ࡱ>  suhijklmnopqrstuvwxyz{|}~t  !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~Root EntryZ O2sBCONTENTS Object 1YnL -FFContentsv"tar isi Halaman Daftar Isi& & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & .iii Kata Pengantar& & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & iv Abstract....& & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & v BAB I Pendahuluan& & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & & .1 A. Latar Belakang dan Permasalahan& ...& & & & & & & & .& & & & & & & & ...1 B. Lingkup Penelitian & & & & & & & & & & & & & & ..& .& & & & & & & & ..5 C. Tujuan dan Manffat penelitian & & & & & & & & & & & .& & & & & & & ......7 D. Kajian Pustaka ........................................................................................................8 E. K      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~CHNKWKS   TEXTTEXTΜFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPP FDPPFDPP FDPPFDPP FDPPFDPP FDPPFDPP FDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPPFDPP LAPORAN PENELITIAN HIBAH PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL TAHUN 2009 Aspek: Seni dan sastra dalam mendukung industri kreatif PASANG SURUT INDUSTRI BATIK PEKALONGAN, TAHUN 1900-1998 Oleh : Dra. Chusnul Hayati, M.S. Dr. Agus Supriyono, M.A. Drs. Indriyanto, M.Hum Dibiayai oleh DIPA Universitas Diponegoro Semarang, Nomor 0160.03/023-04.2/XIII/2009, sesaui dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Diponegoro Semarang Nomor : 179/SK/H7/2009 tanggal 18 Maret 2009, dan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Strategis Nasional Nomor : 124C/H7.2/KP/2009, tanggal 18 Maret 2009. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro LEMBAR PENGESAHAN HIBAH PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL TAHUN 2009 01. Judul Riset : Pasang Surut Industri Batik Pekalongan, Tahun1900-1998 02. Aspek : Seni dan sastra dalam mendukung industri kreatif 03. Peneliti Utama : Dra. Chusnul Hayati, M.S. 04. Jenis Kelamin : Perempuan 05. Unit Kerja : Fakultas Sastra 06. Alamat Unit Kerja : Jl. Hayam Wuruk 4 Semarang Telepon dan Fax : 024- 8311444 07. Alamat Rumah : Jl. Sawi VIII/7 RT 6 RW 6 Sendang Guwo, Tembalang, Semarang Telepon : 024- 6723505 Fax : - 08. Alamat e-mail : - 09. Telepon Seluler/HP : 0815 6517 443 10. Lama Riset : 8 (delapan) bulan 11. Hibah Penelitian Strategis Nasional Tahun : 2009 12. Total Biaya : Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) Semarang, 15 November 2009 Mengetahui: a.n. Dekan Pembantu Dekan I Peneliti Utama : Fak. Ilmu Budaya UNDIP, Prof.Dr. Sutejo Kuwat Widodo, M.Si. Dra. Chusnul Hayati, M.S. NIP 131 488 536 NIP 130 892 623 M e n y e t u j u i , Ketua Lembaga Penelitian Undip Prof. Dra. Indah Susilowati, M.Sc, Ph.D NIP. 131 764 48 Daf      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~erangka Konseptual ............................................................................................15 F. Metode Penelitian .................................................................................................19 G. Sistematika Penelitian ...........................................................................................20 BAB II Gambaran Umum Kota Pekalongan ................................................................... 23 A. Setting Historis .....................................................................................................23 B. Kondisi Geografi dan Demografi ..........................................................................25 C. Kondisi Sosial Ekonomi .......................................................................................30 D. Kondisi Sosial Budaya ..........................................................................................32 E. Pekalongan sebagai Sentra Batik ..........................................................................45 BAB III Batik Pekalongan pada Jaman Kolonial .............................................................52 A Perkembangan Batik Pekalongan .........................................................................52 B Hubungan Majikan dan Buruh...............................................................................63 BAB IV Batik Pekalongan pada Masa Kontemporer ......................................................88 A. Batik Pekalongan pada Masa Pendudukan Jepang................................................88 B. Batik Pekalongan pada Masa Pasca Kemerdekaan hingga Awal Orde Baru........91 C. Batik Pekalongan pada Masa Orde Baru hingga Masa Reformasi........................97 D. Faktor Pendorong Perkembngan dan Daya Tahan Batik Pekalongan.................101 BAB V Kesimpulan ........................................................................................................107 Daftar Pustaka..................................................................................................................111 Kata Pengantar Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah Subkhanahu wata ala, laporan penelitian ini akhirnya dapat diselesaikan, meski pun banyak hambatan terutama keterbatasan dana dan waktu. Penelitian ini bisa diselenggarakan atas biaya dari DIPA Universitas Diponegoro Semarang. Untuk itu tim peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada : Prof. Dra. Indah Susilowati, M.Sc. Ph. D selaku Ketua Lembaga Penelitian Universitas Dipongoro yang telah memberi kesempatan kepada tim peneliti untuk melakukan penelitian. Tim juga mengucapkan terima kasih kepada Staf Badan Arsip dan Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah di Semarang, Staf Perpustakaan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Staf Perpustakaan Museum Batik Pekalongan, Staf Perpustakaan Pemerintah Kota Pekalongan, Staf Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Staf Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Jakarta, Staf Arsip Nasional RI di Jakarta yang telah banyak membantu dalam pengumpulan sumber-sumber sejarah. Kepada para informan dari berbagai kalangan masyarakat Pekalongan yang tidak bisa disebutkan satu per satu, tim peneliti juga mengucapkan banyak terima kasih. Tanpa bantuan mereka penelitian ini sulit menghasilkan laporan penelitian yang memadai. Penelitian ini banyak kekurangan yang membuat tim merasa kurang puas dalam menyusun laporan penelitian. Kesulitan mencari data sesudah masa kolonial menyebabkan tulisan pada periode tersebut menjadi agak kering sumber. Permohonan maaf diminta kepada semua pihak, agar memahami keterbatasan yang dihadapi tim peneliti. Untuk itu tim peneliti sangat terbuka menerima saran dan kritik yang bersifat membangun. Meskipun laporan penelitian ini hanya sederhana namun tim peneliti berharap semoga bisa memperluas cakrawala pengetahuan dan mendorong untuk lebih memperdalam masalah batik Pekalongan. Semarang, November 2009 Tim Peneliti Abstract The purpose of this research to explain historical study on the development of batik trade and industry in Pekalongan in 1900-1998. The low tide of Pekalongan batik depend on the dynamic of product demand. The research show that the Pekalongan batik industry has undergone two stages in the development of it s production. In the end of 19th century, batik was produced for commercial commodities. Batik product made in Pekalongan were sold on local and domestic markets, while a small quantity was marketed abroad. Before that time, batik was produced as an work of art for self-sufficient in batik clothing. The pioneer of batik entrepreneur in Pekalongan was Dutch women who developed Dutch batik since in about 1880. Then Chinese, Arabic, and native entrepreneur also involved in batik industry activities for trade commodity. This research uses historical method as follows: collecting and selecting historical sources, criticizing historical sources by external and internal critic, interpreting historical facts, and historical writing. Sociological and economics approach is used to interpret historical facts about historical events, changes, and development relevant to the theme. As a batik city, Pekalongan is the place where batik strongly influenced by China, Arab, European-Dutch, and Japan culture. On the other hand, Pekalongan batik was influenced by local style from Surakarta, Yogyakarta, Lasem, Madura, Cirebon, an other places. These various influence effected Pekalongan batik so beautiful and interesting, have various motif and colorful. In Pekalongan, batik industry was an important element in economic activity. The small-scale Pekalongan batik industry has been able to stimulate growth and expansion in other sectors, especially in service and trade. Intervention by a number of parties, specifically by the government have occurred in the production sector of the industry. Nevertheless, these interventions still tend to be administrative is nature and have not yet touched upon the basic problems that are faced by small-scale batik producers as a whole. The consequence is that the Pekalongan batik industry has not as yet experienced rapid growth. Key words : batik, economic, industry, trade. BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian yang terkait dengan batik, industri kecil, dan kewirausahaan di Indonesia telah banyak dilakukan baik oleh sarjana dalam mau pun luar negeri. Industri batik merupakan industri kecil yang dilakukan rakyat dalam lingkungan rumah tangga pemilik perusahaan. Berkembangnya industri batik berawal dari industri kecil yang dijalankan oleh perusahaan keluarga dalam skala kecil. Lambat laun industri kecil itu mengalami perkembangan sehingga hasilnya dapat mencapai pasaran lokal, wilayah regional, bahkan internasional. Batik merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang dikenal luas baik oleh masyarakat di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional. Masyarakat dari berbagai penjuru dunia mengenal batik bukan saja dalam aneka macam busana tradisional dan modern, tetapi juga dalam berbagai bentuk barang produk batik lainnya. Fungsi batik juga berkembang dinamis meliputi berbagai keperluan interior; asesori; serta perlengkapan rumah tangga seperti bed cover, sprei, serbet makan, taplak meja, sarung bantal, sarung bantal kursi, bahan penyekat, dan sebagainya. Aneka produk batik tersebut dihasilkan di berbagai daerah penghasil batik di Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia batik telah menjadi identitas budaya bangsa yang bernilai tinggi dan memiliki sejarah yang panjang. Maka sangat tepat apabila UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 meresmikan batik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda. Pengakuan ini membuktikan bahwa bagi dunia internasional batik merupakan hasil seni budaya khas Indonesia. Batik merupakan karya seni yang diakui oleh dunia internasional sebagai tradisi turun-temurun bangsa Indonesia. Batik yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia bukan tekstil bermotif batik, tetapi batik sebagai seni kerajinan. Menurut konsensus nasional tanggal 12 Maret 1996 karya seni kerajinan batik terdiri dari batik tulis, batik cap, batik kombinasi, batik modern, dan batik bordir.# Salah satu daerah penghasil batik yang terkemuka di Indonesia adalah Pekalongan. Sejak abad ke-19 hingga saat ini batik menyatu dengan kehidupan masyarakat yang menyebar di berbagai sudut Pekalongan.Hingga kini Pekalongan menjadi penghasil batik terbesar di Indonesia yang produksinya tersebar ke seluruh Nusantara dan diekspor ke berbagai negara. Perkampungan batik banyak ditemukan di kota ini. Kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai sudut kota diwarnai oleh kesibukan yang terkait dengan batik. Batik menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan. Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai kota batik. Citra itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Batik Pekalongan memiliki motif spesifik yang kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan, terutama batik Jlamprang yang dipengaruhi oleh India dan Arab. Pengaruh lain datang dari budaya Cina sehingga menghasilkan batik Encim dan Klengenan. Bangsa Belanda menghasilkan batik Belanda yang tampil dengan ciri khas buket bunga, sedang batik pagi sore dan batik Hokokai adalah pengaruh dari masa pendudukan Jepang.# Batik terus mengalami perkembangan karena bisa dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Kehadiran batik telah dirasakan manfaat ekonomis bagi masyarakat sebagai tambahan penghasilan atau mata pencaharian keluarga. Dalam perkembangannya industri batik telah berperan dalam perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Banyak tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan industri dan perdagangan batik serta sektor-sektor pendukungnya sehingga mereka mampu membantu ekonomi keluarga. Kerajinan batik merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang mempunyai kontribusi besar terhadap kegiatan ekonomi di Pekalongan. Sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah sebagai home industry. Dapat dikatakan hawa aneka produk batik menjadi sokoguru perekonomian masyarakat Pekalongan. Berkembanganya batik Pekalongan didukung oleh kuatnya tradisi membatik yang tidak hanya merupakan kebutuhan ekonomi saja, tetapi juga dorongan untuk mengekspresikan karya seni yang indah. Batik selain menjadi mata pencaharian yang dipandang sebagai berkah bagi masyarakat Pekalongan juga merupakan ekspresi seni. Selain bermanfaat bagi penduduk Pekalongan, batik juga dikenal sebagai usaha kerajinan seni yang bersahabat dan kerajinan seni komunal yang dikuasai oleh penduduknya. Industri kerajinan batik di Pekalongan merupakan industri kerajinan rakyat yang fenomenal. Batik merupakan karya seni yang memiliki nilai-nilai kultural yang unik. Adanya kebutuhan menggunakan batik untuk berbagai fungsi menempatkan posisi batik sebagai warisan budaya yang telah dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan jaman. Dalam perkembangannya, batik memiliki keragaman dalam banyak aspek baik kultural, ekonomi, bahkan politik. Batik mengalami peningkatan dalam berbagai segi serta mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik. Kecuali itu perkembangan batik bersifat dinamis, mengalami pasang surut, dan senantiasa melekat dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada cabang dari kerajinan di Indonesia, khususnya Jawa yang mampu bertahan di bawah persaingan berat seperti kapitalisme modern selain industri batik. Tidak ada pula bagian dari kerajinan seni Indonesia yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi kecuali cabang kerajinan batik. Batik baik sebagai karya seni, hasil industri, mau pun komoditi perdagangan senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika perubahan dari waktu ke waktu selama berabad-abad. Pasang surut perkembangan batik Pekalongan, memperlihatkan bahwa batik Pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di Indonesia.Batik Pekalongan mampu bertahan dalam menghadapi persaingan, situasi politik, dan perubahan ekonomi yang mempengaruhinya. Industri batik tidak hanya dapat bertahan di bawah persaingan yang tajam, tetapi juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang selalu berubah-ubah. Misalnya sesudah Perang Dunia I (1914-1918) yang mengakibatkan terjadinya penurunan produksi batik, situasi perdagangan batik mengalami perbaikan. Demikian pula setelah Pemerintah Belanda jatuh dan digantikan oleh Jepang, impor kain cap sen dari Belgia dan Belanda terputus. Akibatnya persediaan kain di Jawa mengalami kekurangan. Kelebihan zat pewarna terjadi di Yogyakarta dan Pekalongan, sehingga para pengusaha batik di dua kota ini membuat pola yang rumit dan padat karya untuk mempertahankan pembatik.# Kondisi seperti itu senantiasa berulang, sehingga sering dikatakan bahwa besarnya batik Pekalongan karena benturan. Potensi dan peranan dari berbagai etnis dan komunitas yang bekerja di sektor perbatikan dan sektor pendukungnya sangat menentukan terhadap perkembangan batik Pekalongan. Kemampuan pengusaha dan perajin dalam menciptakan motif dan style yang dikehendaki konsumen dari berbagai tempat ikut mempengaruhi perkembangan batik Pekalongan. Oleh karena itu batik Pekalongan merupakan integrasi dari berbagai budaya sehingga bisa menjadi simbol persatuan dan kesatuan. Batik Pekalongan menjadi simbol kehidupan masyarakat Pekalongan dan dari sanalah sumber kehidupan mereka berasal. Kekuatan batik Pekalongan didukung oleh kemampuan masyarakat untuk melakukan inovasi, kreatifitas, dan modifikasi-modifikasi yang terus diciptakan. Berdasarkan gambaran dari latar belakang tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini : 1. Batik Indonesia telah dikenal luas di berbagai wilayah baik di dalam negeri maupun luar negeri. Produk batik sangat bervariasi baik dalam jenis produk mau pun fungsinya yang selalu disesuaikan dengan perkembangan jaman. Bagaimana sejarah perkembangan batik di Indonesia? Mengapa batik yang merupakan produk lokal bisa dikenal secara luas dan digemari hingga pada level internasional? Faktor-faktor apa yang menyebabkan batik digemari oleh berbagai kalangan masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri? 2. Denyut nadi masyarakat Pekalongan sangat diwarnai oleh batik. Industri batik merupakan unsur penting dalam kehidupan masyarakat Pekalongan. Sejak kapan dan bagaimana batik berkembang menjadi komoditi industri yang bersifat massal di Pekalongan? Kelompok sosial manakah yang menjadi pioner berkembangnya batik sebagai komoditi industri? Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan Pekalongan menjadi salah satu pusat industri dan perdagangan batik yang penting di Indonesia? 3. Industri batik Pekalongan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Industri batik Pekalongan mampu berkembang dan bertahan, di bawah perubahan-perubahan politik dan ekonomi serta persaingan yang tajam baik yang bersifat lokal, nasional, mau pun internasional Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong perkembangan industri batik Pekalongan? Mengapa batik Pekalongan senantiasa mampu bertahan dalam menghadapi perubahan-perubahan ekonomi dan politik hingga mampu berkembang hingga saat ini? 4. Industri batik menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat Pekalongan. Apakah latar belakang ekonomi itu yang mendorong sebagian besar masyarakat Pekalongan menekuni usaha batik, meskipun pernah mengalami pasang surut dan jatuh bangun dalam usahanya? Bagaimana strategi mereka dalam menghadapi perubahan-perubahan situasi yang mempengaruhi kehidupan ekonomi dan perkembangan batik? 5. Batik Pekalongan melibatkan berbagai etnis dan komunitas, baik yang melakukan kegiatan secara langsung dalam industri dan perdagangan batik maupun yang tidak langsung. Oleh karena itu perlu ditelaah bagaimana peranan masing-masing etnis dan komunitas dalam industri batik dan perdagangan batik? Latar belakang apa yang memotivasi mereka mengelola usaha batik?. Bagaimana profil pengusaha, hubungan sosial dan hubungan ekonomi antar pengusaha dan antar etnis yang berkaitan dengan industri batik? B. Lingkup Penelitian Lokasi penelitian meliputi Kota Pekalongan yang menjadi daerah penghasil batik. Beberapa desa yang terkenal sebagai penghasil batik dengan motif ciri ragam hias dan warnanya masing-masing antara lain Kauman, Pesindon, Sampangan, Klego, Sugihwaras, Kraton, Grogolan, Krapyak, Panjang, Bendan, Poncol, dan desa-desa lain di dalam kota Pekalongan.# Tahun 1900 dijadikan awal periode dalam penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sejak tahun 1900 secara umum kondisi perekonomian di Jawa mengalami kemunduran kemakmuran yang serius.# Kehidupan ekonomi rakyat mengalami kesengsaraan dan penderitaan, sehingga issue yang serius tentang penurunan kesejahteraan (mindere welvaart) penduduk Jawa semakin meningkat. Kondisi ekonomi yang buruk itu telah mendorong lahirnya kesadaran ekonomi di kalangan penduduk pribumi.# Ke dua, pada tahun 1900-an muncul golongan elit baru yang membawa perubahan-perubahan besar dalam masyarakat Indonesia, antara lain dalam bidang ekonomi terjadi perubahan perindustrian yang membuka pasar dan peluang kerja yang luas. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan periode puncak dari peran ekonomi kelompok wirausahawan pribumi.# Industri batik dan garmen mengalami perkembangan, yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan sandang dari golongan elit baru tersebut. Dengan demikian terjadi kesejajaran antara munculnya elit baru sebagai hasil pendidikan dan lahirnya klas menengah borjuis pribumi.# Tahun 1998 ditetapkan sebagai akhir lingkup temporal penelitian, karena krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 dan berlangsungnya krisis multidimensional telah mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Ada yang mengatakan bahwa 40 juta orang Indonesia tidak mampu membeli makanan dan dalam kondisi rawan pangan. IMF meramalkan bahwa perekonomian menurun 10%.# Krisis ekonomi tersebut mengakibatkan tutupnya sebagian besar bahan baku yang berasal dari impor. Tentu saja kondisi ini sangat berpengaruh terhadap industri dan perdagangan batik, meski pun batik Pekalongan tetap eksis. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Kajian tentang industri batik sudah banyak dihasilkan, termasuk batik Pekalongan. Namun kajian-kajian tersebut belum ada yang menelaah secara komprehensif dan spesifik tentang industri batik Pekalongan dengan sudut pandang sosio-kultural dan mengkaitkan dengan munculnya komunitas batik dan identitas lokal. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan : 1. Kajian historis secara komprehensif mengenai pasang surut industri batik di Pekalongan pada tahun 1900-1998 dari aspek sosio-kultural dan sosial ekonomi serta penjelasan tentang bagaimana industri batik telah membentuk komunitas batik dan identitas lokal masyarakat Pekalongan. 2. Gambaran historis tentang peranan berbagai komunitas dan etnis dalam industri batik di Pekalongan, strategi mereka dalam menghadapi tantangan dan perubahan, relasi sosial antar komunitas, dan kehidupan ekonomi mereka. Oleh karena itu studi ini diharapkan dapat mendorong penelitian sejarah untuk mendalami masalah motivasi kerja, semangat kewirausahaan, perilaku ekonomi, peranan gender, dan pengaruh nilai-nilai sosial budaya pada tiap etnis terhadap kehidupan ekonomi. 3. Pemahaman tentang kontinuitas dan diskontinuitas dari industri batik Pekalongan pada tahun 1900-1998 yang meliputi aspek sosio-kultural dan sosial ekonomi. Pemahaman ini penting untuk mengetahui sisi mana yang hilang dan sisi lain mana yang masih berlanjut, bahkan berkembang, dari industri batik Pekalongan. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk : 1. Memperkaya historiografi Indonesia, khususnya tentang sejarah industri, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi bagi rumusan pemikiran kreatif untuk mengembangkan industri kecil di Indonesia. Mendorong terciptanya pemikiran kreatif dan strategis yang bisa memberi kontribusi untuk mengembangkan kewirausahaan di Indonesia. 2. Pemahaman tentang perubahan-perubahan sosial politik dan sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap kehidupan industri kecil secara operasional bisa dijadikan sebagai bahan perenungan dalam merumuskan kebijakan pembangunan yang berhubungan dengan upaya pengembangan industri kecil. 3. Mendorong pemikiran kreatif dan strategis untuk menjaga keberlanjutan berbagai aspek dari industri batik sehingga bisa meminimalisir sisi-sisi yang hilang dari industri batik. 4. Mengembangkan keunggulan komunitas, etos kerja yang tinggi, dan perilaku ekonomi yang rasional dan memiliki moralitas untuk memperkuat potensi ekonomi masyarakat dalam menghadapi persaingan global. 5. Menemukan identital lokal masyarakat Pekalongan yang bersumber pada industri batik. D. Kajian Pustaka Bagi masyarakat Pekalongan pengusaha batik merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai kedudukan penting. Dalam struktur sosial, kelompok ini merupakan kelompok elit yang memegang peranan penting dalam sektor ekonomi. Sebagai kelompok dengan profesi pengusaha dan pedagang, mereka dalam menjalankan profesinya menjalin hubungan dengan kelompok sosial yang luas dari berbagai daerah. Gambaran tentang pertumbuhan industri batik tersebut, mendukung pendapat Soeri Soeroto yang mengemukakan bahwa pada jaman kolonial industri kerajinan tumbuh di daerah pertanian sebagai kegiatan sampingan.# Setelah Politik Etis diresmikan, industri kerajinan mulai mendapat perhatian dari pemerintah kolonial sebagai alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena menyempitnya lahan pertanian. Fakta sejarah membuktikan bahwa pada masa krisis pertanian di Jawa, kegiatan sampingan seperti kerajinan rakyat berkembang sebagai kegiatan alternatif. Pada masa krisis pertanian, industri kerajinan banyak tumbuh dan berkembang walau pun kemudian menyurut lagi seiring dengan meredanya krisis. Kegiatan ini mula-mula muncul untuk memenuhi kebutuhan sendiri, namun sejak awal abad ke-20 sektor kerajinan menjadi aspek ekonomi yang penting. Hajriyanto Y. Thohari dalam penelitiannya tentang industri kerajinan batik tradisional di Desa Simbang Kulon Pekalongan menjelaskan bahwa pada umumnya perusahaan batik di Pekalongan adalah perusahaan keluarga. Pengeluaran keluarga identik dengan pengeluaran perusahaan, kebutuhan keluarga tidak terpisahkan dengan kebutuhan perusahaan. Kepala keluarga sekaligus menjadi manager perusahaan. Sedangkan anggota keluarga, anak dan istri, dilibatkan sepenuhnya dalam seluruh proses produksi dan jalannya perusahaan. Ada dua jenis pengusaha yaitu pengusaha-pedagang dan pengusaha-buruh. Sejak tahun 1970-an ada kecenderungan semakin merosot. Faktor penyebab kemerosotan itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, para pengusaha batik tidak mampu mengangkat unit usaha mereka menjadi industri menengah atau besar. Ke dua, bidang usaha yang mereka kuasai secara tradisional dan turun menurun itu menjadi sasaran investasi modal besar dan teknologi intensif dari perusahaan-perusahaan besar dan asing. Hal ini disebabkan pemerintah pada tanggal 10 Januari 1967 memberlakukan Undang-Undang No 1 Penanaman Modal Asing (PMA) dan tanggal 3 Juli 1968 Undang-Undang No 6 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).Kebijakan ituy menyebabkan tidak terelaknya lagi sebagian besar pengusaha tradisional atau produsen pribumi yang kemudian digantikan oleh perusahaan-perusahaan besar milik non pribumi atau asing. Sebagai perusahaan tradisional, proses sosialisasi dalam perusahaan batik berlangsung secara alamiah sejak anak-anak berusia dini, karena rumah dijadikan sebagai tempat usaha. Para pengusaha batik selalu bercita-cita agar salah satu anak laki-lakinya dapat meneruskan perusahaannya dan anak laki-laki lainnya mendirikan perusahaan sendiri setelah dikawinkan dengan bantuan modal. Dalam hal yang ke dua ini mereka menjalin aliansi perkawinan endogami antar pengusaha batik sehingga terjadi akumulasi modal dari dua keluarga. Tradisi semacam itu pada gilirannya menciptakan suatu pola hubungan kekerabatan di antara pengusaha batik, baik karena faktor genealogi maupun perkawinan.# Industri batik Pekalongan telah mengalami dua tahap perkembangan proses produksi. Pada awalnya sistem produksi batik ditandai oleh penggunaan produk terbatas di kalangan kraton. Kemudian sistem produksi batik bersifat masal yaitu untuk memenuhi permintaan pasar lokal, pasar dalam negeri, dan sebagian di pasar luar negeri. Sistem produksi subkontrak banyak dijumpai pada industri batik Pekalongan. Dalam istilah setempat sistem ini disebut sanggan. Sistem subkontrak menciptakan suatu kaitan antara pihak pemesan dan pihak produsen. Keuntungan bagi pihak pemesan adalah tidak terlibat secara langsung dalam proses produksi serta dapat menguasai seluruh rantai pemasaran. Sedangkan keuntungan bagi pihak subkontraktor adalah tersedianya bahan baku, bahan pendukung, dan terjaminnya pemasaran.# Pekalongan menjadi salah satu sentra industri batik di Indonesia, menghasilkan beberapa jenis batik di antaranya batik tulis, batik cetak, batik printing, dan batik motif abstrak yang merupakan hasil modifikasi. Kegiatan industri batik Pekalongan sangat fluktuatif. Berbagai faktor mendasari hal tersebut, terutama munculnya jenis batik printing yang memiliki kualitas lebih baik dan tingkat harga lebih murah dibandingkan dengan batik tulis maupun batik cetak. Persaingan antara sesama produsen kecil batik di daerah Pekalongan juga mengakibatkan pasar batik tulis sutera maupun batik motif abstrak menjadi sangat tidak stabil. Namun demikian ada kecenderungan secara umum kondisi kerja dan upah pengrajin batik tulis sutera lebih memprihatinkan dibanding dengan upah buruh pada batik motif abstrak. Variasi hubungan serta persaingan yang terjadi di satu pihak dapat menguntungkan sektor industri kecil, tetapi di lain pihak menyudutkan kedudukan pengusaha kecil sebagai produsen yang akhirnya mempengaruhi kesempatan usaha masyarakat setempat. Karena industri batik dihadapkan pada terbatasnya akses terhadap jasa perbankan dan pemasaran, maka di masa mendatang pola hubungan subkontrak akan menjadi alternatif yang akan dipilih dan dikembangkan oleh produsen batik. Dengan demikian, kecenderungan pengalihan sebagian besar resiko produksi dan resiko pasar dari pihak pemesan kepada pihak subkontraktor semakin jelas. Untuk perkembangan selanjutnya, ada kecenderungan posisi produsen batik tergeser menjadi buruh. Pergeseran ini merupakan implikasi penting dari hubungan produksi subkontrak semacam itu. Menurut Santoso Doellah, batik merupakan barang seni yang memiliki nilai-nilai kultural yang unik. Semula batik hanya digunakan sebagai pakaian eksklusif oleh keluarga kraton di Jawa, tetapi dalam perkembangannya telah meluas menjadi barang dagangan bagi masyarakat umum. Perubahan dari hasil kerajinan menjadi hasil industri sandang telah menempatkan batik sebagai bagian dari industri kerajinan. Batik terus mengalami perkembangan karena bisa dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Kehadiran batik telah dirasakan manfaat ekonomis bagi masyarakat, baik laki-laki mau pun wanita. Manfaat yang diperoleh dari kegiatan industri berupa penambahan penghasilan keluarga bagi produsen mau pun pedagang batik. Dalam perkembangannya industri batik telah berperan dalam perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Banyak tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan industri dan perdagangan batik sehingga mereka mampu membantu ekonomi keluarga. Sebagai busana, batik memiliki nilai yang tinggi yang berisikan konsepsi-konsepsi spiritual dalam bentuk-bentuk simbolik filosofis. Bahan busana lain diciptakan hanya semata-mata atas dasar nilai-nilai estetika, tidak memiliki makna simbolis. Sementara itu ornament batik menunjukkan dengan jelas pancaran nilai-nilai simbolik yang berhubungan erat dengan latar belakang pembuatan, penggunaan, dan kekuatan mistik. Batik kraton memberikan ciri desain tradisional khususnya batik-batik yang berasal dan berkembang di kraton Jawa. Penataan ornamen-ornamen dan pewarnaan merupakan peleburan nilai estetika, filofofi hidup, dan lingkungan alam kraton. Karya agung itu berhubungan dengan pandangan hidup dan tradisi-tradisi yang berlaku di kraton yang hingga saat ini masih dilestarikan sebagai busana yang kaya makna simbolis. Pengaruh Hindu Jawa tercermin dengan jelas pada batik kraton sehingga memperindah motif-motif batik dan memperkaya makna batik yang dibuat, misalnya ornamen-ornamen burung garuda dan pohon kehidupan adalah elemen-elemen mitologi Hindu Jawa. Ada pun perkembangan pelengkap seperti taru, merupakan elemen Jawa asli. Sementara itu gaya ornamen-ornamen dalam bentuk benda tidak hidup adalah hasil dari sentuhan Islam, karena bentuk manusia dan binatang dalam karya seni diharamkan. Pengaruh Islam dapat dilihat dengan jelas pada desain kawung. Pola garis dan corak kain batik memegang peranan penting untuk menentukan tata busana adat kraton. Asal mula busana para bangsawan kraton di Jawa diawali dengan digunakannya kain batik sebagai busana mereka. Ekspansi produksi batik menyebabkan kraton Surakarta dan Yogyakarta membuat peraturan-peraturan mengenai pemakaian batik. Di antaranya adalah pembatasan penggunaan desain untuk penguasa dan keluarga kerajaan, yang sering dikenal sebagai pola larangan. Pihak kraton mengeluarkan peraturan mengenai larangan pemakaian motif-motif tertentu yang khusus hanya untuk kerabat kraton dan menjadi larangan bagi masyarakat umum. Peraturan ini pernah dikeluarkan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana III dari Kasunanan Surakarta pada tahun 1769. Batik dalam bentuk jarit yang termasuk larangan adalah batik sewat dan batik parang rusak, batik cemukiran yang terdiri dari modang, bangun tulak, leng-teleng, daregem, dan tumpal. Ada pun batik cemukiran yang terdiri dari lung-lungan atau steliran bunga diijinkan dipakai oleh patih, wedana, dan kerabatnya. Motif larangan juga dikeluarkan oleh Kasultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VII, pola batik larangan lebih ditekankan pada motif huk dan corak kawung. Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri dari motif kerang, binatang, cakra, burung, sawat, dan garuda. Motif kerang merupakan lambang air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati. Binatang menggambarkan watak sentosa dan pemberi kemakmuran. Motif burung huk dipakai sebagai simbol kepemimpinan dan budi luhur, sedangkan motif sawat merupakan ungkapan ketabahan hati. Dengan demikian pemakaian batik motif huk mempunyai harapan agar pemakaianya dapat menjadi pemimpin yang berbudi luhur, dapat memberi kemakmuran kepada rakyat, dan selalu tabah dalam menjalankan pemerintahan. Karena raja sebagai pimpinan tertinggi suatu kerajaan, maka batik motif huk hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota Di Jawa ada beberapa motif batik yang berhubungan dengan pemakai dan pengaruh lingkungan sosial budaya yaitu batik kraton, batik sudagaran, batik petani, batik Belanda, dan Batik Cina. Seperti sudah disebutkan di atas bahwa kraton berasal dari istana-isatana Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta yang meliputi batik ciri khas dari Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Akan tetapi sebenarnya batik kraton juga dapat ditemukan di Kraton Cirebon dan Kraton Sumenep Madura. Batik kraton memiliki pola-pola dan warna khas yang mengacu pada nilai-nilai filosofis seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sementara itu batik sudagaran adalah batik untuk kaum pedagang yang mendapat pengaruh dari cita rasa masyarakat pedagang. Sementara itu batik petani merupakan hasil adaptasi dari desain tradisional yang dipadu dengan lingkungan desa. Batik Belanda baik pola maupun warna mendapat pengaruh kuat dari bangsa Belanda dengan ciri khas buket, sedang batik Cina merupakan refleksi dari pengaruh budaya Cina. Batik kemudian berkembang secara luas dan digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat.# Penelitian Lance Castles di Kudus tampaknya bermanfaat sebagai bahan pembanding untuk mengkaji perkembangan industri batik Pekalongan. Lance Castles menunjukkan bahwa Kudus juga merupakan salah satu kota penghasil industri batik, meskipun lebih dikenal sebagai pusat industri rokok kretek. Istri-istri orang Kudus sangat berbudi luhur, membiayai keluarga dengan membatik dan industri-industri lainnya, sementara suami mereka pergi berdagang bertahun-tahun lamanya. Pada tahun 1930-an, buruh-buruh pada industri batik didatangkan dari daerah Rembang, Pekalongan, Demak, Sala, dan Yogyakarta. Buruh-buruh industri batik lebih banyak dari Rembang dan Lasem, karena di sana industri batik milik Cina mengalami kemunduran sejak Perang Dunia I. Golongan menengah pribumi di Kudus mencapai tingkat kekayaan dan kesadaran diri yang lebih baik dibanding dengan golongan atas aristokrat, intelektual, dan pegawai. Mereka telah berhasil menciptakan industri, tetapi gagal untuk tetap menguasai saham industri dalam persaingan dengan Cina. Secara ekonomi dan ideologi mereka tetap lemah karena ikut sertanya kaum borjuis asing yang lebih berpengalaman. Kudus merupakan tempat ikatan Islam cukup kuat dan salah satu daerah kantong pengusaha pribumi. Terdapat beberapa kelemahan dari para pengusaha pribumi dalam mengelola industri rokok antara lain kontak dengan orang luar sangat terbatas, perselisihan warisan, kecenderungan bersikap konsumtif untuk membeli rumah dan barang mewah, Sementara itu, para pengusaha Cina memikat buruh yang terampil dengan memberi upah yang lebih tinggi, mempunyai ilmu perusahaan yang lebih baik, dan lebih mampu merebut pasar-pasar baru.# Gambaran sejarah pertumbuhan ekonomi dan karakteristik para pengusaha industri kerajinan batik di Pekalongan mengingatkan kita pada studi Clifford Geertz di Mojokuto dan Tabanan.# Penelitian Geertz cukup cermat dengan memberikan gambaran mengenai tipe-tipe pertumbuhan ekonomi perdagangan; ekonomi tipe tukang, tipe pasar, dan tipe firma dari masyarakat pedagang di Mojokuto, Jawa Timur dan Tabanan, Bali. Penelitian di dua daerah tersebut relevan dengan industri batik Pekalongan, karena di Mojokuto Geertz menjelaskan tentang tipe ekonomi bazaar sedang di Tabanan tipe ekonomi firma, yang keduanya ada di Pekalongan. Di Mojokuto golongan pedagang muncul dari kaum santri yang berpikiran maju yang memasuki sektor perdagangan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi di daerah sekelilingnya, sedang di Tabanan golongan entrepreuners muncul sesudah Revolusi Fisik dari kaum bangsawan yang merupakan golongan elit politik. Di Tabanan pengusaha muncul dari golongan aristokrat yang terdesak kedudukannya. Mereka melakukan rasionalisasi ekonomi dengan menggunakan adat kebiasaan lama untuk usaha yang modern. Pola hubungan sosial yang bersifat tradisional digunakan ke arah pola-pola kegiatan ekonomi yang sedang mengalami perubahan. Para bangsawan berubah dari elite politik menjadi pengusaha di sektor industri transportasi, perhotelan, pariwisata, makanan, garmen, dan lain-lain. Dalam studi tentang kelas kapitalis di Indonesia, Richard Robinson, menggunakan istilah  birokrat kapitalis untuk para pengusaha Indonesia yang mempunyai hubungan atau bergantung pada kekuasaan negara. Birokrat kapitalis adalah mereka yang pernah atau masih memegang jabatan birokratis. Mereka menggunakan jabatan itu untuk akumulasi modal awal mereka. Jika mereka tidak lagi memegang jabatan birokratis, mereka masih mempertahankan hubungan yang dekat dengan pemerintah dan memanfaatkannya untuk bisnis mereka. Robinson menegaskan bahwa sepanjang kelompok kapitasli asli muncul di Indonesia, birokratis borjuislah yang mengumpulkan uang tanpa resiko. Bagi para birokratis kapitalis, penggunaan hak istimewa ekonomi yang dilindungi secara politis terbukti menjadi jalan akumulasi modal dibanding transformasi spontan dari dasar perdagangan berskala kecil dan komoditas produksi. Hal ini berlaku tidak hanya bagi kategori pengusaha industrial besar, yang berbasis di kota, namun juga bagi para elit pedesaan.# E. Kerangka Konseptual Studi yang berhubungan dengan munculnya kelas wirausaha di Indonesia cenderung menggunakan aspek sosio-kultural dari tindakan pengusaha. Perspektif sosio-kultural ini diinspirasikan oleh tesis etika Protestan dari Max Weber yang menekankan pada lekatnya budaya perkembangan kapitalis dan motivasi ideologi untuk pencarian keuntungan di antara kapitalis Eropa. Menurut Max Weber, perkembangan ekonomi erat kaitannya dengan agama dan etos kerja. Para pemimpin bisnis, pemilik modal, karyawan perusahaan yang memiliki semangat kerja dan skill yang tinggi di Eropa Barat adalah penganut agama Protestan. Mereka memandang kerja atau mencari uang adalah beruf, yaitu panggilan yang merupakan tugas suci untuk memperoleh rahmat. Ada hubungan yang fundamental antara aktivitas ekonomi dengan prinsip-prinsip keagamaan. Pencarian harta duniawi mengandung nilai etika yang positif. Kejujuran sangat berguna dalam kegiatan ekonomi dan memperoleh kredit. Ketepatan waktu, sikap rajin, hati-hati, hemat, merupakan nilai kebajikan. Sebaliknya membuang-buang waktu dan kekayaan yang menyebabkan kemalasan duniawi adalah dosa. Etika Protestantisme menolak kenikmatan pengguna harta benda duniawi. Pemakaian kekayaan khususnya barang mewah harus dibatasi.# Etika Protestantisme dari kaum borjuis di negara-negara Eropa Barat mirip dengan etos kerja pengusaha dan pedagang santri Jawa, termasuk di Pekalongan yang memiliki ciri adanya ikatan kuat antara unsur kerja duniawi dengan perdagangan. Terdapat hubungan historis dan fungsional antara Islam dengan perdagangan. Tentang meningkatnya golongan pedagang di Mojokuto, Geertz menggeneralisasi adanya hubungan yang harmonis, historis, dan fungsional antara Islam dan perdagangan. Etos kerja harus dipandang secara kontesktual dalam arti harus terkait dengan kondisi-kondisi yang berlaku dalam masyarakat. Mengejar kepentingan duniawi adalah suatu kebajikan dari ajaran Islam bila dilakukan seimbang dengan kegiatan rohani. Dengan menekankan keseimbangan antara mengejar tujuan duniawi sebagai suatu kebajikan di dalam ajaran Islam terjadilah suatu reformasi yang telah tersebar luas di kalangan pedagang kota di seluruh Jawa. Geertz melihat adanya pranata yang sangat longgar dalam hubungan antara pedagang besar dan pedagang pengecer. Dalam skala kecil yang menembus ke dalam berbagai macam pemeluk agama, mereka bebas didatangi, tanpa biaya yang besar, dan tersebar luas ke seluruh daerah pedalaman. Oleh karena itu di Jawa masjid dan pasar merupakan pasangan yang ideal. Relevan dengan konsep Geertz, masyarakat santri di Pekalongan banyak yang menjadi pengusaha, kecil sampai besar. Ada hubungan yang sangat jelas antara butir-butir ajaran Islam, bukti-bukti sejarah, dan realitas pertumbuhan wirausaha di kalangan santri.# Terdapat kecenderungan bahwa industri batik di Pekalongan dikelola oleh suatu kelompok, yang mula-mula dirintis oleh seseorang lalu mengajak kerabat terdekatnya untuk mengembangkan usaha. Buktinya ada kecenderungan jenis, teknik, ketrampilan, dan pelaku usaha menunjukkan hubungan keluarga dan tempat yang berdekatan. Dari kalangan masyarakat pribumi, pengusaha batik di Pekalongan adalah wong kaji yaitu orang yang cukup kaya dan bermodal. Di samping untuk usaha pembatikan, ada juga yang untuk usaha lain seperti pertanian, perikanan, dan perdagangan. Posisi wong kaji cukup terhormat karena mereka adalah orang yang alim, berinisiatif untuk membuat kemajuan, dan memiliki modal untuk usaha pembatikan. Adanya kewajiban ibadah haji bagi yang mampu, mendorong kaum muslim untuk berusaha semaksimal mungkin agar dapat melaksanakan kewajiban itu, termasuk para pengusaha santri. Mereka termotivasi untuk bekerja keras, berhemat, mengatur keuangan dengan teliti, membelanjakan uang keperluan yang penting saja, dan menabung. Ilmuwan berpendapat bahwa nilai-nilai budaya Indonesia tidak kondusif bagi pengembangan usaha ekonomi rasional, karena budaya Indonesia menekankan ketergantungan pada pemimpin, bersikap konformis, dan bersifat apatis. Nilai-nilai ini menghalangi munculnya perusahaan besar yang berteknologi maju. Sebagai pengusaha, mereka memiliki kekayaan dan kekuasaan dan telah berhasil menjadi elit lokal, namun mereka kurang memiliki keahlian organisasional dan menejerial serta tidak memiliki semangat kapitalis. Mereka tampak puas dengan kekayaan yang telah mereka dapatkan dan tidak menggunakan bentuk organisasional yang maju dan lebih bijaksana, namun tetap bergantung pada modal luar dan teknologi, berdasar pada dukungan negara. Bahkan setelah krisis ekonomi di Asia Tenggara pada tahun 1997, pengusaha pribumi di Indonesia, serta pengusaha industrial tampak diberi dukungan yang lebih dari sebelumnya.# Kerangka konseptual dari penelitian ini akan menggunakan pemikiran teoretis di atas untuk mengkaji potensi berbagai komunitas dalam industri batik di Pekalongan. Di samping itu digunakan pendekatan ilmu ekonomi, karena kegiatan industri merupakan aktivitas di bidang ekonomi produktif untuk mengolah bahan mentah menjadi barang yan bernilai untuk dijua. Sebagai bagian dari sistem perekonomian, kegiatan industri identik dengan proses produksi yang untuk kelangsungannya perlu ditunjang dengan manajemen serta pemasaran hasil-asil produksi. Sebuah sistem industri terdiri dari unsur-unsur fisik dan unsur perilaku manusia. Unsur fisik berupa komponen tempat yang meliputi kondisi, peralatan, dan bahan mentah. Ada pun unsur perilaku manusia meliputi komponen tenaga kerja, ketrampilan, tradisi, transportasi, dan komunikasi, serta keadaan pasar dan politik. Perpaduan antara unsur fisik dan perilaku manusia membuat aktivitas indusri harus melibatkan berbagai faktor.# Kerja sama dalam mendirikan dan mengelola perusahaan industrial bukanlah sesuatu yang dibatasi pada anggota unit keluarga yang sama. Keterlibatan bersama dalam usaha bisnis yang beragam mencakup satu dari banyak alasan, banyak keluarga memilih untuk membentuk gabungan keluarga. Seseorang yang menjalankan beberapa bisnis pada saat yang sama, sering kali pada sektor yang berbeda, tidak akan mampu untuk bekerja penuh waktu pada bisnis yang baru saja dibangun dan pada umumnya membutuhkan partner bisnis yang terpercaya. Alasan lain mengapa banyak keluarga membentuk gabungan adalah karena mereka berakar dari pertanian dan perdagangan; kurang pengalaman dalam pengelolaan industrial, kekurangan waktu atau modal, yang menggerakkan mereka untuk bersatu dalam usaha kolaboratif dengan orang lain. Terbentuknya komunitas batik dan identitas lokal masyarakat Pekalongan dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan sosio-kultural. Faktor sosial ekonomi antara lain kebutuhan untuk memperoleh modal, bahan baku, lapangan kerja, pemasaran, dan masalah proses produksi dan manajemen. Ada pun faktor sosio-kultural adalah kebutuhan untuk memperoleh relasi sosial untuk mendukung kelanggengan proses produksi dan distribusi, memperoleh perangkat simbolik tertentu, kebutuhan akan pengakuan eksistensi, masalah perilaku ekonomi dan etos kerja. Suatu pergantian dari determinan struktural dan budaya perkembangan pengusaha terhadap fokus akan agen manusia mengarah pada pandangan bahwa pengusaha skala kecil tidak hanya produk proses ekonomi yang meluas atau sistem budaya, namun pelaku yang membawa transformasi kapitalis. Pengusaha, baik kecil atau besar, bertindak dengan sadar, baik secara sendiri ataupun bersama, untuk melanjutkan tujuan sosial, ekonomi atau politik. Strategi pengusaha pedesaan di india, Indonesia dan Malaysia, seperti peningkatan sosial, akumulasi modal sosial dan perkembangan pengaruh sosio-politik, dipekerjakan oleh pengusaha ini untuk meningkatkan tidak hanya kepentingan mereka sendiri, namun juga semua kepentingan kelas ataupun kelompok sosial mereka. Jika hal ini begitu adanya, penelitian dalam kapitalis pedesaan dapat menyediakan suatu sarana untuk proses pembelajaran formasi kelas, yang juga memiliki implikasi ekonomi dan politik bagi masyarakat yang terkait. Untuk memahami tentang komunitas digunakan pendekatan sosiologis dan antropologis. Komunitas merupakan suatu kelompok sosial yang tinggal di suatu wilayah tertentu, memiliki ciri-ciri tertentu, dan hidup dalam kebersamaan. Komunitas bisa diikat oleh ikatan lokalitas misalnya komunitas desa, kota; ikatan ekonomi yaitu atas dasar profesi; dan ikatan kultural misalnya komunitas santri, mutihan, abangan. Kajian tentang komunitas digunakan untuk memahami masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kajian komunitas digunakan untuk melacak aspek tipologi komunitas, peta kewilayahan yang dihuni komunitas, serta proses pertumbuhan dan perkembangan komunitas atas dasar etnisitas dan skill yang dimiliki.# Terbentuknya komunitas batik dan identitas lokal masyarakat Pekalongan dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan sosio-kultural. Faktor sosial ekonomi antara lain kebutuhan untuk memperoleh modal, bahan baku, lapangan kerja, pemasaran, dan masalah proses produksi dan manajemen. Ada pun faktor sosio-kultural adalah kebutuhan untuk memperoleh relasi sosial untuk mendukung kelanggengan proses produksi dan distribusi, memperoleh perangkat simbolik tertentu, kebutuhan akan pengakuan eksistensi, masalah perilaku ekonomi dan etos kerja. Masalah itu juga akan dijadikan sebagai kerangka konseptual dalam penelitian ini. F. Metode Penelitian Seperti yang sudah disebutkan dalam kerangka konseptual, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis, antropologis, dan ilmu ekonomi. Teori dan konsep-konsep tersebut digunakan sebagai kerangka berpikir dalam pengumpulan data, seleksi data, intrepretasi fakta, dan analisis fakta-fakta sejarah yang diperoleh. Metode sejarah digunakan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menyeleksi sumber-sumber yang relevan, dan mengujinya secara kritis untuk memperoleh sumber-sumber sejarah yang otentik dan kredibel sehingga menghasilkan fakta sejarah. Fakta sejarah kemudian dianalisis ke dalam suatu uraian yang sistematis dan diletakkan dalam konteks historis. Agar kajian historis mampu mengungkapkan berbagai tingkat dan dimensi sesuai dengan fenomena atau realitas sejarah, pembahasan harus dilakukan secara analitis yang berpusat pada masalah dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan mengapa, bagaimana, dan apa jadinya fenomena sejarah yang dikaji.# Sumber yang digunakan dalam penelitian berupa sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis tentang industri batik cukup memadai sebagai bahan penelitian, baik berupa sumber primer mau pun sumber sekunder. Sumber primer dapat diperoleh dari berbagai jenis arsip yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta dan Badan Arsip Daerah Jawa Tengah, data statistik di Biro Pusat Statistik, laporan-laporan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Di samping itu juga digunakan sumber sekunder berupa hasil-hasil penelitian, karya ilmiah, buku-buku, dan berbagai tulisan lain yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta, beberapa perpustakaan di Yogyakarta, Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah, dan perpustakaan di Pekalongan. Penelitian ini juga menggunakan sumber benda berupa produk batik, peralatan baik, bangunan-bangunan, dan berbagai jenis barang yang merupakan peninggalan dari aktivitas industri batik. Jenis-jenis sumber ini diperoleh dari Museum Batik di Pekalongan, dan koleksi pribadi. Mengingat periode yang dipilih dalam penelitian ini hingga tahun 1998, maka akan digunakan pula metode oral history untuk mencari informasi tentang berbagai hal yang terkait dengan industri batik Pekalongan. Sebelum terjun ke lapangan, perlu disusun interview guide untuk memudahkan wawancara dengan informan. Informan diharapkan dapat memberi informasi dan memahami situasi yang terkait dengan perkembangan industri batik. Seleksi informan akan dilakukan sesuai dengan kapasitas, integritas, intensitas perhatian, dan kemampuan informan dalam menyampaikan kebenaran. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai usaha industri batik juga digunakan penelitian riwayat hidup atau life history. Data riwayat hidup ini mengungkap proses munculnya pengusaha, pedagang, atau komunitas terkait lain serta usaha-usaha yang dilakukan dalam industri batik. Metode wawancara secara mendalam juga digunakan untuk memperoleh data tentang awal mula usaha industri batik menjadi pilihan, motivasi, pengelolaan usaha. hubungan kerja, pemasaran, dan beberapa hal untuk melengkapi sumber tertulis. Pengumpulan sumber sejarah lisan mempunyai teknik-teknik dan prasarana tersendiri. Pekerjaan yang terpenting adalah : wawancara, menyalin, dan menyunting.# Wawancara ini dilakukan terhadap para juragan (pengusaha dan pedagang batik), buruh batik, pedagang eceran, tokoh masyarakat, dan kelompok masyarakat lain yang memiliki keterkaitan dengan industri dan perdagangan batik. G. Sistematika Penulisan Penulisan ini terdiri dari lima bab. Bab I Pendahuluan meliputi uraian tentang latar belakang dan permasalahan, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Latar belakang menguraikan problematika dan faktor-faktor yang mendasari dan memiliki arti penting mengapa penelitian dilakukan. Pada bagian ini juga diuraikan rumusan permasalahan tentang berbagai problem yang terkait dengan pokok masalah yang akan dijelaskan dalam penulisan. Ruang lingkup penelitian menguraikan mengenai batasan secara geografis wilayah penelitian dan batasan temporal dalam penulisan laporan penelitian. Tujuan dan manfaat penelitian menerangkan tentang sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian dan manfaat yang diharapkan bisa diperoleh dari penelitian. Kajian pustaka menerangkan tentang buku-buku yang ditelaah untuk memperjelas pembahasan, sedang kerangka konseptual menjelaskan tentang kerangka pemikiran. Bab ini juga menjelaskan metode untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data. Bab II menguraikan tentang perkembangan gambaran umum Pekalongan dengan sudut pandang dari sisi geografis, ekonomis, sosiologis, dan budaya. Secara geografis diuraikan tentang letak dan kondisi geografis, situasi demografis, batas-batas dan luas wilayah Pekalongan. Sebagai kota yang terletak di pantai utara Jawa Pekalongan juga dikenal sebagai kota pelabuhan dan perikanan. Bagian ini menguraikan pula tentang situasi Pekalongan yang tidak hanya dikenal sebagai kota batik saja, tetapi juga sebagai kota santri. Penduduk Pekalongan dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang kuat, sehingga istilah wong kaji sangat melekat pada masyarakat Pekalongan. Bab ini juga menguraikan tentang kondisi ekonomi Pekalongan yang meliputi potensi di bidang pertanian, industri, perdagangan, pariwisata, dan perikanan. Uraian mengenai kondisi sosial budaya menguraikan tentang cerita rakyat, tradisi, sistem kepercayaan, mitos, dan pendidikan di Pekalongan. Selain itu juga diuraikan Pekalongan sebagai sentra batik yang meliputi uraian mengenai asal mula tradisi membatik yang kemudian berkembang menjadi sistem mata pencaharian di Pekalongan. Bab III menguraikan tentang batik Pekalongan pada masa kolonial Belanda. Pada bagian ini diuraikan berbagai pendapat para ahli tentang awal mula dan sejarah perkembangan batik. Uraian terdiri dari beberapa sub bab antara lain penjelasan tentang perkembangan batik Pekalongan sejak abad ke-19 hingga akhir penjajahan Belanda. Selanjutnya juga diuraikan hubungan antara majikan yang berasal dari berbagi etnis dan buruh dari kota maupun desa. Diuraikan pula hubungan antara para pemborong dan majikan serta tentang kehidupan para buruh yang mengalami himbitan ekonomis sangat berat. Bab IV menjelaskan tentang perkembangan batik Pekalongan sejak jaman Jepang hingga saat ini. Pada bagian ini dijelaskan tentang munculnya Batik Jawa Hokokai pada jaman Jepang, aktivitas industri dan kondisi perdagangan batik pada masa revolusi dan awal kemerdekaan, kejayaan industri dan perdagangan batik pada masa politik banteng dan masa orde lama, dan kehidupan industri batik yang mengalami kemerosotan pada masa orde baru. Kehidupan industri dan perdagangan batik mengalami pasang surut yang membentuk batik Pekalongan memiliki corak dan warna yang sangat bervariasi dan membina karakter masyarakat pendukungnya menjadi kuat dan tangguh. Bab ibi juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi batik Pekalongan mampu bertahan dan terus berkembang hingga saat ini. Sebagai penutup, penulisan laporan penelitian ini diakhiri dengan kesimpulan pada bab V. BAB II GAMBARAN UMUM KOTA PEKALONGAN A. Setting Historis Pekalongan sejak jaman dahulu memang dikenal sebagai daerah pelabuhan. Singawangsa, merupakan nama penguasa Pekalongan yang oleh H.J de Graaf sering diceritakan dalam konteks hubungan dengan Mataram maupun kompeni.# VOC pernah melindungi pangeran dari Cirebon terhadap serangan Banten dengan mendirikan benteng perlindungan atau loji di Pekalongan pada tahun 1864.# Sampai saat ini belum jelas asal usul dan kapan munculnya nama Pekalongan pertama kali. Prasasti ataupun data-data yang bisa dipertanggungjawabkan belum dapat ditemukan. Namun demikian, cerita rakyat atau legenda mengenai ini sudah meluas dengan versi yang berbeda-beda. Pekalongan mulai berdiri diperkirakan pada zaman pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusumo di Mataram. Sebelum berdiri, pada awalnya telah ada daerah Wiradesa dan Batang yang terbentuk pada awal masuknya Islam di Pantai Utara Jawa. Ada beberapa versi asal-usul nama Pekalongan. diantaranya adalah berasal dari istilah: Pek Along, Kalang, Keling/Kalingga, Topo Ngalong, binatang kalong/kelelawar. Namun yang sering digunakan sebagai acuan asal kata Pekalongan ada dua versi. Versi pertama nama Pekalongan berasal dari kata-kata  topo ngalong yang mempunyai makna bertapa dengan cara kalong (kelelawar). Menurut legenda, dikisahkan ketika Raden Baurekso bertapa di Alas Gambiran (hutan Gambiran) tak ada satupun yang bisa membangunkannya, termasuk Raden Nganten Dewi Lanjar (Ratu Pantai Utara Jawa). Prajurit siluman utusan Dewi Lanjar yang ditugaskan untuk mengganggu, dapat dikalahkan dengan kekuatan gaib Raden Baurekso. Selanjutnya dikisahkan bahwa Dewi Lanjar bertekuk lutut dan dipersunting olehnya. Satu-satunya orang yang dapat membangunkan Raden Baurekso dari topo ngalongnya adalah seorang utusan dari Mataram bernama Tan Kwie Djan. Akhirnya Raden Baurekso bersama Tan Kwie Djan pergi ke Mataram untuk menerima tugas lebih lanjut.# Pada awal abad ke-17 pasukan Sultan Agung yang dipimpin oleh Raden Baurekso sebagai panglimanya, berhasil menumpas bajak laut yang mengganggu perairan utara Jawa Tengah dan mendirikan pusat pertahanan terhadap Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), atau yang lebih dikenal dengan sebutan kompeni, di Pekalongan. Kompeni menduduki daerah pantai Pekalongan, sedangkan pasukan Raden Baurekso berada di desa-desa sekitarnya. Raden Baurekso menggunakan siasat seperti kalong (topo ngalong) dalam menghadapi kompeni, yaitu pada malam hari bersama pasukannya bergerak menyerang musuh, sedangkan pada siang hari hidup menyatu di tengah-tengah masyarakat pedesaan sebagai rakyat biasa untuk menghindari kejaran kompeni. Berkat taktik gerilya tersebut maka Raden Baurekso berhasil mempertahankan Pekalongan dari jajahan kompeni.# Raden Baurekso adalah seorang tokoh yang berjasa atas berdirinya kota Pekalongan dan sekitarnya. Terdapat banyak nama tempat atau desa yang bersumber dari kisah tersebut. Versi ke dua, asal nama Pekalongan berasal dari kata Pek dan Along yang mempunyai bermacam arti, diantaranya adalah: Pek = seratus, Pak De (Si Wo), luru (mencari, apek). Sedangkan Along yang berasal dari kata Halong, merupakan bahasa sehari-hari nelayan yang berarti dapat banyak. Pek Along kemudian berarti mencari ikan di laut dapat (hasil). Dari kata Pek Halong kemudian menjadi a-pek-h-along-an = Pekalongan. Berdasarkan keterangan tersebut, maka muncul ketetapan masalah lambang yang dipakai Kodya Pekalongan sampai sekarang, yang awalnya berasal dari produk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Besar Pekalongan tertanggal 29 Januari 1957 dan diperkuat dengan dicantumkannya Tambahan Lembaran Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah tanggal 15 Desember 1958 Seri B Nomor 11. Hal ini juga disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan keputusannya tanggal 4 Desember 1958, Nomor: Des. 9/52/20, dan telah mendapatkan persetujuan Penguasa Perang Daerah Teritorium IV dengan surat keputusannya tanggal 18 Nopember 1958, Nomor: KPTS-PPD/00351/11/1958.# Gambar: Simbol Kota Pekalongan B. Kondisi Geografi dan Demografi Kota Pekalongan terletak di dataran rendah Pantai Utara Pulau Jawa, dengan ketinggian kurang lebih satu meter di atas permukaan laut. Posisi geografis Kota Pekalongan terletak antara 650 42  - 655 44  Lintang Selatan dan 10937 55  - 10942 19  Bujur Timur, serta berkoordinat fiktif 510,00  518,00 Km membujur dan 517,75  526,75 Km melintang.# Secara administratif batas-batas wilayah Kota Pekalongan adalah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, sebelah barat dengan Kabupaten Pekalongan dan sebalah timur dengan Kabupaten Batang. Keadaan tanah di Kota Pekalongan berwarna agak kelabu dengan jenis tanah aluvial kelabu kuning dan aluvial yohidromorf. Kota Pekalongan memiliki luas daerah sekitar 45,25 Km, dengan jarak terjauh dari utara ke selatan 9 Km dan dari barat ke timur 7 Km. Adapun jarak dari Kota Pekalongan dengan beberapa kota lain adalah: jika ke Semarang: 101 Km, Jakarta: 384 Km, Bandung: 266 Km, Surabaya: 488 Km, Yogyakarta: 219 Km, Brebes: 78 Km, Tegal: 65 Km, Pemalang: 35 Km dan Batang: 8 Km.# Wilayah kota Pekalongan terdiri dari empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Pekalongan Barat, Pekalongan Timur, Pekalongan Selatan, dan Pekalongan Utara. Sementara itu kondisi curah hujan di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan iklim, geografi dan perputaran atau pertemuan arus udara, oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan stasiun pengamat. Rata-rata curah hujan Kota Pekalongan selama tahun 2002 berkisar antara 1 mm pada bulan November sampai dengan 902 mm pada bulan Februari. Antara curah hujan dan keadaan angin biasanya ada hubungan erat satu sama lain. Walaupun demikian, di beberapa tempat di Indonesia hubungan tersebut agaknya tidak selalu ada. Keadaan angin pada musim hujan biasanya lebih kencang dan angin bertiup dari barat dan barat laut, karena itu musim tersebut dikenal juga dengan musim barat. Pada musim kemarau angin timur bertiup dari benua Australia dengan cukup kencang. Secara administratif Kota Pekalongan terbagi dalam empat Kecamatan. Luas wilayah Kota Pekalongan 4525 Ha atau sekitar 0,14% dari luas wilayah Jawa Tengah (luas wilayah Jawa Tengah 3254 ribu Ha). Luas yang ada terdiri dari 32,81% tanah sawah dan 67,19% tanah kering. Jika dibandingkan dengan tahun 2001, tanah sawah pada tahun 2002 berkurang 11 Ha. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya jumlah penduduk yang mengakibatkan kebutuhan akan perumahan meningkat yang berdampak pada berkurangnya luas tanah sawah.# Terdapat Terdapat 8 sungai utama yang melewati wilayah Kota Pekalongan dengan panjang aliran antara 2  7 Km, Sungai Banger, Sungai Bremi, Sungai Sebulan, Sungai Widuri, Sungai Kuripan, Sungai Gamer dan Sungai Simbang. Kota Pekalongan termasuk kota dengan temperatur sedang, yaitu suhu rata-rata antara 26  28 derajat celcius, suhu terendah adalah 22 derajat celcius dan suhu tertinggi 32 derajat celcius. Lokasi Kota Pekalongan berada di jalur utama Pantai Utara Jawa yang menghubungkan berbagai kota dari Jawa Timur sampai dengan Propinsi Banten. Masyarakat Kota Pekalongan yang majemuk, terdiri atas bebarapa suku yaitu : Suku Jawa, Suku Arab, Suku Tionghoa dan beberapa pendatang dari Suku Madura, Padang dan Batak. Mata pencaharian masyarakat Pekalongan adalah Tani, Dagang dan Industri khususnya Batik, nelayan dan usaha di bidang jasa. Sedangkan agama yang dianut adalah mayoritas beragama Islam, sebagian lainnya beragama Katholik, Kristen, Hindu dan Budha.# Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan untuk menuju pada terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya. Untuk itu pemerintah kota Pekalongan berusaha melakukan upaya-upaya untuk melaksanakan pembangunan demi menciptakan kesejahteraan penduduk di kota Pekalongan. Jumlah penduduk kota Pekalongan pada tahun 2006 adalah 268.470 jiwa, terdiri dari 132.557 laki-laki (49,37%) dan 135.913 perempuan (50,63 %). Sementara banyaknya rumah tangga adalah 66.778. Kepadatan penduduk kota Pekalongan cenderung mengalami peningkatan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Ratio (Dependency Ratio) kota Pekalongan cukup kecil, hal ini disebabkan karena jumlah penduduk usia 15-64 tahun lebih besar daripada penduduk berusia 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas. Untuk itu, pemerintah kota Pekalongan terus meningkatkan program Keluarga Berencana, sehingga diharapkan peserta KB semakin meningkat dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2006 tercatat jumlah peserta KB baru sebanyak 6.729 orang.) Adapun jumlah Kepala Keluarga (KK) penduduk kota Pekalongan sebanyak 65.713. Dari jumlah tersebut jumlah Keluarga Pra Sejahtera sebesar 16.424 atau sebesar 24,99%, sedangkan jumlah keluarga sejahtera sebanyak 15.574 atau sebesar 23,70%.# Tingkat perkembangan penduduk alami rata-rata mengalami peningkatan. Untuk tahun 2004 sebesar 8,86%, tahun 2005 sebesar 11,36 %, dan tahun 2006 sebesar 11,59 %. Berdasarkan kelompok umur, banyaknya penduduk kota Pekalongan pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 : Banyaknya Penduduk Kota Pekalongan Menurut Kelompok Umur Tahun 2006 Sumber: BPS Kota Pekalongan, 2006: 49 Di kota Pekalongan penduduknya meliputi berbagai macam kewarganegaraan. Pada tahun 2006, jumlah Warga Negara Indonesia sebanyak 268.338 dan Warga Negara Asing (WNA) sebanyak 132 orang, terdiri atas 125 orang warga negara Cina dan 8 orang WNA lainnya. Dari keseluruhan jumlah penduduk kota Pekalongan ini terdari dari 66.778 keluarga, sehingga rata-rata jumlah anggota keluarga di kota Pekalongan adalah 4 orang. Sementara kepadatan penduduk berdasarkan jumlah penduduk dibanding luas daerah 45,25 km2, adalah 5,933.# Berkaitan dengan angka kelahiran menunjukkan data peningkatan selama tiga tahun terakhir, yaitu tahun 2004 mencapai 2.344, tahun 2005 mencapai 3.033, dan tahun 2006 mencapai 3.108. Sementara data tentang kematian menunjukkan angka yang fluktuatif, yaitu tahun 2003 mencapai 720, tahun 2004 mencapai 1.451, tahun 2005 mencapai 1.379, dan tahun 2006 mencapai 1.606.# Dari sisi jaringan transportasi regional, Kota Pekalongan terletak pada jalur utama antara Jakarta dan Semarang, sehingga Kota Pekalongan merupakan kota transit dalam jaringan transportasi utama Pulau Jawa. Hal ini berpengaruh dalam perkembangan Kota Pekalongan pada masa yang akan datang, khususnya dalam pengembangan jaringan lalu lintas kota, mengingat jalur jalan tersebut membelah Kota Pekalongan. Di samping itu adanya jalur jalan lintas kereta api serta adanya pelabuhan laut Kota Pekalongan akan berpengaruh dalam kaitannya pola peletakan bangunan-bangunan penunjang. Bangunan-bangunan penunjang seperti stasiun, terminal, halte, pergudangan, parkir umum yang tentunya berkaitan dengan pola dan sistem pengaturan lalu lintas kota secara menyeluruh, termasuk komponen yang menghubungkan sub-sub lingkungan dengan unsur-unsur fisik kota.# Jumlah tempat peribadatan umat Islam yakni masjid di Kota Pekalongan dari tahun 1998 sampai dengan 2002 mengalami peningkatan dari 73 buah menjadi 84 buah masjid, namun dari keempat Kecamatan yang ada di Kota Pekalongan yang tertinggi di Kecamatan Pekalongan Utara dengan jumlah 27 buah dan Kecamatan Pekalongan Barat dengan jumlah 26 buah. Selain itu tempat peribadatan umat Islam lainnya berupa mushola, surau atau langgar jumlahnya jauh melebihi jumlah masjid. Pada tahun 1998 saja mushola, surau / langgar yang ada berjumlah 585, pada tahun 2002 turun menjadi 584 buah. Dari jumlah yang ratusan tersebut yang terbanyak berada di Pekalongan Barat dengan jumlah 183 buah dan Pekalongan Timur dengan jumlah 147 buah. Adapun jumlah gereja pada tahun 1998 berjumlah 10, sedang tahun 2002 menjadi 12 buah. Jumlah gereja terbanyak berada di Pekalongan Utara dengan 12 buah. Untuk Vihara dari tahun 1998 berjumlah 5 buah turun pada tahun 2002 menjadi 4 buah saja. Sedangkan untuk Pura dan Klenteng dari tahun 1998 sampai dengan 2002 tidak mengalami perubahan dengan jumlah masing-masing satu buah. Dengan demikian tak salah apabila Kota Pekalongan merupakan kota yang religius, dengan jumlah peribadatan Islam yang mendominasi kurang lebih 80% dari jumlah tempat peribadatan yang ada.# Selain sebagai kota batik, Pekalongan juga disebut sebagai kota santri. Terdapat banyak pondok pesantren di kota Pekalongan yang menurut data Badan Pusat Statistik 2001 berjumlah 20 buah dan dikelola oleh 112 Kyai dengan spesifikasi ilmunya masing-masing, majlis ta lim berjumlah kurang lebih 115 buah, masjid 86 buah, dan musholla 635 buah. Kyai menduduki tempat yang terhormat sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama, sehingga masyarakat Pekalongan menempatkannya sebagai tokoh yang paling dihormati, baru kemudian Kepala Desa, Juragan, PNS, dan seterusnya ke bawah.# C. Kondisi Sosial Ekonomi Kota Pekalongan yang dikenal sebagai  Kota Batik mempunyai potensi besar dalam kerajinan pembatikan dan telah berkembang begitu pesat, baik dalam skala kecil maupun besar, bahkan telah menuju ekspor. Batik Pekalongan yang bercorak warna warni dan khas serta merangsang menjadikan hasil kerajinan Batik Pekalongan semakin dikenal di mana-mana, ke seluruh nusantara bahkan dunia. Disamping batik, Pekalongan mempunyai potensi besar dibidang perikanan laut yang ditandai dengan status Pelabuhan Pekalongan sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan yang merupakan perlabuhan perikanan terbesar di Pulau Jawa.# Produk yang dihasilkan dari tekstil atau batik pada tahun 1999 terdiri 1.133 unit usaha dengan produksi kain grey, interior dan lain-lain sebanyak 39.819.107 meter, sarung palekat, handuk, kain panjang sprey, taplak, hem, daster dan lain-lain sebanyak 228.654 kodi, sedangkan untuk produk handuk atau kain ikhram, daster kulot, bordir dan lain-lain sebanyak 63.362 potong. Untuk produk perikanan tahun 1998 tercatat 81.214.542 Kg dengan nilai Rp. 151.328.787.500,00 tahun 1999 tercatat 65.034.607 Kg dengan nilai Rp. 164.737.017.000,00 dan tahun 2001 tercatat 64.719.700 Kg dengan nilai Rp. 151.727.810,00. Pekalongan dikenal pula sebagai masyarakat wirausaha yang tangguh, religius dan ramah tamah.# Secara ekonomis, keberadaan potensi pariwisata yang ada di kota Pekalongan merupakan potensi ekonomi yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan. Beberapa objek wisata yang telah dan terus dikembangkan oleh Pemerintah Kota Pekalongan. Sebagai contoh, misalnya Objek Wisata Pasir Kencana. Objek ini terletak berbatasan dengan tempat pelelangan ikan (yang terkenal dan terbesar di Pantai Utara Jawa) Pantai ini berdekatan dengan muara pelabuhan, sehingga pengunjung bisa menyaksikan bermacam-macam kapal nelayan tradisional maupun modern dari segala bentuk serta arus keluarmasuknyta kapal dan perahu. Selain itu, Pekalongan juga mempunyai Pantai yang indah yang disebut Pantai Slamaran. Pantai ini terletak di sebelah Timur Pantai Pasir Kencana dibatasi oleh muara Pelabuhan Perikanan Nusantara. Menurut legenda,  slamaran merupakan daerah kerajaan Dewi Lanjar Penguasa Laut Utara Jawa. Konon Dewi Lanjar memiliki paras yang cantik dan sangat sakti, yang hingga kini dipercaya oleh masyarakat Pekalongan dan sekitarnya. Tempat ini banyak dikunjungi oleh orang dari berbagai daerah di luar Pekalongan.# Gambar: Pantai Slamaran Indah Kota Pekalongan Secara lengkap sesuai kondisi alam dan budayanya, potensi wisata Kota Pekalongan dapat dikelompokkan sebagai berikut:# 1. Wisata Alam: Pantai Pasir Kencana dan Pantai Slamaran Indah dan Pemandian Air Panas Tirta Bumi. 2. Wisata Seni Budaya: Museum Batik Nasional, Seni Sintren, Kuntulan, Simthudduror, Barongsay, Budaya Nyadran dan Budaya Pek Chun. 3. Wisata Belanja: Mall atau Pusat Perbelanjaan, Pasar Grosor Setono, Pasar Grosor Gamer, Showroom Batik, Pasar Tradisional, dan Pusat Kerajinan Tangan, serta Pelabuhan Perikanan Nusantara. 4. Wisata Ziarah: Makam Sayid bin Abdullah bin Tholib Al Atas. 5. Wisata Olahraga: Kolam Renang Tirta Sari, Stadion Kraton, Memancin, Billyard, Gedung Olahraga (GOR) Jetayu. Salah satu sarana terpenting dalam industri pariwisata adalah tersedianya fasilitas akomodasi atau penginapan, baik berbentuk hotel, losmen. motel, penginapan dan lain-lain. Para pengunjung yang datang dan bermalam di suatu daerah, baik wisatawan maupun pengusaha ataupun dengan motivasi lainnya membutuhkan adanya penginapan. Disamping itu, mereka juga membutuhkan jasa-jasa penunjang lainnya seperti rumah makan, telepon, ruang pertemuan, dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, di Kota Pekalongan telah tersedia beberapa hotel, dari kelas hotel melati sampai dengan hotel bintang. D. Kondisi Sosial Budaya Cerita rakyat merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang patut untuk dilestarikan. Seperti pada umumnya masyarakat di Jawa Tengah, masyarakat di kota Pekalongan juga memiliki banyak cerita rakyat yang melahirkan tokoh-tokoh legendaris dan sangat dipercaya oleh mereka. Cerita-cerita rakyat yang sudah melegenda tersebut penyebarannya dari mulut ke mulut secara turun temurun, sehingga banyak kemungkinan terjadinya tambahan dan variasi untuk penyedap cerita, atau bahkan disadur sedemikian rupa sehingga melahirkan versi baru yang berbeda dari cerita asalnya. Ada dua cerita yang sangat menonjol dan dipercaya masyarakat kota Pekalongan, yaitu kisah Tumenggung Baurekso (disebut juga  Babad Pekalongan ) dan kisah Den Ayu Lanjar (Ratu Penguasa Laut Jawa). 1. Kisah Tumenggung Baurekso. Tumenggung Baurekso merupakan salah satu tokoh dalam legenda yang hidup di daerah Pekalongan dan sekitarnya. Kisah mengenai Tumenggung Baurekso ini bertemakan cerita kepahlawanan dan disebut juga dengan Babad Pekalongan. Alkisah seorang sesepuh di desa Kesesi bernama Ki Ageng Cempaluk mempunyai anak bernama Baharudin yang sehari-hari dipanggil dengan Badrudin. Pada masa itu di desa Kesesi terdapat sungai Sepait (juga disebut sungai Sragi) yang berukuran besar, sehingga banyak pedagang bangsa Portugis berlayar ke sana untuk mencari rempah-rempah. Berkat ketekunan dan kerajinannya sebagai seorang nelayan, Badrudin dapat diterima bekerja pada salah satu kapal Portugis sebagai pengawal meriam. Hal ini sesuai dengan keinginan Portugis dalam rangka memperlancar usaha dagang mereka. Sultan Agung Hanyokrokusumo sebagai Raja Mataram pada saat itu berkeinginan untuk mempersatukan pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Pedagang-pedagang Portugis menyarankan kepada Sultan Agung agar memberikan tugas kepada Badrudin untuk memberantas bajak laut yang mengganggu keamanan di perairan utara Jawa Tengah saat itu, dengan pertimbangan pengalaman dalam ilmu perang khususnya penggunaan meriam. Atas persetujuan Sultan, Badrudin bersama prajurit Mataram dan armada pedagang Portugis berhasil mengusir bajak laut dari perairan sekitar Kendal. Berkat keberhasilannya ini, Sultan mengangkat Badrudin sebagai Bupati Kendal dengan gelar Raden Tumenggung Baurekso. Bajak laut yang melarikan diri ke Sambong (daerah Batang) berhasil memperkuat diri sampai ke daerah Wonotungal. Bupati Subah (daerah Batang) Raden Tumenggung Layangsari yang merasa tidak mampu memberantas gangguan bajak laut, memohon bantuan dari Kerajaan Mataram. Raden Baurekso untuk kedua kalinya berhasil menghancurkan bajak laut yang dipimpin oleh Tunjung Mlaya (juga menggunakan nama sandi Raja Uling atau Sang Drubiksaraja). Rahasia kekuatan bajak laut dapat diketahui lewat adik Tunjung Mlaya, yang kebetulan jatuh hati kepada Raden Baurekso. Pihak Portugis yang merasa banyak membantu dalam penumpasan bajak laut meminta agar diberi imbalan hasil harta rampasan perang tersebut. Permintaan tersebut dinilai sebagai hal yang wajar, oleh karena itu disetujui oleh Raden Baurekso tanpa sepengetahuan Sultan Mataram. Hal ini dilaporkan ke Mataram oleh seorang komandan pasukan dan diperkuat oleh bupati Subah. Raden Baurekso dituduh seolah-olah bernafsu ingin menguasai sesuatu yang bukan haknya bahkan untuk dimiliki sendiri. Berkaitan dengan peristiwa ini, maka Raden Baurekso ditangkap dan dikenakan hukuman mati. Pada waktu itu kompeni Belanda (VOC) sudah memperkuat kedudukannya di daerah Sunda Kelapa. Adipati Ukur dan Adipati Jayakarta memberitahukan hal ini kepada Mataram, karena keadaan demikian berbahaya bagi kerajaan Banten, Jayakarta, dan keutuhan wilayah Mataram. Portugis memberi saran kepada Sultan untuk membebaskan Raden Baurekso dari hukuman mati dan dimanfaatkan kembali untuk mengusir Belanda dari Sunda Kelapa. Sultan dapat menerima saran tersebut dan kemudian mengutus Raden Baurekso untuk melaksanakannya, dengan janji apabila gagal akan dihukum mati. Raden Baurekso bersama prajurit Kendal dan Mataram dengan dibekali meriam Kyai Sijagur serta dibantu armada Portugis, berangkat menuju Sunda Kelapa untuk mengusir kompeni Belanda. Misi tersebut diberi nama  Koloduto . Pasukan Baurekso dapat menembus benteng kompeni untuk beberapa saat, namun kemudian mengundurkan diri karena datang bantuan kompeni dari Ambon yang jumlahnya lebih besar. Setelah mundur dari Sunda Kelapa, Raden Baurekso tidak kembali ke Mataram, tetapi menghadap ayahnya di Kesesi serta memberitahukan semua peristiwa yang telah dialaminya. Oleh ayahnya, Raden Baurekso dinasihati agar bertapa ngalong (bertapa secara kelelawar), menanggalkan segala kebesarannya, kembali sebagai rakyat kecil. Raden Baurekso memberi nama  Pekalongan di tempatnya bertapa dengan disaksikan para pengikutnya. Pada akhir hidupnya, Raden Baurekso dimakamkan di desa Legokkalong Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan.# 2. Kisah Den Ayu Lanjar penguasa pantai laut Pekalongan. Masyarakat Jawa di daerah Pekalongan dan sekitarnya mempercayai adanya Putri Siluman yang menguasai pantai utara dan perairan laut Pekalongan yaitu Den Ayu Lanjar. Pada tahun 1929 seorang petani bernama Abdurochim beserta teman-temannya sebanyak 40 orang membabat hutan Slamaran di pantai Pekalongan untuk dijadikan lahan pertanian dan tempat pemukiman baru. Sebelum pekerjaan selesai, satu demi satu dari mereka meninggal dunia di rumah masing-masing diawali dengan sakit perut. Sampai pada akhirnya tinggal Abdurrochim sendiri yang masih hidup. Kejadian ini membuat penasaran Abdurochim dan kemudian memutuskan untuk bertapa di hutan tersebut selama tiga Jumat Kliwon (70 hari). Di dalam tapanya, ia melihat sebuah keraton yang sangat besar dan bahkan bertemu dengan teman-temannya yang telah meninggal. Mereka semuanya bekerja, diantaranya membatik (cap), sebagai tukang batu atau kayu, dan bertani. Selanjutnya datanglah seorang putri yang sangat cantik bernama Den Ayu Lanjar, penguasa Keraton Pekalongan. Putri tersebut berkisah bahwa ia semula berasal dari keturunan raja di Jawa dan bernama Raden Ayu Ramisah. Karena putus asa, maka ditinggalkannya kerajaan dan mengembara ke barat. Sampai di daerah Pekalongan ia bertemu dengan pangeran dari Cirebon dan menikah. Mereka bersama-sama mendirikan keraton di daerah tersebut. Tak lama kemudian terjadi peperangan melawan Raden Baurekso di hutan Gambaran yang mengakibatkan suaminya gugur. Akibat dari derita batin yang tak tertahankan, akhirnya sang Putri beserta keraton seisinya menghilang dari pandangan ( mekereman ). Hingga sekarang kisah tersebut menjadi legenda seorang putri bergelar Den Ayu Lanjar dan menjadi penunggu Keraton Siluman Pekalongan (tepatnya Slamaran).# Kota Pekalongan kaya dengan acara Budaya Tradisional. Tradisi ini tetap terpelihara secara turun temurun dalam kurun waktu yang panjang. Para wisatawan yang kebetulan berkunjung bertepatan dengan penyelenggaraan acara-acara tradisional ini, bisa ikut menyaksikan jalannya upacara yang cukup menarik dan unik. Beberapa acara tradisi ini diantaranya adalah syawalan / krapyakan ( Lopis Raksasa ), Sedekah Laut / Nyadran, Pek Chun, Seni Sintren, dan Simthuhdurror. Syawalan merupakan tradisi masyarakat Kota Pekalongan khususnya masyarakat Daerah Krapyak di bagian utara Kota Pekalongan, yang dilaksanakan pada setiap hari ke tujuh sesudah Hari Raya Idul Fitri. Hal paling menarik dalam pelaksanaan tradisi ini adalah dibuatnya Lopis Raksasa yang ukurannya mencapai tinggi 2 meter diameter 1,5 meter dan berat mencapai 500 Kg. Setelah acara do a bersama, Lopis Raksasa kemudian dipotong oleh Walikota Pekalongan dan dibagi-bagikan kepada para pengunjung. Para pengunjung biasanya berebut untuk mendapatkan Lopis tersebut yang maksudnya untuk mendapat berkah. Pembuatan Lopis dimaksudkan untuk mempererat tali silahturahmi antar masyarakat Krapyak dan dengan masyarakat daerah sekitarnya, hal ini diidentikkan dengan sifat Lopis yang lengket. Masyarakat Krapyak juga biasanya menyediakan makanan ringan dan minuman secara gratis kepada para pengunjung. Jumlah pengunjung pada tradisi ini mencapai ribuan orang yang berasal dari seluruh Kota Pekalongan dan sekitarnya. Setelah pembagian Lopis selesai, biasanya para pengunjung berbondong-bondong ke Obyek Wisata Pantai Slamaran Indah untuk berlibur bersama keluarga sekedar menikmati kesegaran udara pantai atau menikmati meriahnya hiburan gratis yang telah dipersiapkan masyarakat Krapyak sebelumnya. Tradisi Sedekah Laut / Nyadran banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kota Pekalongan yang biasa disebut Tradisi Nyadran. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat nelayan Kota Pekalongan setiap bulan Syuro sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil laut yang melimpah. Pada tradisi ini para nelayan bersama masyarakat mengadakan Ritual Sadranan dengan menghias kapal-kapal nelayan yang berisi sesaji antara lain Kepala Kerbau, aneka jajan pasar, wayang Dewi Sri dan Pandawa Lima, aneka mainan anak-anak, serta setelah melalui beberapa prosesi dan do a selamatan kemudian dibawa ketengah laut untuk dilarung yang diawali pelarungan Kepala Kerbau oleh seorang Tokoh spiritual. Isi perahu yang telah dilarung akan menjadi rebutan anak-anak nelayan dengan harapan mendapat barokah dari Allah SWT melalui barang-barang yang dilarung tersebut. Pada saat yang bersamaan diselenggarakan juga Ritual Pementasan Wayang Kulit dengan cerita Bedog Basu yang menceritakan terjadinya ikan di darat dam di laut, serta berbagai kegiatan lomba olahraga, kesenian dan kulirner ikan hasil tangkapan nelayan. Tradisi Pek Chun pada hakekatnya hampir sama dengan tradisi sedekah laut atau Nyadran hanya saja, tradisi ini diselenggarakan oleh warga Tionghoa di Kota Pekalongan. Pada prinsipnya acaranya sama, hanya penyelenggara, isi perahu dan waktunya yang berbeda. Tradisi Pek Chun dilaksanakan oleh masyarakat Tionghoa menurut kalender China pada perayaan tahun baru china atau imlek. Acara yang mengiringi tradisi Pek Chun adalah Pentas seni Barongsai dan kesenian masyarakat china lainnya serta makan bersama dan pelaksanaan berbagai lomba. Seni Sintren adalah tarian bernuansa mistis/ magis yang bersumber dari Kisah Sulasih dan Sulandono. Untuk menampilkan Tari Sintren, Penarinya harus diperankan oleh seorang gadis yang masih suci atau perawan, dibantu oleh Pawang dan diringi gending Sulasih Sulandono yang dimainkan oleh 6 orang. Setelah melalui prosesi khusus Sang Penari akan dirasuki oleh arwah Dewi Rantamsari, Ibunda Sulasih. Sang Penari kemudian akan menari mengikuti alunan gending. Ketika Sang Penari diikat dan dimasukkan ke dalam kurungan maka sesaat kemudian dia akan keluar bebas dari ikatan tali dengan penampilan yang sudah berubah baik kostum maupun dandanannya. Simthuhdurror adalah seni bermusik yang bernafaskan Islam (pada umumnya menyanyikan puji-pujian/ shalawat dan lagu-lagu religius) yang diiringi dengan alat musik rebana dan jidur. Seluruh peserta Simtuhdurror adalah laki-laki dan pada umumnya berjumlah antara 15  20 orang.# Tata cara dan adat istiadat peninggalan dari zaman kerajaan di Jawa Tengah cukup terasa pengaruhnya di kota Pekalongan, meskipun sudah lagi tidak sama persis dengan aslinya, salah satunya akibat pengaruh yang kuat dari agama Islam. Tata cara tradisional yang masih hidup hingga kini di kota Pekalongan antara lain:# 1. Tata cara kehamilan, kelahiran bayi, dan kematian a. tata cara kehamilan Pada tahap-atahap tertentu kehamilan seorang ibu, terlebih bagi yang mengandung pertama kali, menurut tata cara tradisional perlu diadakan selamatan atau upacara tertentu. Adapun tingkat kemeriahannya sangat tergantung pada kemamouan ekonomi keluarga masing-masing. Tata cara kehamilan yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat kota Pekalongan adalah sebagai berikut: 1) Selamatan Tingkeban atau Mitoni Apabila umur kandungan seorang calon ibu sudah mencapai 5 bulan sampai 7 bulan, maka wajib diselenggarakan selamatan ini. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara sederhana sampai besar-besaran tergantung tingkat kemampuan keluarga yang bersangkutan. Syarat yang tidak pernah ditinggalkan dalam upacara ini adalah pembuatan rujak yang berasal dari bahan utama yaitu parijata dan buah-buahan seperti nanas, kedondong, jeruk besar, dan sebagainya. Dalam tata cara tingkeban juga diadakan selamatan khusus untuk anak-anak penggembala (bocah angon) dengan acara puncak melepaskan ayam untuk ditangkap beramai-ramai oleh anak-anak penggembala tersebut. Adapun urut-urutan upacara dimulai dengan memandikan calon ibu yang dilakukan oleh ibu-ibu para pinisepuh (yang dituakan) dengan menggunakan air kembang setaman. Tubuh digosok dengan mangir serta wewangian dan kemudian baru dimandikan dengan air bersih. Selesai upacara mandi, calon ibu meng-emban dua buah cengkir gading (kelapa kuning dan tidak besar) yang diberi gambar pria dan wanita sejoli. Gambar tersebut biasanya merupakan lukisan Harjuna-Sembadra, Kamajaya-Kamaratih, atau Rama-Shinta. Dari gambar tersebut diharapkan agar kelak sang bayi memiliki jiwa ksatria serta kemolekan wajah bagaikan tokoh yang digambar. Kelapa gading setelah diberikan kepada suami kemudian dibelah. 2) selamatan hamil 9 bulan Selamatan ini diselenggarakan pada usia kehamilan 9 bulan, dengan maksud agar kelahirannya berjalan dengan lancar dan selamat tanpa halangan apapun, baik bagi si ibu maupun si bayi. Selamatan ini berupa jenang lolosan yang dibuat dari beras ketan dan digulung dengan daun pisang segar. Jenang ini dibuat sedemikian licinnya sehingga sangat mudah lolos dari gulungannya. Biasanya selamatan ini tidak diselenggarakan dengan undangan, melainkan cukup dihantarkan kepada rerangga sekelilingnya. b. tata cara setelah melahirkan selamatan ini dilakukan secara bertahap sejak bayi lahir dampai menginjak umur 7 bulan, yang mempuyai urutan sebagai berikut: 1) selamatan brokohan (krapahan) Ketika bayi lahir, maka ari-ari (placenta) dibersihkan dan dimasukkan ke dalam layah (piring dari tanah) berjumlah dua buah, satu diantaranya untuk penutup. Penutup ini diberi lubang untuk dimasuki carang (potongan ranting bambu) sehingga udara dapat masuk. Kemudian di dalam layah diberi ramuan jamu uwat-uwat. Layah berisikan ari-ari itu kemudian ditanam di salah satu sudut bagian dalam rumah dengan carangnya disembulkan keluar. Di dekatnya diberikan lampu kecil (ceplik) yang dinyalakan siang malam terus menerus sampai tali pusat bayi tanggal (puput puser). Adapun selamatannya disebut brokohan, yaitu selamatan untuk kelahiran bayi. Peserta selamatan (ngambeng) adalah kaum ibu. 2) selamatan puputan Jika tali pusat bayi sudah tanggal (puput puser) maka diadakanlah upacara selamatan puputan. Dalam upacara ini sekaligus digunakan untuk memberi nama bayi. Pada saat upacara, sekeliling rumah direntangkan benang lawe dan di setiap sudut rumah bagian luar dipasang satu set hiasan yang terdiri dari tiruan keris yang dibuat dari kelopak bambu (slumpring) dan daun salak berduri. Tempat untuk menanam ari-ari juga diberi hiasan ini. Selamatan berupa bubur tulak merah dan putih serta nasi golong lengkap dengan lauk pauknya berjumlah 7 atau 12 bungkus. Pada malam hari, ibu-ibu bergantian memangku bayi. Bayi tersebut bekum akan dilepas dari pangkuan, apabila belum bersin sebagai tanda barakhurnya upacara mangku tersebut. 3) selamatan selapanan Pada umur selapan hari (35 hari), diadakan peringatan hari kelahiran bayi, sesuai hari pasarannya. Masyarakat Pekalongan pada umumnya mengadakan peringatan hari kelahiran anaknya bukan setahun sekali (ulang tahun), melainkan setiap selapan (35 ) hari. Pada selapan kelahitan yang pertama, bayi dicukur rambutnya. Adapun selamatannya sederhana saja, berupa bubur tulak merah putih, kemudian diantarkan kepada tetangga dekat di sekelilingnya. 4) selamatan tedak siten (udun-udunan) Tedak siten atau udun-udunan artinya adalah turun ke tanah. Selamatan tedak siten diadakan pada bayi umur 7 bulan. Upacaranya sederhana, bayi dikurung dalam sangkar ayam besar dan dihias. Di dalam sangkar disebarkan mainan berupa keping uang logam dari nilai yang paling rendah sampai paling tinggi, beberapa potong perhiasan berharga seperti gelang, kalung, cincin, dan sebagainya, serta alat-alat tulis. Barang-barang tersebut dimaksudkan agar sang bayi bermain dan mengambil/memilih sesukanya. Setelah itu diadakan selamatan takiran (wadaknya dari takir/mangkuk yang terbuat dari daun pisang) bagi anak-anak kecil dan ditaburkan beras kuning yang di dalamnya diberi uang logam. Anak-anak berebutan untuk mendapatkan uang logam sebanyak mungkin. Acara yang terakhir adalah membuat bubur candil dan diantarkan kepada tetangga sekelilingnya. c. tata cara kematian selamatan bagi orang yang meninggal dunia diadakan sebanyak 8 kali dan setelah itu tidak diadakan lagi oleh keluarga yang ditinggalkan. Di bawah ini urutan selamatan bagi orang yang menunggal dunia: 1) selamatan geblag (nyaur tanah) Selamatan ini diadakan pada saat hari geblag-nya (hari meninggalnya) seseorang. Sebelum selamatan diadakan, jenazah disucikan/dimandikan terlebih dahulu. Selanjutnya disembahyangkan di Langgar atau Masjid. Apabila jauh dari Langgar atau Masjid, cukup disembahyangkan di rumah. Jika perlengkapan pemakaman telah siap, maka jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Perlu dicatat, bahwa dapur (pawon) keluarga yang mendapat musibah belum boleh dipergunakan untuk memasak selama jenazah belum diberangkatkan. Untuk makanan dalam selamatan, tidak boleh ada lauk pauk berupa daging hewan sembelihan, jadi cukup berupa sayur-sayuran, tahu, tempe, serta ikan asin (gereh) saja. Selamatan diawali dengan tahlilan. 2) selamatan 3 hari setelah meninggal 3) selamatan 7 hari setelah meninggal Pada selamatan 3 hari dan 7 hari setelah meninggal, tudak boleh ada lauk-pauk berupa daging hewan sembelihan. 4) selamatan 40 hari setelah meninggal 5) selamatan 100 hari setelah meninggal 6) selamatan 1 tahun setelah meninggal 7) selamatan 2 tahun setelah meninggal 8) selamatan 1000 hari setelah meninggal Selamatan terakhir, yaitu 1000 hari setelah seseorang meninggal dunia dibuat istimewa, paling besar dibandingkan dengan selamatan-selamatan sebelumnya. Para peserta selamatan mendapat jamuan makan dan minum, serta pulangnya mendapatkan bingkisan (berkat) yang berupa nasi beserta lauk-pauknya, ditanmbah dengan bermacam-macam makanan kecil yang diwadahi dengan lemper (piring yang terbuat dari tanah). Bagi keluarja yang mampu, selamatan 1000 hari setelah meninggal dilanjutkan dengan Khol, yaitu suatu upacara peringatan kematian seseorang yang dianggap berjasa bagi keluarga dan masyarakat. 2. Upacara menaikkan/memasang Molo (bagian kerangka atap rumah yang paling atas) Dalam tahap-tahap pembangunan sebuah rumah, maka tahap pemasangan kerangka atap merupakan bagian yang paling penting, yaitu pada saat menaikkan/memasang Molo. Molo adalah bagian kerangka atap rumah yang tempatnya paling atas. Urutan upacara ini dimulai dengan: memandikan Molo dengan air kembang telon (air bunga tiga macam) oleh tukangnya. Setelah itu, di bagian tengah molo dipasang 4 buah paku yang terbuat dari emas atau disepuh emas, yang kemudian di tempat itu dibalut dengan bendera merah putih dan dipasangi kantong kain berwarna merah putih pula. Di dalam kantong dimasukkan jamu uwat-uwat, beberapa keping uang logam, dan biji-bijian tanaman pangan. Di bagian tengah molo juga diikatkan sehelai bengkung (setagen wanita) yang ujung lainya dimasukkan ke dalam paso (tempat air dari tanah) yang berisi air kembang telon. Di sebelah paso diletakkan sebuah kendi gogok yang mulutnya ditutup dengan sebutir telur ayam mentah dan sebuah kelapa hijau. Apabila semuanya sudah siap, molo kemudian dinaikkan ke tempatnya sambil dipayungi dan dikumandangkan adzan. Sesajian dipasang pada sisi-sisi ujung molo yang terdiri dari: padi pocongan, jagung pocongan, pisang tandanan panjang (biasanya pisang kele) dan tebu wulung (warna kulitnya ungu kebiru-biruan). Upacara diakhiri dengan menyelenggarakan selamatan nasi beserta lauk-pauknya yang dihidangkan kepada para peserta selamatan. 3. Upacara sedekah bumi Tata cara tradisional ini diselenggarakan pada bulan Legono, yang disebut juga dengan bulan Apit atau Dulkaidah. Sedekah bumi bertujuan memberi penghormatan dan berterima kasih kepada bumi yang pada hakikatnya merupakan sumber pangan dan kehidupan manusia, dengan harapan agar tanaman-tanaman pertanian berhasil dengan baik, selamat dari serangan hama maupun penyakit. Upacara ini dilakukan di balai desa/kelurahan. Biasanya penduduk di desa/kelurahan tersebut membawa makanan ke balai desa/kelurahan dan kemudian diadakan selamatan bersama-sama. Pada malam harinya diadakan hiburan wayang kulit semalam suntuk atau tayuban (tarian tradisional rakyat). Untuk pembiayaan jamuan makan maupun berbagai keperluan penyelenggaraan lainnya, sepenuhnya ditanggung bersama oleh seluruh masyarakat. Tata cara tradisional ini masih hidup subur terutama di lingkungan daerah-daerah pedesaan. 4. Tata cara nyadran kuburan Tata cara ini dilakukan oleh seluruh penduduk dan dikoordinasi oleh Kepala Desa. Upacara dimulai dengan pembersihan seluruh makam. Setelah semua bersih, masing-masing keluarga di desa itu membawa makanan atau jajanan. Ada yang dibawa ke makam untuk kemudian diadakan selamatan bersama-sama di makam. Tetapi ada pula yang dibawa ke balai desa dan diadakan selamatan di sana pula. Upacara dan selamatan ini dilaksanakan pada bulan Ruwah (Sa ban), menjelang datangnya bulan Puasa. Semua biaya secara gotong-royong ditanggung oleh semua warga desa. Luas area kota Pekalongan yang hanya berukuran 17,6 km mempunyai aneka ragam hasil seni budaya lama yang terpendam dan para seniman kreatif berkaliber nasional. Sebagai daerah transisi, kota Pekalongan banyak didatangi masyarakat yang berasal dari luar daerah dan kemudian menetap debagai penduduk. Hal ini mengakibatkan adanya percampuran seni budaya yang satu sama lain saling mempengaruhi. Banyak hasil seni dan budaya yang merupakan percampuran ataupun pengembangan dari daerah lain. Jika ditelusuri kebuh dalam dan luas, banyak hasil karya yang berasal dari seniman kota Pekalongan yang dapat dibanggakan, antara lain:# 1. kerajinan batik, dengan motif-motif khas termasuk cara ataupun prosesnya. Batik pekalongan ini terkenal di dunia dengan ciri khas bercorak warna-warni. 2. kerajinan anyaman bambu, menghasilkan karya berupa sepatu, pakaian, dan hiasan dinding yang sangat indah. 3. seni musik, memunculkan beberapa seniman musik Pekalongan terutama musik dangdut. 4. seni rupa, dalam pembuatan patung-patung, relief, ornamen seni dekorasi yang berperan serta meningkatkan seni leluhur dan nilai arsitektur. Seni teater tradisional ataupun modern termasuk bintang film yang berasal dari kota ini juga banyak. 5. seni pembuatan taman, dekorasi untuk taman ataupun rumah. 6. pembuatan canting (untuk cap batik) telah lama lahir dan berkembang mengisi khasanah seni dan budaya khususnya dalam ikut serta mengisi identitas Jawa Tengah. 7. seni tata rias, beberapa kali memenangkan lomba tingkat nasional. Pendidikan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945. Peningkatan partisipasi penduduk dalam bidang pendidikan tentunya harus diimbangi dengan penyediaan sarana fisik pendidikan maupun tenaga guru yang memadai. Adapun jumlah penduduk usia sekolah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 : Penduduk Usia Sokolah Kota Pekalongan Tahun 2006 Sumber: BPS Kota Pekalongan, 2006:51. Untuk pendidikan anak usia pra sekolah juga berlangsung secara rutin di kota Pekalongan. Kebanyakan Taman Kanak-kanak dikelola oleh pihak swasta seperti lembaga Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan organisasi sosial lainnya. Pada tahun 2005 jumlah anak TK sebesar 1.611 dan mengalami peningkatan pada tahun 2006 menjadi 1.781 Peningkatan ini ternyata tidak diiringi dengan jumlah sarana sekolah yaitu tetap berjumlah 21 gedung, meskipun jumlah guru mengalmipeningkatan, yaitu dari 104 pada tahun 2005 menjadi 112 orang pada tahun 2006.# Jumlah usia sekolah penduduk kota Pekalongan sangat menentukan kebijakan sarana pendidikan. Pada tahun 2006 di kota Pekalongan jumlah Sekolah Dasar sebanyak 128 buah, SMP 27 buah, SMU 20 buah. Selanjutnya tentang komposisi pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Umum dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan 2006 Sumber: BPS Kota Pekalongan, 2006:76-89 Selain pendidikan yang bersifat umum, di kota Pekalongan juga banyak pendidikan yang bersifat keagamaan, baik yang dikelola oleh Departemen Agama maupun yang dikelola oleh swasta. Lihat tabel berikut: Tabel 4 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Madrasah 2006 Sumber: BPS Kota Pekalongan, 2006:90-95 Untuk jenjang pendidikan tinggi, di kota Pekalongan juga terdapat Perguruan Tinggi, yaitu Universitas Pekalongan, Politekkes Semarang Program Studi Keperawatan Pekalongan, STIE Muhammadiyah, STMIK Widya Pratama, Politeknik Pusmanu, dan Stain (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri). Jumlah mahasiswa di Stain misalnya, juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari tahun 2002, mahasiwa berjumlah 1.821 orang mengalami peningkatan menjadi 1.879 pada tahun 2003; 1946 pada tahun 2004; 2035 pada tahun 2006; dan 2.110 pada tahun 2006. Sekolah Tinggi ini mempunyai Jurusan atau Program yang bermacam-macam, yaitu: Syariah, Ekonomi Islam, Tarbiah PAI, Akta IV, Transfer, Perbankan Syariah, dan D2 PAI.# Ternyata sifat religius masyarakat Pekalongan didukung oleh keberadaan Perguruan Tinggi Islam ini, sehingga nafas keagamaan bagi masyarakat Pekalongan sangat kental. Sementara untuk Universitas Pekalongan yang mengembangkan pendidikan umum mempunyai lima fakultas, yaitu ekonomi, hukum, perikanan, pertanian, dan kesehatan. Jumlah mahasiswa pada tahun 2006 mencapai 1.455 orang . Universitas ini dari tahun ke tahun mencetak banyak sarjana yang sangat berguna untuk memajukan masyarakat kota Pekalongan. Perkembangan jumlah lulusan dari tahun 2002 sampai tahun 2006 mengalami peningkatan. Tahun 2002 Universitas Pekalongan ini meluluskan 1.646 orang, tahun 2003 sebanyak 2.103 orang, tahun 2004 sebanyak 2.544 orang, tahun 2005 sebanyak 2.963 orang, dan tahun 2006 sebanyak 3.298 orang.# Selain pendidikan formal, di kota Pekalongan juga diadakan berbagai macam pendidikan non formal dan kursus-kursus baik yang diadakan oleh pemerintah maupun swasta. Kursus-kursus yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kota Pekalongan misalnya akuntansi, bahasa Inggris, komputer, menjahit, Rias penganten, dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa di kota Pekalongan pengembangan bidang pendidikan telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. E. Pekalongan Sebagai Sentra Batik. Mempertahankan budaya memang bukan persoalan mudah apalagi dihadapkan dengan persoalan globalisasi yang berpotensi memangkas habis lintas batas geografis sebuah negara. Batik sebagai karya budaya bangsa Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi, dikhawatirkan akan tergerus arus besar ini. Sebutan batik pertama kali datang dari orang Jawa yakni Ambatik yang mempunyai makna menggambar dan menulis. Hingga kini memang masih muncul berbagai teori tentang keaslian seni kerajinan batik., namun dipastikan kata batik adalah asli dari Indonesia. Sebagian dari kain batik terbaik adalah buatan Jawa, yang telah berpengalaman berabad-abad membuat batik. Hingga sekarang Jawa terkenal dengan batik-batik yang paling bagus. Sejak dahulu, warna biru nila dan cokelat digunakan pada batik Jawa. Celupan biru dan coklat yang digabungkan dengan kain putih, dari awal menggambarkan tiga dewa Hindu, yakni Siwa, Wisnu, dan Brahma. Pesona kecantikan batik Indonesia terletak pada begitu banyaknya perubahan dalam corak dan motif yang muncul dalam perbedaan kebudayaan. Batik utama di Jawa dikenal sebagai batik kraton dan motif-motifnya kaya akan pengaruh Hindu  seperti pemujaan burung garuda, kesucian bunga teratai, naga, dan tiga unsur kehidupan. Kemudian, dengan hadirnya pengaruh Islam, motif-motif batik menjadi lebih geometrik dan botanik. Pada abad ke-17, Belanda menjajah pulau Jawa, dan mereka mencuri berbagai sample batik untuk dibawa ke Eropa. Teknik batik belakangan meluas ke sebagian dunia untuk cetakan di atas kulit, gading, kertas, dan kemudian logam. Sebagai tambahan, Belanda mengenalkan berbagai teknik celup Jerman, yang memperkaya warna dan motif-motif baru untuk seni batik Indonesia. Pengaruh batik Cina muncul di Indonesia beberapa dekade setelah pengaruh batik Belanda hadir. Motif-motif Cina diantaranya adalah naga-naga yang indah, phoenix, ular, singa, dan bunga-bunga. Terlihat kontras dengan motif Jawa yang serba biru dan coklat redup, apalagi batik Cina memakai warna-warna pastel yang cemerlang. Sekarang ini batik Cina dapat dibuat oleh orang-orang Miao di perbatasan Cina Selatan. Mereka membuat batik rami dan katun untuk membuat rok, jaket, baju kerja, dan gendongan bayi. Pertama dan terpenting dari batik adalah sarung. Sarung merupakan jenis kain batik paling populer dan dikenal secara luas. Sarung bisa dibelitkan di pinggang sebagai penutup di pantai, dipakai sebagai rok, gaun atau selendang, dan lain sebagainya. Kalangan perempuan memakai sarung secara resmi ataupun tidak, dan sarung juga digunakan di sekitar rumah oleh para lelaki di sejumlah negara. Bagian penting lain dari batik adalah selendang. Fungsinya lebih dibutuhkan sebagai aksesori. Selendang yang benruknya panjang itu, hanya secarik kain tipis yang juga bisa digunakan menghias kepala dalam beberapa cara. Sekendang juga sering digunakan sebagai kain gendong bayi. Pria Jawa memakai penutup kepala (blangkon) untuk suatu pertemuan resmi. Blangkon bisa diikat dengan berbagai cara untuk membentuk ikat kepala yang menggambarkan usia, tingkatan, kepercayaan, dan identitas suku. Media batik juga dibuat untuk karya kemeja yang indah, dasi, dan syal. Sandal batik yang sangat atraktif kini juga banyak diproduksi. Masih banyak lagi manfaat batik yang lainnya termasuk untuk kehidupan rumah tangga sehari-hari. Flora dan fauna batik adalah produk kerajinan yang terbilang purba, telah ada sejak 2000 tahun silam. Batik berkesinambungan dipelajari di Jawa selama berabad-abad. Hingga kemudian teknik membatik dikenal di seni dan kerajinan Eropa. Batik semakin digemari saat ini, ditegaskan oleh metoda pemakaian desain warna pada tekstil dengan proses wax tanpa proses pencelupan lagi. Fakta-fakta dari perubahan cara pembuatan ditemukan di beberapa negara di Asia Timur dan Timur Tengah seperti India, Cina, Jepang, kawasan Persia, dan Mesir. Namun, pengembangan batik mencapai puncaknya di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Selama berabad-abad pengrajin-pengrajin di Jawa bekerja sepenuhnya dalam kesenian, merefleksikan kebudayaan dan kepercayaan di daerah mereka dalam kekayaan warna dan detail desain pada kain. Desain tradisional tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi lain dan sebagian besar bersumber dari flora dan fauna di sekeliling mereka. Pengerjaan kain batik seringkali menggambarkan sastra klasik Jawa. Berbagai sebutan menandakan karya batik selalu dipandang sebagai baju yang elok. Pakaian batik pada jaman dahulu adalah kain resmi dari kalangan ningrat. Petani perempuan menenun kain tetapi istri-istri para ningrat mengerjakan batik. Para istri ningrat mempunyai waktu luang dan memiliki tangan lembut yang dibutuhkan dalam pengerjaan batik. Sementara para nelayan bertugas dan bertanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga. Seperti nyonya-nyonya Jepang yang tekun membuat rangkaian bunga artistik. Demikian pula yang terjadi sekarang, wanita-wanita di Jawa menekuni batik dengan pengembangan seni berkualitas. Corak desainnya terdiri dari flora, kupu-kupu, dan burung. Kebebasan artistik industri batik masih tetap hidup hingga sekarang. Meskipun pada umumnya kini produksi massal batik dikerjakan dengan mesin, akan tetapi tetap batik buatan tangan masih dilakukan di sejumlah wilayah dunia. Di situlah letak pasar yang sesungguhnya untuk kain bermutu tinggi. Batik bisa tetap populer saat ini kemungkinan karena nilai kebebasan artistiknya. Desain batik hadir dari keinginan kuat para pengrajinnya. Batik sangat tahan lama, lebih tahan luntur dibandingkan dengan kain cetakan karena melalui proses celup. Proses tersebut membuat kain menyerap warna secara baik dan membuat warna tidak mudah pudar. Teknik membatik pertama kali dikenal sebagai dekorasi di lingkup kerajaan. Kini batik telah meluas sampai ke panggung fashion, perkantoran, dan berbagai kesempatan resmi. Desainer mulai memasukkan batik menjadi pakaian sehari-hari, bukan hanya di negara-negara Asia, tetapi di seluruh dunia.# Sejak abad ke-18, Pekalongan sudah dikenal dengan produk batiknya. Artinya, sejak berabad-abad lalu secara kultur maupun historis daerah ini memang dikenal sebagai produsen batik. Peajin batik di Pekalongan sesuai kulturnya yang tinggal di daerah pesisir, lebih bebas berkarya, lebih kaya warna, dan tidak terikat dengan pakem-pakem untuk membatik, sehingga mampu mengerjakan order dari daerah manapun. Mereka biasa membuat batik Cirebonan, batik Yogya, Solo, Tuban, Kudus, Demak, dengan ciri motif khas masing-masing daerah. Jadi tidak mengherankan jika 60% dari kebutuhan batik nasional bahkan internasional berasal dari Pekalongan, karena diproduksi di daerah ini. Maka dari itu batik Pekalongan tidak mempunyai brand image yang kuat karena selama berabad-abad hanya memproduksi dan tidak mengembangkan pasar sendiri. Produsen batik di Pekalongan terbiasa menjadi pemasok yang hanya menerima order dan tidak berani tampil dengan merk sendiri. Sebut saja perusahaan batik besar yang punya nama dan jaringan butik di seluruh tanah air bahkan mancanegara, hampir pasti sebagian besar pasokan batiknya berasal dari Pekalongan. Aktivitas membatik merupakan kebutuhan batin bagi masyarakat Pekalongan, karena dilakukan oleh semua generasi mulai dari anak-anak, kaum muda, hingga lanjut usia. Di sentra-sentra pembuatan batik seperti di Wiradesa, Buaran, Kauman, Sindang, Pasir Sari, Jenggot, Lumbungsari, dan sebagainya, disamping bertani, masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang tua juga menekuni kerajinan batik ini. Selain dirasa sebagai kebutuhan batin, mambatik bagi masyarakat Pekalongan juga merupakan tempat mengekspresikan seni dan inovasi lewat bahan maupun warna. Hasilnya, batik Pekalongan lebih berani dan kaya akan warna, begitu pula dalam hal bahan yang lebih variatif, mulai dari katun hingga sutra. Bahkan sekarang dikenal pula dengan batik serat nanas dan serat daun lidah mertua. Berbeda dengan batik Solo dan Yogyakarta yang sering berwarna gelap seperti coklat dan hitam, batik Pekalongan bermain-main di warna cerah, bahkan kadang perpaduannya sungguh kontras. Upaya menukuhkan Pekalongan sebagai kota batik dengan membangun citra baru dan mengembangkan pemasaran semakin komprehensif, proses regenerasi tidak ditinggalkan, demikian pula sejarah pun tak terlupakan.# Kota Pekalongan merupakan salah satu sentra batik di Indonesia selain Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Tasikmalaya, Indramayu, Garut, dan Lasem. Ciri khas dari batik Pekalongan adalah masuknya unsur-unsur budaya kolonial Belanda dalam motif-motifnya. Seperti dicatat Rens Heringa dalam Fabric of Enchantment, Batik from the North Coast of Java (1996), setelah tahun 1860, Pekalongan menjadi sentra produksi batik Indo-Eropa atau dikenal sebagai batik Belanda. Ragam hias dan komposisi batik mengalami proses eropanisasi di Pekalongan, terutama dalam inspirasi dan pengerjaan. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan dari pembeli orang-orang Indo-Eropa, baik laki-laki maupun perempuan. Pengusaha batik berdarah Indo-Eropa memberi sumbangan dalam perkembangan batik melalui kebiasaan membubuhkan tanda tangan pada setiap lembar batik mereka untuk menunjukkan tiap lembar dibuat khusus dengan kesempurnaan pengerjaan. Para pengusaha Indo-Eropa itu juga memperkenalkan warna baru selain merah dan biru yang klasik. Melalui teknik pewarnaan yang rumit, mereka menghasilkan gradasi warna yang sempurna dari setiap warna. Sumbangan lain dari para pengusaha tersebut adalah pada gaya ragam hias dan komposisi yang menciptakan gaya khas Pekalongan. Gaya pertama dicirikan oleh garis-garis sederhana dan motif geometris yang rapi. Gaya kedua adalah penggunaan motif buket bunga atau lebih dikenal sebagai buketan yang kemudian dipandang sebagai esensi batik pesisir. Buket berukuran besar ini diletakkan di bagian badan maupun kepala kain.# Adapun potensi ekonomi wisata, khususnya produksi batik di kota Pekalongan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5 : Nama-nama Showroom Batik di Kota Pekalongan Sumber: Sumber: Kantor Pariwisata Pekalongan, Statistik Pariwisata Kota Pekalongan 2007. Selain beberapa showroom batik, di kota Pekalongan juga menjadi tempat sentra batik, tempat orang melakukan transaksi jual bel batik baik bagi masyarakat Pekalongan maupun dari luar daerah Pekalongan. Beberapa grossir batik tersebut adalah: Tabel: Pasar Grossir Batik di Kota Pekalongan Sumber: Kantor Pariwisata Pekalongan, Statistik Pariwisata Kota Pekalongan 2007. Gambar: Museum Batik Kota Pekalongan Gambar: Salah satu Grossir Batik di Kota Pekalongan BAB III BATIK PEKALONGAN PADA JAMAN KOLONIAL A.Perkembangan Batik Pekalongan Diperkirakan sejarah perkembangan batik di Indonesia, khususnya di Jawa sangat berkaitan erat dengan sejarah kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Pada awalnya seni batik yang melekat dalam busana Jawa itu lebih berkembang dalam lingkungan istana atau kraton, sebab kain batik, dengan motif tertentu masih dibuat atau dihasilkan di lingkungan kraton dan memang diperuntukkan bagi kaum bangsawan. Baru pada sekitar abad ke-18 pakaian batik mulai menyebar di kalangan rakyat jelata. Penyebaran itu tentu saja memakan waktu yang sangat lama, dan terutama dilakukan oleh para abdi raja para pembatik yang tinggal di luar kraton, yang secara berangsur-angsur mengerjakan pembatikan di luar kraton. Demikianlah seni membatik itu akhirnya dikembangkan oleh rakyar biasa di luar katon, yang hasilnya meskipun terbatas pada motif-motif batik tertentu menjadi pakaian rakyat secara luas.# Pada jaman Majapahit budaya membatik diperkirakan telah berkembang di daerah Majokerto dan Tulung Agung. Seni batik itu masih terus berkembang pada jaman kerajaan Islam Demak, Mataram dan kemudian jaman Surakarta dan Yogyakarta. Pendapat itu juga dikuatkan oleh Matsuo Hiroshi dalam bukunya yang berjudul  The Development of Javanese Cotton Industry . Dalam buku itu dinyatakan bahwa kain batik sudah sejak lama menjadi busana yang umum dipakai di kalangan petani, bahkan sejak jaman Majapahit, atau setidak-tidaknya jauh sebelum menjadi pakaian resmi para bangsawan kraton Jaman Mataram Islam. Meskipun demikian sejarah perkembangan batik di wilayah ini hingga abad delapan belas tidak banyak diketahui.# Sumber yang lain menyebutkan bahwa seni membatik baru berkembang pada abad-17, yang diketahui dari lukisan batik yang terdapat pada daun lontar. Akan tetapi motif batik pada waktu itu masih erbatas pada berbagai motif binatang dan tanam-tanaman. Dalam perkembangannya lebih lanjut muncul motif-motif baru yang lebih abstrak seperti awan, relief candi, wayang beber, bunga dan sebagainya. Melalui tehnik kombinasi motif lukisan batik akhirnya muncul seni lukis batik yang masih bisa dikenal sampai sekarang ini.# Selanjutnya G.P.Rouffaer dalam bukunya De batik-Kunst, menjelaskan mengenai asal-usul batik di Jawa sebagai berikut:# a. Asal mulanya batik Jawa adalah dari luar, dibawa pertama oleh orang Kalinga dari Koromandel, Hindu. Permulaannya sebagai pedagang, kemudian sebagai imigran-kolonisator sejak kurang lebih 400 AD, mulai mempengaruhi di Jawa b. Perkembangan proses-lilin ( was prosede, wax-resist technique) dari Kalingga-Koromandel berjalan sampai pada periode Hindu terakhir, yaitu jaman kerajaan Daha di Kediri (lebih kurang 1100  1222 AD) c. Pada sekitar 1400 AD mulai terjadi perubahan dan pada lebih kurang 1518 sudah meluas pengaruh Islam di Jawa. Akibatnya perkembangan Batik Jawa menjadi bebas dan berdiri sendiri. Peralihan menjadi seni kerajinan sebagai langkah permulaan batik Jawa seperti keadaan sekarang. Secara analogi bila coraknya dibandingkan dengan seni kerajinan lama dari Pantai Selatan India pada sekitar 1500 AD, mulai ada perubahan terutama di Jawa Tengah karena ada pengaruh Islam. d. Pada perkembangan lebih lanjut setelah ada pergantian pengaruh di Jawa pada abad 18-19 seni batik Jawa mengalami kemajuan teknik dan corak yang mencapai puncaknya terutama di Jawa Tengah. Meskipun pendapat Rouffer itu untuk sebagian ditolak oleh ahli yang lain, akan tetapi paling tidak bisa diketahui bahwa seni batik sudah berkembang di Jawa sejak berabad-abad lamanya. Mengenai Batik Pesisiran, termasuk Batik Pekalongan, diperkirakan baru berkembang ada abad ke-19. Sumber tertulis paling awal mengenai batik Pekalongan dapat dilihat dalam buku Raffles The History Of Java, itupun tidak menjelaskan secara detail mengenai corak batik pesisir, tetapi hanya menjelaskan adanya dua corak motif batik di Jawa, yaitu  Batik Pedalaman dan  Batik Pesisiran .# Beberapa pola warna batik yang disebutkan dalam buku itu adalah batik bang-bangan, biron dan bang-biron yang sekarang lazim disebut dengan istilah pewarnaan kelengan. Pada sisi yang lain Heringa dan Veldhuisen menjelaskan adanya delapan jenis model batik pesisiran yaitu: 1. Batik pesisir tradisional yang merah biru. 2. Batik hasil pengembangan pengusaha keturunan, khususnya cina dan Indo Eropa. 3. Batik yang dipengaruhi kuat oleh Belanda 4. Batik yang mencerminkan kekuasan kolonial 5. Batik hasil modifikasi pengusaha China yang ditujukan untuk kebutuhan kalangan China 6. Kain panjang 7. Batik hasil pengembangan dari model batik merah biru 8. Kain Adat. Khusus mengenai batik Pekalongan seperti telah disebutkan di depan, diperkirakan mulai berkembang pada awal abad ke-19. Namun demikian perkembangan yang lebih signifikan diperkirakan baru terjadi setelah berakhirnya Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung pada tahun 1825  1830. Sebagai penjelasannya adalah terjadinya pelarian para bangsawan kraton beserta para pengikutnya ke luar istana dalam rangka perlawanan terhadap Belanda. Mereka bergerak baik kearah barat maupun timur, yang kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Salah satu bentuk pembauran itu adalah pengembangan seni batik di berdagai daerah. Ke arah Timur batik batik Surakarta dan Yogyakarta berbaur dengan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sementara yang bergerak ke arah barat pembauran dan pengembangan batik itu terjadi di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Demikian jugalah batik Pekalongan yang memang sudah mulai tumbuh menjadi semakin berkembang.# Berdasarkan sumber lisan, sebuah desa yang dianggap sebagai cikal-bakal batik pesisiran di Pekalongan adalah desa Kemplong yang terletak di kecamatan Wiradesa.# Kata benda  kemplong (Jawa) bisa dijadikan kata kerja ngemplongi, yang berarti tindakan seorang pembatik memukul-mukul kain batik atau tindakan memukuli kain batik agar hasilnya menjadi lebih halus. Namun demikian secara etimologis kata  kemplong berasal dari kata  ngemplong (seterika, kalender). Kain mori yang telah dikanji perlu dihaluskan atau diratakan permukaannya dengan dikemplong. Ngemplong adalah meratakan kain dengan jalan kain dipukul berulang-ulang. Caranya adalah demikian : beberapa lembar kain (sekitar 10 lembar) yang sudah dikanji dan kering digulung kemudian diletakkan di atas kayu yang rata permukaannya. Gulungan kain itu diikat dengan landasan kayu agar tidak lepas, kemudian kain tersebut dipukuli dengan pemukul dari kayu (ganden). Setelah kain jadi rata, gulungan dibuka dan kain-kain satu persatu dilipat untuk disimpan atau langsung dibatik. Karena meratakan kain-kain tersebut dilakukan dalam keadaan dingin tidak seperti disetrika panas, maka kanji pada mori mudah dihilangkan dengan pencucian. Dengan demikian pewarnaan tidak terganggu oleh adanya kanji yang menempel pada kain batik pada proses persiapan pembatikan. Dari kenyataan yang masih bisa diamati sampai sekarang desa Kemplong memang merupakan pusat kerajianan/ industri batik. Konon sebagai salah satu pendorongnya adalah bahwa air tanah di desa itu sangat cocok dengan zat pewarna batik yang secara teknis membuat warna sangat cemerlang dan terang. Dalam buku Batik Fabled Cloth Of Java, disebutkan bahwa batik telah diperdagangkan di di Pekalongan sejak tahun 1840-an atau lebih awal lagi.# Hal ini juga didukung oleh banyaknya pedagang etnis Cina dan Arab yang tinggal di daerah pesisiran, yang memperdagangkan kain batik sebagai komoditi utama mereka yang sangat menguntungkan. Para pedagang batik ini pada awalnya hanya memesan batik kepada pengrajin batik yang saat itu banyak tersebar di desa-desa. Konon kebiasaan memesan batik sudah terjadi sejak abad ke-16 atu sebelum jaman VOC. Pada tahun 1850-an dan banyak kain batik Pekalongan diekspor ke Banten yang pada waktu itu tidak menghasilkan atau memproduksi kain batik lagi. Orang-orang Arab yang memainkan peranan penting sebagai pedagang batik, juga menyediakan kain putih dan keperluan-keperluan lainnya kepada para pembatik di desa, dengan syarat kain yang sudah dibatik harus disetor kepada mereka. Demikian juga wanita-wanita Indo setempat yang telah belajar dan dan kemudian ahli dalam membatik menciptakan motif batik yang indah, juga menerima uang muka (modal kerja) dari orang-orang Arab dengan syarat bahwa mereka menyerahkan produk-produk batik mereka kepada orang-orang Arab dengan harga yang ditentukan melalui perjanjian. Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan munculnya tehnik pembatikan dengan cap (batik cap), di wilayah Pekalongan muncul fenomena baru yaitu industri batik yang dipelopori oleh para wanita Indo Eropa. Barangkali hal itu juga didorong oleh kebiasaan di antara mereka yang biasa menggunakan sarung sebagai busana resmi di rumah. Namun demkian pada awalnya lebih menggunakan tehnik batik tulis. Kemudian banyak lagi wanita-wanita Eropa atau isteri-isteri orang-orang Eropa yang tinggal di Pekalongan mengembangkan kerajinan batik. Beberapa di antara mereka adalah Caroline Josephine Van Franquemont, Lien Metzelaar, dan yang terkenal Eliza Charlota Van Zuylen. Sehubungan dengan hal itu Veldhiusen dan Heringa berpendapat bahwa batik Pekalongan sangat dipengaruhi Belanda, setidaknya sejak tahun 1860.# Terjadi sejumlah perubahan dalam kegiatan usaha membatik dengan terjunnya para wanita Eropa dalam usaha itu. Yang pertama para pekerja batik tidak lagi bekerja dalam rumah para juragan batik (Jawa) akan tetapi bekerja di ruang (tempat) khusus yang biasanya berada di belakang rumah para majikan. Yang kedua penggunaan warna baru dalam batik yang lebih beragam, yang semula terbatas pada warna merah biru. Yang ketiga munculnya motif baru dalam ragam hiasa batik, yaitu motif flora khususnya bunga yang bernuansa Eropa. Motif batik pengaruh Eropa itu diperkirakan mulai muncul pada tahun 1860-an. Di samping motif bunga, juga terdapat corak ragam yang mewakili simbol budaya Eropa atau corak ragam yang menggambarkan dongeng di negeri mereka, seperti cinderela, topi merah dan sebagainya. Dari sekian corak ragam Eropa, yang paling menonjol adalah corak ragam buket yang dikembangkan Eliza Carlota Van Zuylen. Konon corak ragam hias ini banyak terinspirasi dari gambar karangan bunga pada kartu-kartu pos.# Demikianlah di Pekalongan sejak saat itu berlangsung perkembangan desain batik yang sangat dinamis. Hampir seluruh corak ragam hias asing bermunculan dalam desain batik Pekalongan, antara lain India, Persia, Turki, China, dan Belanda. Bahkan menjelang tahun 1940 di Pekalongan, muncul batik Jepang, yang disebut dengan istilah Batik Jawa Hokokai.# Pada tahun 1880-an para wanita-wanita Indo-Belanda ini, yang sebelumnya membuat batik dalam skala kecil dengan pola-pola batik asli pribumi, telah mengembangkan produk-produk batik baru seperti sapu tangan, taplak meja, penutup kursi, bahan untuk sekat pembatas, dan lain-lain. Mereka juga menggunakan motif atau ragam hias Eropa, dan mulai meninggalkan warna-warna kain lama, dan menggantikannya dengan warna-warna yang bernuansa baru atau warna-warna campuran. Hal ini terus berkembang yang kemudian menjadikan Pekalongan terkenal di seluruh Jawa sebagai pusat kerajinan batik. Pada waktu itu di Pekalongan juga ada wanita pembatik di desa yang sering bekerja pada orang-orang Arab, juga ada yang bekerja pada wanita-wanita Eropa, yaitu para pengobeng yang bekerja sebagai buruh/ pekerja intern (menginap di pabrik) dan pekerja extern (tidak menginap) . Wanita-wanita Arab dan Cina mengikuti cara itu dan mengajak wanita-wanita desa untuk bekerja pada mereka.# Pada tahun 1880 diperkirakan terdapat sekitar 5000 lebih pembatik yang terutama bekerja dalam hal usaha batik, dan beribu-ribu orang lagi bekerja dengan aktivitas-aktivitas yang secara tidak langsung berhubungan dengan usaha pembatikan misalnya: tukang pemberi warna biru (blawu), verzeepers (tukang sabun), tukang prada (pewarna emas), para bakul dan makelar, para pedagang dan lain sebagainya. Sejak tahun 1880-an, orang-orang Sumatra yaitu orang2 Batak dan Deli, bermukim di Pekalongan untuk memborong dan kemudian mengirim kain2 batik Pekalongan ke Sumatra. Di samping ke semua karesidenan di Jawa, sudah sejak sebelum itu telah berlangsung ekspor batik Pekalongan ke Kalimantan, Jambi, Eropa bahkan ke Amerika dan Hindia Barat. Lebih-lebih setelah dibangunnya jaringan jalan kereta-api sepanjang pantai utara,# pengangkutan batik dari Pekalongan semakin meningkat. Demikian juga dengan adanya acara Pasar-Malam pada setiap tahunnya, perdagangan batik menjadi semakin berkembang, sebab menurut Tuan Simonet banyak orang yang datang dari jauh mengunjungi pasar malam itu, menjadi mengenal seni-kerajinan Pekalongan, khususnya produk batik. Para pedagang yang datang pada pasar malam itu menjalin hubungan dengan para pengusaha batik dan akhirnya menjadi pelanggan pembeli dagangan batik. Menurut informasi seorang Belanda yang bernama Meyer, yang selama hidupnya berada di Pekalongan dan Wonopringgo, menjelaskan bahwa pada masa mudanya industri batik dikenal sebagai kerajinan rumah tangga (home-industry). Para wanita bekerja di rumah dan hanya  canthing pada waktu itu digunakan, sedangkan cap tidak/ belum dikenal. Sementara orang-orang Arab dan Cina yang memesan produk-produk batik tersebut. Sebagai perintis industri batik adalah wanita-wanita Eropa, yang kemudian dengan cepat diikuti oleh orang-orang Arab dan Cina. Hal sangat penting yang terjadi ketika itu adalah berkembangnya sistem batik cap yang mendorong perkembangan luar biasa pada usaha-usaha batik sampai daerah-daerah jauh di pedesaan.# Berdasarkan sumber dari Kantor Tenaga Kerja diperoleh informasi bahwa pada tahun 1927 di seluruh Pekalongan terdapat sejumlah 1037 usaha batik besar kecil, yang perinciannya adalah sebagai berikut: Sumber: Kantoor van de Arbeid Residentie Pekalongan Di samping itu dari kabupaten Batang (wilayah karesidenan Pekalongan) juga terdapat 22 usaha batik Cina dan 73 usaha batik pribumi atau keduanya berjumlah 95 perusahaan yang terletak di desa Kauman (6), Projonanggan (3) Klidang (12) Batang (9), Baros (2), Dekoro (50) Warungasem (2), Gapuro (2), Banjiran (3), Masin (5) dan Sodorejo (1). Jika ditambahkan lagi sejumlah 60 perusahaan batik milik orang-orang Cina yang tidak terdata dalam sumber tersebut, maka jumlah seluruh usaha batik besar dan kecil di wilayah karesidenan Pekalongan pada tahun 1927 adalah lebih dari 1100, yang untuk sebagian besar adalah perusahaan-perusahaan batik kecil. Tentu saja keberadaan perusahaan-perusahaan batik yang banyak sekali ini member kesempatan kerja yang luar biasa bagi masyarakat pribumi dengan defrensiasi kerjanya yang yang sederhana. Dari data-data pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa usaha perbatikan telah menyebar hampir di semua bagian wilayah dari karesidenan Pekalongan, baik di daerah pantai maupun pegunungan. . Pengaruh dari industri ini dapat jelas diketahui terdapat di daerah-daerah pantai sampai daerah-daerah pegunungan. Pada tabel berikut ini adalah desa-desa dimana kebanyakan usaha-usaha batik berada:# Pada awalnya usaha industri perbatikan itu memang lebih berkembang di kota Pekalongan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya usaha perbatikan itu meluas ke pemukiman-pemukiman penduduk di ibukota- ibukota distrik (setingkat kecamatan sekarang) sepertiWiradesa, Kedungwuni dan Batang, dan kemudian lebih lanjut ke onderdistrik Buwaran (Banyuurip) dan Wonopringgo. Di distrik dan onderdistrik-onderdistrik itu kebanyakan orang-orang Jawa yang bermodal kuat diajak oleh pedagang-pedagang dari kota untuk bekerja sama dalam usaha membatik. Kemudian juga muncul usaha-usaha batik di tempat-tempat yang lebih terpencil seperti Karanganyar dan Ampel Gading. Sepanjang jalan-jalan yang menghubungkan berbagai ibukota distrik, berangsur-angsur bermunculan usaha-usaha kecil batik, seperti di daerah Tegal-dowo yang terletak antara Pekalongan dan Wirodesa, daerah Sengon yang terletak antara Pekalongan dan Batang dan desa besar Surabayan, yang menghubungkan Kedungwuni dan Wonopringgo. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pekalongan dipenuhi dengan usaha-usaha batik, yang berpusat di banyak desa-desa. Para penduduk di sekitar desa-desa dan kampung-kampung, terutama pada saat musim ramai kerja membatik, dapat memperoleh penghasilan dari kerja membatik.# Penyebaran yang luar biasa dari usaha-usaha batik, dan perpindahan banyak usaha batik ke desa-desa tentu saja membawa akibat merugikan usaha-usaha batik yang dahulu ada di kota. Tidak ada satupun perusahaan batik milik orang Arab maupun Cina yang mampu bersaing dengan para pembatik desa, yang bisa bekerja pada tempat kerja yang sederhana dengan anggota-anggota keluarganya, dan dengan tenaga kerja yang murah dari desa. Meskipun di pedesaan dibuat batik-batik yang murah, akan tetapi para pembatik kota yang memproduser batik jenis yang berkwalitas baik dan mahal, dampak yang ditimbulkannya tak terhindari. Sebagai penyebabnya masyarakat pada umumnya berangsur-angsur mulai memakai batik yang lebih murah, sehingga permintaan akan batik yang lebih mahal dari kota semakin menurun. Barangkali sehubungan dengan kenyataan tersebut maka orang-orang Cina di Wiradesa yang dulu membuat batik bang-ijo yang mahal, menutup usaha mereka.# Bagi seluruh masyarakat di wlayah karesidenan Pekalongan, industri batik tersebut mempunyai arti yang sangat penting, terutama bagi peningkatan kesejahteraan ekonomis mereka. Indikasi mengenai hal itu dapat diketahui dari pembangunan rumah-rumah permanen penduduk yang tampak kokoh dan indah, tidak hanya milik para juragan, akan tetapi juga milik para penduduk biasa yang banyak memperoleh kesempatan kerja dalam industri batik. Juga tidak boleh dilupakan, bahwa semakin dekat perbatikan yang diusahakan itu dengan lingkungan penduduk pedesaan yang bekerja pada industri-industri batik di perkotaan, seperti jarak yang jauh, dan sebagian harus bertempat tinggal di kota. Sebaliknya banyak perusahan-perusahaan batik di ibukota-ibukota distrik dan gemeente yang mengalami kebangrutan. Sebagai contoh dari laporan seorang Kontrolir Buruh yang bernama Raden Iskandar menyebutkan di ibukota distrik Kedungwuni semula beroperasi 8 perusahaan batik Cina yang besar, yang banyak menyerahkan pekerjaan kepada pemborong dan kepada para wanita pembatik di desa-desa. Akan tetapi pada tahun 1930 kedelapan perusahaan itu tidak berprodukdi lagi.# Seorang Lurah dari desa Tegalurung, Distrik Tirto,menceritakan bahwa kriminalitas di desa yang miskin itu menjadi jauh berkurang, sejak disana didirikan berbagai usaha batik, yang memberi banyak kesempatan kerja kepada banyak orang. Kontrolir Keuangan Pusat (Controleur bij de Centrale Kas) Rade Mas Utaryo mengatakan:  Pekalongan tanpa industri perbatikan bukanlah Pekalongan . Contoh lain seorang pengelola toko mebel yang besar dan menjual berbagai mebelair kepada orang desa secara angsuran, dalam laporannya kepada direksinya di Surabaya menyatakan bahwa naik turun omzet dagangannya tergantung dari pasang-surut usaha batik. Dalam serah terima jabatan Residen Pekalongan dijelaskan bagaimana pentingnya industri batik bagi masyarakat Pekalongan, dan ramainya ekspor dan perdagangan batik Pekalongan. Sebagai gambaran Residen Pekalongan tersebut memberikan contoh, ada seorang Jawa tidak mengenyam bangku pendidikan di sekolah sehingga tidak bisa membaca dan menulis, tetapi ia menjadi orang yang sangat kaya oleh karena industri batik ini. Orang itu bernama Tjariban yang tinggal di desa Sengon Kidul. Pada mulanya ia bekerja pada juragan Cina, akan tetapi karena rajin dan tekun dalam mempelajari tehnik membatik, ia ke luar dari pekerjaannya dan mendirikan usaha sendiri. Dengan usahanya yang berkembang dengan pesat, ia mampu berpenghasilan lebih dari 1.000 Gulden pada setiap musim, yang kemudian ia investasikan dengan membeli banyak rumah. Sangat disayangkan bahwa di antara perusahaan2 di desa2 ini banyak juragan yang karena sangat kurang memiliki keahlian dan yang kepekaan ekonomis, banyak di antaranya mengalami kebangkrutan. 2.Hubungan Majikan dan Buruh a. Para Pemborong dan Majikan Pemborong adalah orang yang mendapatkan pekerjaan membatik dari majikan dengan upah secara borongan, yang kemudian menyerahkan pekerjaan tersebut kepada orang-orang lain yaitu para butuh batik untuk dkerjakan baik dengan upah secara harian maupun borongan. Majikan pada umumnya ada di kota-kota, sedangkan pemborong dan buruh membatik pada umumnya ada di desa-desa. Manfaat sistem borongan bagi penduduk adalah bahwa pekerjaan dari perusahaan-perusahaan besar di kota bisa dibawa ke desa-desa yang jauh terpencil, sehingga para wanita, yang dulunya tiap hari terpaksa menganggur berjam-jam, berkat banyak pekerjaan disediakan oleh para pemborong kemudian bisa meningkatkan pendapatan keluarga dengan bekerja sambilan sebagai pembatik. Dengan demikian sebagian besar usaha perbatikan di pedesaan Pekalongan adalah mengerjakan order atau pesanan batik dari para majikan di kota, terutama orang-orang Cina dan Arab, yang memberikan bahan-bahan membatik seperti modal kerja yang diperlukan, kain lena putih, malam dan lain sebagainya. Harga bahan-bahan batik yang diserahkan kepada pemborong oleh para majikan biasanya ditetapkan secara sepihak jauh di atas biaya pembuatan dan modal kerja yang diberikan. Para peminjam itu memperhitungkan sedemikian hemat, sehingga si pemborong hampir tidak bisa membayar biaya dan upah para kuli. Selanjutnya peminjam uang menentukan secara sepihak harga batik yang harus diserahkan padanya. Mengingat dalam hal ini pemborong harus puas dengan penafsiran yang rendah, dia hampir tidak menerima sisanya sebagai upah atau gajinya. Hal yang biasa terjadi bahwa orang Jawa terlalu percaya pada peminjaman dari majikan pengorder (pemesan) batik, meskipun kepadanya diperhitungkan bunga yang sangat tinggi, dengan akibat bahwa ia dengan cepat kejiret yaitu berada dalam cengkeraman lintah darat itu.# Para pemborong yang merasa bahwa dirinya dianggap seolah-olah sebagai pembatik yang mandiri itu sesungguhnya sama sekali tergantung kepada lintah darat (peminjam modal). Oleh karenanya para pemborong itu juga disebut dengan istilah wong kedog, yang berarti (yang ditutup-tutupi) sebab mereka berpenampilan berbeda daripada yang sesungguhnya. Di desa Banyuurip dan Buwaran terdapat berbagai pemborong yang mengadakan kontrak pekerjaan membatik dengan orang-orang Arab, tetapi harga batik sudah ditentukan sebelumnya.Banyak usaha-usaha batik di kota mengalihkan pekerjaan pengecapan kain lena ke pedesaan, sebab mereka harus membayar upah mengecap yang sangat tinggi di kota. Sebagai contoh mereka membeli dua lap (gulung) kain lena, yang harganya 238,- gulden (harga tahun 1927), dan memberikan mori ini kepada buruh di desa untuk mengecapnya (dicap), dengan upah 3  4 gulden per kodi. Buruh di desa dapat melaksanakan perintah itu dengan upah yang sangat rendah, sebab mereka mempunyai anggota-anggota keluarga yang bisa membantu, yang hampir tidak perlu diberi upah. Apabila sudah dicap dengan baik dan dikembalikan kepada pemberi order, maka kain-kain yang sudah dicap ini dikirim kembali ke desa yang lain untuk dipopok dengan upah 4,50 gulden per kodi. Sesudah dipopok tukang babar melanjutkan pekerjaan membatik itu. Tukang babar mempunyai keuntungan , yaitu ia boleh memiliki sisa malam sesudah lorodan (dilorod). Malam tersebut bisa mereka jual dengan harga 8,- gulden per pikul atau mereka bisa mencampurnya dengan damar, malam, minyak atau lemak dengan perbandingan 10 : 5 : 1,5. Campuran sedemikian itu baik untuk digunakan sebagai malam penutup. Di samping kesibukan-kesibukan kerja seperti tersebut di atas, kepada para pemborong diberi pekerjaan yaitu apa yang disebut tanahan, tembok dan biron. Barangkali dengan alasan untuk sedikit menambah penghasilan, para pembatik di desa biasa sedikit merobek kain lena agar di afkir, sehingga dari 26 kain yang tersisa 24 (yang 2 sengaja disobek). Dulu dari sepotong (segulung) kain lena dibuat menjadi 24 kain sarung dengan harga @ 1 gulden. Sarung yang disortir karena sengaja disobek sedikit itu tentu saja ukurannya menjadi kecil (orang menyebutnya sebagai sarung pantaloon), tetapi bagi orang-orang yang kurang berada di desa2 sarung yang cacat semacam itu tidak dihiraukan dan tetap dibeli. Para pengusaha kecil batik di desa-desa menerima sebagian besar atau semua bahan dari pemesan (pengorder) dan mengerjakannya menjadi kain batik dengan upah yang sudah ditentukan terlebih dahulu, atau bahan-bahan dibeli secara kredit pada toko-toko di kota dengan syarat batik yang sudah jadi diserahkan kepada toko dengan harga yang sudah ditentukan. Dalam hal itu pembatik menerima mori dan bahan obat-obatan lainnya dengan harga kontan toko. Apabila membeli barang-barang yang sama secara kredit, tetapi tidak akan menyerahkan batik dengan harga yang telah terlebih dahulu ditentukan, maka mori yang dibeli harganya sedikit lebih mahal. Dalam kedua hal itu pembatik di desa sudah tahu pasti tempat penjualan hasil batiknya, dan tidak perlu mencari pasar sendiri untuk produk batiknya. Bagi pembatik di desa bentuk hubungan kerja ini sangat disukai, sebab tidak ada resiko yang besar jika harga merosot.# Biasanya kepada pemborong juga dilarang oleh pemodal (pengorder) untuk membatik atas beayanya sendiri, sebab ditakutkan bahwa buruh akan menggunakan malam dan uang muka yang telah diterima untuk usaha batiknya sendiri yang tentu saja merugikan pemberi modal (lintah darat), apalagi para buruh dalam bekerja membatik tersebut tanpa pengawasan. Hubungan antara pemodal dan pemborong tidak selalu harmonis. Sebagai contoh di desa Tegaldowo ada seorang Jawa pemborong, yang pada tahun 1924 mengadakan kontrak dengan pemodal di kota. Akan tetapi dalam kontrak itu pemborong disuruh menandatangani pernyataan, bahwa ia telah menjual rumah dan kebun dengan sejumlah uang kepada pemodal itu, yang konon pernyataan itu hanya dianggap sebagai formalitas semata atau jaminan yang lebih kuat. Selama beberapa tahun orang desa itu menyerahkan produk batik secara teratur. Dari penghitungan pemborong tersebut merasa seluruh tanggungan hutangnya secara berangsur-angsur telah terbayar lunas, sehingga pada tahun 1929 diputuskan untuk naik haji ke Mekah. Dengan mendengar berita itu pemodal menyita rumah dan tanah orang tersebut, dengan dalih, bahwa orang desa itu memang telah menyerahkan sejumlah hasil membatik secara teratur sesuai perjanjian, tetapi harganya di pasar jauh di bawah harga umum, dan itu harus menjadi tangungjawab pemborong. Pemborong dari desa tersebut tidak bisa mempertahankan diri, karena secara yuridis ia memang telah menjual rumahnya seperti yang tertulis dalam kontrak. Beberapa orang Arab konon juga berusaha membohongi pemborong dari desa dengan cara tersebut, tetapi orang-orang desa sudah tahu bagaimana cara mengantisipasinya. Penghasilan para pemborong pada umumnya tidak besar. Misalnya seorang pemborong yang untuk pekerjaan nembok menerima upah 5  6 benggol per potong dari pengorder, kemudian menyerahkan pekerjaan itu kepada buruh desa dengan upah 3 benggol per potong. Di desa Wonopringgo seorang buruh memperoleh upah 7 gulden per kodi. Akan tetapi untuk itu ia harus membeli lilin sendiri dan mempekerjakan wanita-wanita pembatik untuk pekerjaan isn- isn dan galaran. Per potongnya wanita-wanita pembatik itu dibayar 25 sen. Beaya pemalaman per potong 5  7 sen, sehingga baginya (buruh pemborong) per batik rata-rata masih tersisa sebagai keuntungan sebesar 4 sen. Beruntunglah bahwa di Pekalongan ada kebiasaan untuk membayar ongkos angkutan kepada para pemborong. Jika tidak maka sama sekali tidak akan ada keuntungan yang tersisa. Banyak para isteri pemborong ikut bekerja membatik, sehingga mereka di samping memperoleh keuntungan sebagai pemborong juga memperoleh hasil sebagai pengobeng. Jika seorang annemer (pemborong) membawa sebanyak 3 kodi ke rumah sebagai sanggan, waktu untuk mengerjakan akan selesai dalam kurang lebih 10 hari. Dengan jumlah sebesar itu ia akan memperoleh keuntungan 60 x 4 sen = 240 sen, yang berarti 24 sen per hari. Dengan tambahan penghasilan sebagai pengobeng, maka pemborong dalam masa2 yang normal akan menikmati upah harian sekitar 40  50 sen. Menurut pernyataan dari beberapa pemborong bahwa upah borongan sejak tahun 1927 menurun hampir 50 %. Pemborong tembok (pekerjaan tembok) yang dulu menerima keuntungan 7,5 gulden per kodi, sekarang dengan pekerjaan batik dengan jenis yang sama memperoleh upah/ keuntungan tidak lebih dari 4,- gulden. Terdapat pemborong yang setiap harinya maksimal hanya mengerjakan/ menyelesaikan 3 kodi batik, yang per kodinya ia berpenghasilan 1  1,5 Gulden, atau maksimal 45 Gulden dalam sebulan, masih dipotong 17 gulden untuk 2 kuli. Dengan demikian sisa keuntungan baginya hanya 28 gulden per bulan, yang berarti tidak sampai 1 gulden per hari. Artinya penghasilan pemborong ini sesungguhnya tidak lebih dari seorang kuli. # b. Para Buruh Untuk menggambarkan kondisi buruh pada perusahaan-perusahaan batik di Pekalongan, harus dibedakan antara buruh yang bekerja desa dan kota. Dalam perusahan-perusahaan batik di desa-desa hampir semua yang bekerja adalah penduduk desa, anggota-anggota famili, para tetangga dan orang-orang yang dikenal baik. Sebaliknya di tempat-tempat kerja yang ada di kota yang bekerja adalah para buruh baik yang datang dari jauh maupun dekat. Para buruh itu menginap di perusahaan batik atau mencari penginapan (pondokan) di kota. Para buruh wanita (terutama pengobeng) pada umumnya menginap di tempat-tempat kerja. Wanita-wanita yang bekerja di kota yang disebut dengan istilah lurugan atau bara ini berasal dari pedalaman, dan juga berasal dari daerah sepanjang Pantura (Tegal, Pemalang, Comal, Ulujami dan lain-lain). Di antara wanita-wanita yang menginap di tempat kerja itu terdapat para gadis dan janda yang bertahun-tahun menginap pada perusahaan batik yang sama. Di samping itu juga terdapat wanita-wanita yang menikah tetapi juga bekerja menginap untuk beberapa bulan. Sebab di desa-desa mereka sendiri hanya mendapat penghasilan yang sangat sedikit, sehingga mereka berusaha untuk mengadu untung di tempat lain. Sebagai tujuan utamanya bukan terutama agar nanti bisa mengumpulkan banyak uang untuk dibawa pulang, tetapi terutama untuk memperingan beban dari para suami mereka sehubungan dengan tanggungan keluarga di rumah yang banyak dan harus diberi makan. Apabila mereka mengajak satu atau beberapa anak mereka, maka menjadi lebih mudah/ringan lagi bagi para suami mereka untuk mengatasi masa-masa yang sangat sulit, yaitu masa paceklik. Kebanyakan wanita dari luar Pekalongan berasal dari Tegal. Perusahan-perusahaan batik yang dulu berkembang di Tegal, dimana para wanita dengan mudah memperoleh pekerjaan tetap sebagai pembatik kini mengalami kemerosotan, sehingga mereka harus pergi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan sebagai pembatik. Menurut penuturan beberapa juragan batik, bahasa gaya Tegalan mendominasi dalam pembicaraan di perusahaan-perusahaan batik Pekalongan. Bahkan juragan batik lebih suka menggunakan bahasa gaya Tegal untuk memberi perintah/ pengarahan kepada para wanita pengobeng. Jumlah para wanita dari daerah Tegal yang bekerja di perusahaan-perusahaan batik di Pekalongan menurut perkiraann pada musim yang normal dipastikan di atas 2000 orang. Orang-orang asli Pekalongan pada umumnya menganggap dengan sebelah mata terhadap pekerjaan para wanita dari Tegal dan wanita-wanita yang lain dari luar Pekalongan yang biasanya melakukan pekerjaan kotor di perusahaan-perusahaan batik, yaitu nonjok. Nonjok adalah menutupi bidang-bidang yang luas (besar) pada kain dengan malam, yang biasanya dilakukan dengan kuas. Pakaian kerja wanita-wanita ini tampak buruk dan kotor. Dari bawah sampai atas nampak berlepotan dengan malam, sementara perlengkapannya yaitu baju dan sarung banyak yang sobek. Karena wanita-wanita yang miskin ini sering muncul de jalan dengan pakaian yang kumuh itu, maka para wanita Pekalongan menganggap mereka lebih hina. Tampaknya juga ada unsur kecemburuan dalam hal itu. Para pembatik wanita Tegal merupakan pesaing yang tangguh dalam pasar tenaga kerja. Mereka sudah merasa cukup dengan upah yang rendah, yang oleh karena itu menyisihkan wanita-wanita Pekalongan dan menuntut upah kerja yang layak. Oleh karena para buruh wanita dari Tegal sangat rajin dan masih kerja lembur beberapa jam pada malam hari, maka pada bulan normal mereka bisa berpenghasilan 40 sen per hari, dimana sebesar tidak lebih dari 10 sen dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Uang tabungan mereka dipergunakan untuk beaya menggarap sawah di desa mereka masing-masing, untuk membayar pajak dan pengeluaran lainya, yang tidak bisa ditutup/ bayar dari penghasilan suami-suami mereka. Suami mereka yang tinggal di rumah setiap saat pergi ke perusahaan-perusahaan batik di mana para isteri mereka bekerja, untuk mengambil uang tabungan isteri mereka, semua atau sebagian saja. Orang-orang di lingkungan mereka pada waku itu tidak mengangapnya sebagai eksploitasi wanita oleh laki-laki,# sebab dengan caranya sendiri para suami juga berusaha untuk mengatasi kesulitan keluarganya jika dalam situasi darurat dan tidak semata membiarkan atau menyerahkan kepada pasangannya. Apabila para wanita ditemani oleh para suami mereka, maka para suami juga bekerja pada perusahaan batik yang sama atau mencari pekerjaan di tempat lain. Juragan biasanya bersedia menerima pasangan suami isteri bekerja di perusahaannya, karena bekerja bersama berdua akan memperoleh penghasilan yang lebih banyak sehingga para pembatik menjadi puas, dan tidak berkeinginan untuk pindah bekerja ke tempat lain. Di antara gadis-gadis muda banyak yang menjadi pelacur yang banyak ditemukan pada malam hari di jalan besar antara bioskop, sepanjang hotel Java sampai Heerenstraat. Juga diceritakan bahwa pada masa malaise tahun 1930, para wanita pemborong yang mempekerjakan para wanita sebagai pembatik di rumahnya, telah menjadikan rumahnya sebagai tempat kencan, dan bahkan sebagai rumah bordil. Di Pekalongan sangat umum dikenal, bahwa di antara wanita pengobeng banyak yang menjadi pelacur, sehingga ada ungkapan  golek pengobeng , yang berarti sedang mencari pelacur di jalanan. Pada pertengahan pertama tahun 1930 telah dilakukan razia pelacur oleh polisi, tetapi mereka kemudian pindah ke kampung atau tempat-tempat yang lain.# Mengenai jumlah tempat2 kerja (perusahaan) batik dan jumlah buruh batik di karesidenan Pekalongan dapat dilihat pada tabel berikut ini: Sumber: Kantoor van Arbeid, Verslag van den Dienst der Arbeidsinspectie in Nederlandsch-Indie, Batavia 1917-1922. Mengenai upah para buruh di Pekalongan tidak ada kepastian atau ketentuan besar-kecilnya upah, demikian pula upah minimal dan upah maksimal. Pada dua perusahaan batik yang saling bersebelahan misalnya dan dengan pekerjaan yang sama, seorang tukang cap memperoleh upah yang tinggi yaitu 1,- gulden sedangkan yang lain hanya memperoleh 75 sen atau bahkan lebih rendah. Demikian juga ada pekerjaan membatik yang dibayar 10,- gulden per kodi tetapi ada juga yang hanya 2,- gulden. Pekerjaan membatik tulis yang hasilnya lebih indah dan halus serta memerlukan waktu kerja yang lebih lama, sering mendapatkan upah lebih rendah dari pekerjaan membatik cap yang hasilnya lebih kasar. Kemungkinan perbedaan yang besar dalam tarif itu bisa dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa perusahaan batik yang menderita rugi memasang tarip rendah, sementara perusahaan batik lain yang memperoleh keuntungan besar tetap mempertahankan tarip yang normal (tinggi), apalagi jika pemilik perusahaan itu dikenal sebagai orang yang kaya. Dalam penentuan tarif untuk membuat model (motif) cap baru, majikan juga sering menaksir upah yang tinggi, tetapi apabila dia memperoleh keuntungan dari padanya maka ia tidak membuat perubahan tarif. Banyak juragan menaikkan upah dalam musim ramai pekerjaan, sebab mereka takut akan kehilangan para buruh yang sedang dibutuhkan. Sebab pada musim itu ada kesempatan yang membuat pengusaha batik bisa mendapatkan banyak keuntungan, setidak-tidaknya omsetnya akan sangat meningkat. Pada musim ramai para tukang cap juga akan ikut menikmatinya dengan menuntut upah yang lebih tinggi. Oleh karena persaingan yang tinggi maka juragan wajib memperhatikan tuntutan-tuntutan itu. Akan tetapi ada faktor lain yang sangat mempengaruhi yaitu bahwa tarif upah umum di Pekalongan ditekan oleh ratusan tenaga kerja dari Tegal yang bersedia bekerja dengan upah yang jauh lebih rendah. Suatu pekerjaan yang bagi wanita Pekalongan meminta upah 9 sen, wanita Tegal hanya meminta 6 sen. Kuli dari Tegal cukup puas dengan upah 6,-gulden per bulan sedangkan kuli Pekalongan meminta paling rendah 10,- gulden.# Pada tahun 1927 diketahui bahwa terutama di antara para kuli ngetel bersedia diturunkan upah borongannya, jika juragan bersedia memberi upah di depan (porsekot). Dalam hal itu juragan memanfaatkan kebutuhan darurat akan uang dari para kuli untuk mengurangi upah mereka. Sebagai contoh seorang kuli yang seharusnya menerima upah 4,- gulden per sanggan dan meminta upah (uang muka) di depan, maka ia hanya akan menerima 3,5 gulden per sanggan. Bahkan apabila seorang kuli di samping uang muka juga meminjam sejumlah uang, maka ia hanya akan menerima upah 3,-gulden per sanggan, selama hutangnya belum lunas. Sebagai contoh jika seorang kuli meminjam uang sebesar 7,5 gulden dan membayar dengan cara mengangsur 50 sen per minggu, maka ia akan menerima upah 3,- gulden per sanggan dari yang seharusnya 4,-gulden per sanggan. Nampaknya para kuli tidak mempunyai jalan ke luar lainnya atas persoalan hutang dan upah yang melilitnya. Setiap menghadapi permasalahan uang yang mendesak, tanpa pikir panjang ia selalu mengambil cara itu lagi.# Untuk pengupahan ini dapat dibedakan dalam tiga golongan besar berdasarkan jenis pekerjaannya, yaitu upah untuk para tukang cap, para kuli dan untuk para wanita pembatik. Mengenai upah tukang cap di kota, pada tahun 1930 berkisar antara 60 sen  1,- gulden, dan dari 75 sen  1,-gulden, Sementara di daerah pedesaan seperti di Wonopringgo, Banyuurip dan Surabayan upah harian itu berkisar antara 50 sen  1,-gulden antara 50 sen  90 sen dan antara 50 - 75 sen, ditambah dengan makan, dan di tempat lain berkisar antara 60 sen  75 sen. Di desa-desa biasanya upah yang dibayarkan lebih rendah daripada di kota-kota, tetapi kepada para buruh diberi sekali atau lebih makan, kopi atau teh, dan kadang-kadang ada pemberian beberapa sen uang jajan. Kebiasaan memberi makan gratis di pedesaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika pertama-tama orang-orang desa memulai usaha batik, harus mendatangkan tukang batik dari tempat lain yaitu dari Pekalongan dan Batang. Oleh karena mereka datang dari jauh dan para juragan bermaksud sebaik mungkin melayani mereka, maka diberilah mereka makan. Di samping itu orang desa asli memang selalu dengan senang hati memberi makan. Seorang juragan dari Surabaya mendapati persiapan untuk memberi makan para buruh agak lama, dan mencoba untuk mengatasinya dengan berjanji akan memberikan uang tambahan 10 sen per hari sebagai uang makan. Kepada para tukang cap misalnya, tarif upah per potongnya dinaikkan, sehingga dengan prestasi kerja normal per harinya akan dengan mudah mendapatkan upah tambahan 15 sen, yang bisa dianggap sebagai uang makan. Namun demikian aturan upah baru itu kemudian dirasakan memberatkan para tukang cap sehinga lebih suka kembali kepada aturan yang lama. Sebab ternyata bahwa mereka sering tidak mampu menyelesaikan tugas atau beban harian yang harus dikerjakan, atau sanggan yang diberikan kepada mereka kecil sehingga tidak memperoleh tambahan upah sebagai ganti makan gratis sebesar 15 sen. Di samping itu para buruh biasanya tidak bisa mengatur keuangannya sehingga upah yang diterima dengan sekejap mata habis. Akibatnya mereka harus bekerja tanpa makan. Oleh karena itu juragan dari Surabaya itu kembali melakukan aturan lama yaitu memberi jatah makan gratis kepara para buruh. Upah rata-rata para tukang cap, pada tahun 1927 adalah sebagai berikut: Tabel 10 : Upah rata-rata tukang cap tahun 1927 Sumber:  Verslag van den Economische Toestand der Inlandsche bevolking: Deel I, 1924, hlm. 259. Untuk golongan yang kedua yaitu para kuli, khususnya para kuli  nglorod yang di kota biasanya menerima upah bulanan antara 7,5  8,-gulden per bulan pada tahun 1927. Di samping itu tiap hari mereka memperoleh makan 2 kali, terdiri dari nasi dan ikan kering (asin) atau tempe dan sambel. Di perusahaan-perusahaan kecil hanya diberi makan sekali dalam sehari. Tetapi upah bulanan hanya akan dibayar penuh, jika kuli juga bekerja 30 hari penuh. Jika kurang maka hanya akan diberi sebanyak berapa hari ia bekerja, demikian juga makan gratis pada hari-hari tidak bekerja menjadi hilang. Sementara para kuli harian pada masa-masa normal menerima upah antara 50, 60 dan 75 sen, bahkan di perusahaan batik Arab bisa mencapai 1,-gulden. Para kuli ini melakukan semua jenis pekerjaan seperti kemplongan, melipat, membungkus, mengirim batik dan sebagainya. Pada masa krisis tahun 1930 upah harian para kuli tidak lebih dari 35 sen. Meskipun amat jarang, terdapat kuli yang menerima upah tahunan, yaitu sekitar 10,- - 25,-gulden. Di samping itu mereka juga mendapat makan gratis, dan memperoleh beberapa stel pakaian setiap tahunnya. Yang termasuk kuli tahunan itu biasanya mereka dari kelompok (angkatan) tua, yaitu mereka yang menerima upah rendah, yang disebabkan dulunya pernah mengajukan dan menerima uang muka dalam jumlah besar untuk upahnya, sehingga hampir tidak mungkin untuk melunasinya. Pada musim sepi para kuli ngetel bisa menerima upah harian maksimal 1,-gulden sedangkan pada musim normal mereka memperoleh upah harian rata-rata 75 sen. Di luar upah sanggan, para kuli ketelan masih menerima 10 sen sebagai uang makan. Kuli ketelan ini juga mempunyai jam kerja yang lebih pendek, misalnya tiap harinya dia telah meninggalkan pekerjaan pada jam 15.00. Karena masih mempunyai cukup waktu luang, ada di antara mereka yang memanfaatkanya untuk menjalankan pekerjaan sebagai petani. Bagi para kuli ngetel, musim hujan tidak menguntungkan, sebab diperlukan banyak sekali waktu untuk bisa mengeringkan kain. Demikiankah apabila pada musim kemarau mereka bisa memperoleh penghasilan 4,-gulden dalam 5 hari, maka pada musim penghujan upah sebesar itu harus dikerjakan dalam 8  10 hari. Dengan demikian upah hariannya menurun menjadi 50 atau 40 sen. Bahkan pada musim hujan berkepanjangan, mereka terpaksa menggadaikan barang-barang berharganya atau pinjam uang kepada majikannya, untuk dibayar pada musim kemarau. Selanjutnya para kuli tukang blawu dan tukang cat (mewarnai) merah, memperoleh upah 25 sen per hari, dan makan gratis. Pada tahun 1927 para kuli pewarna yang bekerja pada para pemborong di desa-desa menerima upah harian + 25 sen, untuk mewarnai rata-rata 2 kodi batik. Tetapi pada tahun 1930 di Banyuurip kuli babar menerima upah harian 50 sen dan upah bulanan 12,-gulden. Para kuli babar di desa bisa mengumpulkan sisa malam bekas nglorod untuk dimiliki. Malam bekas itu kemudian dicampur dengan lilin, BPM malam dan lemak dengan perbandingan 10 : 5 : 1,5 Kemudian malam lorodan itu bisa dijual dengan harga 8,-gulden per pikul.# Yang ketiga adalah golongan para wanita pembatik, yang meliputi jumlah paling besar di antara para buruh industri batik. Seperti telah dijelaskan di muka bahwa wanita-wanita lurugan yang sebagaian besar berasal dari Tegal, khusus dengan pekerjaan yang kasar yaitu tonjok (menutup pola-pola atau bidang-bidang besar dengan malam), berpenghasilan cukup baik, sementara wanita-wanita tukang rengreng dengan pekerjaan merengreng yang jauh lebih sulit dan pekerjaannya bisa berlangsung sampai larut malam, hanya menerima tidak lebih dari 15 sen per hari. Sementara pekerjaan tonjok yang dilakukan dengan canting besar atau kuas, nampaknya merupakan pekerjaan yang berat, sulit (njlimet) dan membosankan, dan juga merupakan pekerjaan yang membuat kotor. Pekerjaan itu harus dilakukan secepat mungkin, sebab upahnya per potong sangat rendah. Hanya saja pekerjaan ini memang dapat dilakukan dengan cepat, tidak seperti pada pekerjaan rengrengan. Dalam berbagai perusahaan batik limik orang Arab terdapat wanita-wanita yang bekerja menginap (interne), yang berpenghasilan antara 7,5 sen sampai 15 sen per hari. Tidak bisa dimengerti mengapa di banyak perusahaan batik lainnya para wanita pembatik ini memperoleh upah antara 40  50 sen bahkan sampai 60 sen, sementara wanita-wanita pembatik yang menginap di rumah majikan di kota Pekalongan hanya memperoleh upah 8  10 sen per hari. Juga mereka yang bekerja mbironi (member warna biru) hanya memperoleh upah antara 10  15 sen per hari. Dapat disimpulkan bahwa upah para wanita pembatik itu sangat rendah. Namun demikian bagaimanapun rendahnya upah tersebut, upah itu merupakan penghasilan tambahan yang sangat berguna untuk menutup kebutuhan keluarga. Bagi berpuluh-puluh janda dengan anak-mereka dan ratusan gadis yang kurang terurus sebagaimana mestinya oleh karena kemiskinanan para orang tua mereka, sementara di desa-desa sangat sulit untuk memperoleh pekerjaan, maka industri batik merupakan satu-satunya tumpuan untuk mendapatkan penghasilan. Demikian juga yang terjadi pada beratus-ratus keluarga di pedesaan, yang para wanitanya bekerja keras pada industri-industri batik di kota-kota distrik dan kota Pekalongan, telah menyumban penghasilan tambahan sangat berarti bagi keluarga mereka. Sebagai gambaran mengenai pekerja wanita yang harus bekerja keras ntuk keluarganya, disebutkanlah di desa Benda terdapat seorang janda yang harus mengurus 3 anaknya, yang nampaknya bisa mati kelaparan, jika tidak ada industri batik. Janda ini bekerja sepanjang hari sampai pada jam 8 malam kadang-kadang sampai jam 12 malam dan hanya memperoleh upah 15 sen, yang itu tidak cukup untuk memberi makan dirinya sendiri dan ketiga orang anaknya, sehingga sering minta nasi kepada tetangganya.# Dalam laporan mengenai keadaan ekonomi penduduk pribumi, dapat diketahui mengenai upah para buruh atau kuli pada umumnya dibandingkan dengan upah buruh yang bekerja pada industri-industri batik di daerah Pekalongan. Untuk lebih jelasnya lihat table berikut ini: Sumber:  Verslag van den Economische Toestand der Inlandsche bevolking: Deel I, 1924, hlm. 250/251 Selanjutnya dalam laporan mengenai kesejahteraan penduduk, dapat diketahui bahwa dari seluruh industri batik yang ada di karesidenan Pekalongan, telah dibayarkan uang sejumlah kepada para buruhnya secara keseluruhan yaitu pada tahun 1919  1924 secara berurutan sb: 1.118.000,-gulden pada tahun 1919, 1.548.000,-gulden pada tahun 1920, 1.118.000,-gulden tahun 1921, 608.000,-gulden tahun 1922, 554.000,- gulden tahun 1923 dan 548.000,-gulden pada tahun 1924.# Satu hal yang cukup menarik untuk dibahas khususnya yang berkaitan dengan para buruh wanita pembatik interne, adalah tempat kerja dan sekaligus tempat menginap mereka. Di sebagian besar perusahaan-perusahaan batik di Karesidenan Pekalongan, kondisi tempat kerja bagi para buruh pada umumnya buruk, demikian pula tempat penginapan yang diperuntukkan bagi para wanita pengobeng sangat tidak layak. Wanita di pedesaan pada umumnya beranggapan bahwa kehidupan sebagai pengobeng yang menginap adalah tidak pantas. Hal ini dapat diketahui dari keluh kesah dari wanita-wanita pengobeng sendiri yang menyatakan, bahwa wanita-wanita pengobeng yang menginap di tempat-tempat kerja atau dalam perusahaan-perusahaan batik pada umumnya cepat menjadi tua. Sebagai penyebab utamanya adalah mereka itu kehilangan kebahagiaan dalam kehidupan bersama keluarga yang normal, dan oleh karena itu sesungguhnya mereka itu tidak krasan. Meskipun telah berusaha membiasakan diri hidup lepas dari keluarga, ternyata kehidupan di pabrik-pabrik batik tetap tidak menyenangkan. Kamar-kamar tidur di tempat kerja biasanya berada dalam gubuk (rumah papan dan bambu) yang saling berhimpitan. Karena keadaannya yang buruh dan sempit, kamar-kamar tersebut jarang sekali ditempati untuk tidur dan mereka lebih suka tidur di tempat kerja di samping gawangan (sampiran untuk membatik). Di samping itu para pengobeng biasanya bekerja sampai larut malam agar secepatnya memperoleh upah yang banyak dan segera bisa dibawa pulang. Pada musim paceklik banyak sekali wanita pedesaan pergi ke kota untuk bekerja di perusahaan batik. Mereka itu pada umumnya memperoleh upah yang sangat sedikit atau tidak layak. Agar bisa menghemat uang, mereka berinisiatip membawa 2 beruk (sekitar 2 liter) beras ke tempat kerja. Dari upah yang diperoleh para wanita tersebut, sebagian dipergunakan untuk membeli pakaian dan keperluan lainnya, dan sebagian lainnya untuk membayar pajak. Para wanita itu berusaha sehemat mungkin, misalnya sedapat mungkin bisa hidup dengan uang 6 sen per hari, yaitu 6 sen untuk membeli nasi pada pagi hari, siang juga 2,5 sen untuk nasi, dan 1 sen untuk membeli. Demikianlah seorang wanita dari Pawitro pergi meninggalkan desa untuk bekerja di perusahaan batik di Pekalongan. Dari Pawitro ke Wonopringo berjarak sekitar 10 KM, dan untuk itu ia berjalan kaki melewati daerah-daerah yang sepi dan tandus. Dari sana dia akan melanjutkan perjalanan ke kota dengan jarak sekitar 15 KM dan seharusnya membayar 12 sen jika naik kereta api. Akan tetapi hanya untuk menghemat uang sebanyak 12 sen tersebut ia terus berjalan kaki ke kota. Apabila beras yang dibawa dari rumah sudah habis, maka secara bersama-sama para wanita itu membeli beras di warung atau di toko, dan memasaknya untuk dimakan bersama pula oleh sekelompok wanita tertentu. Bahan bakar untuk memasak adalah gratis yaitu dengan bahan bakar kayu. Bagian beras yang diserahkan oleh setiap wanita untuk dimasak ditakar secermat mungkin dengan cangkir. Para wanita dari desa Pawitro pada umumnya pergi ke kota dengan membawa beras dan uang 25 sen. Uang ini diperoleh dari menjual bambu muda (rebung) di pekarangan rumahnya. Dengan demikian alasan utama mengapa para wanita pedesaan itu pergi ke kota untuk bekerja di perusahaan batik adalah kemiskinan. Di sebuah perusahaan batik di kampong Kauman, seorang juragan Jawa menyatakan, bahwa ia menyediakan bale-bale berukuran 2 M untuk tempat tidur para buruh wanita, tetapi ketika dilakukan inspeksi di tempat kerja, ternyata tidak ada yang tidur di bale-bale tersebut. Akan tetapi juragan menyatakan bahwa bale-bale itu hampir tidak pernah dipergunakan untuk istirahat (tidur), sebab para buruh wanita itu terus bekerja sampai larut malam. Di samping itu mereka tidak suka tidur di kamar-kamar itu karena sangat panas. Jika tidak hujan mereka tidur di lantai atas, semacam langit-langit di atas, dengan lantai yang dibuat dari papan atau bambu dimana kain-kain batik digantung untuk dikeringkan. Para pekerja wanita itu juga sering tidur di tempat kerja di samping gawangan. Ruangan kerja di perusahan-perusahaan batik sendiri pada umumnya kotor, kecil, pengap, gelap, dimana-mana tergantung kain-kain batik basah yang sedang dikeringkan pada bambu, sehingga tidak ada ventilasi. Sementara keadaan yang hampir sama juga terdapat di perusahaan milik orang-orang Cina dan Arab. Kondisi kerja dan penginapan yang relatif lebih baik ada pada perusahaan-perusahaan batik wanita-wanita Eropa. Pada perusahaan tersebut para pekerja wanita yang menginap di tempat kerja memperoleh kamar-kamar tersendiri dalam barak-barak kuli. Kamar-kamar tersebut tampak bagus dan dilengkapi dengan mebel. Pada malam hari mereka bekerja dengan penerangan listrik yang bagus dan dirawat secara teratur. Di daerah pedesaan yang dijadikan tempat kerja membatik adalah rumah-rumah yang dibuat dari bambu, terletak di belakang rumah para juragan. Meskipun terdapat pekarangan yang tidak terlalu luas, akan tetapi cukup untuk digunakan menjemur kain batik. Tempat kerja di pedesaan itu juga lebih terbuka, dan pada musim kemarau para wanita bekerja di bawah pepohonan yang teduh atau di bawah gubug terbuka, sehingga jauh lebih sehat keadaanya daripada tempat-tempat kerja di kota. Di pedesaan hampir tidak ada para pengobeng intern yang menginap di tempat kerja atau pada majikan.# Satu lagi hal menarik dan yang berkaitan dengan para wanita pengobeng adalah yang berkaitan dengan jam kerja. Tidak ada jam kerja yang pasti atau terjadwal. Para pekerja secara bebas masuk kerja dan menghentikan kerja pada jam-jam yang diinginkan. Pada musim ramai para pekerja bekerja berjam-jam (sangat lama) pada setiap harinya, sedangkan pada musim sepi perusahaan-perusahaan batik hanya buka beberapa jam. Pada hari Jum at perusahaan- perusahaan batik pada umumnya meliburkan pekerja mereka. Khusus pada hari Jum at Kliwon, adalah hari raya yang terjadi pada setiap 35 hari. Para laki-laki dengan isteri-isteri mereka biasanya berjalan-jalan, mengunjungi tempat-tempat keramat, dan tempat-tempat wisata setempat. Para buruh batik di kota biasanya juga pergi untuk menonton bioskop atau berjalan-jalan sepanjang jalan-jalan raya di Pekalongan, yaitu pada hari Kemis (Kemisan), yaitu hari gajihan mingguan bagi para buruh. Sementara pada kuli yang miskin lebih suka tetap bekerja pada hari-hari libur, agar tetap mendapat upah. Dulu dikenal adaya larangan untuk bekerja pada malam hari, tetapi kebanyakan majikan mengira bahwa larangan ini diberlakukan dengan tujuan untuk sedapat mungkin membatasi bahaya kebakaran dalam perusahaan-perusahaan batik yang terdapat banyak bahan-bahan yang mudah terbakar. Konon para majikan selalu menganjurkan agar para wanita tidak lembur pada malam hari. Akan tetapi anjuran itu tidak pernah dihiraukan oleh para wanita pengobeng. Diperkirakan bahwa upah yang sangat rendah para pembatik wanita itulah yang mendorong untuk menjalankan kerja malam. 3. Perdagangan Batik Pekalongan Aktivitas perdagangan batik dalam industri batik di Pekalongan sangat unik dan menarik untuk dibicarakan. Untuk lebih memahami aktivitas perdagangan batik persebut, perlu dibedakan antara perusahaan-perusahaan batik besar milik majikan-majikan pribumi, Cina, dan Arab yang ada di kota-kota baik kota distrik maupun kota gemeente Pekalongan, dengan usaha-usaha batik di pedesaan. Perusahaan-perusahaan batik besar menjual produk batiknya kepada para pembeli yang berasal dari daerah-daerah di luar Pekalongan di Jawa, dari Luar Jawa, Singapura, Medan, Padang, Palembang. Batik-batik tersebut dibuat dan dijual berdasarkan pesanan, dengan resiko barang-barang dagangan yang tidak terjual dikirim kembali, atau dijual secara kontan atau bertahab. Mengenai ekspor batik Pekalongan sejauh ini hanya ditemukan data antara tahun 1919  1925, yaitu sebagai berikut: Sumber: Memorie van overgave van de residentie Pekalongan, door J.E. Jasper, 10 Juni 1926, hlm. 64. Menurut Residen Pekalongan Jasper, angka-angka ekspor batik tersebut menggambarkan suatu kemajuan perdagangan batik di Pekalongan yang ditunjang oleh berkembangnya industri batik. Namun demikian pada sisi lain mulai diketahui adanya kemunduran kerajinan batik yang asli, yaitu batik tulis, sebagai akibat munculnya industri batik yang lebih banyak memproduksi batik cap. Kain batik yang diekspor ke luar Jawa pada umumnya ditujukan untuk para kuli kontrak di perusahaan-perusahaan perkebunan, yang dibuat dari kain blaco Jepang kwalitas rendahan dan dengan harga tidak lebih dari 18  20 gulden per kodi. Batik-batik yang murah ini terutama diekspor oleh pedagang-pedagang Arab, sedangkan para pedagang Cina memperdagangkan batik yang harganya lebih mahal. Di samping itu juga dijelaskan bahwa Pekalongan juga memiliki pasar batik yang khas, yang terletak di beberapa jalan, dimana banyak tinggal orang-orang Arab dan Sumatra, yang dikenal sebagai para pemborong batik. Juga terdapat lapangan terbuka tempat mengumpulkan sejumlah besar kain-kain batik sortiran, yang setelah dilakukan seleksi lagi kemudian dijual lagi oleh para pemborong besar kepada para pemborong kecil. Apabila pada pasar besar batik-batik dijual dengan harga 20  30 gulden per kodi, maka untuk batik-batik afkiran dijual dengan harga 18  28 gulden per kodi. Para pemborong menjajakan batik-batik ini di pasar-pasar kecil dekat sekitar Pekalongan. # Di samping itu, Pekalongan juga mengirim banyak sekali batik melalui paket-pos dan dengan kereta-api sebagai barang angkutan atau barang kiriman. Mengenai batik-batik yang dikirim melalui paket-pos, Kepala Kantor Pos Pekalongan memberikan angka-angka kepada Residen Jasper sebagai berikut. Tabel 13 : Jumlah paket batik lewat Kantor Pos 1923-1925 Sumber: Memorie van overgave van de residentie Pekalongan, door J.E. Jasper, 10 Juni 1926, hlm. 67. Ekspor melalui paket pos itu terutama ditujukan ke banyak tempat di Hindia Belanda, ke Penang, Singapura dan Suriname. Baik melalui kapal laut dan dinas pos pada tahun 1925 telah dikirim sejumlah batik dari Pekalongan senilai 8.460.907 gulden. Di samping itu masih banyak lagi para makelar yang tiap hari mengangkut batik-batik dari Pekalongan dengan mobil truk, dengan bis dan kereta-api, yang sulit dideteksi volume maupun nilainya. Oleh karena itu sesungguhnya menjadi sulit untuk memperoleh data pasti mengenai ekspor batik, akan tetapi pada tahun 1925 jumlahnya diperkirakan lebih dari 10 juta potong.# Dalam transaksi jual beli batik di Pekalongan, para pemborong atau tengkulak batik yang besar biasanya memelihara mata-mata, yang tugasnya mencari informasi tawar-menawar harga, yang dengan demikian dapat memperkirakan harga pasar secermat mungkin dan untuk saling mempertimbangkan permintaan dan penawaran. Disamping itu dalam transaksi perdagangan batik di antara orang-orang pribumi dengan orang-orang Arab c.q. orang-orang Cina di kota terdapat sistem yang cukup unik dan menarik dalam hal korting. Pertama-tama korting dikenal dengan nama  basi-pencingan  . Basi berarti korting, yang dulu biasanya dituntut oleh penukar uang, yang untuk jerih payahnya menuntut sedikit korting (agio). Pencingan berasal dari mencing yang berarti pemberian (hadiah) kecil-kecilanan yang diminta, apabila seseorang memperoleh keberuntungan, misalnya menang dalam berjudi. Asal usul dari kebiasaan korting dalam perdagangan batik ini adalah sebagai berikut: Pada jaman dahulu datang banyak sekali orang-orang asing dari daerah-daerah Sunda dan daerah Luar Jawa ke Pekalongan untuk memborong batik disana. Biasanya orang-orang ini menginap di rumah-rumah para pedagang batik atau congok (makelar) setempat. Kemudian para tuan rumah yang diinapi memberitahu para pengusaha batik bahwa para pemborong sudah pada datang, yang untuk jasa informasi itu mereka diberi hadiah oleh perjual/ pengusaha batik. Dengan demikian banyak keuntungan dalam pemberian penginapan kepada pemborong batik asing itu, sehingga banyak orang mencoba untuk menarik/ membujuk para pedagang itu dengan keramahan dan penginapan secara gratis. Juga apabila bos perusahaan batik datang kepada para pedagang asing untuk berbisnis, tuan rumah yang diinapi berhak untuk memperoleh  pencingan . Para pemborong yang datang dan bermukim di Pekalongan dan tidak memerlukan perantara lagi, bisa menuntut basi-pancingan ini dalam melakukan pemborongan batik untuk dirinya sendiri. Hal semacam ini diikuti oleh para pemborong yang sudah lama tinggal di Pekalongan. Besarnya basi-pencingan (korting) ini biasanya berkisar 2 % dari nilai (harga) batik.# Jenis korting lainnya dikenal dengan nama  bbran . Para tengkulak asing, yang dulu datang memborong batik, biasanya membawa orang yang ahli dalam melakukan kir (menguji) kwalitas batik. Ongkos pengujian itu sebagian harus ditanggung oleh penjual dengan cara berunding bahwa ia (penjual) akan memberikan 1 % korting (bbran) dari harga jual sebagai honorarium atas keahliannya. Pada mulanya ahli ini memperoleh korting secara langsung untuk dirinya. Tetapi kemudian berubah yaitu pihak pembeli akan membayar 99 % dari total harga jual dan kemudian memberi kepada ahli uji (kir) batik sebagai upah secara sukarela. Kemudian terjadi perubahan lagi yaitu setiap pembeli meminta beberan sebesar 1 %, baik apabila ia membawa ahli kir atau jika ia melakukan kir sendiri. Ada juga pedagang yang tidak minta prosentase korting tetapi sejumlah uang tertentu, misalnya 60 sen per kodi batik. Selanjutnya ada lagi yang disebut dengan istilah uang lipatan  wang lempitan . Penjual batik telah melipat kain batik dengan bagus dalam lemari-lemarinya dan siap untuk dijual (setorkan). Kemudian pemborong menyuruh para ahli kirnya untuk mengujinya, dengan membuka berkodi-kodi kain batik dan kemudian melipatnya kembali. Ongkos melipat kembali itu harus ditanggung oleh pihak penjual. Uang melipat itu besarnya biasanya 5 sen per kodi. Untuk tugas melipat itu pemborong mengangkat orang yang ahli, yaitu  tukang lempit , yang tugasnya melipat kain-kain batik setelah dikir agar menjadi rapi kembali.. Jenis korting keempat, tetapi pada umumnya tidak diminta adalah uang  kemplongan . Dalam hal ini pemborong menyatakan bahwa kain-kain batik yang dibeli belum cukup dikebaskan dan kurang mengkilap, sehingga ia harus menyuruh tukang kebas untuk melakukannya, jika ia ingin menjual kain batik itu. Untuk itu konsekwensinya pemborong bisa meminta korting 5 sen per kodi, meskipun untuk beaya pengebasan itu sesungguhnya tidak lebih dari 30 sen. Bagi orang Arab juga memberlakukan korting yang berlaku pada para pembatik. Seorang mantan Letnan untuk etnis Arab bercerita, bahwa pada masa itu di kampong Arab dibentuk Dana Sekolah (Schoolfonds) untuk membantu beaya pendidikan bagi murid-murid yang kurang mampu di sekolah swasta Al Irshad-School. Untuk menjamin sumbangan yang berkelanjutan maka dibuat perjanjian, bahwa setiap pembelian batik akan sekaligus dibarengi dengan penyetoran sedikit uang untuk Schoolfonds. Dengan demikian menurut mantan Letnan orang Arab itu terdapat kebiasaan meminta korting pada setiap penjualan, yang pada awalnya ditujukan sebagai uang derma. Hal yang juga aneh dalam perdagangan batik adalah kebiasaan pembatik pribumi yang sering menjual produk batiknya kepada para tengkulak batik Arab dan Cina di kota dengan jaminan hak untuk membelinya kembali. Sebagai penyebabnya, pembatik dari desa itu tidak behasil /tahu menemukan pasar untuk batiknya, yang oleh karena itu menjualnya kepada pedagang yang terkenal di kota. Jika ia sudah mempunyai uang lagi pada musim baik ketika harga batik menjadi naik, maka ia akan membeli lagi batik yang sudah dijual kepada orang-orang Cina dan Arab tersebut, dan menjualnya lagi yang tentu saja dengan harga yang lebih tinggi. Akan tetapi para pedagang yang memborong batik dengan syarat tersebut, meminta kepada pembatik desa itu dengan harga pembelian kembali yang cukup tinggi. Ada juga pengusaha batik di desa yang mencoba untuk menjual produk batiknya di toko-toko kain lena (kain bahan batik) dengan tujuan untuk membeli lagi kain lena di tempat itu. Biasanya toko-toko itu menerimanya dengan harga yang rendah sebab diketahui mereka dalam keadaan kesulitan keuangan, sehingga keadaan tersebut dimanfaatkan oleh toko-toko kain lena. Akan tetapi Cina-Cina pemilik toko itu juga menghadapi resiko yaitu jika nantinya batik itu tidak berhasil mereka jual, maka harus tetap menyimpan seluruh stok batik itu, padahal kwalitasnya segera akan merosot dimakan waktu. Para pedagang setempat yaitu Pekalongan juga mempunyai pesaing yaitu para tengkulak yang berasal dari luar Jawa seperti Padang, Mandailing dan sebagainya. Banyak di antara tengkulak luar Jawa itu bermukim di kota Pekalongan agar memperoleh dagangan batik yang dinginkan unuk kemudian dikirim ke daerah asal mereka. Dalam perdagangan batik ada penjualan yang dilakukan secara bantingan, yaitu menjual batik dengan harga asal laku, yang tentu saja sangat rendah. Bantingan ini biasanya dilakukan oleh pengusaha batik yang putus asa, yang biasanya oleh karena kebutuhan sangat sangat mendesak untuk mendapatkan uang kontan. Para pengusaha batik kecil di desa-desa sering terpaksa harus segera menjual stok batiknya, agar ia bisa membayar buruh-buruhnnya dan untuk membayar beaya operasional lainnya. Jika penjualan stok itu tidak cepat berhasil, maka mereka bersedia banting harga untuk memperoleh uang kontan. Hal itu terjadi terutama menjelang Tahun Baru pribumi, ketika semua perusahaan-perusahaan batik berharap akan bisa memperoleh jumlah buruh yang diperlukan sesudah perayaan Tahun Baru, yang untuk itu para pengusaha batikm harus berani membayar uang muka kerja. Untuk itu para juragan terpaksa akan menjual stoknya dengan tawaran harga berapapun, atau dengan istilah bantingan. Sementara para pedagang kaya, yang sangat mengenali dan memperhatikan situasi sedemikian itu, selalu mengamati kesempatan tersebut, sehingga mereka bisa membeli batik dengan harga sangat rendah, dan menyimpannya sampai harga kembali naik.# Bagi para pengusaha batik, penjualan dengan cara bantingan ini bisa merusak harga pasar dan akhirnya merugikan para pengusaha batik.# Apabila tidak segera diatasi cara bantingan ini bisa mengakibatkan kebangkrutan para pengusaha batik kecil. Senbagai contoh seorang haji yang tinggal di desa dekat kota Pekalongan sangat terdesak membutuhkan uang kontan untuk membayar tagihan pesanan kain batik. Oleh karena tidak menemukan jalan keluarnya, maka ia beberapa kodi kain batik dengan harga asal laku atau bantingan. Bagi para tengkulak, peristiwa itu dianggap sebagai indikasi bahwa harga-harga bahan baku akan turun, yang oleh karena itu mereka juga melakukan penawaran yang rendah. Dalam kondisi semacam itu para pengusaha batik kecil harus lebih lama menahan stok batiknya menunggu harga menjadi meningkat kembali. Namun demikian daya tahan mereka juga sangat rendah sehubungan dengan modal yang terbatas, sehingga akhirnya juga menjual stok batiknya dengan harga rendah. Untuk mengatasi terjadinya penjualan batik dengan banting harga, para pengusaha batik kecil di Wonopringgo mendirikan perkumpulan koperasi yang diberi nama  Warung Slamet dengan modal sebesar 2.000,- gulden. Sebagai tujuannya adalah untuk membantu para pengusaha batik kecil pada masa-masa sulit, agar tidak dipermainkan oleh para tengkulak. Koperasi itumembeli kain batik dengan harga layak dari para produsen dan menjualnya ketika harga batik meningkat. Sebagai perantara koperasi memperoleh komisi 1 % dari nilai jual. Disamping itu ada cara lain untuk mengatasi harga  bantingan yaitu dengan merintis pemasaran batik ke Vorstenlanden (daerah-daerah yang termasuk wilayah Yogyakarta dan Surakarta). Meskipun telah diusahakan untuk menghidarinya, peristiwa jual batik harga bantingan sangat sulit dihindarkan oleh para pengusaha batik kecil di pedesaan. Penjelasan sosio-cultural nampaknya bisa digunakan untuk memahami fenomena itu. Bagi orang desa, tidak ada solusi atau penjelasan yang rasional mengenai faktor- faktor yang menentukan pasang surut industri batik. Seorang desa yang sederhana menggambarkan kesuksesan tetangganya adalah karena soe-oed, atau yang berarti  keberuntungan semata dan ketidakberuntungannnya sendiri digambarkan sebagai keinginan Allah yang tidak bisa dipahami (rahasia Allah). Mereka menggambarkan keberadaannya seperti para nelayan penangkap ikan, yang pada siang hari menaburkan jaring tetapi tidak mendapatkan seekor ikanpun, sementara temannya yang menjaring ikan di sebelahnya pulang rumah dengan jaringnya penuh ikan. Jadi nelayan yang beruntung dan sial itu juga digambarkan karena soe-oed dan sebel. Sementara itu jika di suatu desa pada musim sepi ada seseorang pengusaha batik dengan tiba-tiba mulai memproduksi batik dengan giat karena ada pesanan, maka tanpan pikir panjang yang lainpun akan segera menirunya. Orang tidak berpikir apakah mereka menerima order yang besar atau barang kali seorang Arab atau Cina pemilik modal mengadakan kontrak tertentu dengan mereka untuk memproduksi sejumlah batik jenis tertentu . Tetapi yang pasti terjadi adalah, jika seseorang mulai memproduksi batik itu merupakan tanda bagi yang lain-lain untuk ikut membuat batik juga. Pengusaha batik kecil di desa itu sesungguhnya bisa disamakan dengan pencari keberuntungan, yaitu pencari soe-oed, yang dengan demikian mereka sesungguhnya juga bukanlah pebisnis.# Karena hanya ikut-ikutan dan tidak memahami perkembangan pasar, mereka sering menjual produk batiknya dengan harga yang sangat rendah, yang oleh karenanya merusak pasar, sementara perusahaan-perusahan yang lebih besar tetapi tidak mampu bersaing, mengalami kerugian besar. Usaha-usaha batik penduduk pribumi yang tidak professional ini menjadi salah satu penyebab utama beralihnya secara berangsur-angsur usaha-usaha batik ke tangan non-pribumi. Sejauh kemunduran industri dianggap disebabkan oleh kekuatan supra natural, sulit untuk diharapkan akan terjadinya peningkatan dari ekonomi perusahaan, khususnya dalam bidang perbatikan.# Sebab untuk meningkatkan perkembangan perusahaan dalam arti ekonomis, harus dilakukan dengan usaha yang rasional dan melalui pendidikan dan pengajaran. Sebagai penghubung antara produser batik dengan para pedagang atau tengkulak batik, terdapat apa yang disebut makelar. Makelar yang juga disebut dengan istilah Congok dalam perdagangan batik adalah pribadi yang tidak bisa ditinggalkan. Makelar adalah orang yang membawa/ mempertemukan para penjual dan pembeli dan untuk jasanya itu menerima upah tertentu. Akan tetapi makelar juga orang yang bertanggungjawab, dalam dunia perbatikan, baik di kota maupun di luar kota, yaitu membawa sejumlah batik yang dipercayakan kepadanya untuk kemudian dijual kepada para pembeli dalam partai besar, yaitu para pedagang atau tengkulak besar. Kepada makelar diberikan patokan harga per kodinya, dan perbedaan harga di atasnya menjadi keuntungan sepenuhnya para makelar. Di samping itu makelar masih diberi komisi atas jasanya menjualkan batik tersebut. Upah atau komisi untuk makelar adalah 25  30 sen untuk per kodi batik yang harganya 25,- gulden. Penghasilan dari komisi ini tentu saja lebih tinggi daripada komisi yang diberikan oleh pemilik, jika ia berhasil menjual batik dengan harga jauh lebih tinggi. Demikianlah pada tahun atau musim ketika harga batik meningkat, para makelar yang membawa batik Pekalongan berangkat ke daerah-daerah kepulauan Sunda (Soendalanden)# biasanya memperoleh keuntungan yang besar, sebab mereka bisa menjual kain batik dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga yang ditentukan oleh pemiliknya di Pekalongan. Akan tetapi pada masa-masa sepi para makelar itu menggunakan keuntungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk beaya perjalanan, yang untuk itu diperlukan banyak uang. Banyak makelar yang dalam musim seperti itu pulang dengan tangan hampa (tidak memperoleh keuntungan), dan biasanya lebih suka pergi begitu saja, atau melarikan diri dengan tidak menyerahkan atau mengelapkan hasil penjualan batik kepada pemiliknya (juragan batik). Biasanya uang penjualan batik yang bukan haknya itu digunakan oleh para makelar untuk berfoya-foya. Daftar Pustaka Sejarah Batik Indonesia, Posted on March 13, 2009 by MEPOW, sumber: http://.batikmarkets.com/batik.php. G.P.Rouffaer, De batik-Kunst, Tentoonstelling van Oost-Indische Weefsels en Batik's Tentoonstelling van Oost-Indische Weefsels en Batik's, Leide: Museum voor land- en volkenkunde etc, 1902. GKBI , Dua-puluh tahun GKBI 1948-18 September 1968, Djakarta : Koperasi Pusat, Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 1969 Inger McCabe Elliot, Batik, fabled cloth of Java, New York : Potter, 1984. Thomas Stamford Raffles, The history of Java ; Vol. 1. Vol. 2: , / Reprint; reiss. with a new introd. by John Bastin , London: Oxford University Press ,1978 Amy Wassing, Roodkapje in batik: van batik Belanda tot batik Hokokai (1870-1945), Hilversum: Verloren, 2000. Harmen C Veldhuisen,. Batik Belanda 1840-1940 : Dutch influence in batik from Java : history and stories Jakarta, Gaya Favorit Press . 1993 Harmen Veldhuizen, Blauw en bont: Chinese en Europesche invloed in de batikvan Java (Collectie van Harmen Veldhuizen, tentoongesteld van 20 september  1 december 1980 in het Volkenkundig Museum  Nusantara , Delf. Rens Heringa, Fabric of enchantment : batik from the North Coast of Java , Los Angeles: County Musem of Art: 1996. Raadt-Apell, M. J. de. 1982. "Van Zuylen Batik, Pekalongan, Central Java (1890-1946)". TEXTILE MUSEUM JOURNAL 19-20:75-92. M.J. de Raadt-Apell, De batikkerij van Zuylen te Pekalongan / M.J. de Raadt-Apell: Midden-Java (1890-1946), Zutphen : Terra1981 P. De Kat Angelino, Rapport betreffende eene Gehouden Enquete naar de Arbeidstoestanden in de Batikkerijen op Java en Madoera door den Inspecteur bij Het Kantoor Arbeid, Publicatie No. 6 van het Kantoor van Arbeid, Matsuo Hiroshi, The Development of Javanese Cotton, Hiroshi: Institute of Developing Economies / 1970 Harmen C. Veldhuisen, Ontwikkelingen in de batik van Java, S.l. : s.n., 1984. Paguyuban Berkah, Prosiding Seminar Batik Pekalongan "Jejak Telusur dan Pengembangan Batik Pekalongan" : Pekalongan, 18-19 Maret 2005, Jakarta: Paguyuban Berkah. Batik Belanda 1840-1940 Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa, Sejarah, dan Kisah-kisah di Sekitarnya karya Harmen C. Veldhuise Achmad Ilyas, Wajah Kosmopoitan dari batik pekalongan, http:// batikpekalongan. wordpress.com BAB IV BATIK PEKALONGAN PADA MASA KONTEMPORER Pada bab ini akan diuraikan perkembangan batik Pekalongan masa kontemporer yang diawali dengan jaman Jepang ketika muncul batik Jawa Hokokai hingga perkembangan saat ini. Periode yang sangat panjang ini menggambarkan betapa batik Pekalongan mengalami naik turun, jatuh bangun, pasang surut yang penuh dengan dinamika. Pada periode ini juga tampak bahwa perkembangan batik Pekalongan mengalami suatu proses perjuangan yang keras dan berat. Tiap pergantian jaman, batik Pekalongan menghadapi tantangan yang berbeda. A. Batik Pekalongan pada Masa Pendudukan Jepang Pada bulan Maret 1942 seluruh kawasan Nusantara diduduki balatentara Jepang yang ternyata sudah sangat mengenal segala seluk beluk situasi di Jawa. Sebelum perang, mereka sudah membangun jaringan spionase yang luas di kalangan orang Jepang yang waktu itu sudah menetap di Jawa. Mereka melakukan kegiatan usaha fotografi atau pertokoan. Toko Fuji ada di mana-mana di P. Jawa. Dalam toko-toko kecil itu dijual pernik-pernik dan produk batik perlengkapan ruangan tempat tinggal. Produk yang disebut belakangan dibuat oleh pengusaha batik Jepang Fuji di Yogyakarta.# Semasa pendudukan Jepang orang-orang Eropa dimasukkan ke dalam kamp-kamp tahanan. Satu-satunya wanita Indo-Belanda pengusaha batik di Pekalongan yang masih melakukan kegiatan produksi adalah Ny. Van Zuylen. Ia tidak dimasukkan dalam kamp tahanan karena Jepang ingin ia bekerja untuk kepentingannya. Untuk mendukung tujuan itu, Pemerintah Jepang memaksa pengusaha batik Belanda di Pekalongan untuk membuat batik dengan selera masyarakat Jepang. Batik-batik yang bernuansa motif Belanda diganti dengan motif Jepang. Kejadian ini merupakan suatu keistimewaan bagi daerah Pekalongan bahwa para pembatiknya selalu mengikuti perubahan jaman.# Pada masa pendudukan Jepang, impor kain cap sen dari Belgia dan Belanda terputus. Akibatnya persediaan kain di Jawa mengalami kekurangan Pada masa awal pendudukan, Pemerintah Jepang mengambil alih pabrik-pabrik tekstil di Jawa, termasuk perusahaan Belanda terbesar di Tegal yang setiap tahunnya memintal bahan baku kapas seharga 15 juta rupiah dan mempekerjakan 12.000 pribumi. Namun produk tekstil ini digunakan untuk kepentingan tentara Jepang dan kelebihannya untuk orang-orang sipil.# Bahan katun yang waktu itu menjadi komoditi langka terjadi karena Jepang menyita katun yang ada di pasaran kemudian menyerahkannya kepada sejumlah kecil perusahaan batik yang menurut mereka menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan mampu membuat desain yang sesuai dengan selera mereka.# Muncullah batik Jawa Hokokai yang juga disebut batik pagi-sore karena memiliki dua pola dalam satu lembar kain. Batik Hokokai dihasilkan oleh para pengusaha batik Pekalongan, khususnya Cina, yang menyesuaikan diri dengan pendudukan Jepang untuk mencari keuntungan dalam lingkungan politik baru. Batik ini populer hingga tahun 1950.# Ketika itu terdapat kelebihan zat pewarna di Yogyakarta dan Pekalongan, sehingga para pengusaha batik di dua kota ini membuat pola yang rumit dan padat karya untuk mempertahankan pembatik.# Motif khas batik pada masa Pendudukan Jepang adalah motif padat karya. Pihak pengusaha batik mempekerjakan sebanyak mungkin pembatik karena bahan katun sangat sulit diperoleh. Pihak Jepang menyita katun yang ada di pasaran kemudian menyerahkan kepada sejumlah kecil perusahaan batik yang menurut mereka menghasilkan produk mutu terbaik dengan desain sesuai dengan selera Jepang. Menyesuaikan dengan perkembangan baru, para pengusaha batik membuat kain bermotif dua, pagi-sore. Kain batik motif pagi sore itu adalah dua jenis motif yang dibatikkan pada selembar kain, antara setengah bagian kain dengan bagian lainnya mempunyai motif yang berbeda dan kontras warnanya. Munculnya batik motif pagi sore tampaknya tidak sekedar memenuhi perintah Jepang akan tetapi juga disebabkan kondisi ekonomi masyarakat yang serba kekurangan sehingga muncul pemikiran membuat dua motif dalam satu lembar yang dapat digunakan dalam waktu yang berbeda dengan motif yang berbeda pula. Sebenarnya batik dengan motif pagi sore bukan merupakan ciri khas batik Jawa Hokokai, tetapi gaya batik ini sering banyak berisi detail yang menghubungkan ciri motif pagi sore, terang bulan, dan motif tanahan. Ada pun motif terang bulan berciri dominan gambar bunga, burung, dan serangga atau kupu yang terdapat pada bagian badan. Pada bagian pinggir bermotif gaya Eropa serta motif tumpal. Bagian papan terdapat motif Arab.# Batik Jawa Hokokai merupakan kain panjang dengan kombinasi antara unsur kraton (lereng, ceplok, kawung, parang) dengan ornamen bunga (sakura, krisan, anggrek, mawar, leli) burung merak, dan kupu-kupu yang disusun dalam bentuk buketan dan lung-lungan sehingga menghasilkan pola yang kaya warna dan corak yang indah. Latar isen pada batik Jawa Hokokai sangat ramai dengan beraneka ragam pola. Produk batik Jawa Hokokai banyak yang menampilkan motif terang bulan, yaitu tepi lebar dengan motif-motif sepanjang sisi bawah dan pada satu ujungnya.# Nama Jawa Hokokai diambil dari nama sebuah organisasi buatan Jepang yang bertugas mengusahakan tenaga kerja dan komoditi untuk kepentingan perang. Jawa Hokokai dibentuk pada bulan Maret 1944 menggantikan Poetera. Organisasi pemuda ini dibentuk untuk mengantisipasi keadaan perang yang semakin kritis karena satu demi satu daerah Jepang jatuh ke tangan Amerika Serikat dan serangan mulai diarahkan ke negeri Jepang.# Kepercayaan Jepang terhadap pembatik pribumi dalam menggerakkan industri batik merupakan salah satu pendorong kebangkitan kembali dunia perbatikan. Jepang menaruh perhatian terhadap batik Pekalongan karena adanya kemiripan pola batik Pekalongan dengan pola busana tradisional Jepang yang terdapat pada kimono. Batik Jawa Hokokai memang merupakan batik dengan ragam hias dan tata warna yang mirip dengan ragam hias pakain kimono.# Selain itu, Jepang bertujuan memanfaatkan pengusaha pribumi dari kaum pergerakan untuk menggantikan kedudukan pengusaha Cina yang dipakai oleh Belanda pada masa kolonial. Para pengusaha pribumi dari kaum pergerakan dijadikan sebagai alat mobilisasi perekonomian rakyat untuk kepentingan Jepang. Anggota kaum pergerakan Angkatan Muda Republik Indonesia dan Pesindo yang terdiri dari pengusaha menengah pribumi kelak mempelopori berdirinya koperasi-koperasi batik.Gerakan ekonomi pengumpulan batik yang dilakukan lewat Jawa Hokokai berlaku di desa-desa sehingga pengawasan tidak ditangani oleh Noji sebagai petugas pengumpul padi, melainkan melalui saluran badan-badan koperasi yang dibentuk oleh Jepang dan dipimpin oleh kaum pergerakan. Sistem ini sebagai salah satu andil Jepang pada sejarah perkoperasian di Indonesia. B. Batik Pekalongan Masa Pasca Kemerdekaan hingga Awal Orde Lama Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, yang membuahkan terbentuknya Republik Indonesia, menimbulkan perubahan sosial dan pergolakan di Karesidenan Pekalongan yang dikenal dengan istilah  peristiwa tiga daerah yang terjadi antara bulan Oktober-Desember 1945 di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, di mana para elite birokrat didaulat dan diganti oleh aparat pemerintah baru yang terdiri dari aliran-aliran Islam, sosialis, dan komunis.# Pekalongan tidak terlepas dari serangan agresi Belanda. Pada hari Selasa, 28 Juli 1947 stasion kereta api Pekalongan menjadi sasaran serangan brondongan meriam dari Belanda. Pemerintah RI mengumumkan bahwa Karesidenan Pekalongan dinyatakan dalam keadaan perang. Pada tanggal 3 Agustus 1947 banyak warga kota yang mengungsi ke daerah selatan seperti Kecamatan Kedungwuni, Buaran, Doro, bahkan ada yang sampai Wonosobo.# Kondisi itu tentu saja mempengaruhi aktivitas industri dan perdagangan batik, meskipun tidak berarti kegiatan itu berhenti. Setelah merdeka, atas prakarsa Presiden Soekarno busana batik vorstenlanden (batik kraton) berupa kain panjang batik dengan kebaya pendek dari bahan renda, voile kembang, atau bahan tipis lainnya menjadi busana nasional bagi wanita Indonesia. Presiden Soekarno menghendaki agar kain panjang yang dipakai ada suatu gaya baru tidak boleh mengarah ke gaya pasisir utara yang mengandung pengaruh Eropa masa penjajahan, tetapi juga bukan gaya Vorstenlanden yang bergaya elitis. Presiden Soekarno menugaskan para perancang desain untuk menciptakan gaya batik yang baru yang tidak mencerminkan kedudukan pemakainya. Nyonya Bintang Sudibyo yang lebih dikenal dengan panggilan Bu Sud adalah perancang busana pertama yang memperoleh ketenaran. Ia menciptakan kain panjang yang menampilkan variasi-variasi baru dari pola-pola batik kraton serta pola-pola yang diilhami relief pada candi-candi Hindu di Jawa sedang variasi warna dari batik pesisir utara.Waktu itu Bu Sud memiliki bengkel batik yang mempekerjakan sejumlah wanita pembatik dan tukang cap sebagai buruh tetap. Ia juga mempraktekkan proses pewarnaan dengan bahan sintetis di pekarangan rumahnya. Di butik miliknya di Jakarta, pada tahun 1960-an ia menjual pakaian hasil desainnya. Perlawatan ke Thailand mengilhaminya untuk menampilkan motif-motif klasik negara itu pada produk batiknya. Pada tahun 1960-an ia menciptakan batik dengan varian Indonesia-Thailand yang mengandung motif-motif klasik.# Setelah didirikan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pada tahun 1949 perkembangan industri batik melaju dengan pesat. GKBI merupakan gabungan dari lima koperasi batik yang besar di Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Sebagai koperasi, GKBI mendirikan sebuah perusahaan, NV Batik Trading Company sebagai anak perusahaan yang menjadi agen untuk mengimpor kain mori dan bahan celup untuk didistribusikan di dalam negeri dan mengekspor batik yang sudah jadi.# Berdirinya GKBI merupakan perkembangan dari koperasi-koperasi batik yang didirikan oleh organisasi para pengusaha batik pada masa penjajahan Belanda. Koperasi-koperasi batik telah berdiri di beberapa tempat sebagai upaya untuk menghadapi persaingan yang semakin meningkat antara para pengusaha dan pedagang pribumi dengan orang Timur Asing, khususnya Cina. Sebagai contoh, pada bulan Juni 1934 di Yogyakarta didirikan Persatuan Pengusaha Batik Bumi Putera. Di Pekalongan pada tahun 1939 berdiri dua koperasi yaitu Koperasi Batik Setono dan Koperasi Batik Pekajangan. Dalam melaksanakan program ekonomi rakyat pada tahun 1950, pemerintah mendorong didirikannya koperasi dan membagi-bagikan lisensi kepada koperasi dan para pengusaha. Pemerintah menyadari bahwa meskipun pengusaha pribumi bisa berkembang maju, namun tetap kalah bersaing dalam permodalan dengan pengusaha Timur Asing seperti Cina dan Arab karena mereka memiliki kelompok pemasaran yang tangguh. Kelompok pemasaran batik yang berpusat di Pekalongan masih dikuasai oleh pengusaha Cina dan Arab. Hampir seluruh bahan baku batik, baik mori dan obat-obatan telah dimonopoli oleh pedagang-pedagang Cina. Meskipun pada waktu itu usaha di bidang pembatikan berkembang pesat, namun kedudukan pengusaha pribumi lebih sebagai kelompok konsumen dari pada sebagai kelompok produsen dan pemasaran. Pada tahun 1950-an sentra-sentra pengrajin batik mulai bangkit kembali dan merambat sampai ke luar daerah misalnya Kedungwuni, Pekajangan, Wiradesa, Tirto, dan arah timur Setono. Pengusaha batik yang pada masa pendudukan Jepang telah memproduksi batik Jawa Hokokai, ternyata masih tetap memproduksi batik bergaya Jepang tersebut. Pengusaha itu antara lain H. Djazuli. H. Ma um yang memproduksi batik tersebut dengan style baru yang disebut Batik Jawa Baru.# Adanya koperasi-koperasi yang tergabung di dalam GKBI benar-benar mampu menggerakkan roda ekonomi masyarakat, sehingga menjadikan Pekalongan dikenal luas secara nasional sebagai salah satu kota di tanah air yang pertumbuhan gerak koperasinya hingga saat ini sangat signifikan. Besarnya pertumbuhan koperasi di Pekalongan tidak terlepas dari benang merah jalan panjang sejarah masyarakat di dalam menggeluti usaha kerajinan batik dan tekstil yang sudah cukup lama ditekuni. Muncul tokoh-tokoh koperasi seperti Mufti, Mastur, Ridwan, Zen Muhammad, Amin Djahri, dan Ahmad Djunaid dan beberapa tokoh koperasi lainnya.# Usaha batik mengalami puncak kesuksesan ketika pemerintah menerapkan Program Benteng pada tahun 1950-an, yang merupakan kebijakan pemerintah untuk menumbuhkan kewirausahaan Indonesia dan menumbuhkan nasionalisme ekonomi. Di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, GKBI mempunyai kedudukan yang kuat sebagai pemegang lisensi untuk mengimpor kain mori. Pada waktu itu GKBI mencakup sekitar 40 koperasi yang mewakili sekitar 8.000 usaha keluarga atau bengkel batik kecil-kecilan. Kemudian GKBI membuat kain mori sendiri dari tiga pabrik yang dimiliki yaitu : PT Medari yang sepenuhnya milik GKBI terletak di Medari dengan direktur H. Djuned, PT Prima-Texco yang merupakan usaha patungan dengan sebuah perusahaan Jepang dan dengan anak perusahaan Bank Dunia, serta PT Primisima yang dimiliki bersama dengan Pemerintah Indonesia sebagai hibah dari Pemerintah Belanda.# Gerakan koperasi saat itu terus berkembang dan mendorong H. Ahmad Djunaid bersama teman-temannya mendirikan koperasi batik Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan (PPIP) pada tahun 1952 dengan anggota 750 orang. Langkah pertama yang dilakukan PPIP adalah menyediakan cambrics dan zat pewarna. Pada tahun 1957 PPIP dikenal secara luas. Berdirinya PPIP mendorong munculnya koperasi-koperasi batik yang lain misalnya Koperasi Batik Setono (KBS) di daerah Setono, Koperasi Batik Tirto di Kecamatan Tirto, dan Koperasi Pekajangan di Pekalongan Selatan. Gejala ini menandai bangkitnya pengusaha pribumi Muslim yang selama ini berada dalam posisi lemah. Timbulnya rasa persatuan di antara pengusaha batik melalui wadah koperasi telah memperkuat posisi industri batik sebagai pilar pembangunan ekonomi.# Pada tahun 1956 Koperasi PPIP mendirikan pabrik cambrics di Desa Baros, Kabupaten Batang pada tahun 1956. Koperasi ini mengatur jatah mori kepada anggotanya, sedangkan sisanya dijual kepada umum. Setelah PPIP mendirikan pabrik tekstil, menyusul pendirian sentra-sentra cambrics baru yang diselenggarakan oleh koperasi. Industri sandang yang berupa industri batik dan tenun mengalami perkembangan pesat pada tahun 1964. Melalui koperasi batik tersebut, para pengusaha sangat mudah mendapatkan bahan baku batik maupun mori. Bersamaan dengan adanya pabrik-pabrik tekstil itu, industri tenun rakyat juga berkembang. Kain mori yang disebut mori gedog yaitu mori yang paling rendah kualitasnya yang dibuat dengan Alat Tenun Bukan Mesin juga tersedia di Pekalongan.# Berkat peranan dan kepopulerannya akhirnya nama H. Ahmad Djunaid dipilih menjadi ketua GKBI yang berpusat di Jakarta. Keberadaan GKBI ketika itu mampu menjadi pelaku ekonomi yang handal di bidang produksi dan perdagangan tekstil. Kegiatan GKBI antara lain sebagai importir tunggal mori dan obat batik hingga berhasil menjadi perusahaan papan atas Saat itu tercatat total anggota koperasi yang tergabung dalam wadah GKBI sekitar 8.000 orang dan hampir separoh anggotanya berada di Pekalongan. Mereka tidak lagi bersusah payah memperoleh bahan dasar batik. Praktis sejak tahun 1950-an hingga era pertengahan tahun 1970-an bisa dikatakan merupakan puncak kejayaan dunia koperasi di Pekalongan. Berbagai pabrik mori berdiri megah seperti Setono, Pringlangu, Buaran, Kedungwuni, dan Pekajangan. Tidak mengherankan jika kota Pekalongan saat itu sebagai pusat penghasil mori yang cukup besar sekaligus sebagai pemasok untuk seluruh Jawa.# Selain sebagai pusat batik, di Pekalongan juga terdapat pengusaha-pengusaha Arab yang memproduksi kain sarung yang disebut sarung pelekat atau polikat. Pola kain berupa garis-garis atau kotak-kotak ini merupakan satu dari corak kain yang berasal dari Malabar, India. Kain ini merupakan komoditi perdagangan yang sangat laku di Jawa. Di samping itu juga terdapat jenis kain patola yaitu kain tenun dari Gujarat. Kampung Arab menjadi pusat distribusi penyaluran batik ke berbagai daerah di Indonesia. Roda jaman berputar seiring dengan perkembangan teknologi yang terus bergulir. Pada tahun 1960 ditemukan teknik printing. Pembuatan batik dengan sistem printing menggunakan mesin generasi baru mulai diterapkan oleh para pelaku pasar dengan modal yang cukup kuat. Namun karena printing yang ditemukan menghasilkan mutu kain yang kurang baik menyebabkan para pengusaha batik kurang berminat untuk mengembangkan batik printing. Namun ketika secara lambat laun karena teknologi terus mengalami perkembangan dengan cepat, teknik printing yang semula diremehkan ternyata kemudian menghasilkan produk yang memuaskan, bahkan bisa menyamai batik cap. Apalagi setelah muncul investor-investor besar yang menanamkan modalnya dalam usaha batik printing seperti batik Danar Hadi, Batik Keris, Batik Semar, dan lain-lain. Batik printing tidak hanya terbatas pada pembuatan kain dengan motif batik saja, akan tetapi berkembang menjadi tekstil dengan motif batik. Teknik printing itu akhirnya menggulung perusahaan-perusahaan batik lainnya, terutama perusahaan batik tradisional. Hal tersebut diperburuk dengan temuan-temuan warna-warna baru dalam batik yang merupakan kombinsi warna dari bahan-bahan pewarna kimia yang menghasilkan warna lebih cerah dan beragam. Batik printing adalah batik yang proses pembuatannya menggunakan sistem sablon, bukan tekstil bermotif batik yang pembuatannya menggunakan mesin. Ada pengusaha batik tradisional yang menganggap bahwa sulitnya membedakan antara batik tradisional dengan batik printing menjadi penyebab pengusaha batik tradisional mengalami kehancuran. Namun sebagian pengusaha batik tradisional lainnya memandang bahwa munculnya batik printing pada tahun 1960-an tidak dianggap sebagai saingan yang berbahaya. Selain mutu printing masih rendah jumlah batik printing di pasaran ketika itu masih terbatas. Namun dalam beberapa tahun kemudian, mutu batik printing dapat ditingkatkan, bahkan menyamai kualitas batik tradisional, termasuk batik tulis paling halus sekali pun. Dengan biaya produksi yang rendah, batik printing dijual jauh di bawah batik tradisonal. Kondisi ini menyebabkan batik tradisional semakin terpojok. Meskipun mendapat persaingan tajam dari batik printing dan industri tekstil skala besar yang efeknya sangat dirasakan pada tahun 1980-an, namun batik sebagai kegiatan ekonomi masih terus bertahan. Pada periode berikutnya di Pekalongan berdiri perusahaan tekstil skala besar yaitu PT Pajitex, PT Prismatex, PT Panamtex, PT Behaestex, PT Gunatex yang bergerak di bidang tenun. Berdiri pula PT Dupantex dan PT Lokatex di bidang printing dan PT Prisma Putra di bidang industri pemintalan. Jadi tampaknya Pekalongan tetap memiliki tradisi sebagai pusat industri tekstil. C. Batik Pekalongan pada Masa Orde Baru Hingga Masa Reformasi Pada tanggal 10 Januari 1967 pemerintah memberlakukan Undang-Undang No 1 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan 3 Juli 1966 Undang-Undang No 6 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kedua undang-undang itu menyebabkan merosotnya kedudukan pedagang dan pengusaha kecil. Pada tahun 1966-1967 pengusaha-pengusaha bumi putera tidak bisa memperoleh kredit investasi karena adanya pembatasan-pembatasan dan penciutan di bidang keuangan. Kebijakan ini mengakibatkan kehancuran sebagian besar pengusaha tradisional atau produsen bumi putera yang diganti oleh perusahaan-perusahaan Cina dan asing.# Perusahaan-perusahaan kecil yang kekurangan uang tunai mengalami kehancuran. Pada awal 1970-an para pengusaha tenun dan batik di Pekalongan banyak yang gulung tikar karena pemerintah cenderung ingin mengganti industri-industri tradisional atau kerajinan kecil yang menurut pemerintah kurang efektif dengan industri padat modal. Beberapa pengusaha batik mengalihkan usahanya di sektor lain, bahkan ada yang beralih kedudukannya menjadi buruh. Kegiatan industri dan perdagangan batik sepi, sehingga suasana kota tidak ada gairah. Lahirnya kebijakan pemerintah mengenai Penanaman Modal Asing No I tahun 1967 dan Penanaman Modal Dalam Negeri No 6 tahun 1968 sangat mempengaruhi kehidupan industri batik. Undang-undang itu mengatur penyelenggaraan dan pemnfaatan modal dalam negeri terutama diarahkan pada usaha-usaha rehabilitasi, pembaharuan, perluasan, dan pembangunan baru dalam bidang produksi dan jasa. Kebijakan itu mendorong munculnya pabrik tekstil yang kemudian dapat menghasilkan tekstil printing motif batik. Muncul investor-investor besar yang menanamkan modalnya dalam usaha batik printing seperti batik Danar Hadi, Batik Keris, Batik Semar, dan lain-lain pada tahun 1970-an. Pada tahun 1970-an di Pekalongan juga berdiri industri tekstil printing yang berlatar belakang modal asing maupun modal dalam negri. Kehadiran pabrik tekstil itu menyebabkan kehancuran pengusaha batik skala kecil, tetapi pengusaha besar tidak banyak terpengaruh. Industri printing tersebut berdampak negatif terhadap kondisi ekonomi masyarakat Pekalongan yang sebagian besar bermata pencaharian dalam industri kerajinan batik. Merosotnya kemampuan usaha para pengusaha batik tradisional juga dipengaruhi oleh kemampuan mereka untuk berinovasi dan menciptakan modifikasi produk.Batik tradisional yang menggantungkan pada produk atau style tertentu menjadi semakin tersisih sehingga banyak perusahaan batik yang mengalami kebangkrutan dan berpindah ke bidang usaha lain yang lebih menguntungkan. Proses kemerosotan itu tampaknya ada kecenderungan terus berlangsung hingga saat ini. Keadaan perusahaan batik yang mengalami kemerosotan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 16 : Jumlah Unit Usaha Industri Kerajinan Batik Tradisional dan Tenaga Kerja di P. Jawa tahun 1970-1980. Sumber : Diolah dari Prisma No 8 Agustus 1982. Secara keseluruhan keadaan hasil produksi industri-industri batik tradisional pada tabel di atas mengalami penurunan, yang tampak pada unit usaha dan jumlah buruhnya. Keadaan tersebut dapat disebabkan karena penemuan teknologi printing juga karena adanya persaingan di antara perusahaan-perusahaan itu sendiri. Namun pada tahun 1970 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menggalakkan pengembangan industri kerajinan dengan jalan memperkenalkan kemeja batik lengan panjang sebagai busana pakaian resmi. Kebijakan ini mempunyai pengaruh besar terhadap permintaan batik, sehingga batik tulis mempunyai pangsa pasar tersendiri. Permintaan batik tulis atau produk batik tradisional lain meningkat lagi. Banyak pengusaha batik tradisional yang mulai bangkit lagi usahanya sejak tahun 1972. Pesanan batik tidak hanya datang dari Jakarta, tetapi dari kota-kota besar di Indonesia. Setelah batik diangkat sebagai pakaian resmi nasional, batik tulis mengalami semakin mengalami peningkatan.Lebih-lebih ketika Keluarga Cendana selalu mengenakan busana batik pada setiap acara keluarga maupun acara resmi batik menjadi favorit di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Ketika itu ditemukan penggunaan kain sutera sebagai bahan batik yang menghasilkan batik berkualitas dan indah. Mulai tahun 1970-an juga banyak pengusaha batik yang mulai memproduksi batik sablon di samping batik tulis. Di Kota Pekalongan pada tahun 1975 terdapat 257 perusahaan batik dengan 3.295 buruh.# Pada tahun 1978 banyak pengusaha yang memproduksi batik sablon atau printing semata dan mulai meninggalkan sama sekali batik tulis. Akan tetapi karena produksi batik jenis cetak atau printing itu berskala besar atau massal mereka tidak mampu memproduksi banyak dan memasarkannya sehingga produksi menumpuk dan perputaran modal menjadi terhenti. Jaringan pemasaran batik ternyata tidak mampu mereka tembus karena sudah dikuasai oleh para pedagang non pribumi, teruatam Cina. Akhirnya mereka banyak yang hanya menjadi buruh para pengusaha atau pedagang Cina. Salah satu alasan mereka terjebak menjadi buruh adalah ketidakmampuan atau ketidakberdayaan mereka menembus jaringan pemasaran. Mereka inilah yang disebut dengan pengusaha buruh.# Kehancuran pengusaha batik tradisional ini sangat dirasakan masyarakat Pekalongan. Pada masa kejayaan batik, suasana kota Pekalongan sangat ramai diwarnai oleh aktivitas masyarakat yang bekerja di sektor industri dan perdagangan batik. Pada setiap Kamis malam banyak orang pergi berjalan-jalan dan berbelanja karena para buruh batik menerima gaji setiap hari Kamis. Sebagai masyarakat yang memiliki identitas Muslim sangat kental, tradisi hidup santri sangat melekat dalam kehidupan masyarakat. Hari Jum at adalah hari libur, karena hari itu untuk beribadah. Perubahan suasana kota sangat terasa terutama di sepanjang jalan protokol di Kota Pekalongan yang tadinya setiap sore diramaikan oleh jual beli batik, kemudian berubah menjadi sepi. Para juragan batik banyak yang menjadi pengusaha-buruh dan sebagian lagi alih profesi karena batik dipandang tidak lagi bisa diandalkan sebagai lapangan kerja yang menjanjikan.# Menjelang tahun 1980 di Pekalongan ada dua jenis pengusaha batik. Pertama, pengusaha-buruh dan pengusaha-pedagang. Pengusaha-buruh adalah para pengusaha yang tidak mau dan tidak mampu memasarkan produksinya sendiri. Mereka hanya mampu memproduksi saja, dalam pengertian sekedar mengerjakan pesanan pedagang batik besar yang kebetulan semuanya pedagang non pribumi. Para pengusaha-buruh ini sama sekali tidak memiliki modal kerja, sementara itu yang mereka miliki hanyalah kemampuan teknis, buruh, dan tempat usaha. Ada pun modal atau bahan baku tidak lagi mereka miliki. Bahan baku seperti kain atau mori, zat pewarna, peralatan batik, dan bahan motif atau desain batik, disediakan sepenuhnya oleh para pedagang besar itu. Jadi para pengusaha-buruh ini hanyalah sekedar menjadi buruh yang diberi upah oleh pedagang besar sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Karena sekedar menjadi buruh upahan itulah maka mereka disebut pengusaha-buruh. Sementara itu semua pedagang batik non-pribumi yang bertindak sebagai penyandang modal adalah Cina. Di antara mereka adalah pemilik pabrik tekstil antara lain PT Jayateks, PT Triteks, PT Putrateks, PT Indoteks, dan PT Laboteks. Mereka adalah mitra atau bahkan patron para pengusaha-buruh. # Semakin kokohnya posisi para pengusaha-pedagang itu menyebabkan semakin merosotnya pengusaha-buruh. Oleh karena itu jumlah pengusaha-buruh pada tahun 1990-an semakin meningkat. Namun sebenarnya masih banyak perusahaan batik pribumi yang mampu bertahan dalam situasi sulit. Bahkan ada perusahaan batik yang tumbuh justru pada saat batik mengalami kemerosotan. Tobal batik misalnya dirintis pada tahun 1972 dengan produksi pertama hanya 25 potong. Produksinya itu semula hanya dipasarklan dari losmen ke losmen. Kemudian wisatawan manca negara juga menjadi sasaran. Berkat keuletan memasarkan hasil produksinya kemudian terjadi proses komunikasi sehingga pembeli musiman pun bisa direkrut menjadi pembeli tetap.# Pada tahun 1974 mulai mengekspor produknya ke Amerika dan Perancis. Motif-motif yang dibuat sesuai dengan permintaan seperti Motif Indian Amerika dan Afrika. Untuk memenuhi pesanan itu pada awalnya menyalin dari buku-buku, kemudian dimodifikasi dengan didesain sendiri oleh pemilik perusahaan. Semua motif-motif itu sampai sekarang masih dikembangkan karena permintaan masih ada. Pada akhirnya berkembanglah motif-motif batik yang disukai oleh orang asing. Batik yang dibuat adalah batik tulis dan batik cap. Saat ini produk batik Tobal diekspor ke Amerika, Canada, dan Perancis, dan Jerman. Pada 1992 atas jasanya mempekerjakan orang-orang cacat, Tobal Batik memperoleh piagam dari Depsos. Kemudian pada tahun 1993 memperoleh Upakarti dari presiden karena dinilai berhasil bekerja sama dengan perusahaan kecil-kecil.Tobal Batik sebagai bapak angkat untuk membina mereka. Ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 tidak ada perubahan karena ekonomi Amerika dan Eropa tidak bermasalah sehingga ekspor tetap baik.# Dalam situasi yang semakin sulit menghadapi tantangan global dan persaingan, batik Pekalongan tetap mendominasi kehidupan masyarakat. Pasang surut dari usaha batik bisa dicermati pada tabel di bawah ini : Tabel 17 : Jumlah Komoditas Tekstil D. Faktor Pendorong Perkembangan dan Daya Tahan Batik Pekalongan Meskipun mengalami pasang surut yang menyebabkan sulit kembali ke masa kejayaan batik Pekalongan, namun industri dan perdagangan batik masih sangat mewarnai kehidupan masyarakat Pekalongan. Oleh karena itu batik Pekalongan mampu bertahan dalam menghadapi persaingan, situasi politik, dan perubahan ekonomi yang mempengaruhinya. Daya tahan batik Pekalongan antara lain karena industri dan perdagangan batik memiliki sifat sebagai usaha keluarga yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pola pewarisan ini menjadi sangat penting karena mengatur peralihan sumber-sumber daya dan penguasaan atas usaha-usaha yang digeluti dari generasi tua ke generasi muda.# Di sentra-sentra pembuatan batik, kerajinan batik ditekuni oleh anak-anak hingga orang tua. Waktu luang anak-anak sekolah diisi dengan kegiatan membatik. Di Pekalongan terjadi proses regenerasi keahlian membatik yang baik secara turun temurun. Keberhasilan melakukan sosialisasi keahlian teknis dan ketrampilan usaha dan kaderisasi kepada anak-anak sangat menentukan bertahannya sebuah usaha keluarga. Sosialisasi dalam keluarga pengusaha merupakan faktor utama yang membentuk semangat kewirausahaan. Sosialisasi mengenai sikap dan perilaku yang dinilai ideal diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya. Demikian pula di lingkungan pengusaha batik di Pekalongan, berlangsung sosialisasi pembentukan jiwa wirausaha baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Keberhasilan dalam sosialisasi ini karena anak-anak sejak dini telah dibentuk dalam lingkungan organisasi bisnis batik dan ketrampilan membatik yang berkembang menjadi kebudayaan masyarakat Pekalongan. Ada kecenderungan bahwa suatu kelompok usaha dirintis oleh seseorang lalu mengajak kerabat terdekatnya untuk mengembangkan usaha. Hal ini tampak pada kenyataan jenis, teknik, ketrampilan, pelaku usaha yang menunjukkan hubungan keluarga dan tempat tinggal yang berdekatan.# Pembatik Pekalongan sadar bahwa untuk mempengaruhi pasar mereka harus melakukan berbagai inovasi produk dalam ragam hias, teknik pewarnaan, dan penggunaan bahan. Ciri yang menonjol dari batik Pekalongan adalah ragam hias dan tata warnanya senantiasa silih berganti, dinamis, dan mengikuti perkembangan pasar. Ragam hias batik Pekalongan merupakan integrasi dari berbagai macam budaya karena batik Pekalongan juga mengapresiasi keinginan konsumen baik dalam negri maupun manca negara. Batik Pekalongan merupakan kompromi antara produsen dengan konsumen, karena pembatik terbuka dalam menerima pesanan dari konsumen. Berbagai teknik pewarnaan digunakan seperti teknik coletan, besutan, sinaran, pewarnaan radioan, dan formika. Digunakan pula berbagai pengembangan zat pewarna seperti naftol, indigosol, cat biasa, cat ergan, cat rapid, dan cat reaktif. Temuan dalam pewarnaan dikembangkan dengan mereaksikan berbagai unsur kimia guna memperoleh pewarnaan yang lebih efisien dan temuan baru. Inovasi juga dilakukan dalam penggunaan bahan-bahan baru seperti kain tenun, katun, bahan kaos, mori, blaco, sutera, dan sebagainya. Fungsi batik Pekalongan juga berkembang dinamis meliputi berbagai jenis busana tradisional dan modern, keperluan interior, asesori, dan perlengkapan rumah tangga. # Industri batik Pekalongan mempunyai arti penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Peningkatan industri batik pada awal abad ke-20 diikuti dengan peningkatan kesejahteraan yang menonjol dan terlihat dari rumah-rumah yang dibangun dengan kuat dan indah. Peningkatan bangunan rumah tidak hanya milik para juragan, tetapi juga milik orang kecil yang memperoleh kesempatan kerja dari batik. Meningkatnya jumlah usaha batik yang meluas hingga di lingkungan penduduk di berbagai tempat, semakin menghilangkan keberatan-keberatan seperti jarak yang jauh dari majikan.Banyak sekali wanita, di antaranya adalah orang-orang miskin, memperoleh penghasilan tambahan pada hal sebelumnya tidak pernah memiliki kesempatan itu. Mereka berhasil memperoleh penghasilan dari pekerjaan membatik di perusahaan batik kecil-kecilan, di tempat kerja para pemborong, bahkan di tempat tinggalnya sendiri. # Batik terus mengalami perkembangan karena bisa dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Kehadiran batik telah dirasakan manfaat ekonomis bagi masyarakat sebagai tambahan penghasilan atau mata pencaharian keluarga. Dalam perkembangannya industri batik telah berperan dalam perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Banyak tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan industri dan perdagangan batik serta sektor-sektor pendukungnya sehingga mereka mampu membantu ekonomi keluarga. Batik merupakan karya seni yang memiliki nilai-nilai kultural yang unik. Adanya tradisi menggunakan batik untuk berbagai kepentingan menempatkan posisi batik sebagai warisan budaya yang telah dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan jaman. Batik Pekalongan mampu bertahan dalam menghadapi persaingan, situasi politik, dan perubahan ekonomi yang mempengaruhinya. Daya tahan batik Pekalongan antara lain karena industri dan perdagangan batik memiliki sifat sebagai usaha keluarga yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pola pewarisan ini menjadi sangat penting karena mengatur peralihan sumber-sumber daya dan penguasaan atas usaha-usaha yang digeluti dari generasi tua ke generasi muda.# Di sentra-sentra pembuatan batik, kerajinan batik ditekuni oleh anak-anak hingga orang tua. Waktu luang anak-anak sekolah diisi dengan kegiatan membatik. Di Pekalongan terjadi proses regenerasi keahlian membatik yang baik secara turun temurun. Pembatik Pekalongan sadar bahwa untuk mempengaruhi pasar mereka harus melakukan berbagai inovasi produk dalam ragam hias, teknik pewarnaan, dan penggunaan bahan. Ciri yang menonjol dari batik Pekalongan adalah ragam hias dan tata warnanya senantiasa silih berganti, dinamis, dan mengikuti perkembangan pasar. Ragam hias batik Pekalongan merupakan integrasi dari berbagai macam budaya karena batik Pekalongan juga mengapresiasi keinginan konsumen baik dalam negri maupun manca negara. Batik Pekalongan merupakan kompromi antara produsen dengan konsumen, karena pembatik terbuka dalam menerima pesanan dari konsumen. Berbagai teknik pewarnaan digunakan seperti teknik coletan, besutan, sinaran, pewarnaan radioan, dan formika. Digunakan pula berbagai pengembangan zat pewarna seperti naftol, indigosol, cat biasa, cat ergan, cat rapid, dan cat reaktif. Temuan dalam pewarnaan dikembangkan dengan mereaksikan berbagai unsur kimia guna memperoleh pewarnaan yang lebih efisien dan temuan baru. Inovasi juga dilakukan dalam penggunaan bahan-bahan baru seperti kain tenun, katun, bahan kaos, mori, blaco, sutera, dan sebagainya. Fungsi batik Pekalongan juga berkembang dinamis meliputi berbagai jenis busana tradisional dan modern, keperluan interior, asesori, dan perlengkapan rumah tangga. # Industri batik Pekalongan mempunyai arti penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Peningkatan industri batik pada awal abad ke-20 diikuti dengan peningkatan kesejahteraan yang menonjol dan terlihat dari rumah-rumah yang dibangun dengan kuat dan indah. Peningkatan bangunan rumah tidak hanya milik para juragan, tetapi juga milik orang kecil yang memperoleh kesempatan kerja dari batik. Meningkatnya jumlah usaha batik yang meluas hingga di lingkungan penduduk di berbagai tempat, semakin menghilangkan keberatan-keberatan seperti jarak yang jauh dari majikan.Banyak sekali wanita, di antaranya adalah orang-orang miskin, memperoleh penghasilan tambahan pada hal sebelumnya tidak pernah memiliki kesempatan itu. Mereka berhasil memperoleh penghasilan dari pekerjaan membatik di perusahaan batik kecil-kecilan, di tempat kerja para pemborong, bahkan di tempat tinggalnya sendiri. # Batik terus mengalami perkembangan karena bisa dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Kehadiran batik telah dirasakan manfaat ekonomis bagi masyarakat sebagai tambahan penghasilan atau mata pencaharian keluarga. Dalam perkembangannya industri batik telah berperan dalam perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Banyak tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan industri dan perdagangan batik serta sektor-sektor pendukungnya sehingga mereka mampu membantu ekonomi keluarga. Batik merupakan barang seni yang memiliki nilai-nilai kultural yang unik. Semula batik hanya digunakan sebagai pakaian eksklusif oleh keluarga kraton di Jawa, tetapi dalam perkembangannya telah meluas menjadi barang dagangan bagi masyarakat umum. Perubahan dari hasil kerajinan menjadi hasil industri sandang telah menempatkan batik sebagai bagian dari industri kerajinan. Batik terus mengalami perkembangan karena bisa dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Kehadiran batik telah dirasakan manfaat ekonomis bagi masyarakat, baik laki-laki mau pun wanita. Manfaat yang diperoleh dari kegiatan industri berupa penambahan penghasilan keluarga bagi produsen mau pun pedagang batik. Dalam perkembangannya industri batik telah berperan dalam perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Banyak tenaga kerja yang terserap dalam kegiatan industri dan perdagangan batik sehingga mereka mampu membantu ekonomi keluarga. Faktor pendukung lain yaitu adanya spesifikasi batik sebagai busana yang membedakan busana dari bahan lain, terutama karena batik memiliki nilai yang tinggi yang berisikan konsepsi-konsepsi spiritual dalam bentuk-bentuk simbolik filosofis. Bahan busana lain diciptakan hanya semata-mata atas dasar nilai-nilai estetika, tidak memiliki makna simbolis. Sementara itu ornament batik menunjukkan dengan jelas pancaran nilai-nilai simbolik yang berhubungan erat dengan latar belakang pembuatan, penggunaan, dan kekuatan mistik. Batik kraton memberikan ciri desain tradisional' khususnya batik-batik yang berasal dan berkembang di kraton Jawa. Penataan ornamen-ornamen dan pewarnaan merupakan peleburan nilai estetika, filofofi hidup, dan lingkungan alam kraton. Karya agung itu berhubungan dengan pandangan hidup dan tradisi-tradisi yang berlaku di kraton yang hingga saat ini masih dilestarikan sebagai busana BAB V KESIMPULAN Tidak dapat disangkal bahwa sejarah batik yang telah berabad-abad merupakan bukti bahwa batik adalah warisan budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai luhur. Dalam perkembangannya, batik memiliki keragaman dalam banyak aspek baik kultural, ekonomi, maupun politik. Selama periode 1900-1998 batik mengalami peningkatan dalam berbagai segi serta mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik. Kecuali itu perkembangan batik bersifat dinamis, mengalami pasang surut, dan senantiasa melekat dalam kehidupan masyarakat. Pasang surut industri batik Pekalongan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, terutama yang bersifat global. Namun setelah mengalami kemunduran, batik Pekalongan kembali memperoleh peningkatan sebagai hasil adanya kreativitas, keuletan, dan inovasi dari pengusaha dan pengrajin. Kemunduran industri batik pada tahun 1914-1918 disebabkan adanya kesulitan impor akibat Perang Dunia. Setelah mampu meningkat kembali karena naiknya permintaan, pada tahun 1930 batik mengalami kemerosotan akibat malaise atau krisis ekonomi yang berlaku internasional. Kemunduran industri batik kembali melanda Indonesia sebagai akibat pendudukan Balatentara Jepang, namun justru dihasilkan produk baru yang memperindah motif dan warna batik Pekalongan. Kemerosotan industri batik yang terjadi pada tahun 1970-an telah menghasilkan produk baru yaitu batik sutera. Sementara itu krisis ekonomi internasional terulang kembali pada tahun 1998 dengan terjadinya krisis moneter. Ketika itu munculllah produk batik dalam yang menggunakan kain sutera lokal dan serat nenas. Jadi tepat apabila dikatakan bahwa batik Pekalongan besar karena benturan. Potensi dan peranan dari berbagai etnis dan komunitas yang bekerja di sektor perbatikan dan sektor pendukungnya sangat menentukan terhadap perkembangan batik Pekalongan. Kemampuan pengusaha dan perajin dalam menciptakan motif dan style yang dikehendaki konsumen dari berbagai tempat ikut mempengaruhi perkembangan batik Pekalongan. Oleh karena itu batik Pekalongan merupakan integrasi dari berbagai budaya sehingga bisa menjadi simbol persatuan dan kesatuan. Batik Pekalongan menjadi simbol kehidupan masyarakat Pekalongan dan dari sanalah sumber kehidupan mereka berasal. Kekuatan batik Pekalongan didukung oleh kemampuan masyarakat untuk melakukan inovasi, kreatifitas, dan modifikasi-modifikasi yang terus diciptakan. Kemampuan bertahan pada batik Pekalongan adalah sifatnya yang sangat bervariasi dalam jenis produk, motif, warna, dan bahan yang digunakan. Berkembanganya batik Pekalongan didukung oleh kuatnya tradisi membatik yang tidak hanya merupakan kebutuhan ekonomi saja, tetapi juga dorongan untuk mengekspresikan keindahan dalam bentuk karya seni yang indah. Pertumbuhan dan perkembangan suatu industri yang terjadi dalam masyarakat pada dasarnya akan membawa dampak yang ditimbulkannya dan menyebabkan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Perkembangan industri dan perkembangan batik yang terjadi di Pekalongan juga membawa dampak, baik langsung mau pun tidak langsung terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kehadiran batik telah dirasakan manfaat ekonomisnya bagi masyarakat, berupa penambahan penghasilan keluarga bagi pengrajin, pedagang batik, maupun buruh batik. Industri dan perdagangan batik telah berperan dalam perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Kegiatan industri dan perdagangan batik sangat berperan dalam memberikan mata pencaharian sehingga mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Fungsi industri batik Pekalongan memang besar artinya bagi upaya untuk menekan angka pengangguran. Dari kegiatan ini banyak tenaga kerja yang diserap oleh industri dan perdagangan batik, baik yang berasal dari lokasi setempat mau pun dari luar kampung. Tenaga kerja dari luar biasanya adalah buruh-buruh batik yang pernah bekerja di perusahaan-perusahaan yang telah mengalami kebangkrutan. Semangat kewirausahaan tampaknya menjiwai masyarakat yang telah lama mengembangkan kerajinan batik. Bangkrutnya beberapa perusahaan batik tidak berarti kegiatan ekonomi yang terkait dengan industri batik itu tenggelam. Usaha garment dan pembuatan berbagai produk yang menggunakan bahan kain batik untuk berbagai macam kebutuhan banyak tumbuh dan berkembang di daerah bekas pusat industri batik. Kejayaan usaha batik di Kota Pekalongan berlangsung hingga tahun 1975. Penyebab kemerosotan perusahaan batik di kota Pekalongan yang paling utama adalah kebijakan politik pemerintah dalam investasi perdagangan bebas, dengan diterapkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri. Masuknya era baru industri tekstil bermotif batik yang dikenal dengan batik printing juga menjadi salah satu faktor pendorong kemerosotan industri batik. Di samping itu membanjirnya produk garmen dan tekstil impor semakin menghancurkan industri batik. Kemerosotan batik tersebut menggeser kedudukan batik yang mulai tumbuh di Indonesia. Bahan sandang batik yang semula memiliki potensi untuk menggantikan bahan tekstil impor keberadaannya kembali merosot. Namun batik tetap memiliki pangsa pasar yang luas dan cukup potensial karena memiliki sifat sebagai karya seni yang indah. DAFTAR PUSTAKA Angelino, P. De Kat. 1930. Rapport betreffende eene Gehouden Enquete naar de Arbeidstoestanden in de Batikkerijen op Java en Madoera door den Inspecteur bij Het Kantoor Arbeid, Publicatie No. 6 van het Kantoor van Arbeid, Weltevreden : Landsdrukkerij. Castles,Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kudus (Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Doellah, Santoso. 2002. Batik The Impact of Time and Environment.Surakarta : Danar Hadi. Elliot, Inger Mc Cabe. 1984. Batik, fabled cloth of Java, New York : Potter. Geertz, Clifford. 1973. Penjaja dan Raja. Jakarta : PT Badan Penerbit Indonesia Raya GKBI. 1969. Dua-puluh tahun GKBI 1948-18 September 1968, Djakarta : Koperasi Pusat, Gabungan Koperasi Batik Indonesia. Hasanuddin. 2001. Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik. Bandung : Kiblat. Heringa, Rens. 1996. Fabric of enchantment : batik from the North Coast of Java , Los Angeles: County Musem of Art. Hiroshi, Matsuo. 1970. The Development of Javanese Cotton. Hiroshi: Institute of Developing Economies. Ilyas, Achmad. Wajah Kosmopoitan dari batik pekalongan, http:// batikekalongan. wordpress.com Kardi, Marsam.  Sejarah Perbatikan Indonesia Prosiding Seminar Batik Pekalongan Jejak Telusur dan Perkembangan Batik Pekalongan 18-19 Maret 2005. Kartodirdjo, Sartono. dkk. 1977. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka, 1977. Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah : Suatu Alternatif. Jakarta : PT Gramedia. Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : PT Tiara Wacana. Lucas, Anton E. 1989. Peristiwa Tiga Daerah Revolusi dalam Revolusi. Jakarta : PT Utama Pustaka Grafiti. Maryati, Hj. SH, MSi dkk.,  Memori Kunjungan Presiden , diterbitkan oleh Bagian Humas dan Protokol Pemkot Pekalongan Jl. Mataram 1 Kota Pekalongan, 2007 M.J. de Raadt-Apell, 1981. De batikkerij van Zuylen te Pekalongan / M.J. de Raadt- Apell: Midden-Java (1890-1946), Zutphen : Terra. Niel, Robert Van. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta : Pustaka Jaya. Oethomo MS dan Bambang Adiwahyu Danusaputro. 1986. Menelusuri Berdirinya Kota Pekalongan Rasa Swarga Gapuraning Bumi, Pekalongan. Paguyuban Berkah, Prosiding Seminar Batik Pekalongan "Jejak Telusur dan Pengembangan Batik Pekalongan" : Pekalongan, 18-19 Maret 2005, Jakarta: Paguyuban Berkah. Pekalongan Kota Batik, Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Pekalongan dan Kadin Daerah Tingkat II Kotamadya Pekalongan Purwanto,Bambang. 2000.  Merajut Jaringan di Tengah Perubahan Komunitas Ekonomi Muslim di Indonesia pada Masa Kolonial, dalam Lembaran Sejarah, Volume 2. Raadt-Apell, M. J. de. 1982. "Van Zuylen Batik, Pekalongan, Central Java (1890-1946)". TEXTILE MUSEUM JOURNAL 19-20:75-92. Raharjana, Destha T. 2003.  Siasat Usahan Kaum Santri : Ekonomi Moral dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi, Yogyakarta , dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra (ed.), Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta : KEPEL Press. Ricklefs,M.C. 2004. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.. Rutten,Mario. 2003. Rural Capitalism in Asia A Comparative Analysis on India, Indonesia, and Malaysia. New York : RoutledgeCurzon. Syahbana, Dudung Alie.  Perkembangan Industri Batik Pekalongan Abad 19 s.d. sekarang prosiding Seminar Batik Pekalongan Jejak Telusur dan Pengembangan Batik Pekalongan, Pekalongan : Maret 2005. Soeroto, Soeri.  Sejarah Kerajinan di Indonesia , Prisma No 8, Agustus 1983. Surjo, Djoko. 1989. Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta : PAU Studi Sosial Universitas Gadjah Mada. Thohari, Hajriyanto Y. 1993.  Patah Tumbuh Hilang Berganti Studi Kasus Industri Kerajinan Batik Tradisional di Desa Simbang Kulon Pekalongan , Tesis Magister Antropologi Program Pascasarjana Program Studi Antropologi Jakarta. Veldhuisen. Harmen C. 1984. Ontwikkelingen in de batik van Java, S.l. Veldhuisen, Harmen C. 1993. Batik Belanda 1840-1940 : Dutch influence in batik from Java : history and stories. Jakarta, Gaya Favorit Press. Veldhuizen, Harmen. Blauw en bont: Chinese en Europesche invloed in de batikvan Java (Collectie van Harmen Veldhuizen, tentoongesteld van 20 September  1 December 1980 in het Volkenkundig Museum  Nusantara , Delf. Wahono dkk, 2004. Gaya Ragam Hias Batik Tinjauan Makna dan Simbol. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Museum Jawa Tengah  Ronggowarsito. Wassing, Amy. 2000. Roodkapje in batik: van batik Belanda tot batik Hokokai (1870- 1945), Hilversum: Verloren. Weber, Max. 2000. Etika Protestantisme dan Semangat Kapitalisme. Terjemahan Yusup Priyasudiardja. Surabaya : Pustaka Prometha. Wolf, Eric R. 1983. Petani Suatu Tinjauan Antropologis, terjemahan Yayasan Ilmu- Ilmu Sosial. Jakarta : CV Gramedia. # # Marsam Kardi,  Sejarah Perbatikan Indonesia Prosiding Seminar Batik Pekalongan Jejak Telusur dan Perkembangan Batik Pekalongan 18-19 Maret 2005. # Santoso Doellah, Batik The Impact of Time and Environment (Surakarta : Danar Hadi) hlm. 164, 182, 208. # Dudung Alie Syahbana,  Perkembangan Industri Batik Pekalongan Abad 19 s.d. sekarang prosiding Seminar Batik Pekalongan Jejak Telusur dan Pengembangan Batik Pekalongan, Pekalongan : Maret 2005. # Hasanuddin, Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik (Bandung : Kiblat, 2001), hlm 154, 160, 190. # Djoko Surjo, Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 (Yogyakarta : PAU Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1989), hlm. 163-188. # Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta : Pustaka Jaya, 1984), hlm. 165-166. # Bambang Purwanto,  Merajut Jaringan di Tengah Perubahan Komunitas Ekonomi Muslim di Indonesia pada Masa Kolonial, dalam Lembaran Sejarah, Volume 2, No 2, 2000. # Ibid., hlm. 169. # M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 656-657. # Soeri Soeroto,  Sejarah Kerajinan di Indonesia , Prisma No 8, Agustus 1983. # Hajriyanto Y. Thohari, Patah Tumbuh Hilang Berganti Studi Kasus Bertahannya Industri Kerajinan Batik Tradisional di Desa Simbang Kulon Pekalongan, Tesis Magister Antropologi Program Pasca Sarjana Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta 1993. # Erna Ermawati Chotim, Subkontrak dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan : Kasu8s Industri Kecil Batik Pekalongan (Bandung : Akatiga, 1994). # Santoso Doellah, Batik The Impack of Time and Environment (Surakarta : Danar Hadi, 2002). # Lance Castles, Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kudus (Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, 1982). # Clifford Geertz, Penjaja dan Raja (Jakarta : PT Badan Penerbit Indonesia Raya, 1973), hlm. 30-51. # Mario Rutten, Rural Capitalism in Asia A Comparative Analysis on India, Indonesia, and Malaysia (New York : RoutledgeCurzon, 2003), hlm. 25. # Max Weber, Etika Protestantisme dan Semangat Kapitalisme. Terjemahan Yusup Priyasudiardja (Surabaya : Pustaka Promethea, 2000). # Hasanuddin, op.cit., 77-216. # Mario Rutten, op. cit., hlm. 26-27. # Destha T. Raharjana,  Siasat Usahan Kaum Santri : Ekonomi Moral dan Rasional dalam Usaha Konfeksi di Mlangi, Yogyakarta , dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra (ed.), Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa ( Yogyakarta : KEPEL Press, 2003), hlm. 63. # Suzanne Desan, op. cit., hlm. 47-49. # Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah : Suatu Alternatif (Jakarta : PT Gramedia, 1992). # Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 1994), hlm. 24. # H.J. de Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I (Jakarta: Grafitipers, 1987), hlm., 21,144, 200. # H.J. de Graaf, Terbunuhnya Kaptenm Tack Kemelut di Kartasura Abad XVII (Jakarta: Grafitipers, 1987), hlm., 7 # Oethomo RS dan Bambang Adiwahyu Danusaputra, Rasa Swarga Gapuraning Bumi: menelusuri berdirinya Kota Pekalongan (Pekalongan, 1986), hlm. 2. # Kantor Statistik Pemda Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pekalongan Selayang Pandang 1982 (Pekalongan: Biro Pusat Statistik, 1982), hlm. 1. # Oethomo RS dan Bambang Adiwahyu Danusaputra, op.cit., hlm. 5. # Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan, Kota Pekalongan dalam Angka Tahun 2002 (Pekalongan: BPS Kota Pekalongan dan BP3M, 2003), hlm. 2. # Ibid. # Ibid. # Hand Book Kota Pekalongan, Guide to Central Java (Pekalongan), hlm. 1. # Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan, Kota Pekalongan dalam Angka Tahun 2006 (Pekalongan: BPS Kota Pekalongan, 2006), hlm. 31, 60. # Ibid., hlm. 33-36. # Ibid., hlm. 44-45. # Kantor Pariwisata Kota Pekalongan, Potensi Pariwisata Kota Pekalongan (Pekalongan: 2001), hlm. 7-8. # Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan, Kota Pekalongan dalam Angka Tahun 2002, Op.cit., hlm. 153. # Kompas, dalam seri Pekalongan: Fakta dan Peristiwa (Jakarta: CV. Supra Media Sarana, 2005), hlm. 37. # Kantor Pariwisata Kota Pekalongan, Potensi Pariwisata Kota Pekalongan, Op.cit., hlm. 7. # Ibid. # Ibid., hlm. 9-10. # Kantor Pariwisata Kota Pekalongan, Statistik Pariwisata Kota Pekalongan (Pekalongan: 2007), hlm. 5. # Kantor Statistik Pemda Kabupaten Pekalongan, op.cit., hlm. 20-24. # Ibid., hlm. 25-26. # Hand Book Kota Pekalongan, op.cit., hlm. 8-12. # Kantor Statistik Pemda Kabupaten Pekalongan, op.cit., 26-33. # Oethomo RS dan Bambang Adiwahyu Danusaputra, Op.cit., hlm. 381. # Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan, Kota Pekalongan dalam Angka Tahun 2006, Op.cit., hlm. 75. # Ibid., hlm. 97. # Ibid., hlm. 103. # Kompas, op.cit., hlm. 13-15. # Ibid.,hlm. 17-19. # Ibid., hlm. 1. # GKBI , Dua-puluh tahun GKBI 1948-18 September 1968, Djakarta : Koperasi Pusat, Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 1969, hlm. 1. # Matsuo Hiroshi, The Development of Javanese Cotton, Hiroshi: Institute of Developing Economies / 1970 # Sejarah Batik Indonesia, Posted on March 13, 2009 by MEPOW, sumber: http://.batikmarkets.com/batik.php, hlm. 5. # G.P.Rouffaer, De batik-Kunst, Tentoonstelling van Oost-Indische Weefsels en Batik's Tentoonstelling van Oost-Indische Weefsels en Batik's, Leide: Museum voor land- en volkenkunde etc, 1902., hlm. 17. # Thomas Stamford Raffles, The history of Java ; Vol. 1. Vol. 2: , / Reprint; reiss. with a new introd. by John Bastin , London: Oxford University Press ,1978; Rens Heringa, Fabric of enchantment : batik from the North Coast of Java , Los Angeles: County Musem of Art: 1996. # Sejarah Singkat Batik Pekalongan, terdapat dalam http://batikpekalongan.wordpress.com/ # Batik Kampong, Why in Kemplong? (Part of I) dalam http://www.pekalongankab.go.id; Raadt-Apell, M. J. de. 1982. "Van Zuylen Batik, Pekalongan, Central Java (1890-1946)". TEXTILE MUSEUM JOURNAL 19-20:75-92. # McCabe Inger Elliot, Batik, fabled cloth of Java, New York : Potter, 1984, hlm. 43. # Veldhuisen,. Batik Belanda 1840-1940 : Dutch influence in batik from Java : history and stories, Jakarta: Gaya Favorit Press . 1993 # GKBI , Dua-puluh tahun GKBI 1948-18 September 1968, Djakarta : Koperasi Pusat, Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 1969, HLM. 32; Lihat juga Achmad Ilyas, Wajah Kosmopoitan dari batik Pekalongan, dalam http://theworldbatikcity.blogspot.com # Batik Java Hokokai dapat disebut sebagai desain batik yang khusus di pasarkan Jepang, rata-rata batik hokokai digarap dengan sangat halus, rancangan corak ragam dan isen juga sangat rumit. Batik Java hokokai yang halus adalah yang di produksi pada saat penjajahan Jepang. Para pengrajin yang bekerja berlama-lama dengan pekerjaan, sederhana saja alasan bagi pembatiknya, untuk tetap mendapatkan jatah makan di tempat kerjanya. Dikutip dari: Achmad Ilyas Wajah Kosmopolitan dari Batik Pekalongan, http://theworldbatikcity. Blogspot.com/ # P. De Kat Angelino, Rapport betreffende eene Gehouden Enquete naar de Arbeidstoestanden in de Batikkerijen op Java en Madoera door den Inspecteur bij Het Kantoor Arbeid, Publicatie No. 6 van het Kantoor van Arbeid, hlm. 211-212. # Pada tahun pada tahun 1908 dibuka jaringan trem oleh perusahaan S.C.S. (Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij yang menghubungkan Semarang dengan kota-kota sepanjang pantai utara Jawa sampai Cirebon, sedangkan untuk ke arah timur pada tahun 1889 S.J.S. (Semarang-Joana Stroomtram Maatschappij), Sumber: Verslag van de Dienst der Staatsspoorwegen op Java, jrg. 1879-1880; terdapat juga dalam Verslag betreffende de Spoor- en Tramwegen in Nederlandsch-Indi, jrg. 1892, hlm. 69; lihat juga H. Sneevliet,  De Handel van Semarang , dalam M.G. van Heel (ed.), Gedenkboek van de Koloniale Tentoonstelling Semarang, 20 augustus - 22 augustus 1914, dl. II. Batavia: Mercurius, 1916, hlm. 220-224. # Batik Pekalongan, antara Masa Lampau dan Kini, Sumber: http://batikpekalongan.wordpress.com/ # M.J. de Raadt-Apell, De batikkerij van Zuylen te Pekalongan / M.J. de Raadt-Apell: Midden-Java (1890-1946), Zutphen : Terra1981: De Kat Angelino, Op.cit., hlm. 215. # De Kat Angelino, op.cit., hlm. 215-216. # De Kat Angelino, op.cit., hlm. 217. # Harmen C Veldhuisen, Fabric of enchantmen: batik from the North Coast of Java, Los Angeles: Los Angeles County Museum of Art, 1996, hlm. 79. # De Kat Angelino, op.cit., hlm. 222, 223. # De Kat Angelino, op.cit., hlm.223. # De Kat Angelino, op.cit., hlm.224, 225. # M.J. de Raadt-Apell, De batikkerij van Zuylen te Pekalongan / M.J. de Raadt-Apell: Midden-Java (1890-1946), Zutphen : Terra1981, 88. # De Kat Angelino, op.cit., hlm.224, 231. # De Kat Angelino, op.cit., hlm.224, 233. # GKBI , Dua-puluh tahun GKBI 1948-18 September 1968, Djakarta : Koperasi Pusat, Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 1969, hlm. 29. # Amy Wassing . Roodkapje in batik : van batik Belanda tot batik Hokokai (1870-1945). Hilversum : Verloren, 2000, 82; De Kat Angelino, op.cit., hlm. 237. # De Kat Angelino, op.cit., hlm. 240. # Verslag van Het Onderzoek naar de Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera in Nederlandsch-Indi', dalam Koloniale Studin, Vol. 9, No. 4, , hlm. 164. # Harmen C Veldhuisen,. Batik Belanda 1840-1940 : Dutch influence in batik from Java : history and stories( (Jakarta, Gaya Favorit Press . 1993), hlm. 118; De Kat Angelino, op.cit., hlm.245. # Memorie van overgave van de residentie Pekalongan, J.E. Jasper, . 10 Juni 1926, hlm. # Amy Wassing . Roodkapje in batik : van batik Belanda tot batik Hokokai (1870-1945). Hilversum : Verloren, 2000 # De Kat Angelino, Op.cit., hlm.226. # De Kat Angelino, op.cit., hlm.219. # De Kat Angelino, op.cit., hlm.229; Inger McCabe Elliot, Batik, fabled cloth of Java, New York : Potter, 1984, 62. # Harmen C Veldhuisen,. op. cit., hlm.34. # Swara Oemoem : swarane ra'jat ing Soerabaja lan sakitere, Soerabaja, 14 Maret, 1929 # Yang termasuk daerah (grote =kecil) Soendalanden adalah Jawa, Sumatra, Sumatra, Kalimanan, Sulawesi, sedangkan yang termasuk (kleine = kecil) Soendalanden, adalah Bali, Lombok, Nusatengara, Sumba, Flores, Timor). # Harmen C. Veldhuisen, Batik Bel;anda 1840-1940 Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa Sejarah dan Kisah-Kisah di Sekitarnya (Jakarta : Gaya Favorit Press, 1993), hlm. 146. # Wahono dkk, Gaya Ragam Hias Batik Tinjauan Makna dan Simbol (Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Museum Jawa Tengah  Ronggowarsito , 2004), hlm. 105 # Anton E. Lucas, Peristiwa Tiga Daerah Revolusi dalam Revolusi (Jakarta : PT Utama Pustaka Grafiti, 1989), hlm. 54. # Harmen C. Veldhuisen, op. cit., hlm. 147. # Santoso Doellah, op. cit., hlm. 202-203. # Dudung Alie Syahbana,  Perkembangan Industri Batik Pekalongan Abad 19 s.d. sekarang prosiding Seminar Batik Pekalongan Jejak Telusur dan Pengembangan Batik Pekalongan, Pekalongan : Maret 2005. # Wahono dkk, op. cit., hlm. 106. # Santoso Doellah, Batik The Impact of Time and Environment (Surakarta : Danar Hadi, 2002), hlm., 208. # Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta : Balai Pustaka, 1977), hlm. 132. # Wahono dkk, op. cit..hlm. 195. # Anton E. Lucas, op. cit., hlm. # Oethomo MS dan Bambang Adiwahyu Danusaputro, Menelusuri Berdirinya Kota Pekalongan Rasa Swarga Gapuraning Bumi, Pekalongan, 1986, hlm. 316. # Harmen C. Veldhuisen, loc. cit. # Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta : LP3ES, 1990), hlm. 234-235. # Wawancara dengan Chuzaimah Ilyas, 20 Agustus 2009 di Pekalongan. # Wawancara dengan Ir. M. Rofiqur Rusdi di Kauman Pekalongan, 1 September 2009. # Ibid., hlm. 236. # Wawancara dengan Drs. Sony Hikmalul Msi, 1 September 2009 di Pekalongan. # Wawancara dengan H. Jazuli pada tanggal 29 Agustus 2009 di Pekalongan. # Hj. Maryati, SH, MSi dkk., Memori Kunjungan Presiden, diterbitkan oleh Bagian Humas dan Protokol Pemkot Pekalongan Jl. Mataram 1 Kota Pekalongan, 2007. # Yahya A. Muhaimin, op. cit., hlm. 194-196. # Kompilasi Data Kota Pekalongan tahun 1975. # Hajriyanto Y. Thohari, Patah Tumbuh Hilang Berganti Studi Kasus Bertahannya Industri Kerajinan Batik Tradisional di Desa Simbang Kulon Pekalongan, Tesis Magister Antropologi Program Pascasarjana Program Studi Antropologi Jakarta, 1993, hlm. 80. # Wawancara dengan Hj. Fatchiyah A. Kadir pada tanggal 3 September 2009 di Pekalongan. # Hajriyanto Y. Thohari, op. cit., hlm. 81. # Pekalongan Kota Batik, Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Pekalongan dan Kadin Daerah Tingkat II Kotamadya Pekalongan, hlm. 59. # Wawancara dengan Hj. Fatchiyah A. Kadir, pada tanggal 3 September 2009 di Pekalongan. # Eric R. Wolf, Petani Suatu Tinjauan Antropologis, terjemahan Yayasaan Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta : CV Gramedia, 1983), hlm. 125. # Hasanudin, Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik (Bandung : Kiblat, 2001), hlm. 115. # Ibid., hlm. 161. # P. De Kat Angelino, op. cit., hlm. 218. # Eric R. Wolf, op. cit., hlm. 125. # Ibid., hlm. 161. # P. De Kat Angelino, op. cit., hlm. 218. Kelompok Umur Jumlah 0-4 25.717 5-9 27.243 10-14 27.750 15-19 31.080 20-24 26.222 25-29 22.987 30-34 20.994 35-39 19.951 40-44 17.006 45-49 13.286 50-54 9.639 55-59 7.369 60-64 7.211 65-69 5.016 70-74 3.979 75 + 3.020 Jumlah 268.470 Kelompok Umur Jumlah 7-12 32.667 13-15 17.556 16-18 19.011 19-24 32.204 Jenjang Sekolah Jumlah Murid Jumlah Guru Jumlah Sekolah SD 25.625 1.445 128 SLTP 12.434 785 27 SLTA 9.781 759 20 Jenjang Sekolah Jumlah Murid Jumlah Guru Jumlah Sekolah TPQ 26.669 1.623 200 M Diniyah 7.615 620 71 MI 9.801 437 45 MTs 2.942 152 7 MA 2.225 192 6 NO NAMA SHOWROOM BATIK ALAMAT 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Batik Qonita Batik Jacky Batik Tobal Batik Feno Batik Ghofar Batik Mahkota Agung Batik Asritex Batik Arina Batik Kismala Batik dan Pusat Kerajinan Batik Jl. Gajah Mada N0. 49 Jl. Surabaya Jl. Terate No. 24 Jl. Hayam Wuruk No. 43 Jl. Semarang No. 16 Jl. Raya Baros No. 5 Jl. Karya Bhakti V/ 24 Jl. Dr. Wahidin XVI/ 2 Jl. Jenggot No. 448 Jl. Raya Medono NO NAMA GROSIR ALAMAT 1. 2. 3. 4. 5. Pasar Grosir Setono Pasar Grosir Gamer Pasar Grosir Dupan Pasar Grosir Banjar Sari Sentra Batik ATBM Medono Jl. Raya Pekalongan  Batang Jl. Raya Pekalongan - Batang Jl. Dr. Soetomo Jl. Sultan Agung Medono, Pekalongan Barat Tabel 7 : Jumlah Perusahaan Batik di Pekalongan Tahun 1927 Distrik Kota Distrik Kedungwuni Distrik WiradesaTotal Jumlah Onderdistrik Buwaran 278 Onderdistrik Kedungwuni 38 Onderdistrik Wiradesa 53 Onderdistrik Tirto 224 Onderdistrik Wonopringgo 59 Onderdistrik Rembun 5 Onderdistrik Poncol 124 - Onderdistrik Sragi 1 Onderdistrik Kota 225 - - Jumlah 881 97 59 1037 Tabel 8 : Desa-desa Batik yang ada di Pekalongan Di Kota 1 Onderdistrik Buwaran 2 Onderdistrik Tirto 3 Distrik Kedungwuni 4 Distrik Wirodesa 5 Klego Krapyak Sugihwaras Sampangan Kauman Panjangwelan Kandangpanjang Dukuh Kraton Bendan Medono Kergon Simbang Jenggot Kradenan Banyuurip Buwaran Tegalrejo Tirta Sambureja Karangjompo Pacar Babadan Pasir Sari Pekajangan Rawakembu Gondang Surabayan Wonopringgo Kepatihan Bener Pesanggrahan Tabel 9 : Jumlah Usaha Batik dan Buruh Batik Di Karesidenan Pekalongan Tahun Distrik Kota Distrik Kedungwuni Distrik WiradesaTotal Jumlah Tempat kerja Buruh Tempat kerja Buruh Tempat kerja Buruh Jumlah tempat kerja 1919 694 6.195 99 1.717 15 172 810 8.084 1920 714 6.712 108 1.749 20 262 842 8.723 1921 658 5.987 89 1.310 24 232 771 7.529 1922 618 4.922 45 634 33 384 691 5.960 1923 569 4.506 36 404 32 387 637 5.297 1924 545 4.460 41 412 33 610 619 5.482 1925 739 4.017 98 1957 38 1228 875 7.202 Kwalitas Batik Batik Kwalitet I Batik Kwalitet II Batik Kwalitet III Jenis kain batik Sarung Kain panjang Sarung Kain panjang Sarung Kain panjang Upah dalam Gulden 2,50-3,- 4,- 3,- 2,5 1,5 3,- Waktu pengerjaan 4 hari 4 hari 4 hari 4 hari 4 hari 4 hari Rata-rata upah harian 62,5  75 sen 1,-gulden 62,5  75 sen 62,5 sen 50 sen 66 sen Tabel 11 : Data Upah Kuli Pada Umumnya di Pekalongan 1913 1920 1924 Laki-laki 20  40 sen 40  60 sen 25  50 sen Perempuan 10  20 sen 20  35 sen 15  30 sen Data Upah di perusahaan batik di Distrik Pekalongan 1919 1920 1921 1924 Kuli ketel 60 sen 60 sen 50 sen 40 sen Pembatik wanita 30 sen - - 20 sen Tukang cap 1,-gulden - 1,-gulden 70 sen Upah harian per orang pada perusahaan batik pribumi di Distrik Kedungwuni 1919 1920 1921 1922 1923 1924 65  75 sen 65  75 sen 65  75 sen 40  50 sen 40 sen 35 sen Tabel 12 : Angka Ekspor Batik Pekalongan Ke pelabuhan di luar wilayah bea culai Ke pelabuhan dalam wilayah bea culai Tahun Berat dalam Kg Nilai dalam Gulden Berat dalam Kg Nilai dalam Gulden 1919 139.783 855.707 37.066 294.413 1920 139.676 758.905 14.058 158.057 1921 112.790 506.324 3.069 10.332 1922 232.953 1.354.913 40.198 183.662 1923 366.420 2.224.320 105.758 560.025 1924 379.824 2.685.418 119.900 581.969 1925 507.135 3.998.975 182.231 1.460.932 Tahun Perkiraan isi kain batik dalam paket (bungkusan) Total berat paket dalam Kg Total nilai paket batik yang dikirim dalam Gulden 1923 46.000 200.000 2.750.000 1924 40.000 180.000 2.400.000 1925 50.000 225.000 3.000.000 No Tahun Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja 1. 2. 3. 1970 1975 1980 12.500 2.389 1.605 400.125 207.236 68.122 No Tekstil/kerajinan Tahun 1989 - 1990 Tahun 1993  1994 1 Garmen non batik 728572 /pt 746917/pt 2 Kerajinan tangan kain lurik 28000/bh 30000/bh 3 Sepatu/sendal debok 19000/bh 21000/bh 4 Tas debok 461116/mtr 461117/mtr 5 Batik Cap/tulis 6968558/mtr 7668657/mtr 6 Tekstil/motif batik 6968558/mtr 7668657/mtr 7 Bordir 5090/bh 5290/bh an 10  20 sen 20  35 sen 15  30 sen Data Upah di perusahaan batik di Distrik Pekalongan 1919 1920 1921 1924 Kuli ketel 60 sen 60 sen 50 sen 4;Ntd02468:<>d B" b  V  P $ b $ & n " "4" "4" " "4" 4"2'(  !"1""1 " 2& \ t D8J x`L,.02 V !dddddZZ444& " "2'(  "|& " "v 2'( * " "2'(  " " 4" " "4"/!N"P"J#R$T$V$X$Z$\$^$`$b$d$$$x(F.|12263P3R3T3f3h39<?DDDEEE(E,ErEtEIT^d$kyzdlXXDDX0 "|4" "4" "H4"$2'( 4" " " ")4"4"& " "2'( 9d`*2"$P֙ȣxPL 8Hx$b J'./0/^/9BLT[afm&sxx.x0xpppplll* "2'( T/4" "H4"4" "4"0 " "2'( 4"80xz `>Щ̰  4BDLrrrrrrrrrrrX " "4"(" !"1""14"" !"1""14"4" "4" "4"3Lz."N2(4(8(:(<(>(@(B(D(F(H(J(L(N((()b*j+,h-F.H.22 399X9xxxHHHHHx0 " "2'( 4" " "4" " "kc4"4" " "? 4" "m4" "4"/X9?D IMTYYY`gjt}ʁІtދJΝR6"P(F(xʾjhP66666666666666666666666 " "|4"0 "A "|2'( |4" "A "|4"0 " "2'( |4"4" "4" "t;4"$h 2v\pR(** fn|~z&xxxxxxxdJ0,,0,,0,,JJJ4" "m4" " " 4" " "4" "L "? 4" "4"0 " "Ď2'( Ď4" "|4" "|4"0 " "|2'( |4"9&d0'@+|2N;^AnDH$MfP@QBQDQFQHQJQQQQRrRtRXTTTT^U`UbUfUhUjUlUnUpUrUtUvUxUzUUUUUUUUUUUUUUFVHVJVll " "4" " " 4" "m4" " " 4"4" "4")JVLVNVPVRVTVVVXVZVVVVW_cghtj lo6qrvw,xx&yy2zRzzzēVJܱLLLL. "34" " "34" "|#"%4": " "#"%2'( 4" "#"%4" "4" " " 4"4"4" "<>@PR<Z\dfhDvx0)17`:|:4?.MP\_,e>fTfVfXf>g@glpw( ,\^H2ZXzr "4" "e "%  "l "G4" " "4"4" "4"7Xl&@b 8.J )0r58=DKT*\an$u}zjV " "f< " " "4" "4"0 " "2'( 4"4" "4"J„ĄƄȄʄ̄΄Є҄Ԅք؄ڄ܄ބԅօ؅Z\^NP(* ̍΍Ѝhj8֓ؓ "ޖ<JLЭH8 "4" 4"4"4"HL8  R>,%)) *2\;??"@|@~@@@@^CJ"R^YdpdrfrrrrrrTszVjV"<̻  4" 4"4" "4"F*@rLDRTVXZ\^`bdfhjlnprtvxz~@fJVbdJF6xz NP<> " " "4"4"4"K*Z\:FHPR4zn~.4&(d   j     6 8 X Z >npNPTVBDF " " "&FHJLNPRTVXZ\^bdfrD R|Z 4  !"#$2%%''()zVB...........BBBB.. "4"* "2'( T/4" "4" "H4"$2'( 4"."|2"'( ) @S (2"'( ) @S 4"4"3)j*L+l,- .&/:/N//0(1X1(2234445 6N66677888 9L9t9~:T;<<= @@dBC$D FDJLQLRSSHTlUUVlVnnPn<nnnnnnnnnnnnnnn "34" "#"%4" "4" "L "? 4" "|4" " "? 4" "m4" "4"4"HlVWW0X:YtZZ"\]\^D___`&aacdhfXgghiijkkl4mzmtnnoofpp6rrrtuuwwxyy:zzz{ {&{4{<{J{R{`{l{z{{{{{{{{{{{||"|  "4"4" "4"K"|0|<|H|T|`|l|x||||||||||}}}*}8}D}R}^}l}}}}}}}}~~~$~*~4~@~H~N~n~~~~~~~~~(06>JRV\hptz,2"'( :( KxP  & 8NhĀ"Nh :h΂܂"Hn҃ F|||JJJJ*4"4"8*2"'( :( KxP 4"22"'( :( KxP 4"4"*2*2"'( :( KxP ,2"'( :( KxP >Ff0246Pvڅ܅FHNPv~ކ >BDhptxz&(,VZ*"PS"PS *"PS4"*4"4"BԈֈڈ  .Hfr̉މ"6NZjΊ"̋ 8FHJLNPjvŒ "PS"PS"PS4" ***H "*2>HP\dpv~ȍЍ؍&2<DPV^dltŽΎ؎  >`ҏ" *"PS4""PS4""PSK"0JnʐؐJf|ȑ2468:<>HR\^`tԒ ԓ .<@DRTj *"PS4""PS4"F<>@BDFPZdnxʕPRTVX Fd—җܗ $4DP^hxĘؘ&6FP`t"PS"PS"PS *"PS4"@<Țܚ"0@TZfěΛ؛(6<`Μ4FX\֝(@DlΞ*4"4"4" "PS"PS d4d8d~Z$ $ 08* "$ 080 ""$ 080 ""$ 080 "!"$ 08, "!$ 08( "!$ 08( "$ 08* "$ 08"$ 084dJ^b  & b2( "!$ 08. "!" $ 08("$ 08. "!"$ 080 ""$ 08* "$ 08"$ 08( "$ 08* "!$ 08(Hr &pX0000002$, 088"$, 08("!$ 08("$ 08* "$ 08"$ 08. ""$ 08. "!"$ 08$x~`fLRV \ !!R$$$$4'-H.03P3vN,,,(" $ 08"$ 08("!$ 08* "$ 088"$, 08("$ 08+P3f3 44V5`55566.68666778 8X8b88899=>(?2???CC$D.DDE(E,EtETTYZ^nHD8.8$ $.$ ""! " "  "&$ 08("!$ 08$ $ 08"$ 08$ $ 08,^^cc"d?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrtuvwxyz{|}~*2VX\p:R$&* nzHJtv$  N$v2x28,8fDhD`PbPfPQj\R:RR\R\R:R:R.RRRRRRR  " "  " ""! "" "$ "$ "" "! "  " $ "QQRdRTTUPU`UbUdUfUUUUULVNVPVZVVVW(^*^``\@@ "!$ @ "$, 08$ " " $  $ * "$ 08"$ 08$ $ 08 - -  "! "!"!```cccccTfgggh*h.hhhhtDtuuvwjJ&JJJjJ:$, 08" "!$ 0 "$ 08$"$  "$ @ "$, 08$  "!$  $ #ww,x2xxx&y,yyy2z8zRzXzzz}}Z~,.HJZ\ "HJ\^lllllLlLLLLLL0 "$ 086 ""$ 08 "!$ $ *$$  "$ 0"$$ ԏʦDFرڱ>@@~F& "!$ 6 ""$ 080 "$ 08 " $ 8 "$$ @ "$, 08 "$ " "$ @NRVX\bf@Br,rrrr " $ 6 ""$ 08"$ 08&$ 08F ""$, 08$  "$ ("$ 08,"$ 08!bxFH2  tR`dpz**V-fFfFf$FfffFf6 ""$ 08 $ " "$  "!$  "$ $  " $ @ "$, 08!V-j-t--4.6.1144"8$8X:Z:\:`:|:????O O$O0OZZvcxccc(e*e>fzD"DF ""$, 08" "$ 6 ""$ 08$"$  "!$  "$ " "$ >fRfVfXffffg>g vww@xLxB~~NN~~" " $ 6 ""$ 08 " $ 2 "$$ 0"$$  "$ $ "$ 08&$ 08#ԁցLN,ܓޓ`b`2z|LRTPnzzzzzZ.zzzzZZzZZZ$" $ ("$ 08,"$ 08 " $  "!$  "$ F ""$, 08nzfvүޯR`bd̶ζf|\\||\& \\("$ 08,"$ 08$ 6 ""$ 08 "!$ " "$  "$  " $ " " $ *fhPb(Xj<8J\^nphhHhHh,H$  $  "!$  " $ " "$  "$ 6 ""$ 08X Z pr 8RDFrRrRrRr4rrrRrF ""$, 08 "$ 6 ""$ 08$  "!$ $  "$ ("$ 08,"$ 08)n"z"&&&&'' )):)))**"*$**1,1F1H144445566KK4LFLRRTTUh2hhh26 ""$ 08" "$  "$  $ $  "!$ "UUf]h]]]````:eFepereeehi iibnpnnnss"uhvvv||^^^^.^ $ 0 "$ 080"$$ " "$  "!$  "$ @ "$, 08,؅nćȇ؇އ ",.@LNzn>>>>>>nnnnnnnnnnnn, $$ 0 $$ *$$ .$$  "!$ $ Ĉʈֈj2֋LN`b2224"$$ 0"$$  "$ 0"!$$ , $$ $ .$$ *$$ . fjԒ8dēԓؓ|Z|@|||" "$ *$$ $ " "$  "$ 4"$$ 0"$$  *,@DNP^`fh”̔Δؔڔh4h4h4h4h4h4h4h4h4h4 "$ " "$  "$ 4"$$ 0"$$ 2 "$$ 6 "$$ -"<L,.̭έJL.0ܺ0xzf~~~~ff~ZZZ~~FZ:00Z "" "!  " "  " "" " " "   "  "$ 0"$$ ;<@B24  NPVbp~>2D) *..678<"@|@~@@@8B^CDZL\LQR RVVBX`Xtjj ""  "   "  " "! ""  "" " "  "8`XTYVYYZFZdZD\b\_8_``c c"c$c&cc"dBddRehhppqrrrTsxxJL`bdjPRTV ""  <hZhhZhh" "" "  "" "  "  " "  " ""  "6>@",z|~b.d4TvfZfZfZfZfZf  ." ."  " ."  ."  " "  "" "  " " 5"28HLjl|~\(*xzP24l>pt|<B xznzzzXLXLX  " "."  " "! " "$  ." "  " "." ."6xz4Rdfrv>HJTV^|l`\P  "  "$ "! ".""."  " " " "".""8l4^FH$&(JL`              & * 2 4 6 8 p  rrrrn^ ." "." "" "!" ."  " " "  " "  "!  " #    4NPp"NPxVDFHRTVZ^`dfrT,"$ 08,""$ 08("$ 08 "!"!$   "!"  "  "   " "  "  " " "! "  ."CfhjlBDprtvx 8BDFHJl  46"PRTVX`z|~ "" ""  " " ""! "!"!:(,XZ\^`~."  <2 4 6 8 : \       !!!!!""$"D"""""""##~tht  " " ""! ""  "" "! "! "" "" ""!5#####$`$$$$$$%"%0%2%4%6%8%P%b%~%%%%%%%t&v&z&&F'''''''''''''"(((((((),)n\RFRRFRRF  " " ""! ""  ""  ""  ""  "" "" ""!"! "!B,)))))))*h*j*l*n*p***J+L+N+P+R++2,j,l,n,p,r,,"-------- . .....b..$/&/(/*/,/./8/://@/B/L/N/P/R/T/////// ""! "" "" ""!"! "! ">///<000000011&1(1*1,1.10181V1X1Z1\1^111&2(2*2,2.202~22222223`3~3333334n4~44444444444444~~~ ""  ""  """! "! ""! "" ""!?444445V5X555555566 6"6$6&6(646L6N6P6R6T666666667"7476787:7<7777777778b8f8v888888888888 " "" "" ""! ""  ""!"! "!88888888899 9"9$9&9(949J9L9N9P9R9T9`9r9t9v9x9z9|999~V> "$, 088 "$, 08( "!$ 08. ""!$ 08  " ""! "! ""! ""!99999999999999 ::::,:.:>:@:J:L:^:|:~::::PPPPPPPP  > ""!$, 08"! "!< "$, 088 "$, 08> "$, 08: "$, 08:::R;T;V;X;Z;;(<:<<<><@<Z<^<|<<<<V======rDrDDrD< "$, 08, "$ 08( "$ 08. ""!$ 08"! "!: "$, 088 "$, 08==>:>>??@ @ @@@@v@@@@@@ Aff4****8 ""$ 08.". ""$ 08. ""!$ 08"! "!2$, 08: "$, 088 "$, 08( "!$ 08  A.AjAnAABBbBdBfBhBjBBrBr8 "$, 08> ""!$, 08"! "!( "$ 080 ""$ 08. ""$ 082 "!"$ 08. "!"$ 08BBBBCCCCCCCC"D$D&D(DRH6HRH6H0 "$$ 8 "!$, 08> ""!$, 08"! "!8 "$, 08<  "$, 08: "$, 08(D*D,D "$, 088 "$, 08( "$ 08. ""!$ 08bEEE F FFFFIIIII$JBJDJFJHJJJtJKLLLLL|r`r2r`r2r`r2, "$ 08. ""$ 08* "$ 08. ""!$ 08"! "!2 "$ 08."( "$ 08* "$ 08LL6LMNtNNN8OOOPPDPFPP(QQQQQQJRLRNRPRRRTRX*X***X**. "!"$ 08"! "!2  ""$ 08. ""$ 080 ""$ 08. ""!$ 08( "$ 08"$ 08TR^RbR~RRRRRRRR.S ""$, 08SSSSSSSSS"T.TFTHTJTLTNTPTTjUlUnUpUrUUtjXjtjXjjXj. ""$ 088 "$, 08> ""$, 08"! "!0 ""$ 08. ""$ 08. ""!$ 08UUUUUUUUUVVVVV>VJVjVlVnVpVrVtV~VVVVVXXX*@ ""$, 08> ""$, 08. "!"$ 08. ""!$ 08"! "!. ""$ 080 ""$ 08VVVVVVVVVWNW\WbWlW~WWWWWWWWWWW@@6$66$60 ""$ 08. ""$ 08. ""!$ 08"! "!@ ""$, 08> ""$, 08B ""$, 08WWXX.X0X2X4X6XFXXXZXdXfXnXpX~XXXXXXtjXj@ ""$, 08D ""$, 08> ""$, 08"! "!0 ""$ 08. ""$ 08. ""!$ 08XXXXXXXXXXXYYY8Y:YY@YBY^YpYxYYYYYYYYYYvdv6D ""$, 08. "!"$ 08. ""!$ 08"! "!> ""$, 08B ""$, 08YYYYYYYZZNZZZrZtZvZxZzZZ~<<<. ""$ 08. ""!$ 08"! "!@ ""$, 08B ""$, 08D ""$, 08> ""$, 08ZZZZZZZZZ [0[[[[[ \"\$\&\(\*\V\\X(((X: "$, 08> ""$, 080 ""$ 08. ""!$ 08"! "!. ""$ 080 ""$ 08\<]^]]]]]]]]]^0^X^Z^\^^^`^b^\,\""\\"". ""$ 080 ""$ 08. ""!$ 08"! "!0 ""$ 08. ""$ 08> ""$, 088 "$, 08b^d^^^^^^_B_D_F_H_J_n_z___TTTj0 ""$ 08. ""$ 08. ""!$ 08"! "!B  ""$, 08@ ""$, 08> ""$, 08. "!"$ 08___________ ``,`.`X`Xv2$, 08: "$, 088 "$, 08> ""!$, 080 ""$ 08. ""$ 08. ""!$ 08 "!"!X`b`f`r`t`~`````````````````aa$a&a(aRH6HH6: "$, 08( "!$ 08. ""!$ 08"! "!: "$, 088 "$, 08< "$, 08(a*a,a.aaaaaaa*bBbccccccccdddD22  " " ""!* "$ 08( "$ 08. ""!$ 08"!< "$0 088 "$, 08> ""!$, 08 "!Cddddene&f(fBfDfffhfjflfnfffVgXgZg\g^gggggggggghhhhhDhFhhhiiiiiiiiiiiij`jjjjjjj,kkkkkkkk "" ""  " " ""! "!"!@kkkkkkkllllltll2m4m6m8m:mfmxmzm|m~mmm"n6n:nbnrntnvnxnznnnooooooooooooodpfphpjplppppqq4r6r8r:rz@z\zlz|zzzzzzzzzzzzzz{ {${&{2{4{:{<{H{J{P{R{^{`{j{l{x{z{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{|||| |vvvvvvvvvvvvvvvvvvv "  " "" """! ""   " " ""! "!N |"|.|0|:|<|F|H|R|T|^|`|j|l|v|x|||||||||||||||||||}}}}}}(}*}6}8}B}D}P}R}\}^}j}l}}}}}}}}}}}}}}}~~ ~~~~"~$~(~*~2~4~>~  " " "!G>~@~F~H~L~N~l~n~~~~~~~~~~~~~~~~~&(.046<>HJPRTVZ\fhnprtxzNh " " " "  "   " " "!>̂΂ڂ܂Ѓ҃F.6NPtvLP|~@Dnprtvz *,"$ 08(" $ 08 " " " "  "!?,XZ؈ڈHj~ "ʋ̋  68DPhjtvŒ  "(*02<("$ 08(" $ 08 "!"$ 08L<>FHNPZ\bdnptv|~ƍȍ΍Ѝ֍؍$&02:<BDNPTV\^bdjlrt~"$ 08 "!LŽ̎Ύ֎؎ގ   <>^`Џҏޏ ".0HJln~Ȑʐ֐ؐ"$ 08 "!?HJTVdfz|Ƒȑ0>FHPRZ`rtz|ҒԒڒܒ   ("$ 08("!$ 08"$ 08 "!?ғԓ ,.:<>@BDPThj~:FNPXZbdlnvx("!$ 08("$ 08"$ 08 "!?ȕʕЕҕNX DFbd—Зҗڗܗ "$24BDNP\^fhvx("$ 08("!$ 08 "!"$ 08?˜Ęؘ֘$&46DFNP^`rt:<ƚȚښܚ ".0>@("$ 08(" $ 08"$ 08 "!G@RTXZdf›ě46:<^`̜Μ24DFVXZ\ԝ֝&(>@BDj " "   "  "!"$ 08 jl̞Ξ " "!pTSHlpTSH,: "   *r " . *r2"'( ) @S hf  !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghtt& !d0xLX9h&JVXF)lV"|F "ΞR4P3^|(zF~?Q`w@V->fnfU`Xxl f#,)/489:= AB(DbELTRSUVWXYZ\b^_X`(adk~,<@jΞ   "$&(*,.02468:<>@BDFHJLNPRTVXZ\^`bdfhjlnprtvxxONT4HnTimes New RomanCalibriArial Unicode MSTimes New Roman (Vietnamese)h 42@2H2X2c2w2 A=DKTZ^e HR"(04AGUagmPwWw^wgwmwqwxwwwwwx xxx&x-x6x?xExx||}=}G})~3~;~E~M~S~_~e~m~r~~~~~~~8"@"" " " " " " "5 " " " " " " " " " " " " " " " " " " "' "R ": " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "  " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " ": " " " " " " " " " " " " " " " " "  " " " " " "S " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "! "" "# "$ "% "& "' "( ") "* "+ ", "- ". "/ "0 "1 "2 "3 "4 "5 "6 "7 "8 "9 ": "; "< "= "> "? "@ "A "B "C "D "E "F "G "H "I "J "K "L "M "N "O "P "Q "R "S "T "U "V "W "X "Y "Z "[ "\ "] "^ "_ "` "a "b "c "d "e "f "g(2h7`|bR<** &  r `<zj^T:, tfXJ0vjZ D!!2""2##.$$(%% &&&x''l((^))R**D++0,,"--../z//p00R11;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=18/CLK?IKT=2&TRM=Kantoor:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=18/CLK?IKT=2&TRM=Arbeid;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=18/CLK?IKT=5&TRM=Verslag:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=18/CLK?IKT=5&TRM=DienstDhttp://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=18/CLK?IKT=5&TRM=ArbeidsinspectieIhttp://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=18/CLK?IKT=5&TRM=Nederlandsch-Indi%E8e1http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=1/TTL=21/SHW?FRST=261http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=1/TTL=21/SHW?FRST=26=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Dua-puluh9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=tahun8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=GKBI;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1948-18=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=September8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1968?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Djakarta?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Pusat,?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Gabungan?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Batik@http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Indonesia9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=Batik:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=fabled9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=cloth8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=Java:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=New;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=York=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=Potter/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=7/TTL=1/SHW?FRST=2/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=8/TTL=2/SHW?FRST=2/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=8/TTL=2/SHW?FRST=1>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batikker%D09http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Zuylen=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Zutphen;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=TerraAhttp://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Ontwikkelingen8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batik7http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Java:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=S.l.:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=s.n.=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=2&TRM=Paguyuban:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=2&TRM=Berkah=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Prosiding;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Seminar9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Batik>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Jejak;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Telusur7http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=dan@http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Pengembangan9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Batik>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=18-199http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Maret8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=20059http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=Batik:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=fabled9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=cloth8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=Java:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=New;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=York=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=Potter=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Dua-puluh9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=tahun8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=GKBI;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1948-18=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=September8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1968?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Djakarta?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Pusat,?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Gabungan?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Batik@http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Indonesia/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=8/TTL=2/SHW?FRST=1>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batikker%D09http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Zuylen=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Zutphen;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Terra=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=2&TRM=Paguyuban:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=2&TRM=Berkah=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Prosiding;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Seminar9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Batik>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Jejak;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Telusur7http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=dan@http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Pengembangan9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Batik>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=18-199http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=Maret8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=3/TTL=10/CLK?IKT=4&TRM=2005Ahttp://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Ontwikkelingen8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batik7http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Java:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=S.l./http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=8/TTL=2/SHW?FRST=2|Y).o;JJKCMQNOh]h!k@zҬؾs ,LKN  +2zCD+ov$|:;30ذܲTչtR"Mz -m,1:>T`_bwuܓF̩zs<vd~'Z-%(+0b3a7K;%@1EHMSW      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{| Yj!JOPQRSTUVWXYZ[\]^_`PtQtRtStTtxxxx7y8y9y:y;y"أ'"""I"""$"."+ "@S"D=","R`""-"+"."^ "/""0 "1"; "2"D="3"+"4"]>"5",""?"! "@""A "B "C"G"D"X"E"&"F "G""H"X"I"&"J "K""L "M"v("N"&"O"G"P"v("Q"$"R""S"&"T "U "V "W "X "Y"K'"Z"f "["&"\ "]"K'"^"&"a"c "b""c"&"d "e "f "g "h "i"K'"j "RR"E"_""|!"L,"` """ "7`` #(0:@KT[dms?Wku{-G!!!!!p"z""""""""""""" #####'#-#6#C#O#x$%%%%%%%%%%y&&&&&&&&3"@" " " " " " " " " " " " "" "5 "' ": "% " " " " " " " " "R " " " " " " " " " " " "% "( " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "  " " " " " "  " "R " " " " " " "  " " " " " " " " "9 " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "! "" "# "$ "% "& "' "( ") "* "+ ", "- ". "/ "0 "1 "2 "3 "4 "5 "6 "7 "8 "9 ": "; "< "= "> "? "@ "A "B "C "D "E "F "G "H "I "J "K "L "M "N "O "P "Q "R "S "T "U "V "W "X "Y "Z "[ "\ "] "^ "_h-`7`pZHHD>j.   v ^ R .zzvp>&zrfL@2..* !!!l""T##N$$,%%&&'n''V((P))B**,++,,-=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Dua-puluh9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=tahun8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=GKBI;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1948-18=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=September8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1968?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Djakarta?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Pusat,?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Gabungan?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Batik@http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Indonesia"http://.batikmarkets.com/batik.php1http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=1/TTL=21/SHW?FRST=261http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=1/TTL=21/SHW?FRST=26/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=7/TTL=1/SHW?FRST=2/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=8/TTL=2/SHW?FRST=1%http://batikpekalongan.wordpress.com/http://www.pekalongankab.go.id9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=Batik:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=fabled9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=cloth8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=Java:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=New;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=York=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=Potter/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=8/TTL=2/SHW?FRST=2=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Dua-puluh9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=tahun8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=GKBI;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1948-18=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=September8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1968?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Djakarta?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Pusat,?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Gabungan?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Batik@http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Indonesia%http://theworldbatikcity.blogspot.comZhttp://batikjlamprang.multiply.com/journal/item/1/Wajah_Kosmopolitan_dari_Batik_Pekalonganhttp://theworldbatikcity>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batikker%D09http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Zuylen=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Zutphen;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Terra>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batikker%D09http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Zuylen=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Pekalongan=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Zutphen;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=4/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Terra=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Dua-puluh9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=tahun8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=GKBI;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1948-18=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=September8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1968?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Djakarta?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Pusat,?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Gabungan?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Koperasi<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Batik@http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=11/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Indonesia<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Roodkapje8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batik8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batik:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Belanda6http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=tot8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batik:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Hokokai<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1870-1945?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Hilversum>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Verloren/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=8/TTL=2/SHW?FRST=2<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Roodkapje8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batik8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batik:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Belanda6http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=tot8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=batik:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=Hokokai<http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=4&TRM=1870-1945?http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Hilversum>http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=9/TTL=1/CLK?IKT=1018&TRM=Verloren9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=Batik:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=fabled9http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=cloth8http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=4&TRM=Java:http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=New;http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=York=http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=10/TTL=2/CLK?IKT=1018&TRM=Potter/http://asa2.pica.nl/DB=1/SET=5/TTL=1/SHW?FRST=4|YR zgKB  F   S @a0]t-k9S_SoXs I q !0!W!! "9"e""##^$%{%%&=&&&9'(())'*V*+@++,3,W,, ---.3...h///01E11'22)3>3j3333      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{| Y                      (8   (8     z:;<> 5=4NP2HJ.0 01235 !7Mbh$FGHIJKLMO%;BCDEG  &39MO")#*") ' ' '")1DEFH$+8?M"&*/%,3;#.<FMU45678:  !-.0 !-.0345679  &(!# !(*IJKLMO  #/6>()*+-&KLMO'6J $ $ " & ' ' )6Q   /*B&9(&0( "*!.f3  88>=PJ05b$OGO)*)''')HM/;U:009(#*O>-OJ$$"&'')/B9(0("*. " " " " "bb  !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`ab """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y"      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrs\wxyz{|}~"m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""X"`""&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""Y""m"g("&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"ig*+", """l""}"'"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""~""k"y""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""}"'"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""~""k"y""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""}"'"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""~""k"y""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""}"'"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""~""k"y""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""}"'"&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""~""k"y""&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"ig*+", """l"8""` "f<"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""8"<""f<"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""="8"""f<"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""8"@""f<"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""` " "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""<"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""="""" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""@"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""` " "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""<"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""="""" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""@"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""` "JR"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""""<""JR"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""=""""JR"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""""@""JR"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"ig*+", """l"8""` "f<"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""8"<""f<"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""="8"""f<"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""8"@""f<"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""` " "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""<"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""="""" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""@"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""` " "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""<"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""="""" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""@"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""` " "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""<"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""="""" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""@"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""` " "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""<"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""="""" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""@"" "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""` "JR"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""""<""JR"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""=""""JR"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""""@""JR"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"ig*+", """l"-""m""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""-""40""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""-""?""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""m"Z"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","""""40"Z"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","""""?"Z"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"ig*+", """l"7""m""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""7""H&""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""7""9%""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""m"]"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","""""H&"]"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","""""9%"]"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"ig*+", """l"o"""D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""o""T%"D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""o"E"(?"D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""F"o"""D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"-""""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""-""T%""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+","""-"E"(?""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""F"-""""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l"s""","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""s""T%","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+","""s"E"(?","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""F"s""","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l"P"""^ "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""P""T%"^ "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+","""P"E"(?"^ "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""F"P"""^ "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l"=""""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""=""T%""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+","""="E"(?""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""F"=""""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l"=""""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""=""T%""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+","""="E"(?""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""F"=""""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l"=""""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""=""T%""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+","""="E"(?""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""F"=""""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l"o"""D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""o"T""D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""U"o"""D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""o"H"V"D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""I"o"""D="Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"s""","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""s"T"","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""U"s""","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+","""s"H"V","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""I"s""","Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l""""8f>"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""T""8f>"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""U""""8f>"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""H"V"8f>"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""I""""8f>"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", " ""l"Q""t","X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","","""T9"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""J>"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""Q"J>"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""R"""T9"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""" "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""+"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""""J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""Q"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""R"""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""" "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""+"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""""J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""Q"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""R"""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"7"" ""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7"+"J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","7""T9""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7""J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7"Q"J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""R"7""T9""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""" "X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""+"J>"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","","""T9"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""J>"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""Q"J>"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""R"""T9"X"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""" "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""+"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""""J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""Q"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""R"""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""" "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""+"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""""J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""Q"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""R"""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"7"" ""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7"+"J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","7""T9""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7""J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7"Q"J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""R"7""T9""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"7"" ""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7"+"J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","7""T9""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7""J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7"Q"J>""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""R"7""T9""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""" "v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""+"J>"v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","","""T9"v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""J>"v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""Q"J>"v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""R"""T9"v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""" "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""+"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""""J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""Q"J>"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""R"""T9"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+", """l"7"" ""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7"+"J>""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","","7""T9""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7""J>""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""7"Q"J>""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""R"7""T9""Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+", """l""""v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"$%"&"'(")"*+",""""$""v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""%"""|"v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""1""v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2""""v("Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l""""$"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""$""$"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""%"""|"$"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""1""$"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2""""$"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"-""""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""-"$"""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""%"-""|""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""-"1"""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2"-""""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""$""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""%"""|"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""1""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""$""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""%"""|"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""1""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""$""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""%"""|"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""1""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""$""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""%"""|"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""1""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""$""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""%"""|"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""1""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""$""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""%"""|"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""1""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+",""2""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"*+", """l""""&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"ig*+",""""$""&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"ig*+",""%"""|"&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"ig*+",""""1""&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""2""""&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"ig$%"&"'(")"ig*+", """l"@"" "f "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""@"c"`"f "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""d"@"""f "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+","""@"""f "Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+", """l""" "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""c"`"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""d""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+", """l""" "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""c"`"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""d""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+", """l""" "&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""c"`"&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""d""""&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+",""""""&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "!""#"$%"&"'(")"*+", """l"""v "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""" "&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""<"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""""&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"S""v "! "Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","""S"" "! "Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","""S""<"! "Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","""S"""! "Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"ig*+", """l"7""t;""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""7"",$""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""7""s""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","" "7""s""Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""t;"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""",$"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","" """s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""t;"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""",$"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","" """s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""t;"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""",$"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","" """s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""t;"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""",$"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","" """s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""t;"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""",$"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","" """s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""t;"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+",""""",$"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","""""s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"*+","" """s"&"Ԕ"|"8c "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"*+", """l"""t;"&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+",""""",$"&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","""""s"&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"'(")"ig*+","" """s"&"Ԕ"|"Ԕ "| "   "" ""8? """""" "ig!""#"ig$%"&"ig'(")"ig*+",XXKMicrosoft XPS Document WriterX 4dXXA4DINU"L r SMTJMicrosoft XPS Document WriterInputBinFORMSOURCERESDLLUniresDLLInterleavingOFFImageTypeJPEGMedOrientationPORTRAITCollateOFFResolutionOption1PaperSizeLETTERColorMode24bpp MXDW1winspoolMicrosoft XPS Document WriterXPSPort:dF"\"t"V"4"` "`""A."@"\","V"$W "` "`"."p"  "`a"A["&"` "`"""" "*",."p"  "MMe"A["&"` "`"""" "*",."p"  "9i"A["&"` "`"""" "*",."p"  "{&m"A["&"` "` """" "*",."p"  "q"A["&"` "` """" "*",."p"  "t"A["&"` "` " """ "*",."p"  "@x"A["&"` "` " """ "*",." p#  "T/"A["&"` "` " """ "*",." p#  ""A["&"` "`" """ "*" ,." p#  ""A["&"` "`" """ "*" ,." p#  ""A["&"` "`"""" "*" ,." p#  """A["&"` "`"""" "*" ,."p#  "&"A["&"` "`"""" "*" ,."p#  "*"A["&"` "`"""" "*",."p#  "@."A["&"` "`"""" "*",."p#  "n2"A["&"` "`"""" "*",."p#  "n[6"A["&"` "`"""" "*",."p#  "H:"A["K'"` "`"""" "*",."v4  "H"Z"&"` "`"""" "*",."0"v4  "L"Z"&"` "`"""" "*",."0"v4  "P"Z"&"` "`"""" "*",."0"v4  "IqT"Z"&"` "`"""" "*",."0"v4  "]X"Z"K'"` "`"""" "*",."0"v5  "'"tT"f<"` "`"""" "*",."0"v5  "0"tT" "` "`"""" "*",."0"v5  "S-4"tT" "` "`"""" "*",."0"v5  "?8"tT"o"` "` """" "*",."0"v5  "&T"tT"f<"` "`!"""" "*",."0"v5  "o\"tT" "` "`"" """ "*",."0"v5  "x`"tT" "` "`#"!""" "*",." 0"v5  "Dd"tT" "` "`$""""" "*",."!0"v5  "Eh"tT" "` "`%"#""" "*" ,.""0"v5  "l"tT"o"` "`&"$""" "*"!,."#0"v;  "`a"$*a""` "`'"%""" "*"",."$0"v<  "D)"$*a""` "`("&""" "*"#,."%0"v<  "/zV"/a""` "`)"'""" "*"$,."&0"v<  "x^"/a""` "`*"(""" "*"%,."'0"vG  "#"Vf"D="` "`,")""" "*"&,."(0"vG  "3"Vf""` "`-"*""" "*"',.")0"vG  "o:"Vf","` "`."+""" "*"(,."*0"vG  "snK"Vf"^ "` "`/",""" "*"),."+0"vG  "W"Vf""` "`0"-""" "*"*,.",0"vG  "`"Vf""` "`1".""" "*"+,."-0"vG  "i"Vf"; "` "`2"/""" "*",,.".0"vH  "D"[f"D="` "`3"0""" "*"-,."/0"vH  "T"[f","` "`4"1""" "*".,."00"vI  "=!"[f"]>"` "`5"2""" "*"/,."10"vS  "'"@e","@e""` "`;"8""" "*"5, ."70"vT  "D"@e""` "`<"9""" "*"6, ."80"vT  "snK"@e""` "`=":""" "*"7, ."90"vT  "R"@e""` "`>";""" "*"8, .":0"vT  "X"@e""` "`?"<""" "*"9, .";0"vW  " v<"Te"! "` "`@"=""" "*":,."<0" vW  "OH"Te""` "`A">""" "*";,."=0" vW  "P"Te""` "`B"?""" "*"<,.">0" vW  "X"Te""` "`C"@""" "*"=,."?0" vW  "`"Te"G"` "`D"A""" "*">,."@0" vZ  "U"Ee"X"` "`E"B""" "*"?,."A0" vZ  "q"Ee"&"` "`F"C""" "*"@,."B0" vZ  "}u"Ee"&"` "`G"D""" "*"A,."C0" v[  "3"Ee""` "`H"E""" "*"B,."D0" v[  "*2"Ee"X"` "`I"F""" "*"C,."E0" v[  "8"Ee"&"` "`J"G""" "*"D,."F0" v[  "<"Ee"&"` "`K"H""" "*"E,."G0" v[  "!@"Ee""` "`L"I""" "*"F,."H0" v[  "H"Ee""` "`M"J""" "*"G,."I0" v[  "P"Ee"v("` "`N"K""" "*"H,."J0" v[  "Iy"Ee"&"` "`O"L""" "*"I,."K0" v[  "}"Ee"G"` "`P"M""" "*"J,."L0" v`  "|"Oe"v("` "`Q"N""" "*"K,."M0" v`  "SE"Oe"$"` "`R"O""" "*"L,."N0" v`  "W>j"Oe""` "`S"P""" "*"M,."O0" v`  "p"Oe"&"` "`T"Q""" "*"N,."P0" v`  "tt"Oe"&"` "`U"R""" "*"O,."Q0" v`  "֡x"Oe"&"` "`V"S""" "*"P,."R0" v`  "m|"Oe"&"` "`W"T""" "*"Q,."S0" v`  "{"Oe"&"` "`X"U""" "*"R,."T0" v`  "g"Oe"&"` "`Y"V""" "*"S,."U0" va  "T/"Oe"K'"` "`Z"W""" "*"T,."V0" vb  "1~"Je"f "` "`["X""" "*"U,."W0" vb  ""Je"&"` "`\"Y""" "*"V,."X0" vb  "=!"Je"&"` "`]"Z""" "*"W,."Y0" vb  "%"Je"K'"` "`^"[""" "*"X,."Z0" vw  "!)"qb"&"` "`a"\""" "*"Y,."[0" vw  ".-"qb"c "` "`b"]""" "*"Z,."\0" vz  "U";e""` "`c"^""" "*"[,."]0"vz  ")]";e"&"` "`d"_""" "*"\,."^0"vz  "La";e"&"` "`e"`""" "*"],."_0"vz  "d";e"&"` "`f"a""" "*"^,."`0"vz  "Eh";e"&"` "`g"b""" "*"_,."a0"vz  "ܶl";e"&"` "`h"c""" "*"`,."b0"vz  "sp";e"&"` "`i"d""" "*"a,."c0"vz  " t";e"K'"` "`j"e""" "*"b,."d0"Abtract.wps"p"p &"v5  "x`"tT" "` "`#"!""" "*",." 0"v5  "Dd"tT" "` "`$""""" "*",."!Object 2YnL -+Y+YContentsObject 3 YnL -`\g`>lContentsZl=vnKKvn"PNG  IHDRvn}@psRGB"sIDATx^/{3m^W$5UAՐudT \<1U>Q?*֐UCP?3A]3L`evdaIr7yGgH#oނO?~B$<=O+ҰL㙑no}u4|fXFbVjOgY+8aزҍQyꠕӒv_ |[pvPQ' Pz$im<,ЃEeݙ-i;^r岢~tdQ&7p$%#/ zM>x-'Fl:[vwDž8Il6pZو5HQiPhlcDQ* (FRtӭuf{#B&% @LULcql2#hoi\Y0z[$Vl@%T"dy J$B?|~cacAM{w+c[d[ZdQ)ZKwۑj>ǃv3=41Z9P`^/z1ktz0L da7)[^[A3f;s-RkSins^84gv?%%8|4BPNh>Z^rpq_3D (7c03g@nr;㏗0Glb@IJzuc": W_[ώGwvfF^n`|QF8G$Yfa8 zUv9~uMd:c^tϘC,.AcGd>hʵKFўk)xK0Zz6-kN`PkKM΂nFyLXS2VBͨJ3۷[7 #mL|t+̻;Pa2 6y,L&GNv^|xW4av12aA8|*Ə>q&[f\-E&mD(y7=_.EѨGvڼZݻA;3M^ rqk$vR7P,"oZh-F]mS{UsVN\nf?3YM(^l>60]͈tv]AF ,Iׁld'-2,_ՊA9)TszP^sf^7 ͚|?<>LzP_/DdZE/%(w@|kpԗ리wo} z˯6'pQ=}vXz"3͋UF2="sShvnuFo,Վك[HE4㈡hMo V0> z83G/^ۗK_uuU h+K7+Pg1ST,C5˲$k\ TsPvk?X"%!Ԕ?VݚV6m C?3I :ݓ7q6|p4ҥC!G31%'0 }㺦b]t{g0~)f˻B!4J‚ۆĺ *l 5a}(Y>G8J(ִҭ״m^'IyȂ0&Ì Zr`)+y &㓩mq}T3t~G*EBTmA&'oN[.|]ܗ8 r޺ƮuxFcN%Σ rpAr"yuh^YLīh#a kEhwrZ<AA㳸1ktd5²O0<7_O.+!vK%\NA7|<|>Oc^Cƈt Ά(N S) .d*< ɟ<{%jG3ٜNtv=B;S({ Nײf\>a$ *&v<> Nbggi~[}JYOW_r˵Ug|:h^0!5(ynq}8uq$R6Nq,Amm* {d^͌ԑ2UyOe6w'p 躁s7!NrI=%Gm.B"yB`1%YA5`bġ?{[-DL"\3+.P87(4Nـ$Fl"r |9]E3RP*Xgu"ÜERRLJ"%!^a21;7<^@;q<>tbEH;6Zq<U,rVEr<V/D`MT7\{d:EGvw> ?;jgib!O_ b8"IR%ſ7^3GB#iP#֫klۧAșu_fUI{LCݧl&]- 4=Z2r9YTy|BOm춚(]7?+MESIJ*?__J7V҉u&hf"GFw;{:6u3iqfl4rUPtOYv:-^td٩@L"J\[,+`$r9E;nQHaғP\A5yV*;Ko8U^qP2[Ep=Z;-)V|rxt(pصqU2Sh/BLZߨגrnE7t>bIeC4OFQ+2LʩEbhi,F7Ey*`ЦzN{ݵ$`e z=[;;e5lÀ E趉g-f;9h6C <9Krpťw[2)OzOqLAFk7[h1X݁hzvJZBlEqE2hz?E9&Ce<^n~_ˊR!Qտ2KxN5os25a{=]rAW+8OLT(>w P߾륇AwFM$MȲ(8ďxmmpBQ&P]M#:˺JF{f嫯LT0O!| -1.N>p%^ͯ`ڪdlYuWH^`;+fZ 3^ x7s7=,ڎ'f ͗u:O;G{|` gMnWZw#3}Đ$f2C|"sO5pGP1 |2ח:Y9Xb95ҺNyaI9?)2&~8/t ˈ(ސPw]zzCqxah@XE!^j *ӲJtivzOۛ[[x/cq^$g$IN=Md>RK-(1`o,syx?_0 i&Y:%Skǵ|VG\S+7 28CBOy0ޞ:MAt"/W0^, 橫+DQ2n5Ay(0MBwf#F2P*ےU$LQ:?R`/B^ZdJ+cơclői~Ӭ7$֐_D9!)#cH"%,HBxNPsp.hQt]Q,O~ХL1U`ł~i77EHu{ё >k?×$Zwߨˇ(_iS:zLX=r{Ұbi*\j%՞rVHZ AvovGV^zz6δ;m+@zQ*v]fcgZ ݱ+hl64&IS цo^5@>B{X ւ`ѧq-{g%j׳s }.H{Z:- 5V1ۻoKd]P3IOTy+"p<Lϡu ^ ocmqP3:)$\9PI`v[teJl_8=쨐#)V](m2*;^(X{ C3,l*zxCْB`GR[7El9-&TTsZA 4/:3T]3րci}91<啨:LG#L Ck[V4 F]~F;x<#(MOΆ|q#sq?d=J^NN8a%qA{vz$| @ l6ɝM $`AZ96<#6v[ִuIYKV_-$L[|Fo&W1t_Uܽ9{U5lg9-pjoTW'ȷ-;_XeQѼŒBxdM=W`2W0?_sr ,6G&灤_[Hc9ˡN>W!*G!v"xph1&%)w>g]pTΊ톅1we>wLC>n;`Щ) Z*{e8EiI橐ksWLE85uZks)*"")oo(_lٞ+HC|[ VJglK %X'dF34/C\!n%l*ފ~= Ӕ"V/>t8`7oW]*o}G'ݮ$ .;Jz3A6dB|9P:61;&P,$?=6.וƄ9NXO!%_TTgNy7&KhјET-7>] ͅ'~$:f^ M GR8}rMjS~KB-4فQxǝkm'pHcY(|~;1t]TM8Cx[50;ӃZNȽI8np9+ =_$:/oߩeuAnJT, .M E~K%SбXTĆpKq?HvyGgJbH؞#|S^G-f8FȲ= Tz7>o_uWWs#F܁LQEd'8OG ;,BKhX䵰,l*W !cX”pOAWFAUl BǨWR3%я'{gi+'fųkQM~L4ɲuHh׾b 8T=]%4:?)U;8[rD;@s_dS`xA6vPqFHU3%bQ\#`@Y8^$)H_oF5['4oU̎' &:ԞKl5<ͼaToCFcq a'?!p>?'?JlmDIENDB`Object 4 YnL -0| *Contents =hObject 5 YnL -LjLjContents?D      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefgtt]l]w",0 EMF Qr F, EMF+@``F\\EMF+"@ @ $@ 0@?!@ @[[PNG  IHDR^CPLTE"!9&!93!,"64-(;'/*%"+'$*%"-(%%+(0+(2-*&2.):5:52/,24PoB>;D7,C=RLZTKFc\kd|u slEA>$H&W/A%G4G3V'o)o(o)m*j*n'e7g&s&q%u%t(q(|4k+$n-+m&(c/3m0;m07m$ w#"y"&|##z!)~6&x,-JL^SZ[WtK{HdSiQmNDaC3x.HB1SL4[T0NI7c\Jq2Dm4Km5Sl7Zl8^l,Um;ll9gg=ul!+,%y%647I9CLE_ UP S1IU Y ]R[O bh ekjurwr-r#eUFYMWTLFeXNmxmUhy||y|y}_74m\6Žҳ̅½֕>bKGDH cmPPJCmp0712HsXKIDATx^} Tՙu LƬdI@Թ 6F3k&#%H|_"Ѐfd4&Mxu- @dDgk$B ;VwP,u֭wη97t{k}+]^t啾%\fl.>{+q=]ԇ' m$ڻ|5]v9@ƙxag^GӹmNOr5gbx8|#"'rgspj.Qؽ{8G:FSXws^@6{A̾{셍8_˽~e.턯Z>J.=wL.#\9Mr7u{+c<\[?"!S;*z5{(WVykFj6&0dϲ]¯v3Oyva'f5:Rj}ga[wA$CCC,o)[oSi^*GؼvރZv]z;aPpA7?dЩٺB |֭F]qF_lcn}ކm93{ |[i|@zV*~rV܌wpm[rx8c]aDQ1yءxج+95L[o|o="KݬvCH`hU:CeqcwZO 3BIɄ0%ܐ {>,"³"u_lÔ:!1gYG@ -5 pb  =)[ŋFt: ?,3ϻ>]MFLPac-(0#Í+wҥ9ßp}<v~b[<"cH¾w溛w8pPo\Ň_km7^}8˿=%aW;N$2p8t́(($pX|W p?z{Q|q L} ]E7C{}7 `T;3sϡ K'Fm }s-7Y 7x!=WHBW@^G_\>{ 5^hټД qTPs|ư }1W^pw }FKy=e]/ {{W@.Ih\̘K1s+xhNRfsO]c:ziE;]ScGקۛO\a)ƌ˾mc?JN闟+=X(9~SޓW* SO]3|ǟp}SzJdz}yk1c9FңgvʝJvާ}ZG:w*ců@^u l8uTJ* ^$+u֋Y,;BxWnSWa** 0 @/&_D!X7y? qiŠhEk^w)zɜ( :ak?RMApM6}H_=? hB$qw@?\PvϾFڞgpD=U=+:j~U;cWګB}VWAI+=þ¾VSe+[cWœ:xٝ ]*)9'&MaQ~kZ}o[`aşU;*z>NB<ƜW^}&^$@EE-NdGiIXb<93JӦ5ךpFf,!GK}۰huh}jȝ&0J:u:( /YZi맙D=/z_*|`@/ O?ּ\919@e=O5&uԵc9JN]u: kߦS\ao>~?ڊѼˮ|ZyҎ)쪧t5N6Z)ww՘S:5Y~%f*WUѦIZj|=FWH=݌KŒnL֋>4f0|^2FG'`\Z;]i}0A<_;@qNٗb':}RPNY-Ƕ} KhW2.@s!W)SW^z:ei<~եcj?:!¢M7^ybW=#LSWSW.|/]N]fh :5T>2X'RG*@4;8.u Z9} GUrȥXM@ϥu O-5FגgXtINX[sn=vG޹J<:uq֯ۑ<2[7qTQ>udnːOsSg>/C__~0v?  |ȏ !5;Æ:e#F돏;!Ƌ-[ae;~W;z??9裏< 9/#~c:H|w ݨ DQIފn;+G#_2fSӂpAk pǏQ[4`"B?0]]w[Z?v (^1>ovL$-~vǭ_jRԦ^%뮿;쯠*_֗jXb87$Ã~by ?%G&];ZDhě=܇ ,:f=ҋ;蠵M^ z?$B~DĩC q?yWBî/ĝ;9Һ=Sq]!A'DuXjzч 'M}[p;'iVˆ\C4_ GGT G[M_El::Lx?΃mjCվC߉o ٓ&Ϟ0 |_?qҙ:>ŋÀQCNg_=TNA7yaykFY2C=6nB{0ݫkgžs0x嬷v#:SGOIيC?,m;A}l*D n6 N Ƥ t7x>j3=^SY$g1CNʊٰ&a 7z@>48tR?,/ ۟ u%']1'pS!NVMwCp}LBG-Ok8~iG]7ٓ>[L>G7_+ pe2D_?N wZCs(twCB)X,m`s{C#m S9 ;7ogoOp{R[G4g /:U:Y}uݐj8 ZMNhbCMrv2.L7bW:&/2G5`@EyNHmN'>Ӎ*DŽq@ =5hH:4iŠjf5z8;xRQ>tH2<}!5uyOOOȝu;c9MtF授zx0E1xT'y{r, 9N4e 59fR`Mv?iǍ|SˌM0!]U0cmg0Ý A"$;Fk۞iZg&bYJtNSr !@Wa )#,ȌMij>޽8λ:yHA|1IE+[6iPvbYg;U 4 Bւ0CI+ژ'rշA3VOH' \c.:=ྖCъF%G\qVlBYEmDp?%9>X6#XB7+V$XDd&T{bBS56 ?**N N(h:%ԛ\؄?Ʃz-,)i+m0dUmR^1[Isfl"#Y [whAuO'.A& Jn@!f#0ȕe&hbeAwF-ҿ wAqK L+l!WluaQ1Ǚ;LOdiLLz%a %or"_L 4ӗ8ռI&U44L eUbŨD 8A`*TQS56gkGpEZ6tW$ٞjUq5No_ ENQ(iSb P7jz$"]U_z`侢T2e␋g&kM#0y^? 1h^ 2%u f p?8=ILRg&k-|<4_}ƕaHp`wMG y0eV0&lke'*[ǟHU4˝Bu:TF* j->N OH9%wzqBng{__ՏniԉB2~V5bd'|kTC8}):؄h-:LpYcNw/If딸D`VMZ g[e9rnC虱 *e΢|S k-Ô)MDYEX9m%a_]$&ό`VK (ľy S&1{BnUuQgKDiXٖ03-?M؄[APa#>BDx=4i4%S/8<@)j4nLuЅ/ZX-=ӔLD7[[stM #t*!CwVY^ xzb2h]٪P)Zn@X 5/taj72)ήQDK 3[൉_P-I6-g&EE "s0szx,STܬM%ijtcwQ_Eľad&H Y56]G_ rZ ;yQȫ1bo!t~u, Ug&"ZEvXiLZ]B.̽=T J31"EA{tJDPj@9k܄?MT 90oXj!b]tIh& ^ݘɤ)ݔɎM5gׂdeM <ěݠi0 AG֏S:͈O"hÈ4\vl¯UwxgDpHN,#-ê7b}})ݔH E 5K̾1A 9EȯH? S&36[Q )u=:C0,lԔYI UhҔiE齵 V*%ɄAZFw )(PE?!?'L>zLAlBW~ :ѻdt:}h[Np&M OmVP57MtQ[+zc*X(ttXcR)S߄+j_OF1Hַ /Vڛ[5nȶI W@U1fAftS&;6Dշ#NqjV9XV!dKWlﮆ\=&w?$HUP3 /& L,Ŏjӥ"!㺷אXCV Dȱ֕y F[A59u*' Ue|*R:ج@7c:0&Wcj!YC9a1Q)h l}%[d֍,?V4DS^ʌl4%z6۟~FuP_L+&{2HٲTĎ0rih~,6iyD㾷}\AWj,"&;t}YŮ"utVX!F~U.e(M2LD,cBwt@X$hU0>Xbwh04VAoȂH1F!f R%b)9sMָFT햃wTq4 rU˸}0fMF Mn*'tXAw9c|x*؄nU r96fy~6'IWơMVO"TCe$e: T qT XYP:P%4e2ٱ Ѫem#c.ymk~Qa0"*O}KHk~, jJ#2L؄*q %vR!djkcЋIg΁>S1dg@wwX$ Sf+#6Avb)# uog&m6ww-A3|l ]8֔8̻jh,ZD= PҫDOȹI3 R `)apuᨆʶbeT)>/ce2UJ.DszUZcOK絞"oM|ntj^A쨠1#tc`ۘʡ[ҫD腱 H` 7#*@`ktg` r΄®ah1x~X!|1kNR÷*Ô9Uhm"c#>h wC5MuBg+FpQC!5-QT0 G+֓|~,˲6M2Li-,:zN#ޢ4 h4u*fw*Jv3`@rGE}!tL+@6M2Mº _㻛J:Xs=C=&f ߪNb;jޗ1 [7Mя JTT%Oٱ ec;rPS{ڭw\5v=Μuݱt*t*p1S^l(MUhv|EU\Nw)4d-DVtq+h窕"v@kzLV[ԄYfxvEʄ;hů.`ɢ55Lؙ#f~,'k^zj-{/LeEM[$My嬨 Z:5_?k6X|ŋSίƣ/],J(n"VU!'[^.Ȃ봨y)fT4kfάYD_n~l_/b=eZvl"Zѫw$S{*wKNb52Va΂ȅK6mڰ"Pc0P-?^]Y_ܤWDV1W# 9ɷLt+z"N(F=:fyR c%ޏY~+_[eLnn/f濩,P`(M(K `_[A҉=fpHlBW+d [L&]iEsUC1HVUľV-N}kŌ04W 'tНV[!7 &Q(#6k=jTvzG0S67oWHO6ho^8x챥5sNN;BӢ +6ܳ !YEQ]f!P^rkf74.^j Ԃ28'4fQ؆ ɏ}G)VM7J06̝]֕:[Xjaã64g-]-dCθ$D|,m H6wl{vl"Ub;vVX 8bN=GD>:ҷa F>V DhkIݎ{-[ܮUQbs(~::b> gy& 76r#oܵPK%[Dw?wN[%b؋&b:|YgjwحP* y1לEۼh;fw UYEK{LN:6nX `Ҵ%meMv@M.[Tk 6[8\Goc[dž 籘Q37*(.N3OH>hp|+ M+w~y䰹m+nK0,޴¶X*О~HV n*NS[w*Mdu@` CIkhCM/%k^2ދsf߭r?ejD)خEbX%&"um*<wfNUDdEtu_z?gRE4]k0fAb} U6wyVD2HT!" ^o?o'B f.[ց$*GТ-+W${Ln(m1km3y_a[(7xn2In%bïrte]V6$|3K"F>>jEQ^%([ؼjͶ]7A=@mVsrOghU + tN_1\lQe&\kSr.u*f>Z#\W@c`z2kDEk0@1)yi֮jn 6@,!m547Z9oʕVܶeƵ;ą4 fP't쐯~ >h:kK,x)c:"88)M ܢV6Ҿcz5k42??wlnnl|j~VعrXʲ7so॰ Pz}&UD,:~MP䶗ԩ2k0bUN[Y::(~X:3 :+FviꗶY,' =bȽ-B?_.N d%OH:kp Sͅlܚ75%J:eZ;T1Hz~@mB+$,[A=[ny//a 9* z:mISbFܩƈa*N1l|1j @g>QOalr%=Z>I Ʉ۲d[xVQ P,7c~`j )o(*٪֖r4n-\|,Q+, #bGܱ>&+% =Utņ3Wff5ިP>%t;RndP%: } bߚGiT];@23VVq~#rTNƳ[o1J q[_ qV::gVKՒF(./`XAc`Üji@ w@ey#N ,M\w#O& E? "[UǍ}۝jBa[#mI#@fY7zHi}i @ZE&A˂'u>(ߛȁңXa46WH*#FrZؗ8O@zsoKew@8o$tFEyԛGhynBSz8E9q22e}kjg٪\br Bf!3FAzWvӊ݀6Tږ{U52VLY0Q |U8b&=u8 ݪvJ"f5]ǘU۴i3Z+ w]lbڈYhE!b}-n#{E?%{+v)ta͓s {xØJQqCu̪]"Za){\KA! StGz@: RւAj[v -=7鿉s3-wiMACR1~0ڔgRk [)}~GcPQLүm9.?_''okD C-2(*A[\?we/O2jYXÕA XP- ~r4PJu`VQwTQiUE~s"WF7Jת(Ҡ'5%P_lX"M+20klh{i2:/:'!rޚ.6ǮRVvBN];`-z?t 1WRs4 jr_Ď;c_ fA5XQF6lFδ5;鈫)\a5[8 ;7ӖJngA@<c( gS[г>룏nZdNC]3@ZS/?}\bZN(knz#.LK' tEv B+o֡@eb)f}>*ۀ+6mo0?h~Ab0ѵ\Ω[ΠL{PUYFF%itrԏZauCYp_aI~ٿyl8F Gc AK˯/uER{,R~q:f+6h\o[@kJXV1EZe! 5G^BwNޛV,F /GkbK~{d).+TjĎUq- :R0YY)2W4 ݳOB- aܺ9 /l߶s.f6Q81p/nD.)MoPus_!FLOc%YIlVP O!* x)ZwJ8ٶ*O#֬CʐyzWBϞ^H={Trנא,#yw@=_A2 c{ R]`'X&8c`ž9vU3wNxVtM%Z%K}0oiW"4ΝLF+2Mtm-ˏ&!,z)]l)Pf/~+e^qnFQɷpPF 򗶭FqUSS۳ڎzXvyK#e+_E>:kr_~lO}eE>E.w{VMlUszۖ'}J|k N9>ھo@ml^6>"oOQ{F9/q v-˕F=akCjN0iNs?q&Gr ƍ;[5 [ƥ yVA/+HvF\lZcWa:K%Ǣ,m1[_>ߍw-^њUڈKjШn'̀OZŴ4l[/[V2.MTK7߂ѿf#/|,عEe@Z5m17f|)Z"j$ј_SU|a 9J%VBe'2:p=]+WB%>ؼ54H'7ɿfM ([B|,0ֵ4G| \'RƋ*@O-P()'Xpl\U۲nUnjܚ7~_V[hH)gg+|0EǬ~MiLad5 <[[#rrcsk,ӋqxR4mTHOdșI&rVĆl([zcwj OTQIC@@z-f_#fKI=J~VEr&}XT'u%RwLv]tʄ.1Q㫁Sj=.WU}f-]_>3}hA]Z u: zĴ`Z]L  HH=&u7YAF݂e Wvb~ăٙjdJ(u|K!QnZiQU5xcɒujkg+.mGtzңȶ߯!LDi8BStJǒUhTbH6Eog41ٱ֠Dk*Y9n鎎 jkfݿ|i݌ˣ" ҉'#G;dۓ ; "6Z {zKGnY3 +U9M#F>]ƺ5(~= o֤ģro>-c.T[\h!XFz\HdG;n_~DNBF-f ^~z" z(;"I#hߒ}ȷb@n'SSU~,~[%q濂Wܗ܄!%g *?=pXΎ0![-p_%u\(`Q~s9VTJZ?@7ALBQTƍ-XА|6VC7NK;[f6B|OjxG"B'.`v<;\} R'Oi5&ߊ}0_UE?V.zl/}[d֜vm8i~D,d4<#C3越nX:D?X8s'Dko}ġ9~UP\ayM+#|5{ c`H=%PoZWHS'ƼHK>J\aæu,P >Ycݒ(S˱yq휹.#d)XpASnqw ~!t_'챸 u3a&N0xȝu6\f yڈbKf7>74ΝSWD\tǒQ#ic֌: :녵7,fM3`ф!M4uԼICakҳM) B*?˳GoafMm+~MْEEAbpc#VC%[833fA v@ N3w~";[d+uP~oA~ (9}BUR QO-6wбcilANJյ T5l\mDѶp ͜4E?LoRկd[ZLUL{裠+b2 뚛uBEX}-G7eKj~XdsLAwE"6ٽs:^z0~6RU<70 鎚[9XM@Lʩyv8SgKɏg^XE5,L+8ڠkd7f76{ V7(Do>[nohk_ nwWˆ9bXK9a%2Z2Kݧ얡x=^c 7S6K$b1EgzյU9zЍ}&en6YsNFU*JScQlFߊyYU7|x歝3aĉٮ3Ini7t> Mw~gƦyt+gphq-+j^z-ضoB{iʁtA]Ko1[.&qi_lVsGnLjCbӇXNPoy̭- ]yTHMM巣n{=+\"]h-ѸVT\RW6IIJpco0[o33=ܼ:GwTXzk>ؾvO[|V"cN56t TrXF!ߚ[:X@蚰crQT.MT>|͚YiU>yQρ|,V|Yk$g^Իn~Ekߊ}X`N[ l.Gb( (*P1L sV+1}"2Y>z[EC}T}ǭRv1EQk1V#D'0=ި};WG[*5u6׼hv=tQ. |k$5&TnvʡKrKɖ2b}9_֭ܟ*B=p[.!Q>i WLoa+1j CX$̏UpVQTn [ S![pm苬n,vR*dعCW mn*d"&t|oEQ<ҝt! XhEVW; C]+ GyFmu~ J{TugbOV;P)JHlY&%b-gANr|Q p$ $k `bGUk|+d+|$v#Aѝc1}ՔxL T+ZP۟c!hIV^ɼ4%B7m#ߵkCaitrɽ} d)hv!t}=(*"-۟[bKLtiA_j ,јLM=>\nHŷd򭹕)NJj 3Acb :|I;У@Z>] rSyMZ+YۅF%]1xt;a3-c0Bmo 85tN9s={?CyR6$*Iv,*Iõ%tSHE:m*3e,vo}Xg "Eai Pa[ Pe =V1m0mdYrH9K˗ vG߃drR?E2_O> J+-W+ &_ "Ǣ<͈!Yt\c+42#v%XhRȖcWnL !J(vWZA*t"F8 hWK/l2h} &U 5:e}4aA3iSmzMk#SbڐDzVT]o |_Ͽ} 8Fcժ_u%H} [Cbw;,p;PL)l1aa[ Jٲ RUT8Mˀ]]V%eI3N:=Sw01bુd}([c|CC'~P0ڴX@7?q].XBU /ɄEйڡ<6 կ->ѹ~)=6Ua&eKwԈ{b,<~p=ߤɻL^ <.z bpM%D9vʑ[an%waGELw~,tGzt@Gc c߭h=m{ y.=х%l{)[oQԾa3T,bN9-Q([*ƍBɫ]ey칮%w&' 7*Bfn,\Y+-ˏԍ^@vNpH >̒;Hw󖄆㝗[I0ME?wʟ~,y nN0᎚*5Z/aI賢x:5I,!EU@i@)+}vȽF~Kwk҉6ǙAwg W%V"ũ(V[ *@+m^OwT~,]̏}mAa5F(} XcŬz}}t_ >'l_ME}Xbk4At]"h~lbKwǺ(*С#=W^O_qw]ʤW?x$ߡ-nQLQ̊z?V;d+3;*bR )Bwk1L?Ui;AtZ Wnt 1z9IDjtU;PnAD͏eZ~,Fyudl.S)U5GbܧNB_S){Qj@ZH?K͏ "D̢P G:~忛ZǓAQ)Ba;@;j nT>Ӧog2n .v;|_qz!-O\2PFiTJF/Y~m;ޯRX*֡SUD#p_YF(+9gAE!ILP"%*ehkZ]`"EHLNPT^`d(+0!&wx{|~lnqposMOSUW[tux*-2@CG%(-25:;>B$'+ | FK\c7Ddk u|39lsLR(+%.2& LS1lu=BH.5:)kr<ll;gg9lS5mK4n$+m;0l^8lt<lZ7m3/n*o)m+-TZ gp;\c7m70T[4"#o PW[1!*"Nm9% $=C,Kt?mD2$ g7IN0.!5 CSdj*H{;("$##^LZSe'aD&"W&H$m)6",!И7||G4ɒ4A/;(S Qih_-qJ6C]B>|+!-J-,q&Y U s&uUu%] Lc(&t%b |&"y"#~)!yo(rPjkV31w $z##;3;we o'Ek4R4|(G%q(2,/Oy[̂ݓՊI1r-74ۑ6%e#x&6_ЧҳXehUֽnWQmNMYFL9Ix3CFṶmx}Ƥœy/'TWҮmȕղΞ\ry%,6-4{a4mU,uបƍȋបȹĝZZZZZZZZȎ&ȭZZZZZZZZZZZZǖ؞ȊZZZZZZZZZZZZZZZč؛àZZZZZZZZZZZZZZZZĦZZàZZZZZZZZZZ ZZZZĸZZZZZZZZZZZZZZZZZZ&ČZZZZZZZZZZŠZZZZZZZZZZZڛĸZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ &؞ǠZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZعZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZZZZZZàZZZZZĎ&&ڞƛZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZƖZZZZZZZZZZZZZZZZǠZZZZZZZZZZZZZZZŠZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZZZZZ ZZZZZZáZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ$ZZZZZZZZZZZZZZZZZZŠZZZZZZZZZZZZZZ.ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZàZZZZZZZZZZZZZZZ/ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZàZZZZZZZZZZZZZZZZZ1ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZy~ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZŠZZZZZZZZZZZZZZZZ~pp{ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZGXZZZZpppq~ZZZZZZZZZZZZZZZZàZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZzaHYZZZpppppplZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ"rHHHZZZZlpppppppZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZàZZZZZZZZZZZZZzHHHHZZZZppppppppZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ(eHHHHWZZZ}ppppppyyZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZŠZZZZZZZZZZZcHHHHHPZZZppppqsZZZZZZZZZZŠZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZǠZZZZZZZZCMHHHHHHQZZ|ppppZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZLHHHHHHHHQZZtqmyZZZZZZZZZZZZZZZZZZéZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ.IHHHHHHHHHQZZZZY[QPTTTTWWPQSdX[ZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ.eHHHHHHHHHHWYRXuWWHHHHHHHHHHHHHHHHLZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZàZZZZZZZ cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHBZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZZZZZZZ1cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMZZZZZZǠZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZŻZZZZeHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHVMNTP[QWNMVHHHHHHHHcZZZZZ ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ0GHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHOSYZZZZZZZZZYXWVHHHHHHeZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZñZZZZZZZ GHHHHHHHHHHHHHHHHHHV[YZZZZZZZZZZZZZZZZ[NHHHHHGZZZàZZZZZZZZZZZZZZZZZZרZZZZZZZZZZZZZZZ zHHHHHHHHHHHHHHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZXNHHHHrZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZҠZZZZZZZZZZZZZZZZIHHHHHHHHHHHHHHHHHSYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZSHHHHLZZZZZZøZZŠZZZàZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ#rHHHHHHHHHHHHHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHCZZZZZZZZZZYYZZZZZZZZZZZZZZZZ ZWWPHHHHHHHHHHHHH[ZZZZZZZZZZZ|{{{|sZZZZZZZZZZZYNHHMZZZZZZZZ櫠ZZZŠZZӜZZZZZZZZ1ZZZZZZ[HHHHHHHHHTXZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZQHHOZZZZZZᐠZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZWHHHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZMHHcZZZZZZZZZZZZZ賠ZZZZZZ ZZZZZZZZZPHHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZYHHHGZZZZ ZZב&ZZݨZZàZZZZZZZZZZZZZZZZZTHHHHHHQZZZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZZ[HHHIZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZZZZRHHHHHHMZZZZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZZZPHHHLZZZZZZZZZ#ZZZZZZZZZŠZZZàZZ$ZZZZZZQHHHHHH[ZZZZZyZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZZZZVHHHCZZZZZZZZZZà&ZZѝZZZZZZZZZïZZZZZsmpp|ZZZZTHHHHHTZZZZZZp{ZZZZZZZZ{ty|ZZZZZZZZZtptZZZZZdHHHHZZZZZZZZZZZZZٜ՜ZZZZZZZZZZZZ3lqppppZZZSHHHHHHRZZZZZpppZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZnppZZZZZyNHHHaZZZZZZZZZZZZͿɧYZZZZZZZZ&Z 6Z ZZZZZZZZppppppZZZZHHHHHHNZZZZZpppppnZZZZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZSHHHHcZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZհZZZZZZZZyppppppZZZZXHHHHHHXZZZZZ|ppppppplyZZZZn}skZZZZZpppppppZZZZZYHHHHHeZZZZZZѡϜZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ"ZZZZ͡ZZZZZZZZypppppZZZZWHHHHHHYZZZZqpppppppsZZZ~ppppp}ZZZZppppppppkZZZZZOHHHHHIZZZZZZϱZZ͵ZZZZZZZZZZZZZZZZZ݋ZZѠZZZZZZZ ZZZZ~pppqZZZZYHHHHHHOZZZZZZppppplZZZpppppppppmZZspppppqsZZZZZZSHHHHHHZZZZZο՜ZZÜZZZZZZZZZZZ΍ZZZZZZZZZZZ"ZZtpptZZZZdHHHHHHSZZZZZZZZsppvZZZppppppppppp{ZZZlpppZZZZZZZZRHHHHHHQZZZZѺ̩ӸZѺϿϵZZZZZZZZZZZΐϷZZZZZZZZZZZZàZZ <ZZ~mZZZZZWHHHHHHXZZZZZZZZZZpZZppppp{|{pppppZZ~p{yZZZZZZZZZYHHHHHHWZZZZZZ˿ZZZ՟ϱZZZZZZZѠZZZZZZZZZZZZZZZw>ZZZZZZZYHHHHHHHRZZZZZZZZZZZkZZ}pppZZZyqpppmZZZZZZZZZZZZZZZMHHHHHHZZZZZZZŠßZZZZZZҟϷZZZZZZZ͜ӽZZZZZZZZZZZZZZFEE;ZZZZZZ[HHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZZ{ppp~ZZZZZppppZZZZZZZZZZZZZZZNHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZZշZZZZηZZZZZZZZZZZZZZZ^EEEEAZZZZZZuHHHHHHNZZZZZZZZZZZZZZZZqpppyZZZZZZpppkZZZZZZZZZZZZZZZuHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZZϮϵ˿ѵZZZZZZZZZZZZ'FEEEEUZZZZZWHHHHHHMZZZZZZZZZZZZZZZZppppZZZZZZZmpppZZZZZZZZZZZZZZZuHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZZ ϡZZZZZZZZZZZZZZZ)=EEEEEEDZZZZTHHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZpppkZZZZZZqpppZZZZZZZZZZZZZZZOHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZˡZZZZZZZZZZZZZZZ!]EEEEEEEJZZZHHHHHHHHRZZZZZZZZZZZZyZZ|pppqZZZZZ}pppqZZZZZZZZZZZZZZZZNHHHHHHZZZZZZZZZZZZZZZZԢZZZZZZŠZZZàZZZZZZZZ =EEEEEEEEEFZYHHHHHHHH[ZZZZZZZZZZlZZ}ppppklppppmZZZZZZZZZZZZZVHHHHHWZZmZZZZZZZZZZZZηͺZZZZZZZZZZZZZZZZZZZKEEEEEEEEEE8ZHHHHHHHHSZZZZZZZZZtppZZZ{pppppppppppvZZZ~pplZZZZZZZZRHHHHHHQZZppZZZZZZZZZZͷ̜ZZZZZŠZZZZZZZZZZZZZZZZ @EEEEEEEEEEEE=THHHHHHHPZZZZZZZ~ppppZZZ{pppppppppsZZppppptZZZZZZZ[HHHHHHXZZ}pppZZZZZZZZZZZZZˬßÿZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ,wEEEEEEEEEEEEEAPHHHHHHHVZZZZZmpppppppZZZlpppppppkZZZ{ppppppZZZZZPHHHHHHRZZlppppZZZZZZZZZZZZZZZZZZǠZZZZZZZZZZZZZZ& >EEEEEEEEEEEEEEUBHHHHHHHH[ZZZZZqpppppppZZZZnt{mnZZZZ|pppppppp~ZZZZZVHHHHHHZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZZZZZZZZwEEEEEEEEEEEEEEEwLHHHHHHHQZZZZZsppppppZZZZZZZZZZZZZZZ{pppppp|ZZZZZ[HHHHHHQZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ 8EEEEEEEEEEEEEEEEEJIHHHHHHNZZZZZZmpppqZZZZZZZZZZZZZZZZZZZppppZZZZZSHHHHHHSZZppppppp{ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ!DEEEEEEEEEEEEEEEEEEFGHHHHHHuZZZZZ~ppZZZZZZZZZZ~~ZZZZZZZZsqptZZZZZRHHHHHHHRZZ{pppqm~ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZàZZǠZZZZZZZ=EEEEEEEEEEEEEEEEEEEE8eHHHHHHYZZZZZnyZZZZZZZZZkpp{p|ZZZZZZZZZZ}ZZZZZZTHHHHHHTZZtpp~ZZZZZZZZZŠZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZJEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE=OHHHHHQZZZZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZZZ[HHHHHHHQZZk|ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZŠZZZZZZZ(AEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^MHHHHMYZZZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZZZPHHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ 9EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\CHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZZTHHHHHHHHZZZZZZZZZZR[SuQQQQuZZZZZZZZZZZZZZZZZZ槠ZZZZZZZZZZZZ!bEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEwLHHHHHNZZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZZQHHHHHHHHWZZZZZZZXPTHHHHHHHHHHrZZZZZZZ硠ZZàZZZZZZZǠZZZZZZZZZZZZ=EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE]rHHHHHTZZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZZuHHHHHHHHHQZZZZSQHHHHHHHHHHHHHHHLZZZZZZZZZZZZZZ&ZàZZZZZZZZÎJEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`zHHHHNNZZZZZZZZZZZZkppppp|ZZZZZZZZZZZZQNHHHHHHHHHSYXQTHHHHHHHHHHHHHHHHHHCZZZZǠZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ(AEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_eHHHHHNYZZZZZZZZZZZkZZZZZZZZZZZZPHHHHHHHHHHHTHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHƠZZZZZZZZZZZZZᠠZZZZZZZ 9EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@cHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZNHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHaZZZZᠠZZZZZZҠZZZZZŠZZZbEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^aHHHHHHPYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZSHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHVNWQNMHHHHHHHHHHcZZZZZZҠZZZZZZZZZAEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEBHHHHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZZZZXMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHOSRYZZZYRXWHHHHHHHeZZZZZZZ᠝ZZZZZZZZZZZFEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbCHHHHHHHHMP[YZZZZZZZZZZZZRuMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHNuYZZZZZZZZZZZZZZZ[uHHHHHzZZZZZZZ&ZZZZZZZZZZZZŪZKEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE]rHHHHHHHHHHHPuX[RZY[XSQMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMXZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ[NHHHHrZZZàZZZ#ZZӺZZZZZZZ ZZZAEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`zHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHPZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZSWHHHC ZZZàZZZZӟZZZZϟӧZZZZZZZZ8EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE9eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZNHHHBZZZZZZ՜еZZZZZZZZZZZZZZZZZ&ʎϜZZZZZZZǒJEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE>cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHNYZZZZZZZZZZZst}ttZZZZZZZZZZZZWHHaƠZZZZZϪZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZYZ쎌ZZϜZZZZZZ–\EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE;WHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHWu[RXHHHHHHPZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZQHHcȠZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ&&ZZZZZZZZZZZZ@EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEASHHHHHHHHHHHHHHHHHHHQ[ZZZZZYHHHHHNZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZPHHeZZZПüŐϷZZZZZZZZZZZZZZZZZZϟZZZZZZZZZZZ.`EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEUZXQHHHHHHHHHHHHHuRZZZZZZZZ[HHHHVZZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZOHHzĠZZZͺѠպZͷԧZZZZZZZZZZйА̟ZZZZZZZZZZZZbEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEKZZYuQWTTTWPQSYZZZZZZZZZZZHHHHHyZZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZyMHHrZZZҺѴZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ^EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZSHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZZRHHHLZZZзZZZҢZZZZZZZ͡ѠZZZZZ ZZZZZZà8EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ[HHHHNZZZZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZZZQHHHCZZZZŠZZZZZϻZZZZZZѲZZZZZZZZZZà.`EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE8ZZZZZZZZZZZZZZZZkZZTHHHH[ZZZZZnmZZZZZZZZZm}{qZZZZZZZZZltZZZZZYHHHMZZZӧZZZZZZZZҡϲZZZZZZZZZZZZKEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE=ZZZZZZZZZZZ~qtZRHHHHTZZZZZZmpp|ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZtppZZZZZuHHHOZZZZZZZZZZZZZϵϷZZZZZZZZZZZZ!\EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAZZZZZ{qppppZZuHHHHRZZZZZppppq}ZZZZZZZZZZZZZZZZZZ~ppppmZZZZZZHHHHeZZZZZZZZZZϟŠZZZZZZZZZZZZZ(;EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEUZZZZqppppppppyZZWHHHMZZZZZpppppppkZZZZZZkZZZZZympppppppnZZZZZWHHHHGZZZZZZZZ̿ZZZZZZZZZZZZZZZ8EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEwZZZZspppppppZZYWHHHQZZZZZ}pppppppqZZZZ{pppp{ZZZZlppppppplZZZZZXHHHHHIĠZZZZZZϺZZZZZZZſZZZàZZZZZZ`EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJZZZZpppppmZZZ[HHHH[ZZZZZy{pppppp~ZZmppppppppZZZvpppppZZZZZYHHHHHHLZZZZZZ˿̜ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFZZZZlppppyZZZuHHHMZZZZZZZZkpppZZZppppppppppZZspppqZZZZZZZZWHHHHHHBZZZZ ZZκZZZZZZZZZZZZZZZZZZ"UEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_ZZZZmppmZZZZPHHHNZZZZZZZZZZ}qvZZZtpppppppppppp{ZZZmpZZZZZZZZZZQHHHHHHVZZZZZZàZZZZßZżZZZZɠZZZZZZZZZZ+^EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@ZZZZpnZZZZTHHHTZZZZZZZZZZZZtZZppp|ZZZqppppkZZ}yZZZZZZZZZZZuHHHHHHH[ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ>EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^ZZZZqZZZZRHHHHPZZZZZZZZZZZZZZZ~ppppZZZZZZmppp}ZZZZZZZZZZZZZZZXHHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ `EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\ZZZZZZZZZdHHHHSZZZZZZZZZZZZZZZ}ppp|ZZZZZZ~ppplZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHHHH[ZȠZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ.JEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbZZZZZZZZuHHHHRZZZZZZZZZZZZZZZppptZZZZZZppp{ZZZZZZZZZZZZZZZYHHHHHHHRZZħZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ]EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE]ZZZZZZZWHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZppp|ZZZZZZppp|ZZZZZZZZZZZZZZZ[HHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZàZZZZZwEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`ZZZZZZHHHHHPZZZZZZZZZZZZZZZkppppyZZZZZqppp}ZZZZZZZZZZZZZZZdHHHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZZZZZɠZZZZZZZZZZZZZZZ#UEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE]F8AFEEEEEEEEEEEEEEEEEEExZZZZ[HHHHHTZZZZZZZZZZZlZZZpppqZqppppkZZ~ZZZZZZZZZZZuHHHHHHWZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZŠ&Z'\EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_DEEEEEEEEEEEEEEEEEE@ZZZuHHHHHNZZZZZZZZZZlpvZZspppppqqppppZZZmpmyZZZZZZZZZPHHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZZZYZZZ⠠ZZZZZZZZZZZZAEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE9UEEEEEEEEEEEEEEEEEE^ZZPHHHHHMYZZZZZZZ}pppp{ZZZlpppppppppp{ZZZtpppp|ZZZZZZZZWHHHHHHXZZZt|ZZZZYᑠZZZZZZZZZӑґZZZZZZZZZZ;EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_IrAEEEEEEEEEEEEEEEEEEEZZTHHHHHHXZZZZZkppppppZZZtpppppppplZZZkppppppqZZZZZRHHHHHHHYZZZp{ZZZZZZZZZZZZZZYɥZZZZZZ@EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_rHHa;EEEEEEEEEEEEEEEEEEbZTHHHHHHWZZZZZ}pppppppp~ZZZt|vp|tZZZZpppppppplZZZZZSHHHHHHWZZZypppZZZZZZZZZZZZZZZZZZѠZZZZZZ8EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE8IHHHHc@EEEEEEEEEEEEEEEEEEDWHHHHHHVZZZZZZpppppp{ZZZZZZZZZZZZZZpppppppkZZZZZTHHHHHHQZZZppppZZĠZZҠZZZ&ZZZҠZZZZZxEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE8IHHHHHHe_EEEEEEEEEEEEEEEEEE`HHHHHHHRZZZZZppppZZZZZZZZZZZZZZZZZZympppp|ZZZZZYHHHHHHH[ZZZmpppppZZZZᑠZZZZݑZZZZ FEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE>zHHHHHHHHzFEEEEEEEEEEEEEEEEEE9eHHHHHHNZZZZZmpqZZZZZZZZkZZZZkZZZZZZZZ~pZZZZZPHHHHHHHZZZZqpppppZZZZZZZZZZZ Z_EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@zHHHHHHHHHHrJEEEEEEEEEEEEEEEEEE>cHHHHHHXZZZZZ|ZZZZZZZZZZv{tpZZZZZZZZZZ}sZZZZZRHHHHHHHPZZZ{pppq{~ZZZZZZZZZZZZZZZ5]EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE=GHHHHHHHHHHHHLDEEEEEEEEEEEEEEEEEE;aHHHHHMZZZZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZZZTHHHHHHH[ZZ}pq{kZZZZZZZZZZZZաZZZZZZ]EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE=GHHHHHHHHHHHHHHCbEEEEEEEEEEEEEEEEEEAHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHHHHHYZZ~ZZZZZZZZZZZZɠZZZZZѠZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE;GHHHHHHHHHHHHHHHHBEEEEEEEEEEEEEEEEEEUCHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHHHHHWZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZͷZZZZZՠZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^eHHHHHHHHHHHHHHHHHa^EEEEEEEEEEEEEEEEEEKLHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZZMHHHHHHHHQZZZZZZZZRuWTTTWQSRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ࣋ҠZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc=EEEEEEEEEEEEEEEEEEJIHHHHHHZZZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZZHHHHHHHHHHuRR[[dQPHHHHHHHHHHHHQǠZZϲZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ)ZZZ̜ZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHe8EEEEEEEEEEEEEEEEEEFGHHHHHWYZZZZZZZZZZZZpppppZZZZZZZZZZZZZWNHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHBZZҺηϷZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZuZZZZծZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAcHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHGFEEEEEEEEEEEEEEEEEE8cHHHHHH[ZZZZZZZZZZZnkZZZZZZZZZZZYNHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMZͺպϻZZZZZZZZZZZZZͩũȍΡZZàZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAcHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHI`EEEEEEEEEEEEEEEEEE=OHHHHHHSZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHOàZϷѱќϻϧZZZZZZZZZZϘZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHr]EEEEEEEEEEEEEEEEEEAMHHHHHHNRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZYPNHHHHHHHHHHHHHHHHHNNTPdRuPTNNHHHHHHHHHeúѧZZպϵZZZZZZZZZZҠZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHLwEEEEEEEEEEEEEEEEE\HHHHHHHHPYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZuHHHHHHHHHHHHHHHHHMQ[ZZZZZZZZZZYXWVHHHHHHHG˜ѳZZZZ֡ϡZZZZZZϷӧZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEUOHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCUEEEEEEEEEEEEEEEEEwHHHHHHHHHT[ZZZZZZZZZZZZZZRuTHHHHHHHHHHHHHHHHTRZZZZZZZZZZZZZZZZZRNHHHHHHIҷZZZZZZZZZZZZáZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEJaHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMAEEEEEEEEEEEEEEEEEEJHHHHHHHHHHVWX[RYZZYR[XPMHHHHHHHHHHHHHHHHHN[ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZXMHHHHHLàZZZZZŠZZZàZúɨZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEE?aHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHa;EEEEEEEEEEEEEEEEEEFRTHHHHHHHHHHHHHMNHHHHHHHHHHHHHHHWHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZXHHHHHCZZZZZZZZϵҠZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEJaHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc>EEEEEEEEEEEEEEEEEE_ZdQWHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH[ZHHHHVRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZXHHHHVZZZZZŠZZ÷ZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEE_LHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHe_EEEEEEEEEEEEEEEEEE@ZZZSWHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHSZZTHHHNZZZZZZZZZZZZ{{ZZZZZZZZZZZRHHHHaZZZ̜ZZZZZ ZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEE]eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHzFEEEEEEEEEEEEEEEEEE^ZZZZR[THHHHHHHHHHHHHHTWPd[Z[WHHHPZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZWHHHcZZZZǠ̵ϺZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEU?cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHrJEEEEEEEEEEEEEEEEEEZZZZZZZ[uHHHHHHHHQuX[ZZZZZYHHHHNZZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZYHHHHGZZZ ÷ZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEE^aHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHLKEEEEEEEEEEEEEEEEEbZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZQHHHHYZZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZZ[HHHHIŠZZZZZÿ˷̵͜ZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCUEEEEEEEEEEEEEEEEE]ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZdHHHHRZZZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZZZSHHHHLZZZZZZZťZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEUBHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHBEEEEEEEEEEEEEEEEEE`ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHPZZZZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZZZZMHHHHCZZZZZZàZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEwCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHa^EEEEEEEEEEEEEEEEEE9ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZuHHHMZZZZZZyZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZyZZZZZRHHHHHBZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE]LHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc=EEEEEEEEEEEEEEEEEE>ZZZZZZZZZZZZZtZZZYHHHHdZZZZZtp|ZZZZZZZZZ}ky|kZZZZZZZZmpZZZZZZPHHHHaZZZZZZZZZZZZZZŠZZàZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJrHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHe8EEEEEEEEEEEEEEEEEE^ZZZZZZZZZZZtqqZZZPHHHNyZZZZZppq}ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ|ppp|ZZZZZyHHHHHcZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFzHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHGFEEEEEEEEEEEEEEEEEEAZZZZZZZZqppqZZRHHHHuZZZZZpppppkZZZZZZZZZZZZZZZZZ}qpppppkZZZZZTHHHHHeZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHI`EEEEEEEEEEEEEEEEEUZZZZZlppppplZZuHHHHYZZZZZpppppppp|ZZZZ~s}kZZZZylpppppppZZZZZ[HHHHHHIZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHr]EEEEEEEEEEEEEEEEEDZZZZqpppppnZZWHHHOZZZZZpppppppvZZZZtpppppsZZZ~ppppppppZZZZZHHHHHHHZ ZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE;OHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCwEEEEEEEEEEEEEEEEE`ZZZZZppppyZRHHHHSZZZZZZkpppppsZZppppppppplZZZpppppmyZZZZZZTHHHHHHSZZZZZàZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHC\EEEEEEEEEEEEEEEEEFZZZZZpppZZSHHHHRZZZZZZZZ}qpplZZZmppppppppppptZZZppkZZZZZZZZXHHHHHH[ZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\BHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMAEEEEEEEEEEEEEEEEEE>ZZZZZpqZZWHHHHYZZZZZZZZZZ|pZZ{pppppt|ppppptZZtq}ZZZZZZZZZZ[HHHHHH[ZZZZZZZZZZZZZZŠZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHa;EEEEEEEEEEEEEEEEEE;ZZZZyZYHHHHVZZZZZZZZZZZZyZZZpppqZZZZqppp|ZZZZZZZZZZZZZZRHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDLHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc>EEEEEEEEEEEEEEEEEEAZZZZZZZXHHHHNZZZZZZZZZZZZZZZZppppyZZZZZkpppZZZZZZZZZZZZZZZYHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJrHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHe_EEEEEEEEEEEEEEEEEUZZZZZZZQHHHHPZZZZZZZZZZZZZZZpppZZZZZZZpppvZZZZZZZZZZZZZZZZOHHHHHZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZêZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFzHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHzFEEEEEEEEEEEEEEEEEKZZZZZZWHHHHQZZZZZZZZZZZZZZZpppZZZZZZZqpppZZZZZZZZZZZZZZZNHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHrJEEEEEEEEEEEEEEEEEJZZZZZHHHHHNZZZZZZZZZZZZZZZpppqZZZZZZpppZZZZZZZZZZZZZZZYHHHHHWZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE>cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHLKEEEEEEEEEEEEEEEEEFZZZRHHHHHMZZZZZZZZZZZZZZZZpppqZZZZZqppp|ZZyZZZZZZZZZZZZRHHHHHPZZZZZZZZɠZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE;OHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCUEEEEEEEEEEEEEEEEE8ZZXHHHHHHYZZZZZZZZZZ~ZZ{pppp|~npppptZZmyZZZZZZZZZZ[HHHHHQZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ ZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAaHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHEEEEEEEEEEEEEEEEEE=ZdHHHHHHRZZZZZZZZymppZZZqppppppppppplZZZtpp|ZZZZZZZZZXHHHHHuZZZZlZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\BHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHa^EEEEEEEEEEEEEEEEEEAuHHHHHHXZZZZZZZ|pppppkZZppppppppp{ZZZppppqZZZZZZZPHHHHHSZZZZp}ZZZZZZZZ ZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc=EEEEEEEEEEEEEEEEE\uHHHHHHTZZZZZqppppppZZZmppppppp|ZZZpppppppyZZZZZMHHHHHXZZZZqpp}ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDLHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHe8EEEEEEEEEEEEEEEEEwHHHHHHHYZZZZkpppppppplZZZZ~tlm|}~ZZZZmpppppppZZZZZRHHHHHHXZZZ~pppp}ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZàZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJrHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHGFEEEEEEEEEEEEEEEEE]rHHHHHH[ZZZZZpppppp|ZZZZZZZZZZZZZZZZymppppppnZZZZZQHHHHHHXZZZ{pppppZZZZZZZZZZZZZ ZZZZZZàZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`zHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHI`EEEEEEEEEEEEEEEEE`zHHHHHuZZZZZZvpppmyZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ~pppmZZZZZTHHHHHH[ZZspp|tnkyZZZZZZZZZZZZZZZɠZZZàZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEExGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHr]EEEEEEEEEEEEEEEEE_eHHHHH[ZZZZZtp~ZZZZZZZZnnZksZZZZZZZZ}pp~ZZZZZuHHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE>eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCwEEEEEEEEEEEEEEEEE@cHHHHNZZZZZZnZZZZZZZZZZpvpp~ZZZZZZZZZZ~ZZZZZYHHHHHHHHZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE=cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHB\EEEEEEEEEEEEEEEEE^aHHHHSZZZZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZZZZPHHHHHHHQZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^aHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMAEEEEEEEEEEEEEEEEEEBHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZZZRMHHHHHHTZZZZZZZZZY[RRYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHa;EEEEEEEEEEEEEEEEEbCHHHHNZZZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZZYHHHHHHHH[ZZZZZZdPTHHHHWTTWPu[ZZZZZZZZÿZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEUCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc>EEEEEEEEEEEEEEEEE]rHHHHWZZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZZNHHHHHHHHXRZRSWTHHHHHHHHHHHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEKLHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHe_EEEEEEEEEEEEEEEEE`zHHHHQZZZZZZZZZZZZZppppp~ZZZZZZZZZZZZZWHHHHHHHHHHWTHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCZZZZZZZZZZZZZZŠZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJrHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHz`EEEEEEEEEEEEEEEEE9eHHHVPZZZZZZZZZZZZtpppkZZZZZZZZZZZZVNHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHBZZZZɠZZ ZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`IHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHrJEEEEEEEEEEEEEEEEE>cHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZYMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHaZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE9GHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHLKEEEEEEEEEEEEEEEEE^aHHHHMRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMTQNMHHHHHHHHHHcZàZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE8eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCUEEEEEEEEEEEEEEEEE:BHHHHHHQYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZRWHHHHHHHHHHHHHHHHHHHNuRYZZZYRXWVHHHHHHeZũZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE=cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHEEEEEEEEEEEEEEEEEUCHHHHHHHSZZZZZZZZZZZZZZZZZZYPHHHHHHHHHHHHHHHHHHVuRZZZZZZZZZZZZZZZ[uHHHHHzZZZZZZZZZZZ ZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^aHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHa^EEEEEEEEEEEEEEEEEDLHHHHHHHHP[YZZZZZZZZZZZYdTHHHHHHHHHHHHHHHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZRTHHHHrZZZZZZZàZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEVHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc=EEEEEEEEEEEEEEEEEJIHHHHHHHHHHPQSXRZ[XSQPHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHWYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ[WHHHLZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEUCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHe8EEEEEEEEEEEEEEEEEFGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZTHHHBZZZZZZZZZZZZŠZZZàZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEwLHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHGFEEEEEEEEEEEEEEEEE8cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHPS[ZZZSHHHHHHHHHRZZZZZZZZZZZ~}}}tyZZZZZZZZZZZQHHMZZZǠZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE]rHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHI`EEEEEEEEEEEEEEEEE;aHHHHHHHHHHHHTPQS[RZZZZZZZZZTHHHHHHuRZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZuWHOZZ ZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`IHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHL]EEEEEEEEEEEEEEEEEAR[SuQQuSX[RZZZZZZZZZZZZZZZZSHHHHHHZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZNHHeZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCbEEEEEEEEEEEEEEEEUZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZuHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZZPHHGZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE8eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHB\EEEEEEEEEEEEEEEEKZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZTHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZZNHHrZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMAEEEEEEEEEEEEEEEEEJZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZuHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZZZZHHHLZZZZZZZZZZƏZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^aHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHO;EEEEEEEEEEEEEEEEEFZZZZZZZZZZZZZZZZZZZRPHHHHZZZZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZZZZSHHHCZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc>EEEEEEEEEEEEEEEEE8ZZZZZZZZZZZZZlqZZZTHHHHSZZZZZZZZZZZZZZlt{qZZZZZZZZZlZZZZZZMHHMZZZZZZZZZZZZZZàZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEUCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHexEEEEEEEEEEEEEEEEE=ZZZZZt|mqppZZZuHHHHMZZZZZZpp{ZZZZZZZZZZZZyZZZZZZZnppZZZZZXHHHOZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEwCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHz`EEEEEEEEEEEEEEEEE^ZZZZyqpppppppZZRQHHHHdZZZZZspppppZZZZZZZZZZZZZZZZZZppppqZZZZZZNHHHcZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE]LHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHrJEEEEEEEEEEEEEEEE\ZZZZZZpppppZZZQHHHHHYZZZZZqppppppZZZZZZZZZZZZppppppp}ZZZZZuHHHHGZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`IHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHLKEEEEEEEEEEEEEEEEwZZZZZZpppqZZZZHHHHHOZZZZZnppppppppZZZlppplZZZZpppppppZZZZZRHHHHHZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCUEEEEEEEEEEEEEEEE]ZZZZZZqppZZZXHHHHHSZZZZZlppppppZZZ|ppppppppnZZZpppppsZZZZZZMHHHHZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE8eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHAEEEEEEEEEEEEEEEEE`ZZZZZZqplZZZPHHHHHYZZZZZZZpppmZZZ|ppppppppppkZZkppppZZZZZZZZuHHHHRZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHa^EEEEEEEEEEEEEEEEE_ZZZZZZpnZZYHHHHHVZZZZZZZZZZsqpkZZnppppppppppppZZZ|p{ZZZZZZZZZSHHHHdZZZZZZZàZZZƏZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE;aHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc@EEEEEEEEEEEEEEEEE@ZZZZZZZZZSHHHHHNZZZZZZZZZZZZtZZZppppyZZppppZZsZZZZZZZZZZZ[HHHHQZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHe8EEEEEEEEEEEEEEEEE^ZZZZZZZZQHHHHHOZZZZZZZZZZZZZZZppppZZZZZ|ppp|ZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHPZZZZZZZZZZZZZZZŠZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\BHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHGFEEEEEEEEEEEEEEEEEZZZZZZZYHHHHHHPZZZZZZZZZZZZZZZ~pppmZZZZZZypppZZZZZZZZZZZZZZZYHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHI`EEEEEEEEEEEEEEEEbZZZZZZXHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZppp{ZZZZZZpppZZZZZZZZZZZZZZZZHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE]LHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHL]EEEEEEEEEEEEEEEE]ZZZZZQHHHHHHWZZZZZZZZZZZZZZZ~pppZZZZZZpppZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJrHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCbEEEEEEEEEEEEEEEE`ZZZZWHHHHHHNZZZZZZZZZZZZZZZppppZZZZ{ppp|ZZZZZZZZZZZZZZZRHHHHWZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFzHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHB\EEEEEEEEEEEEEEEE9ZZYHHHHHHHMZZZZZZZZZZZlZZZppppZZ|ppppZZsZZZZZZZZZZZXHHHHPZZZZZZZZZàZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_eHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHMAEEEEEEEEEEEEEEEEE>Z[HHHHHHHHZZZZZZZZZZtppkZZ~pppppqqqppppmZZZ|pZZZZZZZZZSHHHHQZZpZZZZZZZZ ZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@cHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHO;EEEEEEEEEEEEEEEEE;SHHHHHHHHYZZZZZZZpppZZZppppppppppmZZnpppplZZZZZZZuHHHHSZZ}ppZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE;OHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHc>EEEEEEEEEEEEEEEEEAPHHHHHHHHuZZZZZymppppppZZZ}ppppppppkZZZpppppptZZZZZZVHHHH[ZZlpppZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHexEEEEEEEEEEEEEEEEUBHHHHHHHHNZZZZZnpppppppp}ZZZtvpq{tZZZZpppppppZZZZZ[HHHHHZZZppppkZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\BHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHz`EEEEEEEEEEEEEEEEKLHHHHHHHHRZZZZZppppppZZZZZZZZZZZZZZ}pppppppZZZZZQHHHHWZZppppqtZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbCHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHrJEEEEEEEEEEEEEEEEJIHHHHHHHdZZZZZppppqsZZZZZZZZZZZZZZZZZZ{ppppZZZZZZNHHHHuZZtppl~ZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDLHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHLKEEEEEEEEEEEEEEEEFGHHHHHHHZZZZZZppZZZZZZZZZZZZyZZZZZZZppZZZZZSHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJrHHHHHHHHHHHHHHHHHHHazzzrLIGGeHHHHHHHHHCUEEEEEEEEEEEEEEEE8cHHHHHHuZZZZZZ{yZZZZZZZZZlv{}pZZZZZZZZZstZZZZZZVHHHHWZZytZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFzHHHHHHHHHHHHHHazLBGHHHHHHHHHAEEEEEEEEEEEEEEEEE=aHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZZZZuHHHHHSZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE_eHHHHHHHHHHHrCzHHHHHHHa^EEEEEEEEEEEEEEEEEAMHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZZZYHHHHHHZZZZZZZZZZZZZZY[[RZZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE>cHHHHHHHHHzohhihjeHHHHHHc@EEEEEEEEEEEEEEEEUCHHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZZZMHHHHHQZZZZZZZZZZY[QTWHHPTQZZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE;OHHHHHHHrjffqppppppppijrHHHHHHe8EEEEEEEEEEEEEEEEwLHHHHHH[ZZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZZOHHHHHHdZZZYR[SQPTWHHHHHHHHHHZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAaHHHHHChfppppppppppppppijBcHHHHHGFEEEEEEEEEEEEEEEEJIHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZZNHHHHHHSZZRQWHHHHHHHHHHHHHHHHHHLZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\BHHHMCippppppppppppppppphLHHHHHIJEEEEEEEEEEEEEEEEFGHHHHHP[ZZZZZZZZZZZZlpppppZZZZZZZZZZZZPOHHHHHdRSWHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHCZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbCHHCippppppppppppppppppppfIHHHHHL]EEEEEEEEEEEEEEEE8eHHHHHHXZZZZZZZZZZZsss~yZZZZZZZZZZZTHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHVZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDLLjpppppppppppppppppppppporHHHHHCbEEEEEEEEEEEEEEEE=OHHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZYNHHHHHHHHHHHHHHHHPQSXRZR[SuPHHHHHHHHaZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJfppppppppppppppppppppppppghLHHHHHB\EEEEEEEEEEEEEEEE^MHHHHHHNRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZSNHHHHHHHHHHHHHVWXYZZZZZZZZZZZY[PVHHHHHcZZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`ipppppppppppppppppppppppppppiCHHHHMAEEEEEEEEEEEEEEEE\CHHHHHHHHWRZZZZZZZZZZZZZZZZZZZXMHHHHHHHHHHHHHHuZZZZZZZZZZZZZZZZZZZSHHHHHGZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDJipppppppppppppppppppppppppppppiBVHHHO;EEEEEEEEEEEEEEEEbLHHHHHHHHHW[ZZZZZZZZZZZZZZRSWHHHHHHHHHHHHHHPYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZYQHHHHIZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDhvppppppppppppppppppppppppppppppfaHHHc>EEEEEEEEEEEEEEEE]rHHHHHHHHHHHWX[RYZZZYRXuNHHHHHHHHHHHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZYMHHHLZZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEwipppppppppppppppppppppppppppppppppfOHHHe9EEEEEEEEEEEEEEEE`zHHHHHHHHHHHHHHHMNHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHNYZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZOHHHCZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE:jgppppppppppppppppppppppppppppppppppgzHHHz`EEEEEEEEEEEEEEEE_uWWHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHPuHHHHHHHNVZZZZZZZZZZZZnvpppv}ZZZZZZZZZZZZVNHHZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEAhppppppppppppppppppppppppppppppppppppqcHHHrJEEEEEEEEEEEEEEEE@ZZ[uPTHHHHHHHHHHHHHudYZZZZZTHHHHHPZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZuHHaZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbgpppppppppppppppppppppppppppppppppppppvjcHHHLKEEEEEEEEEEEEEEEE^ZZZZZR[SQPPPPQS[YZZZZZZZZZXHHHHNZZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZZTHHcZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJjpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjcHHHCUEEEEEEEEEEEEEEEEZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ[HHHVZZZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZZZNHHeZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE8hpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjcHHVAEEEEEEEEEEEEEEEEbZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZdHHNYZZZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZZZYTHHzZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE>ippppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjcHHa^EEEEEEEEEEEEEEEE]ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZTHHuZZZZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZZZZXHHHrZZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@ipppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjeHHc@EEEEEEEEEEEEEEEE`ZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZdHHVZZZZZZZZZZZZZZZsppvptZZZZZZZZZZnZZZZZNHHHCZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@ippppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjeHHe8EEEEEEEEEEEEEEEE9ZZZZZZZZZZZZZZy|ZZZZTHHdZZZZZnpqZZZZZZZZknZn~ZZZZZZZZnpZZZZZ[HHHHBZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^hpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjOaHGFEEEEEEEEEEEEEEEE>ZZZZZZZZZZkmpp~ZZZuHHWyZZZZZpppZZZZZZZZZZZZZZZZZZZpppZZZZZZQHHHaZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE<ippppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjcHHIJEEEEEEEEEEEEEEEE;ZZZZZZtlpppp{ZZZYHHHuZZZZZpppppp{ZZZZZZZZZZZZZZZZlpppppptZZZZZXHHHHcZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE>ipppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppoeHHLDEEEEEEEEEEEEEEEEAZZZZZZsqppppZZZZSHHHRZZZZZpppppppplZZZZ~tl{t~ZZZZppppppppZZZZYHHHHHeZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEExhppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppocHHCbEEEEEEEEEEEEEEEUZZZZZZyppppZZZRHHHNZZZZZppppppZZZZlpppppppmZZZppppppqZZZZZOHHHHHz ZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFjpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjcHHB\EEEEEEEEEEEEEEEKZZZZZZkpppZZZWHHHQZZZZZZZtpppppnZZkmpppppppppZZkpppppZZZZZZZSHHHHHHBZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJjppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjBHMAEEEEEEEEEEEEEEEEJZZZZZZpZZZRHHHH[ZZZZZZZZlpp}ZZZmpppppppppppZZZspp{yZZZZZZZZRHHHHHHr ZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjcHO;EEEEEEEEEEEEEEEEFZZZZZZ|tZZZQHHHHRZZZZZZZZZZnZZppppl~k|pppp|ZZkZZZZZZZZZZYHHHHHHI ZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEbqihqppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjcHc>EEEEEEEEEEEEEEEE8ZZZZZZZZZZTHHHHYZZZZZZZZZZZZyZZ{pppmZZZZqpppZZZZZZZZZZZZZZZZHHHHHHI ZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEU^jjifpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjcHe9EEEEEEEEEEEEEEEE=ZZZZZZZZRHHHHHZZZZZZZZZZZZZZZZqpppZZZZZppppZZZZZZZZZZZZZZZZMHHHHHI DEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@ipppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjacz`EEEEEEEEEEEEEEEEAZZZZZZZuHHHHOZZZZZZZZZZZZZZZpppZZZZZZZpppZZZZZZZZZZZZZZZPHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE`:AjippppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjrHrJEEEEEEEEEEEEEEE\ZZZZZZZWHHHHTZZZZZZZZZZZZZZZpppqZZZZZZZpppZZZZZZZZZZZZZZZPHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEw8EwF@jffppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppjCHLwEEEEEEEEEEEEEEEwZZZZZYHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZZZpppZZZZZkpppZZZZZZZZZZZZZZZZMHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE?xEEEEb`hppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppgjzCUEEEEEEEEEEEEEEEJZZZZXHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZ|pppqyZZZqpppmZZyZZZZZZZZZZZYHHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE:8EEEEEEE9hpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppiBAEEEEEEEEEEEEEEEEFZZZQHHHHHHRZZZZZZZZZZtp}ZZppppllpppp|ZZspZZZZZZZZZZRHHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE=AEEEEEEEEU:jpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppgj^EEEEEEEEEEEEEEEE_ZZWHHHHHH[ZZZZZZZZ~ppZZZppppppppppplZZZmppqsZZZZZZZZRHHHHHHIZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEb8EEEEEEEEEFjppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppi=EEEEEEEEEEEEEEEE@YHHHHHHHPZZZZZZmppppptZZZlpppppppppmZZZpppppZZZZZZuHHHHHHIZZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@EEEEEEEEEE`jgpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppo:wEEEEEEEEEEEEEEE^RHHHHHHHVZZZZZppppppppkZZZsqpppppq}ZZZppppppppkZZZZZNHHHHHHIZDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEK=EEEEEEEEEEJjpppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppgh=_`EEEEEEEEEEEE\BHHHHHHHH[ZZZZZpppppppp|yZZZZksnkZZZZZtppppppppZZZZZRHHHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDxEEEEEEEEEEJhppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppi8]EEEEEEEEEEEbLHHHHHHHWZZZZZ~pppppqZZZZZZZZZZZZZZZZZnpppppsZZZZZQHHHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE@`EEEEEEEEEEJippppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppppijA9wEEEEEEEEE]rHHHHHHHyZZZZZlpppZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZtpppZZZZZyMHHHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE:`EEEEEEEEEE_fpppppppppppppppppppppppppppppgffhiiiiqpppppppppppgoAFwEEEEEEE`zHHHHHHQZZZZZnp{yZZZZZZZZn|}y~|}ZZZZZZZZ{pZZZZZSHHHHHHHHIDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEDAEwEEEEEEEEE=ippppppppppppppppppppppppppgijifvppppppppppfh^9KEEEEExeHHHHHHRZZZZZyZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZyZZZZZYHHHHHHHHHIzDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE ^EEEEEEEEEE:hppppppppppppppppppppppppfhjigpppppppppqij<^8_9E@cHHHHHNZZZZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZZZZTHHHHHHHHHIHrDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEU?^bEEEEEEEE>gppppppppppppppppppppghj^?;@:?jhfgppppppppgij?`E^aHHHHHdZZZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZZZ[HHHHHHHHHHIHHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEU?wEEEEEEEE@ippppppppppppppppppfh;`\EEEEEEwF@higppppppppgij:EE:BHHHHHHRZZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZZRHHHHHHHHHHHIHHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE^^`EEEEEE@ipppppppppppppppihj8DEEEEEEEEEEEEEJ9;jjifvppppppfiij:EEUCHHHHHHYZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZZVHHHHHHHHHHHIHHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJ9JbU8<opppppppppppqfhj^`\EEEEEEEEEEEEEEEEEEb`@ohiffifihoAEEEDrHHHHHPZZZZZZZZZZZZZsppppptZZZZZZZZZZZZZuHHHHHHHHHHHHIHHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE?fggggfffhihj8DEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEb]9;?EEEE`IHHHHHHRZZZZZZZZZZZklmmmlnZZZZZZZZZZZYHHHHHHHHHHHHHHIHHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEU;?`\EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEUJ_;=EEEEEEFeHHHHHHXZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ[HHHHHHHHHHHHHHHIOHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE= @`bEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\F88;^A?:;=F`bEEEEEEE>cHHHHHHdZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZdHHHHHHHHHHHHHHHHISHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\]@@@;^AAA^A^_`KUEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE;aHHHHHHMXZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ[NHHHHHHHHHHHHHHHHHIRHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE\U\EEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE:VHHHHHHHN[ZZZZZZZZZZZZZZZZZ[NHHHHHHHHHHHHHHHHHHHIYHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEUCHHHHHHHHHVWXYZZZZZZZZZY[PVHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHIZHDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEKLHHHHHHHHHHHMNOPQRSPTNMHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHIZMDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEJIHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHIZPDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEFGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHIZP8999999999999999999999998: ;9999999999999998<=999999999999999>?=999999999999999>??@999999999999999@?@98>>>>>>>>>>>>>;?;>>>>>>>>>>89999=?>999999999999999=<>999999999999999; :899999999999999ABCCCCCCCCCCCCCCCBCCCCCCCCCCCCCCCCBBCCCCCCZMYHRH 43333333333333333333333323333333333333332 3333333333333334 33333333333333373333333333333333243333 4333333333333333 23333333333333332333333333333333744RH %*7$156 %5)27,'% uH %*7$156 %5)27,'% NH %*7$156 %5)27,'% HH %*7$156 %5)27,'% HH %*7$156 %5)27,'% HH 300000000000000%5.00000 000000%5 00000 000000 3 00000 700000$%300000600000$%300000550 3000043000003%$00000 000003%000000 000003 000000 000003%00000100000 %00000000003 HHHHHH777777774 44  4HH  4%,&/7 4% HH  4%,&/7 4% HH  4%,&/7 4% HH  4%,&/7 4% HH  4%,&/7 4% HH  4%,&/7 4% HH  +******* *****).******%*****).******1*****% **********0% ***** *****$ $* **** ***** ***** *********** %*****1******.) *****%******.1 ***** ***** *****  HH HHHH6 777777 77777777777 77777777777 7777777777 77777 77777 77777 7 7777 77777 77777777777 77777777777 77777777777 7777777777 7777777777 HH!*7$156 %5)27,'% HH!*7$156 %5)27,'% HH!*7$156 %5)27,'% BC!*7$156 %5)27,'% !*7$156 %5)27,'% (####!!!!!!(!,+/!!!!!4!!!!!!+!!!!! 2,, 5!!!!!!,(!!!!! 3!!!!!5!!!!!(,!!!!!!1!!!!!,!(!!!!!!*!!!!!+(!!!!,/+,!!!!!! 4#!7$"'+'16(+!!+!*+!0 /'!',*" "! $4&*%,"/7 % $4&*%,"/7 % $4&*%,"/7 % $4&*%,"/7 % $4&*%,"/7 %  4!"#######7######'###########6"#####"#####"("# ####"+#####"#####'###########'!###########',######  +*/14*,5*+,3 2,4)+,/+ /+ )++  !&$16 5)24" '% !&$16  5)24" '% !&$16 5)27" '% !4$126 %5)25%*'% !)$1.6 #5)222'%  4444444444444444444 44444 444447  744444444447  744444 444447  7444444444444 44444444444 444444447744444  0 %$  $ )      . $ . $     $  $$ $ % 1-%0  % $$ %  4!!,&/7 4% 4!!,&/7 4% 4!!,&/7 4% 2 . 1111 6  1111%-3  1111%  - 1111 .  11% - %  . .32. .6  %111  . 11116  . 11111  3 1111 6 6 1111   5 !7+0 '''' '''''3+'''.''''!''''''',''' ''''.'''+3'''','''$ ''' '''''''''''''2%''''''''''''/''''''''''''1'''' ''','''*.'''' '''' ''''(''''' '''' 0'''''''!'''' '''!!(&' *%&'$%* &'$ 5$$'&   '&(1,+.#    5$ "#.+$ $.- $   %$ .%* 5$% '&"#-  /!!1    // 1/( 5$// ##""!!  *)*%#,$ 1  / . $%.+ 5$. "#, 1(#+. $  , -, 5$, ! .+# $+.$&*//* /// ///6//('/// *$///! 5$'(//-//0  // //*&6/// ,6///. 3.$,! ! 5$!1-   6,$0+) ,*"/*'* 444444444434444444444 54444444444"646, % .*, 232#+-2.2,+-2 22+  .* # 2# 2 !0 (*  -. %.  &"# %*$#$ (*)7-,"0 ( 1*.!.   %-,./ ( (!,-.+)* + " ( #"&$%##&'  !"#  ''   Ld]^)??" FEMF+@       !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~                           ! " # $ % & ' ( ) * + , - . / 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 : ; < = > ? @ A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z { | } ~                            ! " # $ % & ' ( ) * + , - . / 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 : ; < = > ? @ A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z { | } ~                            ! " # $ % & ' ( ) * + , - . / 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 : ; < = > ? @ A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z { | } ~                            ! " # $ % & ' ( ) * + , - . / 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 : ; < = > ? @ A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z { | } ~                            ! " # $ % & ' ( ) * + , - . / 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 : ; < = > ? @ A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z { | } ~        !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~      !"#$%&'()*+,-./0123456789:;<=>?@ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ[\]^_`abcdefghijklmnopqrstuvwxyz{|}~                           ! " # $ % & ' ( ) * + , - . / 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 : ; < = > ? @ A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z [ \ ] ^ _ ` a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z { | } ~  !!!!!!!!! ! ! ! ! !!!!!!!!!!!!!!!!!!! !!!"!#!$!%!&!'!(!)!*!+!,!-!.!/!0!1!2!3!4!5!6!7!8!9!:!;!!?!@!A!B!C!D!E!F!G!H!I!J!K!L!M!N!O!P!Q!R!S!T!U!V!W!X!Y!Z![!\!]!^!_!`!a!b!c!d!e!f!g!h!i!j!k!l!m!n!o!p!q!r!s!t!u!v!w!x!y!z!{!|!}!~!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!""""""""" " " " " """"""""""""""""""" "!"""#"$"%"&"'"(")"*"+","-"."/"0"1"2"3"4"5"6"7"8"9":";"<"=">"?"@"A"B"C"D"E"F"G"H"I"J"K"L"M"N"O"P"Q"R"S"T"U"V"W"X"Y"Z"["\"]"^"_"`"a"b"c"d"e"f"g"h"i"j"k"l"m"n"o"p"q"r"s"t"u"v"w"x"y"z"{"|"}"~""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""######### # # # # ################### #!#"###$#%#&#'#(#)#*#+#,#-#.#/#0#1#2#3#4#5#6#7#8#9#:#;#<#=#>#?#@#A#B#C#D#E#F#G#H#I#J#K#L#M#N#O#P#Q#R#S#T#U#V#W#X#Y#Z#[#\#]#^#_#`#a#b#c#d#e#f#g#h#i#j#k#l#m#n#o#p#q#r#s#t#u#v#w#x#y#z#{#|#}#~##################################################################################################################################$$$$$$$$$ $ $ $ $ $$$$$$$$$$$$$$$$$$$ $!$"$#$$$%$&$'$($)$*$+$,$-$.$/$0$1$2$3$4$5$6$7$8$9$:$;$<$=$>$?$@$A$B$C$D$E$F$G$H$I$J$K$L$M$N$O$P$Q$R$S$T$U$V$W$X$Y$Z$[$\$]$^$_$`$a$b$c$d$e$f$g$h$i$j$k$l$m$n$o$p$q$r$s$t$u$v$w$x$y$z${$|$}$~$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$%%%%%%%%% % % % % %%%%%%%%%%%%%%%%%%% %!%"%#%$%%%&%'%(%)%*%+%,%-%.%/%0%1%2%3%4%5%6%7%8%9%:%;%<%=%>%?%@%A%B%C%D%E%F%G%H%I%J%K%L%M%N%O%P%Q%R%S%T%U%V%W%X%Y%Z%[%\%]%^%_%`%a%b%c%d%e%f%g%h%i%j%k%l%m%n%o%p%q%r%s%t%u%v%w%x%y%z%{%|%}%~%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%&&&&&&&&& & & & & &&&&&&&&&&&&&&&&&&& &!&"&#&$&%&&&'&(&)&*&+&,&-&.&/&0&1&2&3&4&5&6&7&8&9&:&;&<&=&>&?&@&A&B&C&D&E&F&G&H&I&J&K&L&M&N&O&P&Q&R&S&T&U&V&W&X&Y&Z&[&\&]&^&_&`&a&b&c&d&e&f&g&h&i&j&k&l&m&n&o&p&q&r&s&t&u&v&w&x&y&z&{&|&}&~&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&''''''''' ' ' ' ' ''''''''''''''''''' '!'"'#'$'%'&'''(')'*'+','-'.'/'0'1'2'3'4'5'6'7'8'9':';'<'='>'?'@'A'B'C'D'E'F'G'H'I'J'K'L'M'N'O'P'Q'R'S'T'U'V'W'X'Y'Z'['\']'^'_'`'a'b'c'd'e'f'g'h'i'j'k'l'm'n'o'p'q'r's't'u'v'w'x'y'z'{'|'}'~''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''((((((((( ( ( ( ( ((((((((((((((((((( (!("(#($(%(&('((()(*(+(,(-(.(/(0(1(2(3(4(5(6(7(8(9(:(;(<(=(>(?(@(A(B(C(D(E(F(G(H(I(J(K(L(M(N(O(P(Q(R(S(T(U(V(W(X(Y(Z([(\(](^(_(`(a(b(c(d(e(f(g(h(i(j(k(l(m(n(o(p(q(r(s(t(u(v(w(x(y(z({(|(}(~(((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((())))))))) ) ) ) ) ))))))))))))))))))) )!)")#)$)%)&)')()))*)+),)-).)/)0)1)2)3)4)5)6)7)8)9):);)<)=)>)?)@)A)B)C)D)E)F)G)H)I)J)K)L)M)N)O)P)Q)R)S)T)U)V)W)X)Y)Z)[)\)])^)_)`)a)b)c)d)e)f)g)h)i)j)k)l)m)n)o)p)q)r)s)t)u)v)w)x)y)z){)|)})~))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))))********* * * * * ******************* *!*"*#*$*%*&*'*(*)***+*,*-*.*/*0*1*2*3*4*5*6*7*8*9*:*;*<*=*>*?*@*A*B*C*D*E*F*G*H*I*J*K*L*M*N*O*P*Q*R*S*T*U*V*W*X*Y*Z*[*\*]*^*_*`*a*b*c*d*e*f*g*h*i*j*k*l*m*n*o*p*q*r*s*t*u*v*w*x*y*z*{*|*}*~**********************************************************************************************************************************+++++++++ + + + + +++++++++++++++++++ +!+"+#+$+%+&+'+(+)+*+++,+-+.+/+0+1+2+3+4+5+6+7+8+9+:+;+<+=+>+?+@+A+B+C+D+E+F+G+H+I+J+K+L+M+N+O+P+Q+R+S+T+U+V+W+X+Y+Z+[+\+]+^+_+`+a+b+c+d+e+f+g+h+i+j+k+l+m+n+o+p+q+r+s+t+u+v+w+x+y+z+{+|+}+~++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++,,,,,,,,, , , , , ,,,,,,,,,,,,,,,,,,, ,!,",#,$,%,&,',(,),*,+,,,-,.,/,0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,:,;,<,=,>,?,@,A,B,C,D,E,F,G,H,I,J,K,L,M,N,O,P,Q,R,S,T,U,V,W,X,Y,Z,[,\,],^,_,`,a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k,l,m,n,o,p,q,r,s,t,u,v,w,x,y,z,{,|,},~,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,--------- - - - - ------------------- -!-"-#-$-%-&-'-(-)-*-+-,---.-/-0-1-2-3-4-5-6-7-8-9-:-;-<-=->-?-@-A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K-L-M-N-O-P-Q-R-S-T-U-V-W-X-Y-Z-[-\-]-^-_-`-a-b-c-d-e-f-g-h-i-j-k-l-m-n-o-p-q-r-s-t-u-v-w-x-y-z-{-|-}-~----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------......... . . . . ................... .!.".#.$.%.&.'.(.).*.+.,.-.../.0.1.2.3.4.5.6.7.8.9.:.;.<.=.>.?.@.A.B.C.D.E.F.G.H.I.J.K.L.M.N.O.P.Q.R.S.T.U.V.W.X.Y.Z.[.\.].^._.`.a.b.c.d.e.f.g.h.i.j.k.l.m.n.o.p.q.r.s.t.u.v.w.x.y.z.{.|.}.~..................................................................................................................................///////// / / / / /////////////////// /!/"/#/$/%/&/'/(/)/*/+/,/-/.///0/1/2/3/4/5/6/7/8/9/:/;//?/@/A/B/C/D/E/F/G/H/I/J/K/L/M/N/O/P/Q/R/S/T/U/V/W/X/Y/Z/[/\/]/^/_/`/a/b/c/d/e/f/g/h/i/j/k/l/m/n/o/p/q/r/s/t/u/v/w/x/y/z/{/|/}/~//////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////000000000 0 0 0 0 0000000000000000000 0!0"0#0$0%0&0'0(0)0*0+0,0-0.0/000102030405060708090:0;0<0=0>0?0@0A0B0C0D0E0F0G0H0I0J0K0L0M0N0O0P0Q0R0S0T0U0V0W0X0Y0Z0[0\0]0^0_0`0a0b0c0d0e0f0g0h0i0j0k0l0m0n0o0p0q0r0s0t0u0v0w0x0y0z0{0|0}0~0000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000111111111 1 1 1 1 1111111111111111111 1!1"1#1$1%1&1'1(1)1*1+1,1-1.1/101112131415161718191:1;1<1=1>1?1@1A1B1C1D1E1F1G1H1I1J1K1L1M1N1O1P1Q1R1S1T1U1V1W1X1Y1Z1[1\1]1^1_1`1a1b1c1d1e1f1g1h1i1j1k1l1m1n1o1p1q1r1s1t1u1v1w1x1y1z1{1|1}1~1111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111111222222222 2 2 2 2 2222222222222222222 2!2"2#2$2%2&2'2(2)2*2+2,2-2.2/202122232425262728292:2;2<2=2>2?2@2A2B2C2D2E2F2G2H2I2J2K2L2M2N2O2P2Q2R2S2T2U2V2W2X2Y2Z2[2\2]2^2_2`2a2b2c2d2e2f2g2h2i2j2k2l2m2n2o2p2q2r2s2t2u2v2w2x2y2z2{2|2}2~2222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222222333333333 3 3 3 3 3333333333333333333 3!3"3#3$3%3&3'3(3)3*3+3,3-3.3/303132333435363738393:3;3<3=3>3?3@3A3B3C3D3E3F3G3H3I3J3K3L3M3N3O3P3Q3R3S3T3U3V3W3X3Y3Z3[3\3]3^3_3`3a3b3c3d3e3f3g3h3i3j3k3l3m3n3o3p3q3r3s3t3u3v3w3x3y3z3{3|3}3~3333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333333444444444 4 4 4 4 4444444444444444444 4!4"4#4$4%4&4'4(4)4*4+4,4-4.4/404142434445464748494:4;4<4=4>4?4@4A4B4C4D4E4F4G4H4I4J4K4L4M4N4O4P4Q4R4S4T4U4V4W4X4Y4Z4[4\4]4^4_4`4a4b4c4d4e4f4g4h4i4j4k4l4m4n4o4p4q4r4s4t4u4v4w4x4y4z4{4|4}4~4444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444444555555555 5 5 5 5 5555555555555555555 5!5"5#5$5%5&5'5(5)5*5+5,5-5.5/505152535455565758595:5;5<5=5>5?5@5A5B5C5D5E5F5G5H5I5J5K5L5M5N5O5P5Q5R5S5T5U5V5W5X5Y5Z5[5\5]5^5_5`5a5b5c5d5e5f5g5h5i5j5k5l5m5n5o5p5q5r5s5t5u5v5w5x5y5z5{5|5}5~5555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555555666666666 6 6 6 6 6666666666666666666 6!6"6#6$6%6&6'6(6)6*6+6,6-6.6/606162636465666768696:6;6<6=6>6?6@6A6B6C6D6E6F6G6H6I6J6K6L6M6N6O6P6Q6R6S6T6U6V6W6X6Y6Z6[6\6]6^6_6`6a6b6c6d6e6f6g6h6i6j6k6l6m6n6o6p6q6r6s6t6u6v6w6x6y6z6{6|6}6~66666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666666667=== =???????BBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBB)[*[+[77777777 7 7 7 7 7777777777777777777 7!7"7#7$7%7&7'7(7)7*7+7,7-7.7/707172737475767778797:7;7<7=7>7?7@7A7B7C7D7E7F7G7H7I7J7K7L7M7N7O7P7Q7R7S7T7U7V7W7X7Y7Z7[7\7]7^7_7`7a7b7c7d7e7f7g7h7i7j7k7l7m7n7o7p7q7r7s7t7u7v7w7x7y7z7{7|7}7~7777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777777888888888 8 8 8 8 8888888888888888888 8!8"8#8$8%8&8'8(8)8*8+8,8-8.8/808182838485868788898:8;8<8=8>8?8@8A8B8C8D8E8F8G8H8I8J8K8L8M8N8O8P8Q8R8S8T8U8V8W8X8Y8Z8[8\8]8^8_8`8a8b8c8d8e8f8g8h8i8j8k8l8m8n8o8p8q8r8s8t8u8v8w8x8y8z8{8|8}8~8888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888888999999999 9 9 9 9 9999999999999999999 9!9"9#9$9%9&9'9(9)9*9+9,9-9.9/909192939495969798999:9;9<9=9>9?9@9A9B9C9D9E9F9G9H9I9J9K9L9M9N9O9P9Q9R9S9T9U9V9W9X9Y9Z9[9\9]9^9_9`9a9b9c9d9e9f9g9h9i9j9k9l9m9n9o9p9q9r9s9t9u9v9w9x9y9z9{9|9}9~9999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999999::::::::: : : : : ::::::::::::::::::: :!:":#:$:%:&:':(:):*:+:,:-:.:/:0:1:2:3:4:5:6:7:8:9:::;:<:=:>:?:@:A:B:C:D:E:F:G:H:I:J:K:L:M:N:O:P:Q:R:S:T:U:V:W:X:Y:Z:[:\:]:^:_:`:a:b:c:d:e:f:g:h:i:j:k:l:m:n:o:p:q:r:s:t:u:v:w:x:y:z:{:|:}:~::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::;;;;;;;;; ; ; ; ; ;;;;;;;;;;;;;;;;;;; ;!;";#;$;%;&;';(;);*;+;,;-;.;/;0;1;2;3;4;5;6;7;8;9;:;;;<;=;>;?;@;A;B;C;D;E;F;G;H;I;J;K;L;M;N;O;P;Q;R;S;T;U;V;W;X;Y;Z;[;\;];^;_;`;a;b;c;d;e;f;g;h;i;j;k;l;m;n;o;p;q;r;s;t;u;v;w;x;y;z;{;|;};~;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;<<<<<<<<< < < < < <<<<<<<<<<<<<<<<<<< <!<"<#<$<%<&<'<(<)<*<+<,<-<.</<0<1<2<3<4<5<6<7<8<9<:<;<<<=<><?<@<A<B<C<D<E<F<G<H<I<J<K<L<M<N<O<P<Q<R<S<T<U<V<W<X<Y<Z<[<\<]<^<_<`<a<b<c<d<e<f<g<h<i<j<k<l<m<n<o<p<q<r<s<t<u<v<w<x<y<z<{<|<}<~<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<=====([ = = =================== =!="=#=$=%=&='=(=)=*=+=,=-=.=/=0=1=2=3=4=5=6=7=8=9=:=;=<===>=?=@=A=B=C=D=E=F=G=H=I=J=K=L=M=N=O=P=Q=R=S=T=U=V=W=X=Y=Z=[=\=]=^=_=`=a=b=c=d=e=f=g=h=i=j=k=l=m=n=o=p=q=r=s=t=u=v=w=x=y=z={=|=}=~===tt3Zll28b EMFZlQr F, EMF+@``FPDEMF+"@ @ $@ 0@?!@ F EMF+@HaJFIF ExifII*>TitEASTMAN KODAK COMPANYKODAK Z740 ZOOM DIGITAL CAMERA$*2"S'P`a0221:N bj rz  |l 0100  sizard &cNd 0 1  2006:09:13 16:30:342006:09:13 16:30:34_  ? KDK0102IZ740   ">9'2'2s21GbO Odd++mqyyXxhNA8}kYI?=93.c_XM6232/.+'̽Ĩiyvi_]lgQRUWVQ}hTOMJKLLNOGKCKDT52005608 MGbOVr=GbO `cff wqpE `c5CB    @ 5j mQ  m-:  5  nuux|{WZblbB_imy|utkQ:0*qwrfTD5.-+&!LHB8(&&%##            RŻɾɿȾż¸÷ĸĸĸĹĹĸø¸~zzz{{ztygshufrgqgskwpwe}pL]LTo[b~mgsrz|ip^qaScPIU@DQ=~puTiZUdQDP;EO9FP9EP:AL79E3Tl^I[J=K9=I4>I4d7->A<]>A&B-59/()$"@!!%D^ O/+1|ex-7Z3  < D q+&nW)7M"^=VGOrƏuYoƬՖ`PdC       C  " }!1AQa"q2#BR$3br %&'()*456789:CDEFGHIJSTUVWXYZcdefghijstuvwxyz w!1AQaq"2B #3Rbr $4%&'()*56789:CDEFGHIJSTUVWXYZcdefghijstuvwxyz ?ud]藵~ʺܒ{ݩx=)ՏߪLr~}iw2"ğ-'H Oqgsp##4IP'$KJ9SȫPa${VJg ZuQR3 E*d֤)ZzEǵF%p1SF PI4z_:+<"-+;\7  (cڄQ6#Fg;TU~ev>vy2ȸGQVJm}-IQnHnơDxy+Ӵ^L*&wj`h*f 'xު*CFI5,J1G0{oݍelSlp{7cM f"{UxswQ' sǭm֥ tPW[X]>Rmғsn})ڄF㊋#?gQbYX~dMMKJA KF|5槔؍U}ONZTG|(XiZ[ $|!qzOV?x:&QSdˊgқSYH$5,R%;Y~5UJˎi2MV2}n?Ҋs?*uփZ[i*]NHsOf`~iO#ZfY3 "B?՞)sNVj>Ź K '"J[:})w(#Z]#&9ֆBr9X-U*vSқz Jr"Ƨ56>qssI(L )85*c^\b$W%J_s+T} 0ƝǗnqҗ8NSqގT)v}OSqѷ`dRǂq'ޤƗ o$b`oIE/:Ze?^b&0q4bA'=6"P %I Zu3{߽-g-ETI <7*bp[=ʣ~_D?pVd]ZV+ҚMWٲ@1SD6jhzԥ.ŏ3_/tϗGǥk=J.a?ISQކg4[R}~AeRJys&A8qJ23L=E($'i?ݨ'KpO?Zh &jɔ44$j?vc7gJvE;@(Q:s1dzQr#i隓(<~4ezuiI >xST~4]}g$j{ӲW21/֞OMf>~5_nb1 vg+ӽ" LChDyKޓ}MK˟B(؝HgY'=) F֋Y_JGJH4){ԫNOJ_ M~b{I371ڊ(LC{EOJmK>:wv6Q>%Qҷ5NRZ QZ}yӾOAaGFl"ͷڝ'jTPEi{jȧW_3J>"ŠsxQSrFaM!o$T=)ATh¢8;dm^RJFvT b8?4FRXSa~n:J2q|_3幝GЧRxyaMlA ~6 H҉Ya$^sKhyx4Kҍ[ g2$}YFW5o>Km_F)֊|*Z@*Fn`TgL( sLDf "=U*5Nܨ/fB<T%?<̈XcZR' ԁby䚥*v%YFئ޴CW,E?w[]:p%(Lt46ݑc&6!&C> +(\}q/L)鋷ޣ8_Ojs♰.{&FE"&N{j"OڪZU쩐uN59TˡnG'5 MO/֚֞m ]yMhKw1h:zkI(;-<.V+~S'ysU@`sUc If0=)OU PTұ>[fE}ZXzSq_KiSKȨ/|{UXbws&33ڟɸl2*@I忥K+U,qb\o2Z7ܞ&;pO9,Yj8S`V?*k] *ePGaLqs҈Fpsֲ}l) vE&ECA@}`1VNjiH@cұt Rޤ? r7֓C?xA%G"ľGmοl<8JFAOҢJ+&bbRsN(4mUo|xlc ǥTA֥.61?+#`Emb Ap8"Lt'+'"⑥=N!zNi"Η5=E#4J' ֏1R ;4#h`R@[s:caKMɚq%!M{U2NGh4\ha 6*O(qJ|QƜPn7./8JK_ґ<tDj{Ө* g=T Tq})jevW߳,(fyePzѼz<&4c ~TJ&n)kiw8QToc3UJt \9mqMCԣ tZv'ooh=pj@I<b:vs:6hw/ޛV*å}F38'#RXv! *^WOpqNV݁&~گs:"`x ҍ߻;l\~U(=MD7x=Z(M+r C淵>GhX)K, B'bвщ{Sw径{-<<ߥIQSZ\~f^jM91q}T >:>VTrb8ga*l:/>4~I%/:Qڣvh 'rJiK֡c'47=A5!PqP,|~o})7TBN6ւqOq?.` 0hux4 Z#?ީ[`5.?{B_ ou?, >Z_}k!|#t4H;`zWmTl#3zk3|R:evA$RzQ֜4?ދa{_v4R4/M#h3_dcӉgNusȧI(4RKHv~z_#ޏ<}SŻ өJa=Q5Q,QE ?X(1y~`tcJnwtBm@^|ϿMC:MA҉vC@&M_9NZ]w Z&?,Nԭs5o)4t}6XPŕFsR/Z8cWOH)Y`0N*&mA搌T*WqRjƕ)[A4nwڞ^}JL`cڣըf'֙B:𥢊g1}JH– MQ)R FjxM@=I)4n?shBF,&n&j<4#4u?_šz+^6[02E |d /؎{=GZV Jգ6ȟ @A'* HaҬE_J{\[H2ocZ]ш9=m=F.y525B`gA&j]n_Ҧ q)R?š@'' ނ`>I 5yH֍.Isi~*9[4gRD.pi jr0qHjԎkRf(⤍F1֌IןΟ3J4 y0%9*OG'LhQZ Sivܫ{a?Fz<28jXSމ#)nwa?T#MR}NTۘ2z3ϯst3onFwR ihNA(ceT|r*ة1QI6p9nZ_|δMouH?/Q̸#/z9Xt cJWuQt+?饈8^F1Rj9hZ*\9l+d砦40a?#jhsG`5&2y$ d$SaSҠf_̧>8|zTq 1ڕ:TQg)Sm>2uE* ZzSDnzsMtp2i[4ژ{։XSR-}戤c 6:! p=' rJg~?yCDUAf埻O_=Dx7Zb*ԟx֛ǭ 2}c4S׊#*8Inf0N`>dgaďqMs82 l0#I1GJ|2?gC?o?呪AsY liSaUssa O IC,M)ǩ˪Cr(yF'ޑwՍ?eFךg0z{Ii@>FbbYc\ړ!?JB>oªM_G쨦,lfVi~?5 Z]%|INev5 1 N?e".2v#4Ӈp~E TDӉp;ұGU=>4m5-4ޅ$ґ$4l^i)<Чf~~O]қ4 E2HQoO,i4ZAWE'#Fys/mK#Ԝ֨vc&<Я?z߯Q-K!U)E!JI'&[ȐTLqON <ΦTrFNyddjsbN +޷G*}1EGPED:TFIW^QMSԜ\q Il3Mͬ:8h;vf*IO{Vz-b8 })¹4Lt5^1-V}ATgIآ[*)ڟQ4X}SZ7G3#ڢ1Hjb )~g4Q>5;1ʖƍ?y߻M=D"F12I6ɀ>jDf܏eS/j"I&d5_d@b;tl֝{R!BMDer#y-)SiYjqIV @$yRK`OG$e?m=2IOƞ?w.\T=K"˥krGg֡ "*c.Ӫ:7 =H:Œdqҋktg{A"JOG N}ڳO/jb|45.B: 摶9=V2烌R2<o>}hcޕpt3}>MwP`biZ@HQkPLNdSi\|~/0S#XMX9FqM>w{ :hr%҅d;>?◗cYZ(cNA]7}i ~zW}ZasB~ـ{cC>)ȠKrZg'Ϸ-#h$~ԲtGޥHހ339v f%[hjlmK^ܹ57yOiNBD{gf>NTbHqtߠJ˱cR-CV?Dh>V#4[qAUP}iۑb#E4|OQ*ds84ܯ!9)w_~|?Qv~nn#ҁi1GHݪS zTECu@U\ ץRV6 MqRR~ږN#zzjaR3Xbcg (i,Hs*x4ÜytoS2-F-NêArSޢF-nIb36rI8Ѱr1R2G ԁ@7V7n?YqGJA;H'RswJOGRWMjjE~a]oQ>Qq|c%{?j:D8xj,rs1H)㏽qFѱ_;1Ib' :oU:^p}*,֧nC|7kjGZC̊?jX9ɩBe:d|sqUJzy'iJTp01QLsRDr0J{-; )'17zT"HƞzP- ԌgO MGU+v!cӊ|i BʀuuWN=-29⠓jқrrssJzU[*|u暐(O;ic}N=Ǹ)|'K, jZ1_O~KȳMW/!yN(^A49ǭ<}xv%Gv~Jp^(-Iij}uE{9>=jd**%"22iH1J|a PEÞ啓sc$QvP#E~5(X`?*9yG&ؐ/ά8 C5f;gp(qK2yrRO—]7[H"Je??RS( R}dcIv$2Iy8~/?߭C"*~kI))ę;Se1'5"K1ޛ63cuʤ2Ejrd֦CzR3=IWgJXz5 ~+[(ؙ ޓ=~2gtQ{R;QQbooΛoE;1r?TcU4 )F瘑t4xEH('q?Z$ J6Ъ6Hi)q3Mf-qH$taK"JHWsALfE<94l}7T;uΟ^Lę~ =iRLhԯx09[=M:C # f2zwԛ}O6VCsK|z<|Q 1'Uc4͆:5ҧ&$ɞrțoI#PG=j/ܔO2u*y=HSX ?ze*vS2 as*A &o֧_)rG)$CmH\ՠ ,aNsk8^##Jh<ƿ{|Ay) M9.|%7{U4g쉊nm$9<1I>Щl=̤~bsQ-M~PUĸ#U'^~i6ɤBI9⑗-I>e-ޤO֛Ăǽ- @#O2>v[~iPSG:/̜|Qzu7e{WQ EE+&;Ug^^ I)h_>w(]?JDi,}2V-|lOZY _G֔vȉ҂ Fr3J:  H1?OƝMEJ ڌi?XR#ړ_Kށ DG<ԃĞ{c[}8J)#9fBo ㊍GvqM a1h* )4:fTb(z*1OU/b35ke )98Uu=T岱҈MZ vُ*VA/\jRjƪ?f'<-̇yM-ET`zyt~Ұ|'ڠf!<}*gQ$r2*aޙb߅>rošMG.F2qN V9V.U;#5ZUI6#+u=~o=z9cLSGБힵ*9 ibod5O'/ٲtp}Jc<}|Չ)߱*V$hWNyVM# WӓnU{S%߻zGt̲%8áa)czQ_3>iw>nsڪ|@pN)5MSi~ ]xy|#*RTx*Rr)6 dRvw=u1r8ls&#xQU0R֘hbc>26 P$6P8wڗrTe-JJ_=6iv\/z$1^i?kS'CR,[d0;h8':J8=:W2?ߧTd+>uв#:TRN-w5&Бv?}E Rh*%>>MgOR̃w(c$ϜS迍AGؓpL'GJveҍ/SP!LDyR#\/e8P: (&M$O|ZT״b cԽ8 ۿ7J.eT#t7dbAJqZ| 28JDdA^A)IM=x3K9/=m+@`袕Y8%M2*?(J:Tʭ+Ȣ6ޚlH8-.ILQI;!c;qҫR})T7tu2ï=%l FixcV;TM:N-9}| Z~Tbg[[َ޿ߥMHy<=ZR /SQy)UyJ?yT'z~ݐM-콗$=EO_֕HGaSpď𧳆=hwҦ= CjHeCғ`44-TS%Ž S̀{Tw/ R40RzNqhn?xEMcUBÍĀzR>R6'/VlJyQG(1u$[M֒E5B8=E&Y$ӭ$ KQd(4U\)%C $dé=()pyiB1Jڙ=i~Zyb}:~M GDj6oc֢#85"6b5)Q?4opElE)iՑS`?T͸֍8ZG쿐M.:p9z˨QDz;S'u"ّJwS^\Gݡ8MX-j902 #nFÆIqgXG 476V2߳" 5#4!?R*ޚ ,JaE)3Z/q?KY%&ßȉzO1:8M2_/XVZRU夔S#."= #NqUk"J#  M*> #˴S*aJjGKIwyZbEzv*QGX<xgJa雊>M֏اS,ĂH ~~ av~F`z:^{8,zS]FG S:-m>^B7\/I3 4(g>S**04ɇɥ4Hiܞ'9dIQwL,hn5$#~m zU&v 9 ϷJ#qz.;/g29(^JNI\C%!%.x qM)i-v|I֐u;*-x8P ˒)ɸƭHIU^L:Ǐ(kWG<便3ZnBߝ+ [` ML}F@I_jjڜsM'rj֦wCR3ΉSVaT [jl1'ڗwU7?jLyتXu91NyR%p1VfG]΍ǰq(AsSݩc_q F*./~4ϗLW #O5A)ƆQWb v&~#+{29_ҫi*ɼѴw4aUx(Bc>ԜmRO UxhIt0e# (3KZ-Ba2B5!3PLHhzFA%$sUKPSB"UՏQVAvՂ+ _mS~Jdy?T%،`T'EqZ.3tqC֤Ǜ Jj\~N:ԭq0C k[q$lTzC敉_ʡBN3B]EJc ?&&*cV]fAF0 OUǭ4V3N\gM+h 2a3G֟_XyN܃;RLdI  L|wܮa`3K$/j/Zj?kRqwg|ԭukDy*9&d5$\kvpQ>WU|QN="EeR /O!s5j *8 Ո *FpEIF$D3)^d5-&48.:>ıHȤy]?{ԵK)qVDю MK\J7? ztf9,DEa8i b\J>1R5c^ec9?>C~Ȣ*hcv]eV 8ئ-=h_3NR[ |opṇ&$4qDx%\S H*rFpq@ ,HfW钔ߗBXDzg=yzrYlqRHd 1ۭ blL8i ^?~%PCcvZ|csU^{T}~gkL7E/HczSOF)9kKۜ?Z8Sڪ<2j~1=yo7,~%Gԉ}i17]`@$QΌ:U& ׽7rR8늋[r?A*?7DM+\؊( ⧈#VG VP Uw_#LqS1SVm K283~_Fɂ{ ?gM0T' >2}֕V(ՏO@߳+Q{%%kP/$>(w~C(,cIJA-SUؾ 1P59!9 Kq5;2Kq4h8{RQl4ojVbI@IJAF8?Υ{T8ywz6ѡiϽ-R;oKN iN iCܞ0!tE'򾔔3̤ggZys'jaPSHҲ6ߧZ-}R2/B:hؾ|a^z&}I ~"Ph멨894SKDʗ "Q)#eLgSl_0~0zʤ潈4QTwRFsJR1T)|ӊJf`_/ެl!G&+5$)/θ4HxR[ۄ砣\\(||K{^dsS9<*zPrGkqdSj0 ?"oi[uQ"GDpL*8j08DTooZ;Uu`ÏSVn:mnj6Y9=sR!9 ƬL$y +2p? vܑJT3mQI_YՊ*oREkgJ%ȏ8/էp3 j"6OJ_)(_֑_֞߼@NGEMn0 YrO4|eiPuR5f(AO[*XTDQRR-+KE>i:R"fCS+@|DվPj#gj_-T e`x#:_Va 0G,pjDTXΫdiof2gǥ1\0>oԘw2C^a/?Z&{zb'1_<{H_F%9ۡB(ϩ4XE1_䞂W4oNPC\Ϛl=tj|Q}jr#a ,9L]N4ejKq CSpUKcZ:)S4lt)䒓e?XTIעL84KC~go"IMKRx$o4)~o?=:%ö~5;.OݍKjm'q+|;Qތrz w{QކZ#584! Tӵ%Gʚ>d>Uj>T:=4tJCH{K-*IHnqF?Z@ft}$O#Mq4$hd '$jq7NwsTq?J/S7Z("%õ>C *UZ1O 3),}M'aQLWك[NI~/t[D|vPi'p'aSn8G3DW9 2}.j[j"CW{S(]K=_1,=-j)Ž3LBF)4 :JH֦DT$sh̵1|a҄/gK()1'ǥC TݸҢgtZ7fC08E4>J%*ڶ=:_C6pj P欗zt—9XOUzSP?v3LRלѹ: +hi`1?4x20Zt,O> IئP#@✭ @e1 ׽[F5i4*N $Ekp~5(2%C.)quF?ܫʇgڡR^B~cecsQڣIaH fܺTAlRt1f̟O}LW2<{xVuĽjLTh 8Z4dϭLq P+֪>+~"-G(hu;]Tgޘdi\֒\-:W5 ^o_1{r:Nx^gy "\N}sohnMr`64$HD}Cv[ӥM$w ҢP|ÏJj&bRVhBuOaH/),zd%;=Y^iFm4>?4 ⣡?ow L9ufHGV7g$)cˀOڦUO?Ϟ$ruQ+;!*.d>b>S!!}0=*Iexd}Gօl#Sq!Ÿ3ҝΊon+F.3P*d$u55Fu +2?OUlT/iD4ܹgӊ1֕N(r:4!s?aUSrn~*[gʔs|JO72KSJ"D/L~jHȇGei.Ť4;ӎf-iG 1g^^oy6"gb8rO4 Ry!)lc 1}iI@bFrivv)BwS$SvQGsp)å4t &o/M#09Õ/k$Qɧg<Ҁ_4lc#K |JaB(bb|P ?'(i J?v|b 32e)VNT♳oK'?0xb_gNuܤtV/t )*{`cޥ8&T@x߼R#U8.Nhc&9&!H;SmIWerS) 9QWy96lgAQLzfME7u:)QjfO*J#֌Z=rfrbw394*?t-L&*=i`2zRycҜW)d*|ߥKW2L0fEY%'+¡sސz!_ᤕd}H~({oh?x6:QE1Z’ORM&eRm#Mc%;@I4)AGTʛpˉ)\a)c\F[5,] 繧E'\bWF;{ҙAP}i~ݦPON)Q@#@_:5,L``'[LHP2|psLbJIhgM%{iJ)R4J0=("'h O Pd#h5-QPbCZS.;'j7fww櫕YdzzTI R8?JT7QKErC%7ZQ-)XΛhw޴fK/V R?2)0RyқL+)M LxaKBv/N{ScODx&sQM HUi'Rcl>aHc2"R #c5)`>9QgU=ΑNk}hbFHڢFP+jҊo)$H(Q@ __**Vp:SLa6hsۚW)ϸDwNwO͏ߥTi"62=byޖ/0o֣a jHՊ%Vi q oT-Eb|)_vӊr8I4O(1>M:sMJ%L::RI,4ě{>27E^?I~G|*&bƞ洩X|})/C:%c>G*b(t$KM9ϵ4M~~#ҢYBE`LL{ʚKJIKOiٓ#Wws@8e=[ӻ-QAE6*Twk! aWamKEy;I|1g$t/ kD53G<~p x pMSFGL# • iJFU JlhC4ܲUP}{V\6F&x܏jOS?Z_JǨhC ;Qs?]`[Hs)]^":)yIjj*8Dj8s@yBFNAG%JH[lSUg%V" RGS,iʒ#)[b=Qi$SuEֆ nu'`;HJS*STtE/S%/)= 0G. kESi*:"3ՈO4ȹ`; t$Ҥg>67#/ݦ?Z@$UR榍+Q5}sHln?J ]Ǟ}jܲT$zJJvN$lR}4N9=?zsӊM{-ܾJK_ҝ"g'JfYcJwP:FI؈O|A'rqHi+iSwJu, IPG'Q)wyY5>8<:T{֧)hIw qZ(pީ=*|F2>և.}Ѧ5.cՠJ~҉!Šie!UYϕZMwsQYi_.8hIP 4Ȥo0xj%ѧ7ώ{f*Xf26phgʴh/] ZoVF[I1D~_jdr8O,SC^H'I.Qy ׿Jvj#}WSv*9dsri4r=OjN+RE7qZ?uBҫlڜͅ~J$8t}޴;'-:z7CQb S3/ZpGh:oH>qgaCs -. tӘuu$V@p8"9!VTZN*ߺR ~f+ğx;yښ嶝j8NIu:_󘙇\ xA0Oң`phi\kCLDgIı})4R ?oUq޾4t↚v'}O4&q@Q;l/d?4f)3ڋ>qggWqO4QO=ij껡g)2܊} ˙1VCzTݹJv*bN01M?r:Pk (F ryޚ,`*s(楶59:(}ic6rsij.ÜdB™wRn&z,?s?5yL;RGJdIJvp9W.ǒi|C!4u;Ϡy8V.wܩ)ybTpZ!ӲuhQjm{zѹj >Sop tA)R*\ #ZH?i'Nx(@ށhٿ碟@!zUb8~hͽʣNQG77gJxПxPx[i>QZ<J?i /zm>>FwdAZ{SI&/ =X9h"iqQ̸S;_R-eꔘ)e|c`ޥl]>2Z ] C~qUg1SnQEIaE6>*}G?{ި @z H6ޜ=N)X)SdS&== hq R/3@?`Sw#J1 Q("D?E?4Y$a#A7{R06:}Z,GB DIc֍̴ϽJﻁQOS (1*STAւNJ 9GFE>,#i$ E9ޣw“T!rPˁ/?i<#- I{{>Ͽ>)~X==E"FzjgI/O>(F\5$s\tP5PG=ZIbsNiL6Ubyj9߾7+3-">)j2O7.z6Uz McN~PϭU~%%3ǵ=)ZŇ)IƏE(Qғ<}0(|S9O"q݉~~0xX.xW3MWB9CwG߻S<2҈A迭;DqJ/5 ㎵[H ˵:EDGLL-TZ^ȞL;T>GVRɸ 4!LiS63Kp?[w:~~o8ɫ3~~aQ_1mJ.(;[SۍvmRyMJ$G]3I$w?L♼.1OR6H3)RW,Z.z9E5VL4lq֒3V) L#{T&)e8\ʛjem쩕D~𧸌t|?ؾ^'y9jmFry szI/SӚ) K)ڏ$ڞ(Hͼ0jy_<ڰѶ1C0xRU_ʈ./NZFh[h*UpGܹR6IvqM1i0S)1͔-4[ A|mJsٟҚ*G+27 ̇94JZ* ӹ^~# *8_?~%;~YUJ\UR>1N c֒V(J/zCn|@)C|c+s?@i6PWc(u9jG;Mvtp8j4MU&)B3t/T5J$?oSѼl4%]hkTF JF>N^_{+Օz[W¤Yq-ǧPm+`qNɕ9smDPq*El+6 e|JDwzI<Hzj]>gҕ78H8<SK7H1q^}?گ[N9? o_ғ&7 t.PH59UYtu5/)PMu PZ>S u5@xҁS0zӺTjw 56iV^wG*i;R/dw_*8Ǜ2qʏS(Хxqޘ< kŌ1JąB=)h5$d_ғ#?"h2>{xm3V#|tz:a}R`QJa/>njZ6:yDBjbp*Dbn]M="ry5,pri"`#JH Cֵf!_4zTSYC*NZky^!?&3R76m_qzI~$Gh<{T>g)-اy~e&HSyt& IP~މ?癢KlRI6ޜQ+ZS o򥹪w@Tq:FM R,Tҫ}.eOE?jDa(׵;?֛u%~ܝ0Z~PqIROI ~O7֊^>?ZgyZ%ޑ%7;ө?$h>0\j+wsJGJ\ \wAsT֔]kPm')IEArԦ|֣IHsT\M #Rކ&D=J@Y84< "6߅*@l{PyfCIQ@hff7-Z*04O5' &ȣ"]ݎ{/4y~f|q4_Y17s#Wģ<}e?)ԣY@S8QJơ sA*a0UiRzM4RS|IQQCWoҤeXbS77Lf6?hWm/yԛ›A1GSi/40yr{cI<;ܚOc}iO?ZgvӼr)?4O=WቦҒ 3M?OP3EĂ[/ӽT_OK})s =O|◓Ѹ1R4SL|~j}"ryr *Z)V*\E)Ii[ZAi9+̩9XSȧt.%}`* B#ght)w-j">^)g8Dc-̄jV}dGO*(H##֮#o\J:R\ ;=$Tz\ּFOQy;J#M *|V~U݌55Շu2S?OZi/[7 4$X40:b>2dQ\h!,1iVw? IOs4%0hb_'ڟ.<7+<*b_qVIPKypE($h}iZA29ץst)7`K_1($KǤTƔ"SaI<-L@pZS{!?yOsiBipniв#8V (V ԕ_?JS'+jBNH(qKhޕR*n9(=)ARNViN=U E,R]g*F@_SG#ѣ6jmwҕGrjOaMXk!S)+R7ܓ|;xNLvoJ^dVUi$2`ՈoS-уW }*01j̹$z҈o1Ktyxٓ֋#2fR0" C u: 9yv:=\9ڂށ\9A_|&I8AM?bR+5U&ߩ$HND4ljh88'2FiF$~cJ$dp1KJ_#+?xԁ9އ`㰩ig*j+FE0޴?L(jYv0z7UƳnU){*vtILJ\$3~TgϭY4b|cR)&I܊AK& \$Jn6GR H@Ul1^4m-ɼ§J@uJ^95fEJFIc?ȓҏ9JH؎ u[<sHG"nj=G֦~*7$s5W0I?ZnHv.R&$]Tx6Gj?4G4ƜəKn@w( Y[idINXv,)uFwTrjdmCZk.Q# ֥$֘Ij_7.sJ)W8('㊍i.A=M!١zԩEEo? H7/5H-—.BM%')ly$Dn=>S]3N)O~p$ =h!j{_k!lsKAQKski-(~6Nt(*^4"fiD"~_ʋ5E\5. ;o}kHeS-BSRDAҖ!))2Z};yʸXhM#?LNXi">qOfNڍQsb:<i6/R?gG|)rNƄَ:<)2$xЭ0GPiS:J *'#Z^i")dG,8'qB}hN(Ȧ1cPp,gRj-RP.Rc'L􃃚n?*u2 P4Ɯ9"43czRRX*Zw3LAZcj| >Ԟa=)Ե1Jz`v'4j{=Xdtcb'-ٟ&⚜)ªؙ;Ny~L(y/ʋ23;HR_JgR6RE߇QC19&a2p:%<(YTx4e+BMJE`[ 3HɦOB87~'f+֍6i{{LGsSF VSq14*rM=";T4'`0ުO!wQ\HNk8Ԣ?m#+sac'?Jz}Lcd)cˁIB{ʢXKzlq8vZjg^pF)c_jW$~c2M;u-J?:tȩ-JVQP)?RA-$f/))*MNj&1)iNܫ܊^'#t#VXi8-FJlbE{ΗpZkҐWnCbz8{RI`qG9椎qq֖kq =1UaI+V7RYOM_ޖ\pɈԖx5`^Ϙ(|GSsB!GO' ?Ӌ.ݲ*'B#V)ۑ&WHaӪzeIÊ7_”UjV*eJQcJo.#"5l|~4W Ua%HI]TppԐ845)6.vS%^kYDެ#f= +r&Ojd8WOB5^C#2bJ qCiEr:vRNj8̛KG:Y_\tޖ# Nz !oV8ܷ6QҡQ͟-b qLTE=NF{2ޥH#| }T<JU_6I9nuu$xue&6s#\TAH8*uI1`5v=N2y+rg;=17kU~̲3tͅ瑚Os=(^2? i<-mxj >᪃ m>i9Z$G:Ujt܀@Ò)8zyPmɿ5-}U5CP#SM2){&zdCOGiVI8=ch_J>оyQPMtE2#({b""8Wv SQƘǑKG4RG8;10 !_P*T^g~f85''k\4BG':mJO>fp),#$R ҕ-׵B gt-=㪝;] Rz)RQ uw qEN7қT_t4Y|ܑz[[!@=3 2I9gh*rB(FFMv$t5}Z}Y>nG5Mi97$楤ؾ}G$ؼTFE< 8H952`I*ۏ߉]]V4.1MX\Tj[pzRj?bT4وIH(BLvWT%RG:@x5ڨpޖL(zJ:ܟ$d_֟,Ȋg}@{ P)ߺ/;~򄹉AU{vzN)+rk.HٚtF;?&Z\͐jd#*)GCLGJZ/!JzZq(?:RџZBv4 riQGMխؒR@֡Sڔ4qg/l”UR^̓JZ=YHoȡ$)XJznzoh?9#)"N9;Ph)7JCx?RqN4^y.#4̯xK,g/A i}?' Wڔ(_sY 叟'yoyӷERnlKg~ޔaQFOuijO(*0HR0`.py@#Zx^N>Ԧ=垔zx7SGマmZC%ǽ(]3'j0f4Z>ɢB1HAYi끚W*F;ӷG▢qqR4 W6OKca5[3+>bަ;\Q#DGRDxqM?XD3LajEv~_ցfD>LZvzl(i֞:QH^ڍmo"IϗiLbQ:uy@3M-~>RhIxږJ0M?Zm4j#ѩ07?-?sy(.1WLdDӚo9{fhNGp(_A6ȱҠ|/)ҥh-*/ iGPQHz;4°j$bisMiw b~SSy~&J^TS 3@r*X3Ka%G/Ə7G)%gs-|暟xQjJ{ER|j*?*_z#KR2i$M*d)[co]=i_~u7crRTTUg)4_ZJ\dM.[%JQKʚ$ҡI/y= Eբ$WQ*sp(I4@+\~ڊU)I#)Rg94`22)4&)Sp)6-)qf?)>Ü>ނ^7JiR6T*S[$ 5np(ҝTaȖ@d+V*>!w)i6 jZ(D$&`sRC(f* SyԐR?DD'5Jz2 }֭iwK#nPHH9TgZ RyQJ=*O8ZUTytGNaj0\3V<}*-~|8Lq4zaRddc(D5-NG #қql0ޝ9  x]ŤO܄JDZ=RQZi^5$L1PQ+7n*5)"E9 ­!y?U*E7ש]~3bIG&'ȠY>z TPde̤cMH\H1 .O p``}zPID߼3Y<Ddښ}Ԝ}iàSSR`5?,f3DOV_LNt9(8z2}RI G'4U5dn~M98zZ4UDlg8O4/GOϔ)y]JBHQ'*?(KsMG[rQHќGZ-,a2<)d6CWu;qԄMv*r).qL`p֝vI t#Ul;RHi sCqBMSq#-R]!偞)?Z2/)#7_ҝ R6D m4HD[A{ǻʷ ?ρVϘ|†l.1DUyl~Qʾ!Ï47u}۰1T?:S^F׮ :7Nݺ'=h뱭'"ܩޏ5=~j;>3YUhءdb#̟CJY"`Nq!*:TɁA;y=*9.XdphZ{NA=L g9`H i\ nZ8$XàZMI+=b(H8'LCڕDc?5,6খ^5zR˟# cdSMl:U~:R1$`S SƟ?AGU FZsɁI#, iwj\J:U/1`BON;8?JEU5>WsJzK@{3ڟJҳr8>UTʲWʣJ\ #B!7g`UȫjFq#A=G)8#'Zڒ$JI;Tk+ˡmi@R=OM.ҍ?kdeތfjv}^ÉnOza晰9E?c%IX~F6FG<#nnKMSZݤHqae@mp+ގ_ܑYӑ֙ Zz9Gb_b ;j[AN*B ¥hc'|$AJBH?ZUujqcKcRHz'=@J] /ݒs¦;a3!1o)=:0;&s)|+CQu*D<ԫn5@ږT~L뒔ɓ9ilԃA(ϙVmd#.xNz֍@ N֛AHAI`JNZj(esHͷy'A末Мo4BGG֛odSHp| @W} UU`He-®*D- "YScYbR1Q3HTcJE<ǭ5yp1Ҙ6:Sym6zS yuxvj W~l`(I}-?ά"n@ҋƗQ36㸫d@W)KF"گN]A4TG? Io_z\T;X Hɨdb>$y=&=$e3C.~ِqHCH)͜R|gf^qzԢV[MKOh-QHQEi<8OBdsL9CEؤX~F6 VR xƞ]1J˳"G ?֚D~P*OC+!QJzL3v9M mɞh$^?AO~k/I< Ty4{,~)Dc9SAԜ})P/ EIzZVTr(ݓC6xNJ gh/NG)ԳKy߽RG375Ml>x$[yӨ"u;BwwM5 sSbg"ssY0laqIhU8FPl ԏބO%MwTiQ,S 4 T%a 4 ;6W3RurVN$)5qIj*oTH=*7pidcмix(cՍP"Gj騖44Er`PI؜flzӶIF=iՇ)#P 1 #JTcj63czPx!????$JJ!P*Vaڙhꭶ;E#Q'9H8$yJqI'.?v>I2qhp9#4`QF^OgzёMh"O7֛>-)"-vyܠ(?=ᱟ?2:(l1|KShڰ҃ l?c-Z@PzEdUQ?zأ]Np eE~bЩ1ڝj4DhȦk)\V1׌To"_:/~y{'\ryQ'Kʃ9sZA.HM}8<~fUI^F:Oc>Y0>X輓Q4 pyd< 'QWd*tpLVSS֚`eסh?v*D#׽2EP~/O20[אI)K6`?ߵhKZIH 7G6smO:/Xvu㰨cw3zRa[T_8RnQJA@ve *4x\^4?p>(Zz[i\ܵ?,*{c1<TSG#kR#Fe#V+JzTyqړZZ ܡ#'Oڍ0)a"Ǜ('GJ4 8_6X=Kԋ:Cтb!J<|c.:Z!^&I+ƃg2.?*p9OQ#wқSksiѿADjtL'0xU(3R}+&*=ju1Y|2~_P pv b iqߊzcT#^$GA;tJ3Gzp0Kj5*ަ1Nfך{NS&pTVAg㨩L0鎁;Η7C[F]l|9)3:[{ !0{/>|>OiLPQvsMQaN/yXt)g2ujzcJN='7ٝ¤6BKfZ_4!қ0JCZ5&-@6VI,iSe#Ҧ֕z=vO|Q72[$ea!Zs4=3=g/隆GJir\~C G^G~J5:>}*jw'lsB>zӷPSQ̜1{vHTw$L,MTy$T/:ҵ JGGQgN@G5 :w 2)ǿ46#ZW?4IZ!$U`HG&JVQ{/ݒ!>ai/dv|Ĥ:y\%K #`kJǵJ f¯nhI1ZZ) qxcjtb]vMdDh< 8Big<CW__Zr5TP,JoGcZ!i &ǧ)hUE.I;lH\O6#c}0l܎ uR7YhK`z}O9pTIC);{0ܞ44^iP g~%S_jR~g-5c0=(d{UE4B菙Z|?GF3Fވ޴_K{VW֣?zL֙\ҞZ?ylw)|߭%-QN)ݚzC FsEӼaM%4Ir~lSnmj{ԑ/zir$SZv0(n3J>8&'ާ35wb^}r=hҐ(`Z^ijW"X֟,RT%A=*jT*~"?3A֙Z OZ> |'+6Ț|7ܤF|?Jo:miy^Z<Zo),H(?79SN5'1Z^ԑQj["D3*|w户O=fރk~#*_ii zd*E9N]*\x)?6N\lIT6<#e#җbK\'`;tTWF@DeEpsT1 lؠ#ɛ)%woM[`r M73֡O'ar"*ocJ|~sU̮t{JD T0i䟥yMeW}y~zC#ҝ$xا/j|YVj,裺#4Jr<_ƛ/K?=_`xF%0#N[ߥ7CfsZ4$MQA#Fĥᩴ֙V,5&X|p9a4SKpiſ^ )@5-LZ4m2mTI{? z3J yҦ{ZiL4ݽjO3#Ki\ҫ` W`H.c'9qq׭Gqo?v|cfT?)U4(U'?+ߥ&z7{Ry>4~})};>RyچY 3TJv =e$:(+h]/3Pciq*684/#?Iکmx>!@ۤbqEU9%?ޒ~<'DcޣMJ$1tk"w'H"=N-@0p+ҙ}+D/Jx'|~)%ta0qPY*j72S>!QRR5RV*㙉OV4P?ЩYcU]N`W9S H/Mes֜磛[V~e$cyk[Í]2SnȊ\N:U2pqR5ٱDF*y9U|d)U.Z} nN޴mܡ[V"MCg4GZ61vPޣkFϖH'?5N&t?:Ŵ>QUigfJJ?ey1j-ݴeԼM: xR;>SO=1zP䎾2vR?Qܳ~2zS<Z+ҴDIӑ1L ?wzDܒ$*U欎h孇ߦR!O,]Nz|r8ϖ~JrԮ߲c !d4psy(zh7'TR`)|@JIZ>җ,iG#NOEL]L-͆'Tg(|ERtiA?)||RugbOZϙKGM.9Jar2_yB #ګvaKXzVV$Us5 N14b“'rFj>5V3?JUw楬#5Ir~Z%D̊*O>?Zm;> 5W#Ν_h̰JR3ڢ;O~seKИDzԜQ:8'qCNc\A g(:RM=KJ2*u1֫+yg|ӐZ1ذ 6Y\Җ?H>oXtr|?sG<ݠ/F棤֖8rzS җpAnQր56G7QҘ MR:rQ#\*Eqʂ~@FeAfəiY%q=ME(rE4w$БG,x:u-;h"D99;+4}I_cLyJZ)PJf5R+FTGNa ݷ/Ahj*t0 ǙE6Iqҫ8E9'iUSJZ}E.F{o?Zz+GCЫEP3 yb=T( 摟+6ޝ"sI'4lmQ*F+5b`U)NԭIE.$O9}OK?ZMbd~+硦<#gz{S2pΏHڏ}Kk[Bp4PG4T!deC?AH1Sd9'=ci#N-mV1NtZـPdS܏e?d~lҍѾ?ZHԌFdM4H^#1R{jIW{j e/'IE3PaU/n0Di+)hNh/ǥEEF;_1mok8)^OJfzO?J͙E=P!+K, ZSH\ӑT^tm좍~~]|q&9nWa~*Gto’O2Tw''Zi4I.n[}/1iczhB:)iO+Uqgj{V!t1E{2M^mҜښޟYh2*Ox5c:E(SNڕ$jߑl}U?+MSkGLjw}:_B[L~y_9v>?B5] KL*:$)"^S@ u SC:]ڕ餏O@ j%;IvCb)U%ښE U1̣RyA* `&ߦsS q9sڿUɈ*G?*[Tޗ._揳 2?!HSS_Bcu#ʯ2`:nsOɏ0ÌqRvz _L[ރQT3қVKDKDv>vjUYt4V|8ުPةʍ=VJmd]>'ZbJ])vY?xxi:?ba2=EfGZΊ;vjoόjksӰ֯]ߌ)Q7p*>}1ȩd9N4cܹ4T/3vvO3ҤP ʩwzݺ yڢYIm+;5+{{A=)k9ٰi^SKۢBW92\榏E gv~fGWzdhovsRdpj*o3fQgҴ@ \0rJGY z{kGPNGS-h9NjSyLiRB^wu-f7S_E(摃w88Xih ]{Tko*;RX^e>Dߴߥ<|F!VO! rsQžzo kp3N=Š%bp4Io J ) V\r/#Ws+^DVVj}pB픅S@zLq&5p$λgx%wVgMҢccF1(]!/ɫFNiSC *%%8?"$ROZa'vԈ2Z )u,szԎr?;qz= 7.ךd>\*njǎGJ3*u9Lx2އ;IfnwܾbJRd>a4I?-~D`~O֢hT/=}i`w54\zZg,KsDq*~q`HO3L4TAF&1Ij9;v|ʓ lS4QPn1H@;NMhޕ`p)ZP)rN+;7*$B!N4*V^FWme.MnFG=I=#@7 Pӂz:nNv}MI۽m^TQRMeU_({PoG5?ze^RhEPC$N\R֦DžYnr}TڡoޱZA. s/ߥ$#nޤ //h句/qY7vj)Ryc~)qTM* RD{<k2\qP>)I9!~*F@{Tj4GR1IdCESV@GLU|kARI&Gy0hcPdywџyit?4+T؏ʛ0Ep?`vg5~:S| *P)S~}̑c`I,3QyZ2稨J)ݥNzԐ0`h`0R:k.I_C>_^[ZWiG1 #ԕZ3bLp:ӽ7s<1nݩoRr3ф׵<zSXDtoҋ_b r=i|)}QdO@zҎ5$~U,3Sdg80“^)^گLzgXlDK8⠞Rȧi'J}DiW"H$JssHeCv(_Evl8![ހ)(O|ԱMojVDt}hKoHb_E8? W.~|OyXS"Tl21PI=6@UMj8|v'W*?Q{KO?yVq7lLvqR:mE4oJ#"h6M₠Snu`JɏNj(w1JQ!ҏ9)w'jH9I3k/' :ԎV KQR3SNp9\~(|?^6y)1~Uwx)|~M_kb>zS9Ȫ_T!QfT]Z|wM̈أo)EbƯ/KyP|Y↠Byx_R?,Җ^yGS Šo .K|ZvM+=:t <ӑSvO\RPr4T vR'Ј(JlrZikD,HԵ0T,tC!97J~fa$P⥎N)\Ư#ʖOj|pjK t)jSoeQVTij4̪m'7y}gjߧ (Jeݜu>A{lk^[Z]?o4rr( {!ޔR4D?4p>_5$h䘋QŻo{ԋ4B]/j/XL$&h9O롤߅(rJn ^G=^?:T/h:@}j9ԓԊm*Ǹv+jGO݉ҁ<ZXsJS槟Ԃe`e>ILgr0WKRyI&qJHRCg5c]Ț9hs) /JiURvқY&- wP԰7dғUzQE΢*Di4ʽ t/ڗx31zyޜyҹYsC!@~zs #sKfa:@qK@GJKl>N"+ry@sJQUb'Vl,|ަ4 )C?yHr"5 `RC(9W)skyCҏ,zR+=d0qI;o^yDZ!V'^ߍ;kaBDTJ>zu+5)N89zVүBS6AwbRiӉIG&ˋ[O4c!/^IgbS#jWv0:S$.0=btg7'֛G-!-ߚ#棈I)e#_/B_/LFZEpDbsJS| \!,EL4G3}rxU4Q 8_ #y?ZoxE2GAԏ9)v O)[~yo>}kOCQCJ \P l=(#AR1KrM?mw~W4Fzo)?x/Eg[Oohv1ʈ*ҧ;<~0zf؆\mSwJ;r띹ǽ rH^PRMWV!36㿵5OIրJo9ݎ8* ?jB ǥFW' "~)uj6dECEm`b)dt|imsqJ^I%ޠm(H)8L1s8ɅULjgO,`𵝌Vec 2E5dB_&?<]Lv(aU/Hm64 ;9jZo٧T~W_4lYwLPa;?ZZV?U"P0)dOuu%6:qR\ssCԮbb3T?˯qF N֕Wˌ(SXTԟ?yNTr?qg,S$꿼K@T3UJt&S ҩϭ1N=(C=i[9V;Qg淚K% TY\TpfMKQlS"U&6ͽq.}*vu:cGC Rz~K!rZnQ<|҄Q{^cg) 9NdjCII8hڢTDǯBT>}:l~JŭLO48hbcLҕ˵iSy{yݺO4IBC F>=67,@F1ie';'Jٺ_ GEY#5TwV|4ʲ7:̨sИ9q^?kegCcWTN~Qf %S :#5*̅95*#$ZQ:?e/2F*eޞB㞔|[{/m4H\ǭD=*GPOSݎj& `S5$7LԿ?ZOlT"y^™ʟ%}Mv#BSؠ7x5MSU#ri5pNT~ojO^tKnSQ#n'`A?CO;ǽf9s4_Y=i7aZdQ˔oSb:THzzBJ9ɠy I5n tu/C)ޞQ}N;{3FbkQSdea( 8SF`bAeM*Kp.' Z1L(W#jL F9=C ?}>.O֪赑$D1gJbԭ#Cg4\xF/S75-nqTXNy rl(saH`w4 $j#MY0.t,06iF~߰.Ah ק4p M$vv?>M/E+09+KE e|IR"}uhʵɿ>8RD;iQs;u? g1O3a4aS ޟ0uB>P'ǭ2? i1'xm95 O?҆5;fjj#5W*,sޑP*(Q<0i5&ná,lñR/$g֣GާZJXH&)X(Y6" zTb"yoMҝ_«bMSlo+j#,;Q~sDz欂ȥԝj*'?Y~w}c*d?:TO-Hd;Si[ҥ؞ʕ#SMye>qId0\O)TV*AY-fbCjg{V9=ޕ󾟹i6o}:Rw^aj{lwHP߼ǗF#Ei J ~U%qL[j}E3$Ooң0xY !s֩F3 >=*H&BGNikY"pFi:fPI֞ZngZRl h)C'?a<⋵oRGK9sۥ6G"#UJhSWCQK[Gcz<Y~Ι>Y2A Nmn}:RVԯdDgUC axEi *3'DU-V?y(2Z7)QXIӒGQ7JDxhz;{Q늚v*6I4%7SwhUzGZ&߅PdcQ@dzԪĦ20i)2֛$L46OZJqT0I#⚼ӷS]+BIb<߻۵NS Zl|UTo}Mݨ52PJ$|ZAGaqhov;QOrfA!GlLS[ `Vz򖟿S-€GOCKQvHm`M5(`ڝMQHQMGx,ԂI\ؙ#Z|o`)WQGq1?'jI!>OV+#ؘOX̼fsw SrͷN߅/g~OFsԒ֏?:]<" '4(z #ϗ+WZRxg8u4ScqYqQ^бpGߤ02h MMGO֤Xz7!jHyM=ٽ_hC ))#diH=F+d&to\ԡܤk$BhX99 OCN8v=ߩc'5 !T(݊+;7T>OэXc?`Igg94۹ ђOaRlVgFBAJ mpxd#/h43ڍҰ$cG6p R<Y9c (J^ IJj{SrصC[g-#ҟ94&r 3('#Aϙ"$y~WI+<ՄZ& 5 ym1MLZRN S>>HYݨ*=NqH>*;Ҟh@5Ob2ZfX>O)۸NqO#UV+8$>qO|* hhΔ'I+$;rQL'] X'}i̋)ZkyԒv֤&a5W)4X"[ BE wPiϭ+'R&/AHGC~MԒ03TѡS-E) HA O_& ֚YNiS?/Zl3ׯz|y܁қ2*XT!i*ɌОSГ&‘Y;wO"R)0?tC(#d_U(WcdUmz~̕=pqP))81ՒnGt#ҚC'~\2OΛFՓ2#ϊvu4KS#D;jce߾o-]l:ӑF*6v>=@器B:P2qK)9Q;%(0i==gXF&n@ka;gKtoJ\F%=~L*X13AOTuz TʴnM,RSdKy\J9֬ sMf?4#aEPfY< 3 ǚ)R%m;Y~yژoM!aP>_ZvjnsF34~iS6 O})<ѰI_˜Դ`|P1Ci{Sޠx杹j?5:3QaJHF*R&yM"T!j**ӱ>czQj/0gz'e:GܪhFS,UILqDU_gqHzSAϥ1-I 3Q4xߥF"Dž\j6b/yWգw%/U#wv 砦yڥ&r܄75JSdREANgko>j?; ƠK1󳞔()Ry])7ץ;$1e/NEAPx1D.:gQm:Q4WSbIE6?6Y<8tmL*?+ҏ7֎f>SI#u=w~4}ڱw'1?)s#?l)6zwMrxZH%BNyL%I"2tJ#@uF#pIҬy_~)i c?^J@vg,J(֩>BAJX @M݇Sb1|馎FۭTLv|TMBƚD2r3VU/¤.Wv4ECQW7W_)JQ/|zu7`53#LǽHwxӚJ),SJ.q&>DBjFA0ɭb=UE?g* KR}-5:l}^_dNGޠjV6QE-"EZq#gPET3av"$dh(_D'W_r%x4AL*DP3C82GQ҉Dc'WYqJӡFr3VxQɜsVqE{+,v7</5T`GP;;g֨$FepJgUx#=*nIޝ"׵26.jaWNƀ:Jz>(2MFLmlM >MUsjB#(g˨w^jphu<239<PFz{ꜚ4>!94"7SSF[.c wgVB;{A&x:К_f5e󺫷#P.Qm>Ozdp>﷭8K$d֭^<d.1d>f:qUA*®M)$sW"c SYwݤ,|1ҐWz- ( c'81U`w7֬HU@U`OF'o>koSFsM7zЮ/p(dgg;X(O]7JvGOi&Hݩ|H \`L3fL)V R,<3GnP⭷?R?Zj$XEc;RdΤEjnWdyrdzRgi FxhF{]ECgU^<ed*qCpssRb`TYGtcJ285+;U}sQ'']0@3Q\O?t'N:1md uZZKdb/;ӗ2)6(;qofG҇9D^ǽ5dZԛ1ANҚ4|ث1D UъdL*c52@y0w3?ݤkM0:X*Y#')3:/1Lai:ÑNilmDzSFpқGҍ=+YC:}('^AqzRBqWL:{Ry;|}j61 fޡ>}, 5y,ڐT@%Hc><%]-%/ci}ʝQQzJW&/-֔UhQEDVF )ޣFxe|lx>j88#H U]G?wI'6j_" @"CLjgh?r$ZZ|yG=1K'Zq~$#ڒ"y(%?q!QK1yފ[*sɋř_8;zQ7Oˆ -ؑRPݪ̀q9vLXUZ)-培Uw8IćM_>t=+eM<Dl&Yzu[s ʸ?ZlW+j/KAwJmB'jf=Z~jA]`!֝JgPsgM?]?tҖr{VS{Sډ&84è$w屝Zn;oDN9˻HӶ[)SHZVMz%N4#Qgr~=SZ]~D󢢧9;:E%`J)\W )ΚQ:MGTER$Ov:6CUmDW_W_M7gjہe\ɷeV1&TWG?JL|ÓHcٕEYؖnW>҈?zpiڜ3GB: Eq* R9TM'Lb*{!;~ie1ⓔ>r櫭~9&QjDGq[&E)ލŹ&{zѱ*2N)\t |ӹV {}*l~^{ӧ*I+~JeZM+ >Z6P-Rҙ/zKNh1Lߢ?`Ei?X 'RfRY[;UVğJTՇMS2E8 uQBnOcU})}HJ=E*?`)-J_@ʒW,Iz\(q=V/&/Tݏ~_Z7TbJ,wa&u?A7ҟ.'ْ4J>Y@#֡&V9=jSJ>л?_F6Ci3Z{֙+j/7֏7ֵQhDR4"(Z,s%doDR8z?, 銏,Gΐl-ToZJ2=jp'ig7~4w?کF: qJު$S&MI^wIdz֖ V[sE0$i? 7;c֍KHaտJ&N{fePo=)۽ ёWkYbjqca~ۯiGϭErArA勺kIVl#~~M.:E?x4ʄ`yCSi5GT٫LQJ늢vؤO4:AFaRaUf[RBzV V}[sR# `8}ʌ~5 IRlGK8cGbl*L@-T-Ud?}61JvF7$ҟ T?::TO~<̣eO1C2m'84|KA$~o?3JϩO\qP|{/EM JN~F EMF+@Ha@+qHFt:a4m>h?s 2:/R:Q.Ģm2)E5fUkmZ40~tŰˀt88]7q÷U}Z{iD)i4δz)ثO3V#Bĭɚn*!ܡ$o}hW֚W~ᚥPhȓg^1Ira+~[oE o8j!F=ޭ6ɇ;Jo3$ޟ({zyҏ3ڴdIћjHjB*6ma1HGԿ/QsգCbSRTCPԕep7~4Eo 26!n 90~sTM7Jtm/sk<\@6wO`q =)_VLyIE7i1$ @D s "<(\JO:8#c?-=ORRȿyڐ 4I+w;  rʗbo`g>T_lbWnUKqϖZ֟ݯrޥܾ-{z]T@#*e|H<;nR۵B*mn-960QR*$fv2jPՌWX< 1>rqd#%z^W=G؁z$P*sN .}Iv1K}3 z JT5$z ;.O3"*):T9ozSHwc4dlrq@OzT/Cy}}N߂=h^/w߯=~i|JoX-E.hd)<iǟ.rB.,wI"-G>jyR$ۗ85Jn7q~*2Cy.a9J Лz;=SIɣ2ǩԎ3nHҁI?!VݑWӓQ֘3aM#ZtiB*ύyA\TBrqMYtR|IpE)^KB3FK:U ߅8j;gR*1Oo~6dcOdkl_K'NJ: '7` S A?3u`sOeHÞr/~O~xO#Ƙ+瞞GO%3lSi)l-2 o8 Su˞5ίjti=i9CE#J:gO?iLDzʟT;_ˣTr=/>JtsU䘑nxiWD}GhyH4؇1KCWbzF쌧Zu5?x)_~,!=)x""#g >! N߽6+\IKNp})^$[>aI=r>Sl]NOiwJ20R <8ED9NieQN]Eɉ )+j0 %t,ݿ4|b>Բ-=.`SJk'#ЎI49ʝS#ZL@fsJcdLfLic #2瓚O*/ʙRdQOm Y${PŽ3DGE6#)?ՊN?sK=EQ)OQL34%}aIRS)QOϙMXyOL\`Lo7_JV]Gl_N>H$Sr= N}NŊhNӭ T;h&&i56"8qs NH953L^hKԓGΔq?-6 @$'pݶv۱֋]Cq=*VXj")G!CFnjJV \b`~c8g8I#~ޖ2u}i)ӪbG? QSI+ЛkJ?٧y ȌLb M=n$FܚwcOA ?Njn<8-6DCE'S*KU_-UM19;Q(MJM}<͜cڐH$Eî2U|I*^r8jh/}**?8^1FOn9yDZh5|OZmǡdҗhT/JeSEbs:3-v' vYtJ}1(+X,&p&joj&a7=OZo`vD-ӽx: YF ;x &{Z;[a"RI8 Wʡ`'SWxIQE5!TrvDN[ҢcQIY`8>T|}IJ1SB4sQH6g=ՌXU16Ac> N}sBI-^drvcHB|L;j5{QA梣R|>Qa:LIj)(N~!4+.qQ{`ԑer9DF7gT~۸n3tK+,AK}HN Ԍ|g`ViRS^jEYsTAI*Dȡ]>$s(;X*lW랴Dw/J pzRvV\RIڈ}'ZMb\~5.!%W0{``aQHD*Iw&P :&Nqz|#2 V4$gGI=N=jFI:C/2bxⰻoS6?W)lɗ/֦A" )tޫ|ͪm7Zh6NJv((D?|?wB>%ǹ5Vm"MIn*H]Ɩ <}+a~!BOJC(^2Pw$=QE3}j;)T^gWklLhh# 'SZ2;VL4⫳?R=?xDaQd_CQP8J("OelrS@1R(!,yxTB&jA+*G@3G$ S'ؚt  L+$FVJ屎sRwc HAz>C(ht$B`~֓BqIblV?e֖Q{HCѳt/O!RNUdsWDzXs=LPKNi":/؝Oc:k~Cϟ"Be2Xp'oNwR;`Oҫjz*9/BKd}*a >͵8'oxwԧO֕"Q{iP|`J,Yu+jd>g',ph RݿJ~SFU]DwT4`wU'b"@3LUr;) wZlGqUi{2e*cEѱCK7*>C.3Q<;co06F)$pzCgHѬC:T/*G_/*6)qN7빔y9  4ȋ9ބPHj*+~ӦJl}jLĐi$?)g :su8)9~ǐm >1T*maӧOqR6bg_]y*&.GNzbPSo jiT.7>^2Abwd$4]čTunUس`'ZT6kV581Uyn82?J[] SG3LB'JHN&* DRi<,2~hԪ AA.75Ҳ-OLrzdqeASҋ%5%2MNX8qL\bC /qƥ|$;xTM(h"2~SfٟWIOϩZ;Y'o3)`4.$J@URrGjPN4 _j"J{ZBY_"hicqե)S(Qб:r=Wm"w1$]Q^<'O8TvExvSJ ' IPlY9KwA1 CIhfDgԋj5.9\̸0 )RN0)ΡWG/#+YfzY>~iDwʥeW忥[Scԛ?T;yRdTLg9*l{j!(dby)X t"e5H~qMrJsu|AOG+ϵ. ֣1Ɍ=z y?%db:XP} dJ0j/+/=V:##9Qfښ8v357Ԥ5|_4uU01Spzq+_EߗL%OTI7rh9.TQ ?:iJV]L[GZ  99ifqXS$u sQׯ$G%(U bAp)g>63R/8b.!?]8W'>< :1x52Kc?`UzMh2czSv7+]n)e1>?4M+{Gb^?ݢ$,2?KEdN֜ ,r*hP%hd*H]$7vF>&Ž&~ܱg!L3 FbR3R_>萉##c=1Lw 4>w,sOfIFL}8)X d2{H ?:křqϰJSk*jPD,I+>@5kCd۞M=HRJgEgD?ԏm?jCa?3u:wl=Zu'dnO储ՐLhj&(?Zla$'ӊkމ'4KI ߝ'[**j2IڟX 8 tF 7ttu)H(Yd)|֍ ?>hV=sI z@\\[j" IYM$l|*SdIԫ&L&3S "P&Ov+ߊnT?lŦ̞S==8 s!*l3ehy7\DUM;E{GU^0Q8?:H^[3/k}h4Ve td1 VCʅaiV"H[P9 ] bogZ^ nRQ4-N Kz#H *;5>ӟZ|UٜA-IUM&1ZM9/M,Ch,A iy!DM-*1joΫֱB%xASc3I>6:j?._ALo/ޞWQi>cY5)+!i~蠂969:q9*ZRAA8*SFV`|T̿_M>$RI91Q Ij,T9$q5ɥE2Tc- _ONhrFy~G N[~S?_Lf yzb>jU}ہlzSuqT(1<3o39'.aޣ֬yyߥm u4\߽LtTi\ԉE Bcg} *Te'_'Z]{s2y=h s*Dj"ݟi7cޞޛM#7enP1;O$TJ)4۴ڦ 4 d@I*`ˀF5Q,{(/|uH[D-JlMǀӋ&P=qsT b sc&Nww}Ǘ87'u7 gۿ/k ڲvM۱>|~Jz9r@AJ=bޓMȑQNzN^\T,PS~]?ΏكP8>3& bi9F=*.qMC~AvMOޟ'U4frfqOVgޢ٩KcJ{FG9f]*J08My/[qrxZNߔ)K]GV InsNM*t\Fyb-v ,[\i~fg/t~ڙ_ҞsqbDB2M?&G:GBx1L˟Ԝ[R;czT,X*B&Xww˸: V!@i9g1s<٥k˝uܩ~Ue' OT @oCF5Sֈ=jmܟ2:,=G6#`p'$[񞆘#F{SzeO|8jQxn„cnvf/eCB>F:s;)oi:yMz7?w8GN8فڕ$q@R{+_ɣ!JO0b,{56W ]95a:>Z HXqcYtդ.9Jiǘ$4ҙGKz7Ǯi|yTur!{ 3O j4 H$46F6$NRA8=%Y2رE$t# FGix.D]>OEcB?1*Au!QR92hc}ʈ`Ԅ=B#"MW*<;ǩ|ZK&!iСo8 &n|e~ [8)yk+$b?A*6∙l}yi x,s >rqriI[AT_a ðL*LI3>zC@aJ摔S~<SE~Qv]^OU{~gM\ fW7p|ɍvS$1 y +KQQE.?^n e+\/bZlq?uO}lo֓gG

֊*(Y,}8Q%oOyԄG9،^M'C*y4; )M-? >c޳~dz3/HnXEgoZLʝm$)Ș~li! Oc;lJg?d^i@7͝,N;`'ToZ2wU,lU{ wzvđE-PȿK'OƠ2c IM*!;{Sn$G}p,l8-r/bZ_z@ēJW~X5:0ZZ*H77a6!s>;΅"%f,jf$Ƌc9,bB7qe.M/jJ%D]t+?SOQ'>k_C"d y⣒BOJz #$dvuBI+9EMl%TӠVBxR\ _[f.?:9\tlŌ J:Ī,^^?R~؏NSs4ߵ[~t]E_}z<}i2flsB=83p$;$sHT*clGjb;ZzZ~4|[Q&O;B"1=M1?;j>K'\.@E+?ک#OJg>ԡo*>jL:ЎO #۔hXC<qsH8.)-tD?} lN%QQJJ4Rr}j]PHOZO4zTgg>AYǭ Uv9,TLK}r=< T5?1К ^O3ڦN9lLhz SZN??PG{T4rԟdĦIpRsIf&zP#SK?gNjFM_"'ɞjO/w֛E[ht~SPCi#K o>V6nOO֦{W|Lh=) [v<*t[9~"Uhך}RV}Jd.AQMѿ i*9c9&(LN@qkCڨ2{ӄVwOjV]c)МU5mM*9 9ґcxeS7-*/ ;:URv@؛r)qJrM;}M7o]QY{VKL;Lw"~_zLc&H2/~_2B@2Hx"9m@15MYsUPRQM1E(r*TqS-8yDw%޹3ߥW޾w#>+H\OKnS#ci-$J|kG`AL' wQff6$~IuXHjS#5k_>d$4#g܍U%`NMIl62|uSM&_`Ѝ]}{PGWwp6$'j4*j2U1ݧ9T;II'1fs?$D8hh?yH|܏/-nileő֢e )7gr &NwM ֓24I6GRs?Ԋ'Q; syt; Q\qP͸/jOjMXi]Ք@i%R OB(,yN9?Tb<&j_3f̕BwtpA$螺ȖҤI~" .?֏:ce,1Nm~|T.v/>D"9Ҷ\a$?'ܧVj">[kAL8iZS97AP;ݪL|֥kN$ - h$x'bTOk GL9TPGM]5u?ՎTbgU_ɒ#^*^*?lJӣ|)1Fjp$=IL*)>:b5KZcӥI w4HFΔ>Dذb#GCJQ5ٓ+ۮjzР㤿g{TWq$\yB޾^I6۟Ÿ+fR݇Zd.ug )^} Ӣo9-I|sQel`$.dKp$KoxO ꑎ84USA_3@OG(x}%6#좋 >J| JLjSܣi؞bǘ|y֟,66L(4-y hx# ~~~zc9z&R>*Qd zRSR /?M-; _35P z C t쉤 {SV_QK4 :o#B_q#Ja9ٝP&9$:صG i"@xchp4aF9#:? RݜTYPEOz p 羃B]&M.SډSQ䱓c H`Jw(eɧԜ}w7R10 Y4"6jۅϕTꋸqޤ? wrn'CH GDT|Iuj<_֏3ګg*}Uɘ_86[2P?7J|·ҟ~wy31=)jnaDJ>IJ>C4Hܕ\GS:#sOR*EW#V6 2Ie |}8k/;# bWE.Vg~5UIR1N.W%9]֒5O3@1@2(#|tFGCw=p?wQ9="z#_Uk\_T&8}Q<wM{zԤҹѳO.P6SKpƝEM!#vQR{¢؛|B;TW֣Mu4,GI}jˎlٟh|r?~N&?sS <bf_Oօ2Gڬ ~ yҥ;s%t/*OF_ZZ*B|~_Niyf*NkYƒ.AE>.٣UUl5f[Pt*h9^{129C1;VfQOBlT[FN3U%WLa֮y "$pMVGSޡOԗ܋rzQ3ҫqӕ ۞*GmR @-SO&a&bb;T9$@'j:C m9 r M.vGښDli1*qpOCw}=p*?5[QR}ͩP Ԭ~in#Jk])ANUtEQOzUlPIڈQG14 $EpsRLW߷ u{iR[4`4`FW~~oC *ݪK}Y>WUF娙i>&x_;~coU6CB b%׏\ #c! 8=t3N*4K(9'?ir1WtޠӪ #ΤfsM=h=j%ԯxɄւ;'zv]N): vU9ۊ/rY̐yc}HN"R,1.guc~XSEJW+[0)q @J337R/Z{.ig9>(W6&2.B*xC |9R?Fd3Ht] |T^ͭI hr+C:AiԹD9=́c6;f]+=a!SB"&Ɠ lNwj}wB"6,FM;E'5$4GToJkbO'GfDk};i1isUgs'WT(~:SKg+2 c,Gb>:ӢLV'=ϕG?L3Qf;{Mz} nIZR=)5bvL͞1a z(֢yE{[+S{Ԥ vZc#jx,lRd6pd̲1p)< SHST֤ǡ@|'pcҩR `?ԑn$i8?Jh•mz}jhGqLa/]QH^Lӷ6Խ_$V"lHÚ<9=*Lcֈ냾7f*gvYװvÎ"qQ!g.dE?in8zSZ_hnLTĸVJoǢR$h-u[D1x*7Q6D'b|w76DEةS 6:_g֙D}йF݃qI/E\zTfr䰾Ie)Crؚ?/-(=4z%+wJy?J9朢cp_3XjJ[qX!2N*8R9F&?EG!ӿ*V $qJcIv?$H@;Kh?g ^ 3bb9IaMyc8Jt*7!jN:\(?52!CT[R*;HLErH:RPmSEAQߍ _A\\ӊYYZLgLҔLsKp䰥dǷ>7V?xߥ;3;J9QrY;R@G}O(z"DEOOSݽi~޵W~Q(~mdǓW7P`zT2; 7gSdZ?1%x4ؽ,ZUVju!Zm;$6Q:SMX!忥[R;(zQo(?G锬f< VMM"hmK䚔a!νhȩSQG֥jQH* sMnk.쿉3MVeeFQESWu6It"gƔ՚( ԎJydUuHDYFN-/Aڒ0 ϥ+.RXy"X.Ü;[i^$ R.>M6Pj7J~8(VI펴Ҡf,y/CV4;GҊ=j>a>ݖ\߭,^gjTyKQl`iDrԑe=]?+loJ~Ob2/o:@GGD5ju=GE@5nؿ?:`AEm;r9$o9l79kbS:Idhr{zTP{2'OƙDijiq}P LBǥB4:$el3C'*(d*U9?/|▦UiS[hۗ֓zcJR~TS#ҵqҁ*4qGKSGVY0zRU8[/S1QQcYvp:*r9G]Ny8[I#tXÚ\o|֒)a2I{$&yTaԜMB á"E1qҘ@`̻iHz~c8j]yN%(344Kim ҙQ,NW(,~Us՘!wJIbUi? :I${%KIM/=Y ƢGQ5`%b|6F1|1#0jmm _ZHgj3{$Ub%W*-V̞oNڔ!TrbA n5Ħ~~Jp zՌOwC9&Q%3sXH&DOR2j1j_I.=ɥ8V 8?%G[5$mVf?h>V:cy~y~Z{5zT̻ڞr88(} չu*%Np&k ʩ(_1țs*HÌM/&p3ֈs)(Q{+~_GޠS(91Mu+Ug!q<:F0ǹFAiۀxv1}ӻ6 c&eڢOY SJ(*b)x)(*4Ij3Ң;~UjM3C>Jxӷ|ԟ#rmf#ޠ2(I"+yL~XRcGnݜt>~ |9t}E1xtO~lƈ]~ltyŹG&kZNZ댚:t3wtw}S{W>{ybMFGʟ@ FG(/sIsFf-おƝ 骂W7XԂ/-psS@Î"v64|v&G'j*t5xS!#($:Zn{TokPW@rsS*H6QL&0C@TN✎IwֵW^8F9=iĎ=MIS-"=ܰ@,n)|˸jeÄ [l_2&9$_⠒q'6({]wE`c%JQF~ϻOQgR:79㊉jB}gL*Mh01 n*(A⣗R-yRBsN #cir?T=zU/TԒd N;n~lZ{JWR%$_Җ.#iZ69d*l=^rT:v%\E4i}y3IJM~O;zy~_Ujz?n<FE,qOy5gQHjTs'nrj%8\/=*%sPR~b,ʊ)\S< PKɤoT N>1|+w4nixJhsS`q8ݸ.F\r?"c#9ƥA{$F[wӵk{:'FO~rcpHfY;Tk)$ڛs=(J)ߵ|"Iy5'/0sC8E.pi3Dm;b WSH=Fɡø\H̤Ly' sޏ3 iQ*Rks/kR%vCF$OΧ~̫_d^[ rjCZl5$g-Y֠#9.Ĝf SBѸhjڎ^JV@iǴU i }}[$ Rnf`70j]45Bҥ?T{vh"RxE UZto$(HJh $W?*eu" Bg(bJd4vafIj ORyNgDPrr2qVoԠH2iUS@y3R* M<ɴ2{Gr9R TKO5Ia~#jpyU,v}~Oj} ?Sc7BQ^'Vsϭ3sҚSPv8'vҠz %Ի*h8aKSTRu5)jw^YA`2*(ԉKd#",K0)7}:GI'L]?}Qѥ$Kޓ6bs1*SMG b*/)~ԆI#bhPE)F2#ml~Q$ [d@}=)JP)Tg4AO%rvag:CڟPCX1Ԝ+^O^N)\S@`FR|)|TTsf2*Hni|?Қ]?y{Õ)N#{!nRex=}۪͐2*l cqm.mSdOC1{ӥYћI-._ SԷQ˜sBS  8aTxB*u|C ,`ڠ Cu;UcȺ_OATف )\I`)|e*`ʚq\Sozַ.X bԭ) 7us REb0)|3C#C ^Qr:?GOZF.6mi暒re4=G*zS9Te5r8tn~OTx0~[>Oe :%wԱWӚsտEk9|(ʯ4^ ʘBuE3Zv3ҙgug:lRy~hއ̅GzΞUƭEGmcbZ>-E|R@2~J)!ߞ:֎6GKw'd 8k**I.Tn,y~td3B(cE}KƤD2cR"gҞKgk_D:,U(Q>Ś=*IHYI{փ+R$qވG?r\И@CTER*dV.&ֳI幚Sey)4$G>~i"3GD8y >g={Sڡ|TA5}~jMKYsULe6 gjэ.톗ͪ qK)ub\KqTDRڳsTdGC:94ۺ)oGNY4 |PA`yo%crוLĿj7֡xILPo_ZGP2ʂsJnϭFH<Tr?c#|JH YwQJgG~;YHŖ"I$y'4>B1^0u#1AeaUg}91:~b~T2L=:UIg>f@ j((h.䎤 ަNa[ZݦO8_tG޵c*TcOZIu2|e?}i^ / =1Q{S$1办[ٰtc1VP* 9ݟ¤f#wI7KI{RGyiKC?pgpi7 MƤ#iQ$*z aPϽOPU!d?H>'=ǎI?*ZFXޚ6C2OZ({<@1I7lUa:U'5Y;A)8V>ʓOh7ZwF4R~Zw0?*%aW YffTArHwr/l$ba ǽW#=ȧ?,iۈێ*#tޖ2(Ac؎ХWRӡ j?>B3&zVf~ҡLzUkq#w5kP PDGvuDb+TF o4.N^j6oBF?v=~~4z &>02.T?SMڛOo0*R)${U֨~?-.;Q q*.z%}53vSiFdn)BKZY_gɜRX53J$J\iI"\ O4$ _,zTϙ~<ʯZ$-h .Ԓՙ5Wޕ&?4ͯguNb>Rcu#NX:&E =E/2VXn)ZwFz{rH[ *'@4/H!?%d(i5,4 =~ZA^G0*)S3Y'S=iڙxVJЌ!L}<<Ճ7+JoL*EFK6IKCn Jy֫ݱdicWL1wT-}2 T:YXFWk^Meܸ_6?_z# O,bNM4Q5D!saK,~R r8x) '^;R;!%BGZ(N,vP{sIuR g84m*ϖvxߝ]wajCq?v硆jpp?̑7\$!G:! Obib03MN5qm|$t#硣g8˟Jax5hM .Y;TJjY&|ǭC^T%(mC!3vT4Γ`_҉:g<}:zNb*]s`L?8Gܪfw4yΞ;Rؓ{I N|^6Ɋ>{})4 BF=JxC'Z-mZpyTǥ):\{RZS#bKAf\zl%KTW_t`yR!PmU i!yQ$H|$8O*msQD}ʧŃ1ZJG(#4Zt,GxEpyA4r#ҭ1~h۵4ڛEU%8J}V<2@yҥt2 jIGQ2DM*4tD~^{ԔLa~p_4-!Qu^[f]q҇䈇5Wi&R'n?wPVAqҧƢ1H$(#LRJ㲨L6dSc$gSau#ǗڈCV@?-4jԆ-*u7PLc=iRՎ1a5ׁR#HzQ ؗwqm-y1%cޘOC6HhF?{o\0z]ܓZdaRGF3U%>>Gމ;VO] Ј*KoMz =)PL i"K╛fclj9ǹ"qݸJ]8Dwu>G4NL*Zt=tG),mgh+:Eެ7j Frji"5JzѸևGdOLS);QL9Nʓg;+;k1L,ڤڢf9KPnwQҏZ OFEqM~Եz $˲GQ@2QҏzF(il_?29^!VMe$oz?yJO>xFHpMÎT¯|_'Ty|jwofFÒ;Sf# Ro?ߩOBV*@yBOۭJU<9hwUO8sLq|Sb01MrR3Ms\55;?v}).zJoLQJͲ2NzK* {b|ⴒo"M֛$nzyr{u)!-|.H:RS_*n?k>rcc5Ȥ޽K8|M DlD٧zBo=*<j\Zz(4uTWI|] ji 7ܴ=ҸT'ڇswses l//ZsOjƈܰ< o[l~`,H]{zɣ&įd`֞xRz+QEG}i.>yL6- |-,I:#*/zQ0Fi?֏7ݟMe [=#ZwJm.Jл   s0>޴%wC)۟ZIN:ЩF*+%JTJ>z67{Rn=Z|`Tг*CŴtnfMy&(eL UlɜdUV469z#ޫ#7?ϭ>[~ՉCɪ7Bx އ*^ҧŠ$ޑSa=iE Ud>ZF`ISc72?Ҡyq%D<ҩ;rW9otzTqILxxvKa?xGRj_U"l2g9jKsA35ٖg6U5$R>M/x1;pVQ<'drFDZas4֑Jj3%Db%S%wJ" S1Js MS2Σv}< LGlITCoJ&c'YksJ),{Q7uQ |yq$Sio3#Vvy叠S{qVS뚩+7 & \~Y('9QmL @>jJD>~v&r?x@S((4L};S^{ӷj)Rҙ2tesNW:&*A Uu85=7J?MFq5srqQΟoTVA?P҆hb+քL^Jc,3K2iCғT*O߭:Hǖ*U\2"lt,OtTH_*,ܪjOB="4Ԩ֦#Hb Q'8~H7Jv{ʧc1[^Oq>y֟++Lt X}W֬q)!49篭KOΈ?7{T_ V)#}}[==m5a2?֠[ԨwIQ-7gzpAzhS~jow>Dے}i:=E.+?#Qp}jZ]@uYEfdؑR_,]G#!}UԪ{!ZAE!éb0HUS AJdqק_Ƌhy@^aS1&L~GBSxˏ2g;Z>N v3Hi9iKzRAS2M4!4]ѡ\ EUCiKp^_[i<&sz⩫ f')v^QCMA{m8dbXvZǗĜ'k2CMJ*|5tiiXsPyABWF+,:y1L`i_'$9)ko!9?*?3iO^ڝrcӧ%D9$z+BIMYOotsY xJga>F/s*ybg2DnI#8m~rN+ӳpp^k,E fA9o#稚c6r2} IB?q֖ԉZE~:+s7Ry4;:[R"7zRr’vޕqKA>ɖ$0Aޚ& 1VƦ,dvվkGb>#>O&Pݜԥ)V['N QuuDf @ZC;,'I8"B񬇞 %fg!.1oNĵfOiG`) ?? ZD 1wv>ZhKrOO@`tfԛǭK7^q=jTwfu3U=d˝S}*dFiƥ[쑿SI.=ɣE-VXS}*m•ș"6 +JWv#IOԸ`UV(7iR85LTlΏ<({E֙Ⱦyh?▙y>V9yĀF|zTuIbzo4~{sK4k (UlKrv<;/+ݨOURIZdma})#FdJPi ; ^͡v_!'~/ޢx@E3ʦ_Z24:EwU# ֠|qx7ԕqUT8L'?Re{V )i8?r'9I9+Tg>!oS-kfZBoޭ$ܪ1ɷ_ݦl(a4rqA9{[dU;1Tl RKڪ*nHNM4.ۙTP^sOU ?4;|o]j]@I$#jzx `N2(J)m٧gZ? k숫F=QddqGJaMW+2?zK'jlM-Оd]eG}OwRqg/GL|sL/Е _K/h5_?Φuևns@iVH#T1 6Q=iSHr?&~ރ'Ij5 zQ}OQ܁U*>9@9i-M:scjngXHn ;> U^vɩ UPyy*ؒ2?M*ѣ"yrYvzhv|%jJ>Z Y(?mU'ϓӧ0|$˫.ݕ}wߎ:Uec$!e CO&u| MqȪHKp75=ك5"o|Y$29)߻N>&.G4GwrH 0?ZXX}~ev1Q;۹iMޞIjl֬pfxQk6bWc&Gtc̝hJ֭Y3]O"QKJtS}>z̋qA)%A=jh^EҞ"!LAzTyTٵThpCg7OZ9i??ZoI/jIk#Z@sȨXRBH+Ft݊ɏߥKQQ?4ԵQ۴ҸȤoR"ϙMWJNrcO_3Roݧi??/=*4YOs>pwRB 2)BJ ޞ1*^B'~5!=)#ь3Qk AQ=X@֚PC*_qեA5v$ Sq҆*^̕xzTN~_>2ɦ <`8=aڻ#8;*ZFOe*JaХZ)]ݱQ\tkaƍߊ0c=(:.짭Iij{~.ҥ35Rc9L_J1c?8v157s9>RԠ`bԼ {uEz~)7{QڈyK/Z_!G*:u1J07z p(SpBR:=>Δ!2"Rlijqv!/Zter;bȩl;OZ$`SDby-E}gr&w 曎*?3?Z$QKT*Z"I 19vJ[:~Ϡ 55&zo]4܊Ȓzb='f@J0FOV/i>kr,bvi.utldI=) lڲޯɱȋ5I))@?XZԴ4\G[*)QyB]9uEyHQy'ޜIcG62WPQbNqQJ%/dRy]fq]ҧ7ʈK=Ffpp>U+ M%k'c8VQtуSȤ#}%уH}I* *'JX.}zrE9^Y|qA|(|Rמ̎ ϭD@*V;HMufߍ1>xq|=D}Qyy)'=QZVت ($4y)+c*Wy|jDɐ߳m5{Ծct ZL 1 f%- ApqS*D҇SQ2'Z` BrX! YPz Xgdsǽ\U4\Kn>` Յ*8Wta/86UNi$ҒDqD08)?ĩA)vP'2M Kzw{ڢ?R!EFB'aEsFzO9)w{PGJӺ? iv=OGyoSۭ1hj'N;vs@+KZrO( N9يB#4ԹX=b ujxDcɪL53c$/B:ӓҘ{S{Um5e EvEK#,y<<-қcf?Z01\,q9&asȨSGJ}WT*2ie=S'0=WBwg>+ҍ CszԻ<|~OM\<Zv|Jڞ<PB?go<ԛ֥ϥ2$q֖)?z vHHwNri+號>coO֓UfnK\n_="›,j?હ4-稫 QI?~ H|T V?)yޢ}N&.HyFH#lg<9Xr~¼dT;La 4&/kˑV:֙Ut|D+J0ÎE0ZkI׌tc񨷜{~槉I8[sU|fxPp)?4= $9SQ;Ԧ:U,GzU>gnVNadڮJ­-ϥIU XEy) e !TßJ"/T#7.F6 Z6{ӹLG-U9"1Zn4zkz28O%V9d6y% C?M+l|>A'O2:VH#b@Ii l|Amڧ,1Vdo0| 8i/#v*'v̽NtUu©u4RR1ZDCR"g9*UDH8)UFzY^5%<)eA14$Y;S#wӵ}p%8)҅GjSp#!=+v$~ч/ң,^& %qLiS!d*sLr~gG EI@rsScp_ t>c NO晃K7{<[I=p*" ~u'>i5I-M;S yd< fP܁S[;P1S<ϛe/j,Ÿ4eGtC ٨9$Fȥnc1䤔n1Hc(Z+ GQLi9sn6Ӗ$JՏc],ArPΧ-T?wڳi%h4!f1s`Ҡ>gE-Ώk"9;r*DiN8pFi J ӕTpccnzq'OJU8^BnpISwM]?jJwyB\,qL~ 0cMERjEM 6LTI.F Ky@KaGޣZZv)#_ƢI̫<ˑ5zU(%PɄX THnކ0^֥ɇNAe)@8 -ڕ̐ܠ3D2,RKkoA#=/iIOBwH wSOJf֤}plnwWRAZ EKrZi||ͼ֫d@c}Ʃ`Jr?:z9eϥLV1in Rif%Fn6ZHxJ߼'4RL DXgqnԻd]Nhhp=i#hEiNq]̮XXu[@Io2j$ -rsLiYzE>[#{1HtMLT߼*N]>yS7>:.@"$j֬Id zel";3fϜ+?#JxYHIUkǦ{̧J#1d7Sۺ&ذQǖ)%=:NĭY[J6:s̨WmQ6󴊉TG'jJu9qGø~[N]Lɦ!fuF8"X0$ bb܎ΗfD^ҥN=iiU+C$X_~Ig[GNg椤%W+V1@<Zˌ|};sT+y7D{1*R%DOZnH??~TΡ|F7TYt8{RP 9߰!/T5%ϥ.GoK'G>1rQ9 R%N:"'o#ީqԖ"9LIo!E8x_b'jZN7"H*7~©+1өik;fBm1I9'o•#"FsJPp8E~1qZ~o֛FM3^iw'75XC/4(GNI>~)dL'Z֦ŊO֬}rgjbL #f M`EF*XqTʠ֓5 zs09*TI%IQ?ƒ #<9  ! Sl͟—%_$)U(f_lV$R<ޞCEa+21ssQR 'ҪZyEb8=C;F)[2I{OZGiu)5un) ۇLx,Yq1$}ԑdå1ӜSяlpӨCPyyUHIʳcڜԮ["2j 4ԃ43W55nW9=xv시iK. K#Mst]{qsMv᡺| 0_bd=2G'.hdbiu5}.Ǘ%!=ycU9ibj/ؓi)J6Pa4#Jy_ZY8V4:d~9$LN4ΧƈVD˃;0lM㛹`uX>1׾ Z>I's( 'fP EJ!XSݩe zp ,9=9RZ2& H[2`櫲a8VRaؤPe/s#*N ]sU9Jfv5 ]HTƒ8z)c(q7GSbzҍ?doJ i-Q^{R=ңi*IXn'9|Wǽ),zL&ݿZnc:N G 0;xy"b]N'4K] *{t":'Ǘ j*X`t8E#-ro+ӣ]}?85!>Nw}“E|C?ߤ3KB-J%ڄb<5-i^a0JcSIKQgM&=Ld.1Pf3AjqtNh[m`pP?4˰Ԉp 5?^TޡtB 1zkFG]GJep8 %O3DU =wzS.0yQꈤJ6Н?Zz?Zk& oOҠ"2xI<9Ԁc8:nRsϹ6{̕9$FGU{Q 9t 3֢R8rX'λi|ۭ$JYr$CiA=GGji p{`H)ڢCQ7ѺV*r*C1DOQPκWEH󑾆-)䊓+oUVJ,'(zS#wyi|уYP5A2)KJ+ ~V[F{לo Ԝ ]GZ?w-6h~&B B4m5@w+U~'ZC3KQ`9FƘDSS }ߔMeZoQUwBN'sHU$#OEFʼndA$oqj#Xby6[śj8 J|Mwێ3kk9 i%zf)?=-z9նyM$l}h3xtr|M>ɺR+6 QiLH*O3?r:+'֝3sCi*tjto#{Ro,Z{aC~͞ة"asE8H~/U Fi'}QW(V z|q#XSRdawH3RuȀ?z#1~GTQCyM)%m%'~*GL5 yir+Ƭ2E/_ GV6/QÜ#`8PMQA7ΜNjWFcޘy,["lSc?ChHO|ӈWZ7dț$FL|;{I6/g`ھl_JzgRd{FigM:hֆĈNf/iQB9zd9*waY?,esb7=!?zQM*Ж*BMH2EB2V\ap=j߻z!Lrig2U!z^j3*ެ G'Y٭oqN'R}`M@ӎÂ*)খΗQ'uKZltw462?y,qDqڏ֝ۛ*l^߭;Ji@,]~34IimQqѦSZΞDfjT N(ҏQ^х}KAboZ7C~ڙW!^R'ay;bglO@7,*1T{U0:{vK)Fޓ|!bis|E 94% jvF(9ɃJ,ѡ2\diOC0P'RNi R[/ҙ<ߵ^w{RS|SKWp1).YT%MrSIޞ~b7u VWwz Et_ҟ(Nqޛت=9gZ ]ǞiVd`qڏ'Y֔[GSQc.Q7+|QSjRݏZsM@ &?7ԉ|i;7ˋSTg֩{V!u#Ut,gS-juyfJH]^з*آW}iy\֕;LoҡL9~N3xgqG_U>bҜ ES#ʔs [V &ܦ.vԓL#>O>n ]\s O%M̽#c>9 Tm4~aNAݥ :g[0`ğJz߼YC J4, V%_/y>]>-NtL"u$G*5}.DRZ^I*(%y Gs_ơjCNb굡TvH%hv{S?y |w\&2*z9y9/:RFdamTW.>djl}h3J AO )]ǯ5mjLE+ȝA?EiyTs9+iͦ?Ma3\T嶞l1GPsbߪ,g8VRC~dÂ1U'lJ{UZZ}/?*JXaT΢9(hsloJpSUTޙɌy=e{ړTO) @5#}>Z J*awV8HtSKbYf9ޣqT^>^:hյ&UhN:P{T zS&`NA51{RAn=1Lv6B 5;TB_<S 6_ gsK}Ba# }[pLRh]WқviiO˓jނCԄ8 `I(^߹:BQ*RF(Uanyԯg䡱)jQ  saS~(4#dU`~;z* A=*ͤߺ\}զ7w=ۚ=h*)ʅmI|gjOMIGRy}hvsQZ٨I6̌GG-#TԵ{ 1ɉvT?N2%gݻ=tUr4 qYIz<ȡrOGҗmO*^{ڪVC-{u1i{ttI2ޑ8C)$>>{v8# zjU?'ny>^1S2*PATL}ИR}`tQB} B)&!ҥUU3zqC )+_ľY)R3!^0{V]ZVl_Y~T$ڙNEM8]I7Ɂ1jDzT(rJJ^NG/R7ާ}ڻ?h9xZC) 99Lkz&HEE$5=3A'($U/ha{TzwqG+kb2:ɂq=z{Ҝ5v#>~ry~X)Iqy_~G.)[/]M/rPt 29Зp*TY4z9dqSoKMܝ>D ,Gz 0 3f@(_ğK-pbM )!N}-o?dvI$})w$tǔi)OŋU$q* 3*NB$zA:08(j:}EXi0bC D[<\ғ,hX+ݓi?}*"<ޣtفZ9Sߚh:Ј$BR2|"; bJ#˩}*m iH_7j*/ːqMp =E5nG->JaIA+ɷ^ʀwy4iY_>֭8*&;xZ+"2pABoeR' 8S1VRe?ZH_ʤԻt3a\U\(jԧ얄98^UE_GAb U#pvSbR-RC4b2(^~~$f52VH:*<9yG5 TFώ8戦pX=4;;jnI&`(yZN*e[/\z8J_[({sRQYY~Ҵc$Y sHKdUPOz䌰IPnbVJGARI=(b>BEI.xQ¥{ 'ّLr1:Rbz(}v˘=*MNK~ԌHs֞B:רI+7czQ*]ݻOƗhgHz_ty^Yw}hCE(gߥEO?3R)|j1 ڎ%\Rֆü:ՀBT'}?Ji='gZ*#5jJ()?鯵-'g^" QSmt&zOǜ栒R)##DN?j:CEMUssRNJ*ib{ө9&ʐE,qIeNh0 BC˚I~LVLUKoH)sNz= ˋ*.^֣~T6鵇=*UÒO~jFS7ةV(| /֐rqG(u[+Úʹg \*Vc֭&ߜeu9L#G$W؆-TGyS) ~Zp;Q)Z,qRC3qb£tpGZEm>Z-X^c>G3+bԑ$v}bR~WJV?4Z{Ly7rݫURjE,$h>(?z c]s('9[>_)v$ cOlZA&: R#PUgnޟ-WQ8 #ՌRmO+ H bԸ5J Njo/)Mw%0;=jC(wmӗqU )?yB$INibޢר|cJ8x20@RH>- y2t~?"~y3}*C,9붠|=ԅBſ4Dyi&֝/i=du@L·LwZ'^Ko?RRqݎr6z/&A">DI6(9MfW񩑎wtt:G QFrF*pCw&QRQ+tnb姗zX}*J{2,lǒzn%Ɵ=}Fj,r'J2I2qINϵ0œt5Aɀ3J߳S|ϓDrIJs$WtNiT=)0}?)p;ðs<בPO4JQZ?L77?JA1ͷFEA!wU45aҶ34ܱ<*\/uy )'ZAQU8LIF=Z|FQRB\ ҥ2糱 p}VOOƕjWgW6R Sk2}(T_Jg}:uCRӪ@Š*? ʅa Iϖ7ԱM.@ݟja3QDM"ꎏvKK??琣>o~j,abD[icr Ze>"" ִ{>܈:Tߺ0⫭/֥GΊtv#(u?Qڤ !$'R)rXLbCR֠c<ڍYE9z|_Xu'o4|B\ԜPM'Lf_2h Q_SJZ46>Aԋ0| f) E-Krvj:w Ү-U3RF04߳TG܈_2:ƣYP|ӥYP-KpOso1sRyaN_^<  ԥx5|*)R2?*vjƯGG4۶YG~gcLZve{Rɿw:⳶`oJsˎFAE.T~o?ZW:I(n*R'ȭRV?ZUw*`HS 9QoߡzdAbۋsRMsI$jA`֫e֊nW-'̍KMLݸSZsaN3S ]n~j$թ.ӷ4~O׊j=cR2XJ{䎔1LڕN,):R-:ȣhiۿZ8B f}N{F<(߷)%N=Gw9҅?;Mhq'4D3%/ )*R9R~ҭG"l #ER(Mw7&GO*cNo_@'UDT.ѻ؋NE'|ʎAT(.}GQyLG^ 69bYBOܪҏ7(EY px&QԞo?AONh(dyov}vвIH H(?=W;$ Vec#ڑʄ'\G>B9Z=?Wc=Dz6:aҘ蜀)z \R2$NTS)䎔ks 'MޡW ֞qU:5RW&,~_zFfdoIQ;0eL# Y\<Ղ>Mbmx9=&n0p)"by赘1sޥYnɧyR44U> $v0 cބE#mϽ4nkKgz?##a G֛\%$ TlLiRXBMu^B/wsމ$RVOڣ3Q%I&&FZpsH 7ZȒI<̆O~`1U[Էݤլo ɧ$}߼Prީ+SDZS 4eOM !GEVz;XB\ns'*G)7ㅦ!_H|Q.܀Ԯ0j?l!R:Ԅ6RLʥq֘X/SKApzM 8N~z#KqWSKNߎu6V+tÌQ;15"'Nu鿺*ERՌYr[ƘmzC?5_L$iϾ>J~4""O3 G]6б/4g RLhKSS2C$>'k3m;3R3kTD,G ֚HqMF9֖+햕EģPX-0b+'@&un)D 0FHi6|U:oXnqSl/dSɟ0J )I;?yHOW/o-)liN'VP߻ڤ, u r8Zr ;s-AG\S `?v;V:idQb7$gQ#QL;:3-7Ώgg;E'E|fJH$ONÜ)Sw?/S:u-i4ޔj .fL=&:M=VA8e1GNV9$v-g$zԩy 4y*0!NcaT.WSMRG#݇c #1&hkCDIJ:JM4`}iԟYI3Nd/v|޾T/*Z pSMUYyDHMVN=< Fh=):] w$8>[rD桍#jqC\ӲoQ<'RI Da&3*&SSvWϡyYai/8*`<5/VGgZXZ"QcQLRN (rF<¼r*I~<"֗v;}#L%]gF2A,8ïjx!W`GPk# XVqUyxN8%qa.8'+<`sMmE '`_d֓#?*5%S/Ҽ=)Q9bw㰞\|Ϳ=;>NH?I_҇q^drBO|My[ҫyҩ)I K81X^ϰv `Lo*Rg4ZۏoOD}3L{}wUknn?w'j?;"4rgǷ&/jtrSjI"'-Cej3Mrd ~4U$oJHup|Lқޝ>?Z<ĕ=7RdXc83Nry=?JwdRPdd9Σ3sVҩW3Dte*;oFinFzG~Ao?:BTUdȧUMYx8[ aaK ,|֏ygy ɎO+Fƞ)h*I=j@:Hr*0c3M.y)s+)KpA Ro“n~R8uɩPhu S/i.y_?_Ν$曺OZjGT(7M d}jiǿ7z. }@w? cL6OJb;vD7$`RPsJY614 xG[ĔS(F|$;(~Qn͓zsHFq iG)my>xޓoo=Oݐަ=jBKUYcښ[F9^zRn_Zzg ;{SRFtvu2}"{ԆqOJܯAl\T@^jzL>fbjGR>SRpJpUGftܱ.6'2szSprZv _KLSj5"(;P5nȾ`Ǔ֨ȧ ͟|RoΛD?FInDc{%Mw>)W&MǗM1y_~V]M?voOwKsU[ y$R`HNb7<(j21/ZdP:i.N#T'ʄO.zAPTxSM0M2w|i#' :3} ;*Ee>X5YJ#9Jf7,ֈS(uĘ#>bESӂMԐs'Ug\iF>rqӂCX}$S`|jxV"$ϥCtCfac=XE$VΓ񩊁_(_a*0뺙hQ&J>/~EO֚WEi#y c(5-}[cZWbF{QRP|vq~NiPlFRA|?Jx0i0_&9敢"x0 S7v4,k*O==#ޤ("N_/KXIҤsYnq8tip_JHYY9W*1NV|$s&`~CVV!|Ih 0hdiNu.Ac~E~*1泊쑢\|rOOޥ }})j_]N0#AGo){Ɋgϙӿ6,1)QH/oZoLۢ6{~uZ(rOqR IҭAaL@]E6lȆ3R!U_JEY021XH.ee׭6Վӏj|᯳&=jFd|?|}jlkI?6KZHsޡjRs/iKy`?:8>e3妬_Z<ϟ#H59jH,ycbXRǀMCWµ5y(wvnI@IO֞s)`bu}#ޠ DpOZjpR<-nIy)G+/ɴS 6e'?1,#MWCAzUi)UpxA∟x4Jt`o#8LTsy{iu6)؜Hi/*p, Pԕ%i)/KD%%nUjDEE%JV<yyRe2<*ɊqKb:2<wh_jd5Db~5HT,NsU$'ӊ dj㿲00JԔVb,yVShˉsK;;j_>7$J#R);e"&PM+]'K ?ZMM3)Bȣؽʬ:(")*D{t%3捻S*!Iˎ=6)oʘʽ;U_?=/q{A)lL.GSJZU-QiQg֛)j'Qцib6cޢrF0jH! u478GREޝt(DDRpԺ]mHKߥF~yZt3zID*y`#՜c)cpA'Xz}Fq޴#AJAqhZyzTJdFo*hG9IzRثIɢNGAq 9ɨc'fj%L\vWc]V*h{)#1OZo' g5V7&;4ٜ10:K'yBO z#—57՘E@܏jvnsQF*΀4ƈ9Vc1dW:GIv EqJN~ju}gZ Q#Iq<dzrtjMC3N|ZO-?y|o',3)<┹QG2>S?Jl}XӐT巧Mgb2jO7ҍC#|}鼩|˘řO*޹ '+e\yg U.RIe8GFI'' [)%Gp)۝~mS5 @ 5j-5EU ĿjHsO9F_I'je(cIB3| $`STYq2H.|'wI:/YP@JdOjqv}3ƿJ*P˿S (|7䥄aAxeI׊l7^]]51q;ՉjzFcldb')'? }Ir8G-ʘq"*aǐvЉbg=*U,90SPNp*)ts+DxSD8)WI"f5$j)DHq&4d?Z7~R )0'PX 3/OPyR?vqR(Sy9@مG"=)4%q}ұy'Oe/; V@Ȩ-`-R2Xܴ":TJN@n0W:?xGuL UQ}̩Ix0D~iQq'_z~7h.o5,5= Qey'=hh^GJ=ҽ慐p#Iu'^sڪ\V谌9U;FdflbTlu6w Td, $Ҧ s sSs ׽Cn[ R0|* NFܮuuzTnF=*&u*vUuO.~aқip$8ejYWӚǯ,g=hԁx-GQ:{Ӣn_Z\987!=瞦`cs5IQy>$]yMKg"<ҳdzSv*9&W~̕e*9c3 S6)3}(LL֗Zg7,qA&egoNje0GvI?B])7M EJ?<߭7^:Qc?TX=g~ƦӄgZqC1RiK#N ZsK$~_V7晽}GM6m1|LG3vf-2ߦ.GNIɤfuɰڅܷ$Կ7crS^>•%@k)~\c9OzNIJX48*1rHzAX;U(j_/rX$yriw^Ծ3I=Tl5A\ӌu.2J>})^iq?ذ>8݊aҁjl/> sy_~۞io?IMߩD<rE{Ts*"hcpn;R$O!)O)Y=JOu3__ҥ\I'@H i%iSO^‘W٣0J .[hApy2$k8IW'&߀)M~'1I$nA#4^Y(gRPd¦Idנ$¹jI'E,qiKdCȠF<ȠM+}ziJ0nԔޛS/gJ|lM.T1;ޑlWvd)RO.Lbٯ =c9k;:A;Դ?#SSo 8 #U^ =&9#i n-5)i*ئJ@fh?u&j,Ia:)7u?&HZ[SHH 7N1A99CYySG)B1VՏ_پր}s4H@٩Qf~aڛG'GDMM#Qc&E_:L.Oƞɒg4>lT^hCT*-rgWDF=㜊2ldaN7cFFqN8GG=irq⣳Z>$d֝-E}6#S$~?+XGS$xQsAzUrDNyT@r22*Z>!=c@;pi!YIJ}ÒA>n^8 y=^ҍnKCj~r%{n>\Z4ŋwVP0˓|;Jh x-S>_ /j/-*֬?p?t#?Z$>XX̥/ $$[=Y&RSCIɟ2C.3RGy#oHU#ye]fƦ>w{i,k߭: |2WVFi03J+MK~W֙jNk+w3pz{S')iR2֬vYe\Ty|!@CjϠē'I f`tSQҥ_>2:=HsMe$ӊ̪~B)n'қ ޜ'RN Њ!ra&woiyCELBn=(¤Wj6"2}GzT=W,39jGNf,iU%r;)$T2+a_gA6>Sc 4qT 4\ 8=2#N"'L3nh9) L kٿ~2CK#04j ۷_jJg>z}dݎnb)Y yNœ8֬`mb;#OmWѓOݚb5)HzaE zI8 SQbDV Ip[H98iW9zTsy=Ug}J<|KnaQ0Kڤ̃8^N+O%iR`T"uTDȬˊ)9ppqN2g#"p 4)1`A o`c!{S7P2(s/mNZ{%}i0saۏjeW3{0Aߊ/.*]F`y8 W2%#%?yEW{קRy__jk/ڈF(uL$J g h쟺S ~\з\P<%8do|">fF8p] #Jc*ͺn)ۑ^Ac(AI88r7ؔDIyCE$llvP$"3ڝ“j|?Zd:>~gm7~T0ɞ''hי̾_pߍƏ<EUbQ ykp9 })~RlNIv6;fH4D@g2J?Qm;idtB(42c;R"Gҕ1IN98[ƠqKƺ2SwsE\}ߕWe5f9dU;UzztSI"!Hz\dd<?TE2tƢG}g1R#7 vHC7gPtPl}/O)*"c4} >lRɒךY0TruYCY8Qo0J~?vW~P\0qJ7h42ދv4#Ugy8,M=* 5VfBEp7iFcaH8)P_1Ɏ}j\4WwK852WҧИ[ISrep:GOUtש]#cБR4\H)85ʹYq}\&SMҏ(O5iyv`Nj))|"U*AK&8TUOԛGɰ,[/N,By5O]U=%oLAQZU3欞nm1Z\x*Y e>HnGGv7$CLOEQ*1Nfچ"kkds,pzHN>x12+3ZV~AJ9Q#((H dP2#Q C}DCsJ@ bJ(*w]I$+ 8I0:Se~c9m?Jv){]af"͎Hǽ0Ԉ3ަJ(_qj:WIB-2]߳.嗽">֧a9S27U=EIO֛s7yg=GVgNi4M_![4: &RPEIKu$R4嘐t5HS/C]Y9t)?wP~D82{ՃC)RRd_a_QΛ{SP3Qy֒WIM(oZt\MLgvq)xSyG;Юgv;sQ{QQkCK$@ԙek):p|PǥL!B=?M}$L`j9sj Z]}p_+y1zTW4[D8C4%NWG`;.<,SM.pҫy)MI6Pn@5kU>2xf$\(sQ˭ޏё .G1vuASN k:4y kȊXJj:28(WQ)]ăΗ<=rL6:"Ե,43bRSE>:QJI S_ILToe8k(byFO<)i0qޖB񁍙rRZY]F=ҏEP ~FIE3QQBqޓZ "#"$Kx\(dBLzK{?eE<,j|97gn!S%0z9;T @ΘM#7ڢcrՀGݪkco᎐m]&]XSSc4˸R`|I5p)VP24OpN*v_z8gm` `ӁOD`d;S ?+a:7G<?AE6>$Z"'=iwڧPnW|@ DUWNxK$,3*JȞD}hؿjwn?dEqV#u NwB'*&N3UذfBH&8#y'>4CR9f)"2*׭;^_Yj psO>{Ttѣ&\|FOIiΨ`f3?6w+1n){\wfTjK?>^{"Bj6\"+i蠞hQkL):w#&Wu*~D&aIq: u袑}wP{Jz B%`%`Oj@#CI1t`J X o‰?3#҉I?G/!Q0jo%}jޅ~!RH@?7֑=3ABIJ,MψlLA=g8kTT A DHO^ga#եpbĤI%Fz/̪ޣZ8<@Xq!4]x4%:P~_8q;$k[Cd})޴=J|}(6#uAڙCA4o3դBks@۸Y rMWq .`A994iRӲޕXs>r8~4M]gd ?>(0;C"=c)FOJf+̕c,3UYb1=*szAQٍ# 8=Z8-RAuܧwU?|m>1s`^@R;˱ݾLb2>z1㓯ޭy yIܧ7ɏyZ-Azgb}Ԝ|XWNDy(hڌ=OFmU,ѐǯWc֟^(<ґd14`F EMF+@HaQӵ'd9Ԟo?+YUl74L뎞wdw>忙έ-cy8QR?Ƭ8#S:Tަ<㊩p亐:u< -7wBiRZJ,;uQҢFgaܡhy΢A㎞/YScy~uВC䏌v!i?Տ>ˌ?~9'9j\nMWecH?=*z+Jg 3H1o-?99RU5R)rzS]1JUW?7":3~IKSw}Oq"OR yOZ&Lm6ޜ-Wsvz qP#s[U,Lc {2'8]K14H8lD8S^"K:$㬔ޜ}U ?Z)ZDL#I O*&?yOq)5` H߼T7Ӌ4rpi{4Ddž#ni0(83]J,XʃcT%jm"S RF7qZfg$:cZ|I#lf0z^U-FSL 8q-Pr{^yn4B=wS_&*9DYzUVQLZJjkT)I*sTfv{Wi_=I^;vdmVFפ?ئ|npu4TznKg D7%ݧEV=ScFOJR*Va/>c!ag)QJr^*J%gҗ^*yg* ~̵Gi :c)sja92`/+?٣@~Ԓ @4 hJF)n|gR$ +w+ZB_/(4Hx#$U*o!y>!LgR|΢VU15U29 Ǚ=>V٫8%p*F/FoVW"F94J66ӥk<)lzSA^ggmkSJic}æ7Oo, 9VIwf=RSkhX ֡V.sچmn3IC =#=hW%y3f;Ss8Z/4KsN|mj%BC6L=fʝ&8ԩr_6դmK1>:}kp?ިVij*;!qܧ? 䗂2Ԅ({>Ε*TLsJ3Cǭ5RS)95Ա$r9AHL^ .A9C3՘wIa$夌IgDI A! (!4ڗjf?uף͖>1J~ُR8Q'ҤU >(#n?X0歫ĿLmYVIV!kyzn5aXk 徕*'a5rQk{1790QƣvWӽ> I$g4z߆j(xy'iV&cޓ&F^ŀp!L>JdOJ*|Q&EQ)s(,rMg5-$:oivJ@*(FFTS֒kdG2iIggOJ B\¦شFπlD(-Lv8.\ ҢPeO^ [HCOVZԬ6vң$V^NP/ Vf FӜҲvrp8bGWNjr8ܪ?g8_ޜ]uyHp2*eL+IEu5LmP?V$%%%M!{/dYfg3ҙ3pizѲN֣<-rs'9ij/kHX̏sQ8|ӝ9JvwūcU>9+Md1L2$RDuK*=*`^,kc~r)Kʥ%1>8d$`ԘX|.f8PAOVtG_{'7?Q>~i|Qޡ{jJ:T̈́7_jEjt^@niO3֣;#4ݖVYfvbZ9D_Q+C:"A>HT<6hŏ(ө>貌EH &G+!{_g| H.L"HĝWOq )oIy:|.ϭ;kESDQ:M3ϹO~o\SYZbgdBsP*̯1դgfVQ8~jYd1pzwP?ߚ)R1IPL7nעjn5 SP9#~4ǹ+zӳƟtϥI=i1HWMRcj'9F*9$W;xMBV9` M)5}G4r|9jy;jR6dIaQjdOCVB.^]T /D"7zV]ms8|Ì犔'DWi2gc*uA;_y>X֒l1DZhAS]H(ܟҧVS> )T)cCV |>Ҫs#\T)⢓bPqZ79h8yiĞ_s6KE1?՚qp9-Sm9*_YzdR}֕n=$D#0OQHw$4_.f/qQyzw8eE\Mqǥ2)Ƀޟ1eNot~o5N ;Ҵ}юSNz|bCR|IP (iG_zUw8_70Aߺ1g8NAqNkptڎTbI3Iy}5#Nѡ9BbU]Jd+'O$WQ#f3Up|2AE*O<0+րgX ȕ)1*ɀ>QSf3Q(/d6C2gYדU[btĸLxQ+{4Ő*@xjyl`Ep*9 ޙOڇ[Zʐu'jy԰w^$x*bF6@0=GEݳu,;L{dDW%Eec=Uso[ ⭯]6ok[<.y? ޻eOg4dt{Ľ]gLbǺms\12Bf+}a~dcg͹WfjR>y۟.t?K)tq2jRLj-0>)޳yv[(G;>$M&ti=sr|EhfOuEĪ~^<le_hX?OzE2KcԇڹNH`,t(=bGg̪d~4ϞN_zr\|0VO_1uYFg 8/uEmU$pIWWLR{R_ futxHwΎ~v+Yi1Uv.Y|ǫ<;*)mEWKtV/xxI w3w*v2-gwZ,{J NKKCVGt˻nS^%qatK8\0g+Gԧ{u1Z/="jwq_;kU楅&ܯ[o|+/kUyliz갠_9xqo③fOʥ1g]8INe.{u6J"v{nKP3٪hRdw3b kMl/V= "Ś `8u5:sy)햭Dԧ3iz딥ҭ*sؚ>r?O}W˭jJU㻑/Y岿;b.yO\7Lz41:h~mNI7Ş!R.?뚏Q{ v=xH Fk-iMh:5,Zm ',0\T"܃^U MmtOm[ET1RipZ7?OW[C)f1&!Ϣm\~ݳˊԥnsZrm?-XMP%sOXGn6VSeCq5r;H{>owLSfeu\N)lwoKvn6.'KC792CƶzW6OEh]L3 q\|C# 7aj# ϼ:jg̸oߖih#weu*[e:TK#$VH*^?-B|[HsoD (:B|c_2~lko>~z~}i%h|>tHtIޚ:^}rKb_'iyT Yyj"M]CM}(/~jJ{`qThUU/-~o<6yb./>11_'F柟xyhbǘN߿ݨe{X-wfY;0ww\̱^FP⌽tob1i#̝>G3*E[[V:d9&x<)aҡi `*cJI'4(~#ԋvꛘҤi6q钱'zUrz19Nq受άp?=//k`p=ig?AQPC$9'a(d;RJ"]8#J\CDFxa~c jkAX_,0 qPǓ@#8nBa~Ơ()@>ZHTw% 1ҥ#j*c á⢔n%wRZ*:S/\d zP ~B9Aȥ2M; y,%ibWEI:h)1=E"+4N7ʢ.r14.3vfT%Xe5-\s`7.xoҠO\'lUr4ԋ[ҙw3y6"K7dTp~Jt*(U):~K~?<<ԑ/9[v.GL|[Njx B e>[R:GFݏZV1>I{/e>rJHë֔ Pi~yϙK6#(4)y'2?Qo\4nO<'09?D}?Prԛ#gSb$IK);* c4ajHXnf +iYAiIJlR)e~\[ɢIsie#=YsAb8)ٕUNX};]h~8YQsOj9敇4=ȷ+5U֬THd:|3~5QغeOЩGҏ̆pXqRx'=JM $†q%@$1f"U;}h~O/jp#/8-})o:vr٩jWKl}sRPU)Aҟ*TX_Qui,lң\MmKc(!sRDJfԊM\drhINP_ZcI6GZJiU.qB|Ɲ_pp4GJorJ\oTŗ)*5}RxҴ23ZvTa*'rP&}m~^Ib"C`NdH#''zj#=RSP;d)nD̟%_!6?OҒOLT}mpؒ^J#OG杴 ['~t|374ŸQ ?Jit&#Py{Tj$s:ԓG'SGߣRII)iu4$40Jѭ-дS `<0}:{&\4v8=)_7vmI%c?pR?MHG8'n\)$d<0~m4,]=~Aev0[4/:R;l>4;s7rFDŽ5#7˜Zz)?0w{TQwa}8W i-{kNWUq+[ǯ:ٗ,yJH YQ4WV'TS,qsN)_S5JĒam99nyCh7' sVd~^hO_<)k#q.jiNF#E:ie򦈉hu#ѱZW˓=f_«H%Onf~0tOƘwjQք(R?4B (ܾ]ZH M>?)X1&%ܘZVeyϖ2hw}3{|G849ɩ4Gġ $j%Lp1Bˎ !<0U4M-N?D9xR*sLf5?x:0gg9ZHf#2)UZ̿lo5D8&|ߥwLqVYS 3ҥY&ZCUr!3nH GJmxqc3gmL%?+%̙EQ2P2IO ovܡeA'j3}5>7)ևio Q#?1R4zTOW)?"H7H8#nH=h[nSOj6~ByGvWwO=8j1Z)^>鿵VЖ~1#qQai-\6ncWohAKgFbHьQ̪zU{R0Ni<֫'W?>| w:ȹt˫irǮA]nε]ږ0\ſw?Glr+%eM2;vG~h/tQ&y9ߚMX*)? _[Q€ebRq |`Hfb2AS 5o[)O%c*Ya:rH:W&j.g%/ݷ|=筀YVZo?f|-~5x?Q2xc^T`o[gqqakf޻yJ3澐cZl-U0z.$$Ik9:Sv "DOuҮ=,FaL𡂃>dĺ<-氹,C0S%ì nbOjBj>A^eK^u:# (o߉2Z_ o'=CSiSUVljoyJ+?*̱|yo+j=bA[2ojT1m'u`VcXdQK  8O3㇏A&5Q~C*Jֽ>VݗLjbf MdE})iJ>)3f0nlӃgK*p9GԖ9[ Z6@bFsW}C5)1$Z?]/?t󌢬l'Oˑ֭;oY5A?Q`p?ZNva! ~??p4nI. <w_WRE8: ct3~!>о"ҮBVqȫ[=K|^jⱜVmhA IC^Wx63z|KAȎLF7HQTg؞1a%M:Ζ 3sU/e"o_bg8ݮ"y~mN:o R >Y7̇j ~њ&$gK;bwBa6zXws!xxZ\'n>OW]~ĺ;I,"4"rs0F+T%J1WWO𶻵K[P{+YKݽ0dS.X[w*N@{W(ݓ/gJ,:8u=L];ǂ.06ᄇ F܁Xʮ'IJ)j;~& |ik;ٲ`Ѷ溉lgncW]ɵӎ1^} ]΋IXU28>b9z"j;V3-Ox&:`vO^5M#W $/Im),5gk+Ut(c8O$2xC3/,*1V_?eߍZ6mKoht+*i~/_U)Sm5{BMv?Uf~>zmcYj 1A"] qʎ3&Kʃ^{ZEnc_0g=3lאj"L33Jץ|k&~ՠkeVٗ?V5/ߵ͏5A}i0QAnH;~9tކ/-2xcQ;ՉA(f__ަ؞+]&W׌Wwd:<`n@XI OP=W%CtwN0BH?'ڱrRm/_g'Ӣ>>-I(O1沥7O6ȟ~4e~D_\Y-kpw6X59Yrc8?C)C:Oi(? K?/@[H!jGz`]?O)PPNk(>7Iq{5Ėb8\=~#}r^N*?&ۢK>6^"hx6 ؑgҥTXgJ'hYLABw&޿[׌4 aʞ'|2k岏ŒNvvTbq=mC5v}wZgYe=4fbuL,$senw5k0_/nwy>Xk)7e_8E$@895Ǥݬ:ru+ ~xn-[tdpp1Τx49^Tsj?#?:jw|tU5]JPʢ9n3{Vl^55 N-'Oi*O\-spL;|[$*ܛB>z)5=L+nmDwOL>נ-[Kgvi]\AY^ yu8|HS_?|>/%`~'"ҦK YTΝ}]L/uN4R2:zsZb3-u&4.ʲ|?'vu=%76[oˉ}M?]]Gwm4N@0cީǶF9KYbXvJN-N6IzzT_v*IՖ!r-5 !5:ZyƇ'1 W O- UXƯbjhi̾Dz~p>MJ'zWZL._hW2QYO -eOZOJu<V<׎ rc?K*֒F<-gHEZLR>bcO꼈4>c1FvH^IV&^}^KG;^i>Pj$~dOOqW[Ῐa["";b~VHWF5xgjϩ[IB6|50FWԴb f.}OY l/#w69f6RUv{;|Cuy5Sk#(r?B,SY)J4HFz:4W?eWZqO"d?c?S-sKvb |yc2|رj~7mI ߷z*\kB>gE,rk'"&Dd|w)[*J R71HZbF܁-;Uv[K.,vgBQP^;hkl_Fnw/ҧq).Խ[ND;|n+݄ };5y>%臔M*9&R[^FgrqN$$W_g4F$j uT?jK5r=j;$LJ5ObOX0h}GX,̻/U_hŸ=B>4D6MBJhY2\mB;TCFU%FI/EF Et%r"WǪz؞J6DvQ-ߖӡ@i=,UVE &*8!??z$^sZ+\֗*R/THGn912#2$y20 j+}o͋y *3G֣rd0"Z՗(z}g)Կ=KNp*cc=*i.0~tqR3&(>ZLIOO4Cw"8Ԟrr)P7 *'rqsnW_x~Fx,q<$`M&@G j2r6cڦ1xdqjc`:,1S*U&b kd 6q@ a*})^iqE>F [\N|sT~dɞiG#=NCR4N WYSyIښ#D"?w*T^cܴo*12{t\ڕHT<4 niZ0Nc9h:34˞.aS$bs/k6EW8ޝ\)vOOOO8pRʐ~0OM~3lO}O1h֖9@緵&E2AbME) G?vVM*0.Ұn=|ww|=Aژ[.Fң,)`zu݇^#$ 2H'By2v?Asb|qUb.D$a0u.DrNhG 3Ԯ9}hu)j +&&'j"LpV? mU'`ı5:T':g]6Hy+T~Ԫ`Ӓ^rY*=*Yϗ8%Dv3Ŀ?ܥYTQ!%NrERyȣOv'bkOCj ǭXGtA&!׊# pf_L",9Zr#&9R->9?CVze C4[(EYv~*m1rPH9Ԏy69X۩^^ԉ 4yVS:tێEG.؆)8|ա~5$nG9}QH;9!RW)bhw` @#Mj);S9 _2S 姆 >έN gҔ8nVhU)̚U1U@zշ`sJ/@Uv_ҕLaje=oZM$r|O'jC{`Myin  9ٶGqJ2{ʍ` EE/d6چOisV['Z.cy5VI8-[6Zϖo?Ώޙ!? MMŚ-pwS掴8FwPrBZ{/9EW#> Ȑӵ}*v M'JN;P`JpN}))}iT1Pf:I-ɤ#<M#kK&C=iH`W99<;ER\Ϥ{d^ ց2W?ݧӀG5N)"S/\xW*|] at2 :8<8$ù>؃8Ґ=~2MN;RQ& j9#hSI]{5ob]~Zb9dNneU/s }ܚ-Ny4K$N}*VPVjiJe1b, ,Ы#fUBPGcdMN7]F(#U>f*I`̀LVR{BU@j@>PtVb[5gu-K?AZis'r;r)d%m>LwU_ƇjI3T9`OO 櫎~j9FOc[E4Y%|TQ${&liwgN֞Zb;x%(KoYWvOƵk붅sDu,}^ qbE%ܞY]BMesm>VSJkKg pU<ۋ[|ܵ6 .2wns32?O¦Ѭe.pp\Zյ)y3~\۶˛}֒t* ߄:նd2|~NkԟPf4 KAi#Ye#޺i7QKЭI#ل^8r&0[qO*kM"I"NYUٿdbۗ 5FL5?n3k G8i?koM0hNPx _\qxS :iR[&7T%WNN++X&i+ai{ǘIϧ"\+mo []Mҵn#Y%w¿=q]XSqӮNJ),VY![ӜVmыu("ʿ_I_ྒྷGZ&与sEA֎@2F-H2j>c?#7w 0XNue(޴ ҌWxeׄ|Mk;<壈V3kOdHwU;Wҽ N ~HJk| լgjz{'ݰݻfMZ zk?xT߯J{EEq%_\Fe1r97V';*XRʠN)үSpwwNtžq?㳻'fe]SD?{WE[ʛ&V_[و_;]#TۏRozέZ Ta?|4ț _/(FգidHҙ7_Jܷukua7ϺT2j'ͦ p<95Tj>m[ό-[GFn}v .SNJ;jgS>f/T0IqR-5 a]s9&K7]:?~=>Gd^탚_VeM:Ęg:W^DK=Ccw/蚋WqP刍7'ދ^Ι4Nim}{dOkԮ'5"& 9kZxFM{F m|o;}}i2zn^00k*?÷<(1 }4A*&Cc_Z-am,k_٣2y_)VŒw4=ZcbXֶxGMZu9/sțwRp~x9ս oy[׵| >ĸ/w͎t٫w"JYB15J=vȮHV%5kd~!x#GQ@.ո;6[OaoM<׫.n4oZjw _5k3?|]1iUv=+Jc[*ksî#v_ [<j/Z#5$o1Rm۽W#&F$n3s򀻾#ׂ縶 wXO0u,-G'skmƋs֤X/*$Ӟk#YņRk B[G(cXן^EjFSp1+ cW+|*{83n6x~YfI*TW_𯌱4 Bd1}i(xv jz@8s]Oy&RT'YYr_|aῄ.yR|;+${9'}g)J[O Uq֍-dz2AJ:WJ#JG#_(ڏЈ^ُ]|}/=c si36m,~;*;t8^6YbW-Ϙ߳f\)9? r|G Z5$|^=2;WV}Rx-E?;9o>wip sSѬ%loUVN ?{7(z}EXbs~٬ ݰHggz^ٝo>n[knȫZ"I 0Az*&|C>Ff_IS3"_[T9֑o?Vnb]߹? |w$?d; ~P X,_>[\Skj_5ɧ6՝S`gHKKwy_TF.