GAYA EKLEKTIK RUMAH MASYARAKAT URBAN UNGKAPAN GAYA HIDUP DALAM BUDAYA KONSUMERISME

Malik, Abdul and Bharoto, Bharoto (2009) GAYA EKLEKTIK RUMAH MASYARAKAT URBAN UNGKAPAN GAYA HIDUP DALAM BUDAYA KONSUMERISME. In: Seminar Internasional " NURI " , Ruang Seminar Gedung A Lt.3 Jurusan Arsitektur FT. Undip.

[img]
Preview
PDF - Published Version
123Kb

Abstract

Abstract— The following discussion aims to examine the relationship between lifestyle and subjects the user to design an eclectic style residence. The concept of habitus as the cultural theory of Pierre Bourdieu's revealed is the "lens" studies in the discussion. The use of the concept of habitus is based on the argument that the subject had subjective freedom in presenting his presence in the middle of the public through a particular style objects. The emphasis of the study subjects were urban middle to upper, while the method of study is based on interpretation of images and text contained in the mass media. Results showed that the habitus discussion urban middle upper one formed by the information in the mass media. Practice an eclectic style of the object by the community residential segment causes pemalihan meaning, which was originally aimed at creating a precedent where a marker of identity. In diachronic will look quite subtle differences between the "new era" with the middle class is "old". While in synchronous, occur distinction disposition in urban upper middle against the use of eclectic styles. Another understanding that emerged in the discussion is the phenomenon of lifestyle and the use of a particular design style objects will never escape the influence of a lively culture of consumerism current. Keywords: eclectic style house, urban communities, habitus, lifestyle, culture of consumerism. PENDAHULUAN Masyarakat priyayi (jawa) merupakan salah satu golongan yang memiliki kesempatan untuk dapat “hadir” dan “menghadirkan” sesuatu lewat dirinya di depan publik. Seiring berlalunya waktu dan perubahanperubahan sosial politik di Indonesia yang menyertai maka keberadaan golongan priyayi ini pun makin lama semakin menyusut. Walaupun disaat sekarang kehadiran priyayi “lama” tidak lagi mendominasi atensi publik, akan tetapi gaya hidupnya tetap eksis di sebagian masyarakat Indonesia. Tentu dalam pengertian bahwa “ada” sebagian masyarakat yang memiliki ketersediaan modal untuk mendukung gaya hidup tersebut, seperti halnya yang dialami priyayi “lama”. Sebagian masyarakat pada saat ini yang dimaksudkan sebelumnya adalah masyarakat urban menengah ke atas. Tentu pernyataan tersebut memerlukan klarifikasi agar bahasan tidak menjadi 1Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang. Jl. Prof Soedarto Tembalang Semarang, Telp. 024-76480668 (abdulmalik@operamail.com). 2Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang. Jl. Prof Soedarto Tembalang Semarang, Telp. 024-76480668 (gusbharot@yahoo.co.uk) rancu. Pengertian masyarakat urban adalah masyarakat yang hidup di daerah perkotaan. Walaupun modal kepemilikan yang bersifat kebendaan - rumah tinggal misalkan- berada di pinggiran kota, akan tetapi bila kegiatan utamanya berorientasi dan dilaksanakan di pusat kota maka dapat digolongkan sebagai masyarakat urban. Sedangkan maksud golongan menengah ke atas sebenarnya merupakan simplifikasi pemahaman stratifikasi sosial untuk golongan masyarakat menengah “ke atas” dan “atas”. Argumentasi ini didasari kenyataan bahwa stratifikasi sosial di Indonesia belum secara tegas dinyatakan. Pengertian masyarakat menengah “ke atas” dan “atas” merupakan sari pemahaman stratifikasi sosial yang bersumber pada Aristoteles untuk menengarai status sosial masyarakat yang kaya dan sangat kaya. Secara detail masyarakat dengan status sosial tersebut merujuk pula pemahaman stratifikasi sosial yang terdapat di Amerika Serikat, yaitu antara rentang upperupper class, lower-upper class, dan upper-middle class (Heriyanto, 2003). Bahasan akan menitikberatkan pada masyarakat dari dua golongan pertama sesuai pemahaman stratifikasi sosial di Amerika Serikat tersebut. Golongan pertama yang dimaksud adalah upper-upper class, yaitu masyarakat yang semenjak dahulu kaya atau memang berasal dari keluarga kaya. Sedangkan berikutnya adalah lower-upper class, yaitu masyarakat yang baru saja kaya (OKB). Perbedaan yang cukup kentara antara priyayi “lama” dan golongan masyarakat tersebut tidak hanya ditandai melalui waktu saja, akan tetapi terletak pula pada habitus-nya. Apabila habitus golongan priyayi “lama” secara nyata terbentuk melalui aturan keraton serta nilai tradisi budaya sebagai penstruktur tatanan obyektif, disisipi donasi subyektivitas diri sendiri untuk mempertahankan posisi di muka publik. Maka tidak demikian halnya dengan masyarakat urban menengah ke atas saat ini. Mengingat masyarakat tersebut amat dimungkinkan bersifat heterogen. Artinya, mereka dapat berasal dari keluarga kaya yang juga berstatus priyayi, atau mungkin pula memang berasal dari keluarga kaya akan tetapi tidak berdarah ningrat. Asal muasal golongan masyarakat tersebut sebenarnya mengisyaratkan keterkaitan dengan penstruktur tatanan obyektif di luar dirinya. Muncul pertanyaan, lalu bagaimana sebenarnya habitus masyarakat urban menengah ke atas saat ini terbentuk? Beranjak dari titik inilah maka bahasan akan menyertakan penstruktur tatanan obyektivitas “baru” yang membentuk habitus golongan masyarakat tersebut, terkait disposisinya dalam memanifestasikan praktik rumah tinggal bergaya eklektik.

Item Type:Conference or Workshop Item (Paper)
Subjects:N Fine Arts > NA Architecture
Divisions:Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
ID Code:3165
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:07 Jan 2010 15:29
Last Modified:07 Jan 2010 15:29

Repository Staff Only: item control page