ANALISIS BIAYA DAN ANALISIS BIAYA EFEKTIVITAS UPAYA PEMBERANTASAN KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN KARANGANYAR

Suryawati, Chriswardani and Rahfiludin, M. Zen and Arso, Septo Pawelas (1998) ANALISIS BIAYA DAN ANALISIS BIAYA EFEKTIVITAS UPAYA PEMBERANTASAN KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN KARANGANYAR. Documentation. UNIVERSITAS DIPONEGORO.

[img]
Preview
PDF - Published Version
359Kb
[img]PDF - Published Version
Restricted to Repository staff only

2041Kb

Abstract

Infectious disease and inadequate food consurnptiiin (malnutrition) are two factors affecting health status. The prevalence of intestinal parasitic disease is still high in Indo¬nesia, it is about 70% - 90%. Intestinal parasitic deworming activity by conducting a mass treatment of Albendazole 400mg distribution and health education, for, school¬children had been programmed in District of.Karanganyar under Indonesia Partnership for Child Development (Kemitraan), as collaborating 3 years- projectbetween PCD Ox¬ford University UK , Research Institute Diponegoro University and Provincial Adminis¬trative Health Office of Central Java Province. For many decision makers, the main questions, first, how much money should be funded for this activity if they would like to continue and scale up this activity to the other area and second, is this activity cost effective according to the budget. To get the result of Cost Analysis, all of the cost component must be sum and devided by number of pupils swallowed the drug. The cost component are cost of drug purchase and movement, drug distribution, drug repackaging, institutional meetings, stationary, opportunity cost of unpaid person involved the activity and cost of training (TOT for district level and subdistricts level).Total budget is devided by effectiveness measurement (prevalence rate) then we have the result of Cost Effectiveness Analysis. The data were obtained by delivering forms to every school, Puskesmas and Subdistrict Heath Office, by interviewing related persons and rechecked the balance sheets. From 520 elementary school in District of Karanganyar, not included 64 school intervented by IDT Program, were distributed albendazole, and 444 schools (85,38%) sent the forms back to Kemitraan. The number of albendazole from PCD is 88,000 tablets, most of its (79,300) distributed to schoolchildren, but actually 70,851 tablets were swa-llowed by pupils. Cost Analysis is summing cost of drug purchase and movement, drug distribution, drug repackaging, institutional meetings, stationary, opportunity cost of unpaid person involved the activity and cost of training (TOT for district level dan subdistricts level) and it was divided the prevalence. Unit Cost of Financial Cost is Rp.520,50 and Unit Cost of Economy Cost is Rp.572,95. The prevalence of intestinal parasitic disease is 44.4% in 1995 and 25.2% in 1996, like wise the prevalence in treat-ment and control area (13,25% and 38,3%). In 1996 if every pupil has ten of grown up round worms (Ascaris Lumbricoides) and every round worm can eat 0.175 gr rice, with population of pupils is 99,335 , the potential pupils under nutrition/ calory intake and anemia are 25,032 and the lost of rice is 23,907.6 kg / year or Rp.23,907,600 /year. By comparing the prevalence of treatment and control area, for all of kind of worm, round worm, hook worm and whip worm are cost effective according to the finite budget but round worm is the most cost effective and whip worm is the least. If decision maker want to scale up to the other area or continue this activity, they should make pay more attention to high prevalence area, community ability to pay cost of drug, funding sustainability of community and intensive health education to the community so the people know and aware of healthy and hygiene behaviour. Penyakit infeksi dan konsumsi pangan yang tidak memenuhi syarat gizi merupakan dua faktor yang paling banyak berpengaruh terhadap status gizi. Prevalensi penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit seperti cacing yang banyak menyerang anak balita dan anak sekolah mencapai 70% sampai 90% di Indonesia . Upaya penanggulangannya adalah dengan pengobatan kecacingan terprogram dan masal. Untuk itu intervensi pem¬berian obat cacing albendazole 400mg dan pendidikan kesehatan lewat dua modul kecacingan telah diberikan pada seluruh anak SD di Kab. Karanganyar melalui proyek Kemitraan Indonesia untuk Perkembangan Anak yang telah berlangsung selama 3 tahun. Bagi pengambil keputusan yang seringkali awam terhadap penyakit kecacingan ini maka pertanyaan yang mendasar bila kegiatan ini akan dilanjutkan atau di perluas untuk wila¬yah lain adalah berapa biaya satuan pengobatan kecacingan ini sehingga bisa ditentu¬kan total anggaran yang dibutuhkan dan apakah secara ekonomi kegiatan ini cost effective dilihat dari jumlah anggaran yang ada. Biaya satuan dari kegiatan pengobatan kecacingan dengan obat cacing albendazole 400 mg diperoleh dari menjumlahkan semua komponen biaya kegiatan tersebut kemudian membaginya dengan jumlah anak yang benar-benar minum obat cacing. Analisis Biaya dilakukan dengan menjumlahkan biaya pembelian obat, biaya pengangkutan obat sampai ke SD, pengemasan ulang, pertemuan pendahuluan, pembelian ATK, biaya kesempatan orang yang tidak dibayar, serta berbagai biaya pada saat pelatihan kecacingan. Analisis Biaya Efektivitas diperoleh dengan membandingkan antara anggaran yang dipunyai de¬ngan ukuran efektivitas antara daerah intervensi dan pembanding. Untuk menggali data biaya dan jumlah anak yang minum obat diedarkan formulir ke seluruh SD/Mi Data se¬kunder biaya juga diperoleh dari instansi terkait dan Kemitraan. Dad 584 SD/Mryang ada di Kabupaten Karanganyar (tidak termasuk 64 SD yang sudah ikut Program IDT) , yang mengembalikan formulir setelah pembagian obat seba¬nyak 444 SD (85,38%). Jumlah obat yang diterima dari PCD Inggris 88.000 tablet, yang dibagikan 79.300 tablet benar-benar diminum anak 70.851 tablet. Biaya Satuan secara finansial sebesar Rp.520,50 dan Biaya Satuan ekonomi sebesar Rp.572,95. Prevalensi kecacingan turun dari 44,4% (1995) menjadi 25,2% (1996), begitu juga antara daerah intervensi (13,25%) dan pembanding (38,3%). Pada prevalensi 25,2%, bila satu anak mempunyai 10 ekor cacing gelang dan setiap cacing dewasa mampu memakan 0,175 gr beras/hari,jumlah populasi sebanyak 99.335 anak maka anak yang potensial kurang gizi (kalori) dan atau anemia masih sebanyak 25.032 anak dan tingkat kehilangan beras sebanyak 23.907,6 kg atau setara Rp. 23.907.600,- setahun. Antara daerah intervensi dan pembanding diperoleh basil bahwa pemberian al-bendazole 400mg pada semua jenis cacing terbukti cost effective dalam pertimbangan jumlah anggaran yang dimiliki, tetapi angka rasio biaya dan ukuran efektivitas yaitu angka prevalensi paling tinggi adalah pada cacing gelang dan yang terendah pada cacing cambuk. Bila akan melakukan scale up untuk wilayah lain pertimbangan utamanya adalah prioritas pada daerah yang prevalensi kecacingannya masih tinggi, kemampuan masya¬rakat untuk membeli that apabila diharapkan masyarakat dapat mandiri dalam pembia¬yaanya serta upaya melakukan pendidikan kesehatan secara intensif dan terprogram agar masyarakat tahu dan menyadari pentingnya hidup yang sehat dan higienis

Item Type:Monograph (Documentation)
Subjects:H Social Sciences > HV Social pathology. Social and public welfare
Divisions:Document UNDIP
ID Code:23395
Deposited By:Mr UPT Perpus 2
Deposited On:21 Oct 2010 11:50
Last Modified:21 Oct 2010 11:50

Repository Staff Only: item control page