KECENDERUNGAN PERILAKU SEKS BEBAS REMAJA PERKOTAAN

Amirudin, Amirudin and Thohir, Mudjahirin and Frieda NRH, Frieda NRH and Pudjosantosa, Hedi (1998) KECENDERUNGAN PERILAKU SEKS BEBAS REMAJA PERKOTAAN. Documentation. UNIVERSITAS DIPONEGORO.

[img]
Preview
PDF - Published Version
266Kb
[img]PDF - Published Version
Restricted to Repository staff only

1016Kb

Abstract

Seks bebas mint dalam hahasa populernya disebte oaa-marital intercouse alau kinky-sev merupakan bentuk pembebasen seks yang dipandang think wajar. 'Fidak terkecuali olch semuanya. Bukan saja oleh agama dan negara, (apt juga Welt filsalat. Ironinya, perilaku dernikian nyatanya cenderung disukai oleh anak muda tenitaina kalangan rem* yang memang sevara biologis sedang Mundt menctiu pematangan. - Pada tattapan ink remaja yang biasanya lemah dalam penggunaan alai panaplikon ditinya, yakni lemalt datum penclayagunaan nilai-nilai, norma dan kepercayaan, atau dalam perspektif Freudian disebut superego, maka kecenderungan yang ant, mereka Iebih suka bertindak ceroboli trial and error. I lanya sekedar memenabi iabiat aktnalisasi dirt yang berlebihan, is vela mengorbankan inoraliiitsnyu inementni kehendak mendapatkan puj an dart kclompok relerensinya Di sinilalt pentingnya pendidikan seks yang chili transparan dan bertanggung ,jawab untuk menghindari munculnya bentuk pennebasan seks liberal diktat kendali superego. Masalahnya, pendidikan seks yang selatna ini terjadi justru menunjukan kenyataan sebaliknya. Bukan pendidikan yang memberikan pengetahuan utuli untuk mengurangi ketidakpastian, mist sebaliknya, pendidikan seks yang justru menempatkan seksualitas menjadi isu grants yang tabu untuk di-share bcratnai-ranni. Seksualitas tak ubahnya merupakan isu pinggiran penis seperti suksesi yang tidak layak menjadi perbineangan komunitas social. Maka dart itu diperlukan pembuktian metalut penelitian, tentang dampak dart pentabuan seks yang sesunggulinya =nun natal, namuu karena seksualitas kemudian banyak disibukan oleh berbagai macam kepentingan (ekonomi, politik, agama, dirk hingga is masuk dalam wacana tabu, maku akhimya is menjadi berdampak kontra-produkti F. Ilipotesisnya, ketika seksualitas tempdiposisikan sebagai wacana pentabuan, make kemudian muncul bentuk pembebasan seks yang justru bersifal liberal. Melalui pemusatan perhatian pada bekerjanya variabel-variabel penelitian seperti (I) aktivitas pencarian informasi seks, (2) intensilas pengguncian stanber-sumber informasi dan (3) kecenderungan perilaku seks babas di kalangan remaja, penelitian ini berupaya membuktikan hipotes is itu. Dengan menggunakan metode eksplanatori, penelitian ini berhasil membuthkan hipotesis itu. Bahwa, ketika infonnasi yang diterima remaja bukan inerupakan infommsi yang transparan maka pada kenyataannya, kecenderungun remaja untuk melakukan seks bebas makin tinggi. Ini berarti, informasi-informasi seks yang umuinnya diberikan sctengalbsetengah karena alasan pentahuan justru berdampak paradoksal. Bukan munculnya ekspresi pembebasan seks sesuai dengan nilai-nilai kesakralan yang diharapkan, melainkan malah intincul bentuk ekspresi pembehasan seks liberal akibat ketidaktahuannya akan in formasi seks yang bail( dan henar. Sama halnya dalam hal penggunaan sumber-sumber informasi seks. Makin beragamnya sinker-dauber informasi seks tidak menjamin bahwa kecenderungan perilaku seks remaja bakal menunin. Namun karena, isi informasi yang disarnpaikan rum& bersifat 'remang-remang' bahkan brink jelm rial) (talisman, maka kenyataim demikian justru berdampak paradoksal. Bukan inunculnya perilaku seks remaja yang makin bijak, tapi inalah memaralcan tingginya kecenderungan perilaku seks bebas di kalangan muds. Atas dasar ditemukannya hal-hal penting seperti tersebut di alas maka implikasi pruktis untuk memberikan pemccahan masalah yang dipandang relevan, antara lain: I. Keterbukaan dan transparansi dalam proses pendidikan seks adalah penting. Bukan saja pendidikan seks yang disampaikan melalui sekolah, media massa, salurnn komunikasi publik, dll tapi juga yang paling panting pendidikan seks di dalam keluarga. Karena kelnargalah agen sosialisasi paling utama sebelum remaja melakukan sosialisasi dengan isntitusi lain nya. 2. Pahl disusunnya kurikulum pendidikan di tingkat SLTP maupun SLTA j c yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan seks yang makin trimsparan. Misalnya dengan menitipkan pendidikan seks ku pada mad pelajaran biologi (jadi: biologi plus), dan pada mats pelajaran agama Oath: agama plus).

Item Type:Monograph (Documentation)
Subjects:H Social Sciences > HV Social pathology. Social and public welfare
Divisions:Document UNDIP
ID Code:23345
Deposited By:Mr UPT Perpus 2
Deposited On:21 Oct 2010 09:01
Last Modified:21 Oct 2010 09:01

Repository Staff Only: item control page