AWALUDIN, Arif (2011) REKONSTRUKSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENYINGKAP KORUPSI (STUDI KASUS BUDAYA HUKUM APARATUR SIPIL NEGARA DALAM MENYINGKAP KORUPSI BIROKRASI DI JAWA TENGAH). PhD thesis, Program Pascasarjana Undip.
| PDF 1099Kb |
Abstract
Dewasa ini peran serta whistleblower (penyingkap korupsi) dalam pemberantasan korupsi semakin penting. Korupsi sebagai kejahatan terorganisir dan tertutup hanya dapat diungkap melalui peran serta mereka. Korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi sudah sangat memprihatinkan. Aparatur sipil Negara yang bekerja di lingkungan birokrasi seharusnya memiliki budaya hukum anti korupsi, sehingga dapat berperan sebagai penyingkap korupsi. Dibutuhkan perlindungan hukum terhadap penyingkap korupsi agar budaya hukum anti korupsi dikalangan aparatur sipil negara terbentuk. Permasalahan pokok dalam disertasi ini adalah perlindungan hukum terhadap penyingkap korupsi. Penelitian socio legal ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan terhadap informan yang berasal dari Rembang, Sukoharjo dan Boyolali. Teori Perbuatan Beralasan, Teori Loyalitas Organisasi dan Teori Budaya Hukum digunakan sebagai alat analisis data dalam penelitian ini. Data yang diperoleh direkonstruksi dalam kerangka Teori Sistem Hukum dan Teori Hukum Pembangunan. Analisis terhadap UU No.13 Tahun 2006 dan peraturan perundangan yang terkait, serta perbandingan legislasi perlindungan hukum di Negara-Negara lain menjadi dasar rekonstruksi perlindungan hukum yang sistemik. Penelitian ini menemukan realita tidak adanya perlindungan hukum bagi penyingkap korupsi, terutama jika berposisi sebagai pelapor saja. Tindakan represif dilakukan para pejabat publik dan atasan mereka di birokrasi. Adapun alasan mereka melakukan perbuatanya adalah alasan individual dan alasan sosial. Alasan inilah yang membentuk budaya hukum anti korupsi di kalangan penyingkap korupsi. Rekonstruksi perlindungan hukum yang sistemik harus dilakukan. Implikasi teoretiknya adalah perlunya memasukkan konsepsi whistleblower (penyingkap korupsi) sebagai pihak yang harus dilindungi dalam sistem perundang-undangan, kriminalisasi terhadap perbuatan pembalasan kepada para penyingkap korupsi hingga membuat strategi “triangle whistlebowing” (segitiga penyingkapan) untuk pemberantasan korupsi birokrasi di Indonesia. Implikasi praktiknya adalah rekonstruksi perlindungan hukum secara sistemik harus dilakukan berupa revisi UU No.13 Tahun 2006 dan perundangan terkait dan pemahaman yang progresif tentang perlindungan hukum terhadap penyingkap korupsi. Rekonstruksi struktur menuntut adanya sinergitas kerja antar lembaga penegak hukum dan pemahaman yang progresif tentang kewenangan lembaga penegak untuk untuk melindungi penyingkap korupsi. Rekonstruksi kultur dilakukan dengan cara merevitalisasi kode etik sebagai sumber pedoman tingkah laku dan fasilitasi sarana penyingkapan informasi secara internal dengan berbasis budaya Jawa yang konstruktif . Kata Kunci : Rekonstruksi, Perlindungan Hukum, Whistleblower (penyingkap Korupsi), Aparatur Sipil Negara, Korupsi Birokrasi. Nowadays the role of the whistleblower in the eradication of corruption is increasingly important. Organized crime and corruption as closed only be revealed through their participation. Corruption in the bureaucracy is very alarming. State Apparatus civilian who worked in the environmental bureaucracy should have a legal culture of anti-corruption, so it can act as a revealer of corruption. Needed legal protection against corruption in order to personally anti-corruption legal culture among civil state apparatus is formed. Main problems in this dissertation is the legal protection against whistleblower. Socio legal research uses qualitative approach. Research conducted on informants who are from Rembang, Sukoharjo and Boyolali. Reasoned Action Theory, Theory of Organizational Loyalty and Cultural Theory of Law is used as a tool of data analysis in this study. The data obtained were reconstructed within the framework of Systems Theory of Law and Legal Theory Development. Analysis of the Law No.13 of 2006 and related legislation, as well as comparative legal protection legislation in other States the basis for reconstruction of systemic of the legal protection. This study found the reality of the lack of legal protections for whistleblower, especially if it plays as a reporter or informan only. Repressive measures do public officials and their superiors in the bureaucracy. The reason they do action is the reason the individual and social reasons. The reason is that shape the legal culture of anti- corruption in the revealer of corruption. Reconstruction of a systemic legal protection should be done. The implication is the need to insert conception theoretical whistleblower as the party that must be protected in the legislation system, criminalize the act of retaliation against the revealer of corruption, to create a strategy of "the triangle whistlebowing" for the eradication of bureaucratic corruption in Indonesia. Implications of practice is the reconstruction of legal protection should be a systemic revision of Law No.13 of 2006, and legislation related, and the progressive understanding of the legal protection against whistleblower. Reconstruction of the structure requires a synergy between the work of law enforcement agencies and progressive understanding of the authority for enforcement agencies to protect Personally corruption. Reconstruction is done by way of revitalizing the culture of ethical codes of conduct as a source of guidance and facilitation of the means disclosure of information internally with Javanese culture-based constructive. Key words: reconstruction, legal protection, whistleblower, civil servant, bureaucratic corruption
Item Type: | Thesis (PhD) |
---|---|
Subjects: | K Law > KZ Law of Nations |
Divisions: | School of Postgraduate (mixed) > Doctor Program in Law |
ID Code: | 40807 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 27 Nov 2013 15:07 |
Last Modified: | 27 Nov 2013 15:07 |
Repository Staff Only: item control page