LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK PRIA KELAS II A SEMARANG DENGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR RAMAH ANAK

ARYADHIPTA, YOGI (2011) LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK PRIA KELAS II A SEMARANG DENGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR RAMAH ANAK. Undergraduate thesis, Jurusan Arsitektur .

[img]
Preview
PDF
35Kb
[img]
Preview
PDF
99Kb
[img]
Preview
PDF
19Kb
[img]
Preview
PDF
19Kb
[img]
Preview
PDF
9Kb
[img]PDF
Restricted to Repository staff only

423Kb

Abstract

Salah satu unsur dalam trilogi Pembangunan yang didengung-dengungkan adalah ingin diwujudkannya dalam usaha pembangunan nasional dengan “terciptanya stabilitas nasional yang aman dan dinamis”. Adanya kondisi penegakan hukum yang mewujudkan stabilitas nasional tersebut merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Dengan adanya stabilitas nasional yang aman dan dinamis itu akan memungkinkan negara dan rakyat hidup dalam keadaan aman dan damai, bebas dari segala ancaman. Namun dalam kenyataannya dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita nasional tersebut terdapat kendala-kendala yang dijumpai dalam kehidupan masyarakat baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam masyarakat itu sendiri. Salah satu kendala atau hambatan itu adalah prilaku individu atau sekelompok individu yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, baik norma yang tidak tertulis seperti norma kesusilaan, kesopanan, adat istiadat, agama maupun dalam konteks ini terutama norma hukum pidana yang sifatnya tertulis yang oleh masyarakat disebut sebagai kejahatan atau kriminalitas. Tingkat kriminalitas memiliki kecenderungan berbanding lurus dengan tingkat kepadatan penduduk. Urbanisasi yang terjadi kota-kota besar di Indonesia menyebabkan berbagai macam permasalahan kesejahteraan hidup bagi pelaku ruangnya. Penduduk yang melebihi daya dukung kota besar memicu tingginya pergesekan sosial di dalam kota tersebut. Berkembangnya sifat individualistis di kota-kota besar memicu kecemburuan sosial yang berujung pada naiknya tindakan kriminalitas, baik secara kualitas maupun kuantitas. Bahkan golongan anak di bawah umur juga termasuk dalam peningkatan tersebut. Keterlibatan anak di bawah umur sebagai pelaku kriminalitas bukan merupakan sesuatu yang baru, walaupun keterlibatan ini relatif lebih kecil dibandingkan pelaku yang sudah dewasa. Kriminalitas dilakukan anak dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran. Kriminalitas dilakukan kaum di bawah umur dengan segala aspek yang melingkupinya antara lain kondisi yang memaksa untuk melakukan kriminalitas dan faktor tekanan ekonomi yang tidak dapat dihindarinya. Terdapat berbagai alasan yang mendorong anak berhadapan dengan hukum. Menurut Depsos (2003), faktor-faktor yang menjadi alasan anak berhadapan dengan hukum adalah kemiskinan (29,35%), lingkungan (18.07%), salah didik (11,3%), keluarga tidak harmonis (8,9%) dan minimnya pendidikan agama (7,28%). Di mata hukum yang berbuat kriminal dianggap bersalah dan harus dipidana sesuai dengan tingkat kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan. Menurut Prinst (1997, h. 6), penjatuhan hukuman dan pengadilan terhadap anak maupun remaja yang melakukan tindak kejahatan ada kalanya dilakukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya. Sesuai hukum pidana anak, Sudarsono (1995, h. 27) menerangkan bahwa remaja yang bersalah dan harus menjalani pidana penjara, maka ia akan menjalani pidana di penjara khusus anak atau biasa dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan Anak. Lembaga Pemasyarakatan Anak atau yang disebut Lapas Anak adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Selanjutnya dalam UU No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa definisi anak didik pemasyarakatan adalah anak pidana, negara dan atau anak sipil yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah yang digariskan dalam GBHN (1999-2004) tentang arah hukum dimana disebutkan sarana dan prasarana hukum terus ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya agar dapat mendukung upaya pembangunan hukum secara optimal, maka salah satunya adalah peningkatan Lembaga Pemasyarakatan yang merupakan bagian dari sarana dan prasarana hukum. Menurut pasal 4, UU No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan setiap ibukota kabupaten atau kotamadya pada dasarnya wajib memiliki Lapas, baik untuk anak, wanita dan pelaku kriminal dewasa. Namun dalam kenyataannya karena berbagai macam keterbatasan; anggaran, lahan dan sumber daya manusianya, maka terpaksa memanfaatkan bangunan penjara kolonial sebagai bangunan Lembaga Pemasyarakatan. Di Indonesia, jumlah anak-anak yang berhadapan dengan hukum cukupbanyak seperti data yang dikumpulkan oleh Dirjen pemasyarakatan, Depkumhamjumlahnya mencapai kurang lebih 60 ribu anak laki-laki,yang tersebar menurut kasus dan wilayah provinsi. Jumlah anak yang berhadapandengan hukum banyak terjadi pada wilayah dengan jumlah penduduk padat sepertiJawa dan Sumatera, berdasarkan data tersebut tertinggi terjadi 5 wilayah provinsitertinggi adalah Jawa Tengah, Sumatera Utara, D.K.I Jakarta, Jawa Timur dan JawaBarat. Jumlah anak yang melakukan tindak pidana tersebut didominasi oleh pelaku berjenis kelamin laki-laki. Jawa Tengah yang merupakan provinsi dengan peringkat nomor satu tingkat kriminal yang dilakukan oleh anak, hanya memiliki satu Lapas yaitu di Lapas Anak Kutoarjo di Purworejo. Bahkan Lapas ini juga mewadahi kiriman pelaku kriminal anak dari DIY. Hal ini tentunya menjadi perhatian penting mengingat bahwa tingkat kriminalitas yang dilakukan anak di bawah umur di Jawa Tengah juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada akhir tahun 2006 lembaga pemasyarakatan anak Kutarjo dihuni oleh 80 anak didik pemasyarakatan dan pada akhir April 2010 jumlahnya meningkat menjadi 101 anak didik (andik) pemasyarakatan.Jumlah tersebut terdiri dari 98 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Selain di Lapas Kutoarjo, Jawa Tengah memiliki tahanan anak didik pemasyarakatan sebanyak 324 orang yang tersebar di rutan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dan jumlah terbanyak dicapai oleh kota Semarang. Seperti yang telah teramanatkan dalam Konvensi hak anak ataupun undang-undang perlindungan anak No.23 th 2002 bahwa anak merupakan individu yang belum matang baik fisik, psikis dan sosial serta sangat rentan akan berbagai bentuk eksploitasi, maka butuh perhatian yang lebih dari orang dewasa dalam hal ini negara, pemerintah, keluarga dan masyarakat. Untuk itu ketika peraturan tentang pembinaan anak didik pemasyarakatan dicampurkan dalam tata cara pembinaan orang dewasa, artinya pengambilan keputusan seperti ini harus diperlukan revisi atau dengan kata kasar salah besar. Lapas Anak Kutoarjo sendiri merupakan bangunan kolonial Belanda sehingga desain bangunan cenderung bersifat menghukum orang (retributif) bukan bersifat pembinaan pemasyarakatan (restorative justice). Walaupun hal tersebut bisa diatasi dengan teknis pembinaan itu sendiri tetapi desain bangunan yang tidak mendukung sistem pemasyarakatan tersebut akan menimbulkan berbagai macam permasalahan karena desain bangunan tidak sesuai dengan aktivitas pelaku ruangnya yang berdasarkan pada sistem pemasyarakatan. Dari uraian tersebut diatas, di kota Semarang, dibutuhkan pembangunan Lapas Anak Pria yang sesuai dengan kebutuhan bagi pelaksanaan pembinaan narapidana dan berlokasi ditempat yang sesuai dengan kebutuhan proses tersebut dalam usaha penerapan undang-undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dipilihnya jenis kelamin pria dikarenakan tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh jenis kelamin pria jauh lebih besar daripada jenis kelamin perempuan. Walaupun kedua jenis kelamin tersebut sama-sama naik secara kuantitas setiap tahunnya, secara urgensi pelaku berjenis kelamin perempuan dianggap belum begitu mendesak dalam penyediaan kapasitas Lapas nya. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan perencanaan dan perancangan tentang Lapas AnakPria di Semarang yang mendukung sistem pemasyarakatan andik sekaligus ramah terhadap andik melalui penekanan desain ramah anak. I.2. Tujuan dan Sasaran Tujuan Memperoleh suatu Judul Tugas Akhir yang jelas dan layak, dengan suatu penekanan desain yang spesifik sesuai karakter / keunggulan judul dan citra yang dikehendaki atas judul yang diajukan tersebut. Sasaran Tersusunnya usulan langkah-langkah pokok proses (dasar) perencanaan dan perancangan Lembaga Pemasyarakatan Anak di Semarang melalui aspek-aspek panduan perancangan (design guide lines aspect) dan alur pikir proses penyusunan LP3A dan Desain Grafis yang akan dikerjakan. I. 3. Manfaat Subjektif Bermanfaat untuk memperoleh wawasan dan pemahaman tentang Gedung Lembaga Pemasyarakatan Anak Semarang untuk proposal Tugas Akhir yang diajukan, sebagai langkah awal dalam proses Tugas Akhir sebelum tahap penyusunan LP3A dan studio grafis. Objektif Memberikan informasi atau pengetahuan kepada mahasiswa Arsitektur yang akan menyusun Tugas Akhir berikutnya. I.4. Ruang Lingkup Ruang Lingkup Substansial Berisi tentang informasi lingkup perencanaan dan perancangan Lembaga Pemasyarakatan AnakPria di Semarang, termasuk dalam kategori bangunan tunggal, sesuai dengan kategori dalam kriteria penilaian grafis tugas akhir yang telah ditetapkan. Lingkup pembahasan dititikberatkan pada lingkup ilmu arsitektur baik secara tata ruang, sirkulasi, bentuk fasade, dan keseimbangan degan lingkungan sekitar. Dalam perancangan tempat atau wadah yang akan menampung setiap kegiatan pendukung pemasyarakatan dan pembinaan narapidana wanita di Kota Semarang. Hal-hal di luar ilmu arsitektur akan dibahas seperlunya sepanjang masih berkaitan dan mendukung permasalahan utama. Ruang Lingkup Spasial Berisi tentang informasi lingkup perencanaan Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria secara administratif di kota Semarang, baik kaitannya dengan peraturan kota Semarang maupun peraturan pemilihan lokasi Lapas sesuai dengan undang-undang yang berlaku. I.5. Metode Penelitian Metode pembahasan yang digunakan yaitu survey kepustakaan dan lapangan. Adapun teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut : Data Primer a. Wawancara, dilakukan untuk mendapatkan informasi dari narasumber dan pihak terkait dengan rencana pembangunan Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Kelas II A di Semarang. Baik dengan para pengurus lembaga pemasyarakatan tersebut, para pengurus instansi yang berkaitan maupun anak didik pemasyarakatan. b. Survey Lapangan, dilakukan dengan pengamatan langsung pada lokasi atau tapak perencanaan maupun obyek lainnya sebagai studi banding/kasus. Data Sekunder a. Studi literatur, diambil dari buku maupun informasi dari sumber lainnya yang berkaitan dengan seluruh fasilitas yang terdapat di dalam lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Kelas II A. b. Referensi, didapat dari pengumpulan data, peta dan peraturan dari kantor instansi terkait. Kemudian data tersebut dianalisa secara kualitatif yaitu penganalisaan terhadap aspek pelaku kegiatan, kebutuhan ruang, penataan ruang dan sirkulasi dan dianalisa secara kuantitatif yaitu penganalisaan terhadap kapasitas ruang dan besaran ruang serta pendekatan mengenai lokasi dan tapak. Setelah melakukan analisa secara kualitatif dan kuantitatif kemudian ditarik kesimpulan sebagai dasar dalam perencanaan dan perancangan. I.6. Sistematika Pembahasan BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini isinya diharapkan dapat menghantarkan pembaca pada isi LP3A yang terdiri dari Latar Belakang penelitian, Tujuan dan Sasaran Penelitian, Manfaat penelitian yang meliputi manfaat subyektif dan manfaat obyektif, Ruang Lingkup Penelitian, Metodologi Penelitian serta Sistematika Pembahasan. BAB II TINJAUAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK PRIA Bab ini menguraikan kajian yang berkaitan dengan tinjauan secara umum mengenai lembaga pemasyarakatan secara umum dan khusus dengan tinjauan pustaka berupa tata masa bangunan, sistem keamanan, aktivitas dan fasilitas. Pembahasan lebih spesifik mengenai lembaga pemasyarakatan anakpria dengan pembahasan mengenai pelaku, aktivitas, fasilitas, sisitem pembinaan, sistem hunian, lokasi, dan tapak berdasarkan studi literatur mengenai lembaga pemasyarakatan dan peraturan pemerintah yang berlaku. BAB III TINJAUAN KOTA SEMARANG, KRIMINALITAS ANAKDI JAWA TENGAH DAN LAPAS ANAK PRIA DI TANGERANG Berisi tinjauan mengenai Kota Semarang sebagai kota lokasi perencanaan dan perancangan Lembaga Pemasyarakatan Anak. Peninjauan keadaan kriminalitas di Jawa Tengah, sebagai area lingkup pelayanan Lapas tersebut. Dan studi banding Lembaga Pemasyarakatan sebagai acuan tambahan pada perancangan selain mengacu pada studi literatur. BAB IVKESIMPULAN, BATASAN DAN ANGGAPAN Memaparkan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya yang meyangkut poin dalam perancangan. Memeberikan batasan pembahasan untuk memahami luas permbahasan yang akan dilaksanakan. Dan memberikan anggapan keadaan untuk mendukung batasan yang telah dibuat dalam proses perancangan. BAB VPENDEKATAN KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancangan bentuk fisik rancangan. Baik dari aspek fungsional, sirkulasi, keamanan, hubungan ruang, besaran ruang, sistem pembinaan, kapasitas, sistem hunian, aktifitas, dan fasilitas. Pemilihan daerah lokasi tapak yang kompatibel, dengan beberapa rekomendasi tapak. BAB VILANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Berisi tentang dasar dalam pertimbangan perencanaan, yang merupakan hasil analisis dan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Contohnya adalah penentuan aspek arsitektural, struktural, utilitas, dan pembahasan tapak yang terpilih.

Item Type:Thesis (Undergraduate)
Subjects:N Fine Arts > NA Architecture
Divisions:Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
ID Code:35648
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:24 Jul 2012 09:43
Last Modified:24 Jul 2012 09:43

Repository Staff Only: item control page