy Process) method to rank each alternatives to obtain the best decision to either stop, slow down, or do nothing with or without land extension. Results show from analyzing 2008 survey data show that the average land conversion rate from reclamation tidal lowland to palm oil plantation is 6 %/year. That land conversion is significantly influenced by the condition of infrastructure, price of palm, and price of rice plant. The results from AHP show that some experts state that the optimum utilization of land reclaimed tidal lowland in Indonesia can be reached by slowing down the land conversion (priority level of 38.2%). However, other experts support to stop the conversion, and the rest let the conversion go on as usual but government should look for replacement land. Depending on community’s opinions about canal network infrastructures, the maximum performance improvement OP is needed to maintain repair and construct canal network infrastructures, because it will increase the perception of farmers. Results of analysis showed that, increasing the perception of present condition from less good to good just to help reduce lowland conversion speed from 6%/year reduced to 3.15%/year. The steps of civil engineering aspects can be taken for the regions whose land have been always fully or partially converted, the government should change immediately the criteria of canal network infrastructures in accordance with the types of plants, re-organize operational and maintenance officers, improve the canal network infrastructures, especially the sluice gates. The next step is to educate the community about eco-friendly utilization of tidal lowland conversion to support efforts to reach national food security. Keywords : land conversion, paddy field on tidal lowland, land conversion rate, management of existing irrigation network system infrastructures.
Item Type: | Thesis (PhD) |
---|---|
Subjects: | T Technology > TC Hydraulic engineering. Ocean engineering |
Divisions: | School of Postgraduate (mixed) > Doctor Program in Civil Engineering |
ID Code: | 40862 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 02 Dec 2013 10:15 |
Last Modified: | 02 Dec 2013 10:15 |
Repository Staff Only: item control page