Widodo, Sutejo Kuwat (2007) Dinamika Kebijakan Terhadap Nelayan: Tinjauan Historis Pada Nelayan Pantai Utara Jawa 1900 - 2000. Documentation. Diponegoro University Press, Semarang.
| PDF - Published Version 226Kb |
Abstract
Nasi dan ikan bisa bersanding di atas meja makan, saling melengkapi sebagai pemenuhan manusaia akan kebutuhan nabati dan hewani. Meski demikian, kedua komoditas tersebut mempunyai sejarah yang berseberangan. Indonesia sebagai negara agraris, khususnya Pulau Jawa, dalam sejarahnya dikenal se bagai lumbung beras. Dalam perdagangan antar pulau, berasa digunakan sebagai komoditas yang dipertukarkan dengan komoditras lain, seperti rempah-rempah, barang kelontong, dan tembikar. Dlaam perkembangan kemudian, Indonesia pernah mengimpor beras kemudian mampu berswasembada untuk beberapa saat pada era pemerintahan Suharto, dan sejak krisis multidimensi, kembali menjadi pengimpor, bahkan belakangan ini impor beras telah menjadi persoalan politik. Di sisi lain, walau pulau Jawa dikelilingi oleh wilayah perairan berupa laut, di masa lampau penduduknya dalam memenuhi kebutuhan ikan, utamanya ikan laut sebagian besar dilakukan dengan cara mendatangkan ikan hasil tangkapan nelayan dari wilayah lain atau impor, dalam bentuk ikan asin dan ikan kering, berlangsung sejak pemerintah kolonial Belanda dan berangsur-angsur berswasembada mulai ditetapkan politik Berdikari tahun 1960-an. Politik Berdikari di sektor perikanan juga didorong oleh peristiwa konfrontasi dengan Malaya, yang berarti kebutuhan harus dipenuhi berdasarkan pada kemampuan sendiri, melarang impor ikan. Sejak dilaksanakan politik Berdikari, hasil tangkap nelayan Jawa terus meningkat, bahkan kemudian mampu mengekspor, dan pada awal krisis multidimensi, sektor perikanan merupakan sektor yang tidak terlanda badai krisis. Masa kemakmuran nelayan di tengah kelesuan usaha lain tidak berlangsung lama. Sejalan dengan bergulirnya reformasi, nelayan memasuki era baru dari konflik vertikal meluas masuk dalam konflik vertikal-horisontal. Belum reda badai konflik yang menghantam antar nelayan di laut, nelayan didera oleh gelombang kenaikan harga BBM di darat. Kondisi limbung mabuk laut dan darat belum dapat diatasi, mendadak sontak muncul "angin puting beliung" pemberitaan pengawetan ikan dengan formalin yang menyebabkan harga ikan menjadi terperosok . Sejarah perikanan sebagai bagian dari sejarah maritim menarik dan penting untuk diperdalam lebih lanjut, dan dari pembahasan ini dapat diambil pelajaran bahwa kita, termasuk pengambil kebijakan, masih sebatas belajar sejarah, belum sampai pada belajar dari sejarah. Persoalan mendasar sebagai wolak walike zaman yakni yang dulunya Jawa sebagai lumbung padi, Indonesia sebagai negara agraris, kini secara tragedis harus mengimpor beras. Demikian juga suatu ironi, Jawa yang dikelilingi oleh laut, dulunya dalam memenuhi kebutuhan ikan harus dilakukan dengan impor, suatu perkembangan yang tidak alamiah, yakni memiliki potensi alam yang melimpah ruah, dan tingkat konsumsi yang terus naik sejalan dengan pertambahan jumlah pendudukan, perluasan perkebunan di Jawa, akan tetapi perkembangan teknologi penangkapan nelayan Jawa tidak sejalan dengan peningkatan permintaan tersebut. Biang masalahnya adalah politik impor yang didasarkan pada kepentingan kolonialis, tidak perlu mengadakan sarana dan prasarana yang mengeluarkan biaya besar dengan keuntungan yang belum jelas. Sementara dengan impor ikan, keuntungan yang didapat pemerintah sudah jelas, berupa hak lelang atas monopoli perdagangan ikan, yang sudah barang tentu sebagian akan jatuh dan masuk ke dalam kantong pribadi dari pejabat yang mengurusinya. Dengan demikian, secara samar tapi pasti, politik impor menguntungkan pribadi- pribadi, dan sudah tentu membuka kesempatan untuk memperkaya diri. Soal kesejahteraan rakyat oleh pejabat semacam ini adalah urusan yang ke seribu kali. Akhirnya, jika kita belajar dari sejarah Berdikari di sektor perikanan, bahwa potensi berupa kekayaan yang melimpah ruah seperti ikan di laut Jawa pada masa itu, ternyata tidak mampu dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan penduduknya, disebabkan kebijakan yang tidak berorientasi pada rakyat dengan politik impor. Namun sejak dilaksanakan politik Berdikari, potensi laut itu baru dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Keberanian, keberanian dan sekali lagi keberanian untuk mandiri. Kalau ada ungkapan kecil itu indah, maka dapat pula diubah menjadi mandiri (sederhana) itu indah, dan sebagaimana dalam lagu Indonesia Raya yang masih diperlukan adalah "bangunlah jiwanya" terlebih dahulu, yaitu jiwa untuk mandiri/berdikari, berdiri di atas kaki sendiri yang sudah tentu muaranya pada kesejahteraan rakyat. Alangkah indah dan nikmatnya jika mampu berdikari dalam bidang ekonomi, politik dan budaya Semoga bisa !!!
Item Type: | Monograph (Documentation) |
---|---|
Additional Information: | Pidato Pengukuhan Guru Besar |
Subjects: | H Social Sciences > HN Social history and conditions. Social problems. Social reform D History General and Old World > DS Asia |
Divisions: | Faculty of Humanities > Department of History |
ID Code: | 342 |
Deposited By: | Mr. Sugeng Priyanto |
Deposited On: | 22 Jul 2009 13:46 |
Last Modified: | 22 Jul 2009 13:46 |
Repository Staff Only: item control page