MAKNA MISKIN BAGI KELUARGA MISKIN DI JAWA TENGAH (Analisis Mitos Kemiskinan Di Kotamadya Dati II Semarang)

PRADEKSO, TANDIYO and AMIRUDIN, AMIRUDIN (1994) MAKNA MISKIN BAGI KELUARGA MISKIN DI JAWA TENGAH (Analisis Mitos Kemiskinan Di Kotamadya Dati II Semarang). Documentation. LEMBAGA PENELITIAN .

[img]
Preview
PDF - Published Version
324Kb
[img]PDF - Published Version
Restricted to Repository staff only

1237Kb

Abstract

Makna miskin sebenarnya sudah cukup variatif dan lengkap. Ada yang menyatakan miskin itu cela, sesuatu yang memalukan. Miskin ibarat sampar yang harus dibasmi di seluruh negeri ini. Di pihak lain ada yang menyatakan, miskin itu berkaitan dengan kekurangan wadag yang berarti kekurangan kebutuhan hidup, kurang makan, sandang dan pagan. Tandasnya kemiskinan berarti bermakna deprivasi material. Sementara itu, Para teoritisi lainnya menyatakan pendapat yang berbeda, miskin bukan saja menyangkut persoalan wadag an sich yang berkesan cela. Akan tetapi miskin yang diderita oleh masyarakat terutama masyarakat negara berkembang seperti Indonesia ini bisa menyangkut berbagai kasus. Antara lain, miskin informasi, miskin referensi, miskin akses individu dalam ajang perebutan peluang global, hingga ke hak-hak privasi selaku warga negara dan anggota komunitas tertentu. Akibat dari akumulasi kasus itu umumnya menghasilkan penderitaan, ketertinggalanj, keminderan, ketergantungan dan ketidakberdayaan. Kalau paradigma kemiskinan hanya sesedarhana itu yang Ilebih banyak mengurai kemiskinan dari perspektif material, maka cara pemecaharinyapun akan terjebak pada solusi yang bersifat parsial. Terutama pada cara pemecahan yang hanya memfokuskan pada level individu, seperti cara panduan, bimbingan clan penyuluhan, serta training AMT yang semuanya dikemas dalam kerangka kerja peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Penelitian yang mengungkap hakekat miskin dari perspektif si miskin agaknya sama sekali belum pernah dilakukan. Padahal pemal$aman tentang makna miskin dari perspektif si miskin sangatlah penting untuk mengetahui liku-liku kegiatan, motivasi dan aspirasi mereka. Atas dasar kenyataan seperti itu, penelitian yang dilakukan dengan pendekatan interpretatif ini dimaksudkan untuk memahami makna miskin dari perspektif si miskin itu sendiri. Untuk kepentingan itu, digunakan prosedur analisis rnitos ala Levi-Strauss dengan asumsi bahwa makna miskin dari perspektif si miskin dapat diketahui melalui penggunaan simbol-simbol kebahasaan (simbol-simbol semidtik) yang biasa mereka gunakan dalam komunitasnya. Karena bahasa dan perilaku budaya (kebudayaan) pada prinsipnya merupakan produk dari aktivitas yang sama, yakni pikiran manusia. Dengan demikian untuk mengetahui fenomena buclaya komunitas orang miskin dapat dilakukan dengan cara menganalisis struktur kebahasaannya. Melalui prosedur analisis mitos ditemukan bahwa hakekatimakna miskin bagi si miskin pada intinya merupakan sebuah proses transisl Sebuah proses yang dibangun minimal oleh dua pasang dimensi oposisi, yakni dimensi penolakan (penolakan terhadap kondisi kemiskinan) dan dimensi penerimaan (penerimaan terhadap cultural realm yang dialami). Individu miskin selalu akan menolak kondisi miskin yang ditunjijkkan dengan penggunaan simbol-simbol kebahasaannya yang mengarah pada keluhan kondisi yang tidak menyenangkan secara wadag seperti tinggal di rumah kecil, hidup sebagai kelas bawah, merupakan kaum marginal, dan rumah masih cicilan. Akan tetapi disisi lain, c karena tidak cukup tersedianya aksessibilitas dalam persaingan peluang global, dan karena ketidakberdayaan (powerlessness), maka bagi mereka lebih su a berlindung dalam dimensi penerimaan. Hal ini diketahui melalui penggunaan $imbol-simbol mangan ora mangan waton bisa kumpul, urip ing sak madya, alop-alon waton kelakon, dan narimo ing pandum. Akhirnya, tampak bahwa pemahaman tentang kemiskinan menjadi semakin meluas. Pemahaman makna miskin bukan lagi sekadar menyangkut dimensi deprivasi material saja. Justru sebaliknya, jika kita menganggap bahwa kemiskinan menyangkut dimensi penolakan dan penerimaan menjadi sangat mendasar ketika kita mempersoalkan deprivasi material. Karena persoalan deprivasi material tidaklah cukup menjelaskan dirinya apabila tidak mengkaitkannya dengan kedua dirhensi tersebut. Dari sini jelaslah, tarik menarik antara kepentingan si-miskin dengan pemerintah segera dapat diberikan solusinya, manakala di alam modernisasi ini disediakan peluang bagi si miskin untuk bisa bermain dalam persaingan global.

Item Type:Monograph (Documentation)
Subjects:J Political Science > J General legislative and executive papers
ID Code:21985
Deposited By:Mr UPT Perpus 1
Deposited On:07 Sep 2010 08:51
Last Modified:07 Sep 2010 08:51

Repository Staff Only: item control page