KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PAJAK SEBAGAI SARANA UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN ( Membangun Model Penyelesaian Sengketa Pajak sebagai Perwujudan Sistem Peradilan yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan )

WIWOHO, JAMAL (2005) KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PAJAK SEBAGAI SARANA UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN ( Membangun Model Penyelesaian Sengketa Pajak sebagai Perwujudan Sistem Peradilan yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan ). Masters thesis, FAKULTAS HUKUM.

[img]PDF - Published Version
Restricted to Repository staff only

14Mb

Abstract

Kebijaksanaan pemerintah dalam penyelesaian sengketa pajak di Indonesia dari waktu kewaktu selalu berubah baik mengenai peraturan maupun lembaga yang menyelesaikan sengketa. Disertasi ini ditulis dengan tujuan untuk menganalisis peraturan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pajak; mendeskripsikan proses; mengetahui kelemahan; dan membangun sebuah model penyelesaian. sengketa pajak di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, kajian ini mengggunakan dua pendekatan, yaitu penelitian hukum doktrinal dan non doktrinal dengan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan obsevasi, wawancara, dokumen, dan bahan bacaan. Berdasarkan basil pengumpulan data diketahui bahwa peraturan penyelesaian sengketa pajak dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi pemerintah, sedangkan penerapan peraturan sengketa pajak pada waktu jaman penjajahan Belanda dan Jepang belum memenuhi aspek keadilan karena perbedaan struktur dan kultur. Pada masa kini dapat diselesaikan secara internal dengan keberatan dan ekstemal dengan banding atau gugatan yang diajukan hanya ke Pengadilan Pajak. Kelemahan penyelesaian sengketa pajak secara internal antara Tidak ada pihak ketiga (Pengadilan) yang berfungsi untuk pemutus perkara memangkinkan timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sedangkan kelemahan secara ekstemal melalui PTUN antara lain: PTUN hanya menguji kebenaran atau keabsahan formal suatu putusan TUN, Para hakim PTUN kurang memiliki kemampuan perhitungan tentang pajak; eksekusi putusan tanpa ada sanksi hukum yang jelas dan kuat. Sedangkan hambatan penyelesaian sengketa pajak oleh Pengadilan Pajak, antara lain: Putusan pengadilan pajak yang merupakan putusan akhir dan bersifat tetap kurang mencerminkan rasa keadilan; kewajiban melunasi 50 % hutang pajak kurang memperhatikan asas praduga tidak bersalah dan terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia; serta keberadaan Pengadilan Pajak hanya di Ibukota Negara. Model penyelesaian sengketa pajak Indonesia dapat dilakukan dengan peradilan khusus yaitu Pengadilan Pajak yang menggantikan seksi keberatan. Pengadilan Pajak ini pada tingkat I berada di Kabupaten/ Kota sesuai dengan dinamika otonomi daerah, namun bila belum memungkinkan pembentukannya dapat pada tingkat Propinsi. Jika tidak puas dengan putusan tingkat I dapat mengajukan banding —gugatan pada Pengadilan Tinggi Pajak di Ibukota Negara. Jika putusan Pengadilan Pajak berdasarkan kebohongan atau tipu muslihat, terdapat bukti baru yang penting dan menentukan maka dapat diajukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung Olehlarenaitu,amaka Teri u-adanya-rev isi—Undang undang-tentang—Pengad Han Pajak, yang meliputi : Kedudukan Pengadilan Pajak; Sinkronisasi horizontal penyelesaian sengketa pajak dengan hanya satu badan yang berhak menyelesaikan sengketa pajak; Keberadaan pengadilan pajak yang sesuai dengan dinamika otonomi daerah; Pembinaan satu atap oleh MA; Syarat pengajuan sengketa yang tidak membebani; Sistem beracara yang terbuka yang lebih menjamin transparansi dan kontrol sosial; Larangan pegawai Depatemen Keuangan menjadi hakim pengadilan pajak, dan upaya-upaya hukum dengan syarat pengajuan sengketa yang mudah dan dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu tahun. Kata Kunci: Kebijaksanaan Pemerintah, Sengketa Pajak, Pengadilan Pajak. The government's policy in resolving tax dispute in Indonesia has always undergone changes, both in the laws and the institutions in question. This dissertation is written to analyze laws dealing with tax dispute resolution; to describe the processes in tax dispute resolution; to identify flaws in tax dispute resolution; and to create a model of tax dispute resolution in Indonesia. To achieve the objective, this study uses two approaches, i.e. doctrinal and non-doctrinal law analysis using qualitative methods. Data compilation is carried out through observations, interviews, documents, and literatures Based on data compilation it is found that the laws to settle tax disputes have changed over time according to the situation and condition of the government, while the law implementation of tax dispute resolution during the Dutch and Japanese colonization was unfair because of structural and cultural diversities. Today, disputes can be resolved internally by raising objections to Directorate General of Taxation, Directorate general of Customs and Excise, Dipenda (Local Income Office) I, Dipenda II and externally by filing a suit or an appeal only to Tax Court, although in practice it can be filed to both Tax Court and PTUN (State Administration Court). The flaws of internal tax dispute resolution includes: with no third party (the court) who pronounce the verdicts; corruption, collusion and nepotism practices are likely. Whereas flaws with external resolution through the PTUN include: the court has only the rights to examine the formal legitimacy and validity of a court's ruling, the judges lack ability in taxation, and verdict's execution has no strong measure. While the obstacles in the resolution through tax court include: the court's ruling,.which is final and undisputable, does not reflect justice, even though it is possible to file for an appeal to the supreme court; open judicial procedure of tax court has not demonstrated transparency in the investigation; the obligation to pay off 50% of the tax duty does not comply with the principle of presumption of innocence and is against human rights; and tax courts are located only in the capital. The model of tax dispute resolution in Indonesia can be implemented by a special court, i.e. tax court as a substitute of objection section. This first level tax court is located in regencies/cities, which fits the dynamics of local autonomy. If unfeasible, however, the court can be set up in the provincial level. If discontented with the verdict in the first level, the party can file an appeal to higher tax court in the capital. If the tax court's ruling was based on deceit or fraud; or a new, significant evidence is revealed, then the disputing party can file an extraordinary ruling review to the Supreme Court. Because of the present condition in tax dispute resolution, tax court laws need _revisions,_which_include:_horizontaLsynchronization_of_tax dispute_resolution—with-only-a single institution having the rights to resolve tax disputes; the existence of tax court to fit the dynamics of local autonomy, single-roof conduct by the supreme court, uncomplicated conditions in filing a suit, prohibition for Financial Department officers to become the court's judge, and law enforcement with uncomplicated dispute filing and can be resolved in less than a year. Keyword: Government's Policy, Tax Dispute, Tax Court

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:K Law > K Law (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Doctor Program in Law
ID Code:28148
Deposited By:Mr UPT Perpus 2
Deposited On:26 May 2011 10:41
Last Modified:26 May 2011 10:41

Repository Staff Only: item control page