Kurniawan, Amin Taufiq (2007) Komodifikasi dalam Secangkir Kopi. Internal Interest, - (-). pp. 1-5. ISSN - (Unpublished)
Microsoft Word 48Kb | ||
| PDF (Word to PDF conversion (via antiword) conversion from application/msword to application/pdf) 19Kb |
Official URL: http://eprints.undip.ac.id/ilpus
Abstract
Sebagai orang Jawa tentu kita mengenal Kopi Luwak. Bukan kopi sachet bermerek Luwak, melainkan kopi yang konon tumbuh di pedalaman hutan Pulau Jawa dan Sumatera yang menjadi istimewa karena adanya hewan Luwak, hewan nokturnal yang gemar memakan dan mengunyah kulit biji kopi tersebut. Melalui serangkai proses biologis tersebut, tinggallah biji kopi kering yang terfermentasi secara alami dengan proses ‘alami’. Kopi yang sangat langka tersebut konon kabarnya pernah menjadi salah satu komoditas kopi yang terlezat dan termahal di seluruh dunia. Maka lalu tidak heran banyak sekali yang mengidentikkan kopi dengan Jawa. Ketika kini kita melihat kedai-kedai kopi dari luar negeri, seperti Starbucks, J.Co Donuts and Coffee, Dome, The Coffee Bean – yang bahkan menjadi tagline sebuah acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi swasta kita – di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya dan umumnya ada di Pulau Jawa tampak menjadi kisah tersendiri khususnya mungkin bagi siapa pun yang dulu pernah mengalami masa-masa romantisme perkebunan kopi hasil jajahan Belanda. Kedai-kedai kopi franchise tersebut sekarang menjadi bagian dari gaya hidup dan mode tersendiri bagi kaum yuppies dan kalangan menengah ke atas, disaat kita melihat di bagian lain pulau ini warung kopi dapat berkonotasi dengan warung ‘remang-remang’ maupun tempat berkumpulnya para sopir truk di pantura. Kedai-kedai kopi yang berlokasi di mall-mall dan pusat perbelanjaan tersebut menjadi tempat dan lokasi meluangkan waktu yang tersisa dari rutinitas padat sebagian orang dan berkembang menjadi bentuk sarana aktualisasi sosial tersendiri. Starbucks adalah nama terkenal dalam bisnis ini. Kedai kopi yang memulai debutnya tahun 1971 di Seattle, Washington, Amerika Serikat ini telah melebarkan sayapnya ke berbagai penjuru dunia dengan gerai mencapai 5.688 buah (Kompas, 10 Nopember 2002). Di dalam kedai kopi tersebut terdapat caramel macchiato, iced caffe latte, cappuccino – pendeknya kopi – entah dihidangkan dingin (dengan es atau panas) beserta topping susu, whipped cream ataupun herba pelengkap seperti taburan bubuk kayu manis dan daun mint. Kita juga dapat menikmati alunan musik jazz yang konon mempunyai format yang sama di seluruh kedai Starbucks di dunia, bahkan secara eksklusif pemutar atau CD player yang tersedia tidak bisa memutar CD selain CD yang dikirim dari kantor pusat Starbucks di Seattle. Menurut Howard Schultz, Chairman dan CEO Starbucks dalam salah satu bagian tulisannya di buku “Pour Your Heart Into It” (2002) mengatakan strategi yang ia buat adalah ‘ia ingin mencampur kopi dengan romasa…’
Item Type: | Article |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Commodification, Mass Culture, Communication, Coffee |
Subjects: | H Social Sciences > H Social Sciences (General) |
Divisions: | Faculty of Humanities > Department of Library Science |
ID Code: | 3793 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 14 Jan 2010 16:28 |
Last Modified: | 14 Jan 2010 16:28 |
Repository Staff Only: item control page