Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang

Hadisuprapto, Paulus (2006) Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Documentation. Diponegoro University Press, Semarang.

[img]
Preview
PDF - Published Version
914Kb

Abstract

Perilaku kenakalan anak merupakan gejala sosial aktual di Indonesia. Maraknya gejala tersebut mendorong perlunya pemahaman dalam rangka penanggulangan gejala tersebut di masyarakat. Penanggulangalan perilaku kenakalan anak dalam kajian hukum pidana dan kriminologi dikenal dengan istilah Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) - usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dan kenakalan anak. Kebijakan kriminal dalam geraknya secara operasional dapat dilakukan lewat sarana penal dan nonpenal. Dengan mempertimbangkan seruan masyarakat internasional- resolosi PBB 44/25 Convention of the Rights of the Child, resolusi PBB 40/33 Beijing Rules, resolusi PBB 45/113 Standard of the Protection of Juvenile Deprived of their liberty dan resolusi PBB 45/110 Tokyo Rules -yang keseluruhannya menekankan perlunya perlindungan kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) pada satu pihak dan keberadaan UU No.3 tahun 199-7 tentang Pengadilan Anak sebagai landasan hukum penanganan anak nakal lewat hukum pidana, maka pidato pengukuhan ini berangkatdari tiga permasalahan yaitu (a) Kelemahan Substantif UU No.3 tahun 1997 tentang PengadilanAnak, (b) Kelemahan Implementasi UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan (c) Alternatif pemikiran penanganan anak melalui model Peradilan Restoratif di Indonesia Di dalam praktek, penanganan anak pelaku delinkuen di Indonesia menggunakan dasar hukum KUHP, KUHAP dan UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Secara substantif UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bersifat sebagai lex specialis dari KUHP dan KUHAP, karena dalam banyak hal UU itu masih bergantung pada ketentuan yang terdapat dalam KUHP, KUHAP. Telaah terhadap ketentuan substantif UU No.3 tahun 1997 menunjukkan bahwa ia mempunyai kelemahan, karena UU tersebut tidak mengatur tentang Diversion-Diversion, involving removal from criminal justice processing and frequently redirection to community support services. Is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal systems. This practice serves to hinder the negative effects of proceedings in juvenile justice administration (stigma) (Rule 11 SMRJJ). Ketentuan diversi ini telah diatur dalam sistem hukum pidana anak di berbagai negara, (Negeri Belanda, Australia, Selandia Baru, berbagai negara bagian di Amerika Serikat dan Jepang). Dalam prakteknya diversi sangat menguntungkan anak pelaku, mampu menghindarkan stigmatisasi anak. Praktek penganganan anak pelaku dilinkuen berlandaskan pada UU No 3 tahun 1997 ternyata cenderung bersifat punitif, -anak-anak pelaku delinkuen cenderung pembinaan LAPAS untuk anak-anak tetapi dicampur dengan LP untuk orang dewasa. Selama dalam penanganan mulai di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan, anak merasa kurang dihargai hak-haknya sebagai anak. Sehingga secara keseluruhan hasil pengamatan praktek penanganan anak pelaku delinkuen berdasarkan atas UU No 3 tahun 1997 cenderung membekaskan stigma pada diri anak pelaku, dan ini sangat merugikan kejiwaan anak di masa datang, secara kriminologis terjadinya stigmatisasi anak merupakan faktor kriminogen, anak cenderung akan mengulangi lagi perbuatannya di masa dating. Hal ini terjadi karena, kurang profesionalismenya aparat penegak hukum di bidang anak seperti diamanatkan oleh UU No.3 tahun 1997. Kajian terhadap dua hal tersebut di atas, mendorong orang untuk mencari pemikiran alternatif penanganan anak nakal di Indonesia. Dalam kajian kriminologis dikenal adanya tiga modal peradilan anak (a) peradilan anak retributif, (b) peradilan anak pembinaan individual dan (c) peradilan anak restoratif. Hasil kajian terhadap kedua model yang disebut terdahulu menunjukkan bahwa keduanya masih cenderung membekaskan stigma pada diri anak. Untuk itu perlu dikedepankan model yang disebut terakhir. Model peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa per'ilaku kenakalan anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restorative terarah pada pembangkitan rasa tanggungjawab anak pelaku dengan cara perbaikan kerugian dan penyembuhan luka masyarakat pun terpenuhi untuk berperan aktif "mendidik" anak untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik terhadap korban, keluarganya, masyarakat pada umumnya. Atas dasar semua itu, maka perlu adanya amandeman UU No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mengarah pada pengakomodasian ketentuan-ketentuan yang memungkinkan dijiwainya model peradilan anak restoratif masa datang di Indonesia

Item Type:Monograph (Documentation)
Additional Information:Pidato Pengukuhan Guru Besar
Subjects:K Law > K Law (General)
Divisions:Faculty of Law > Department of Law
ID Code:336
Deposited By:Mr. Sugeng Priyanto
Deposited On:22 Jul 2009 11:59
Last Modified:22 Jul 2009 11:59

Repository Staff Only: item control page