KSATRIA JAWA KAJIAN TENTANG ETIKA, MORAL DAN TRADISI KEPRAJURITAN JAWA DI MASA MATARAM

Sigit Wahyudi, Sariana and Priyanto, Supriya (1997) KSATRIA JAWA KAJIAN TENTANG ETIKA, MORAL DAN TRADISI KEPRAJURITAN JAWA DI MASA MATARAM. Documentation. FAKULTAS SASTRA. (In Press)

[img]PDF - Published Version
Restricted to Repository staff only

3248Kb
[img]
Preview
PDF - Published Version
650Kb

Abstract

Penelitian ini berJudul "Ksatria Jawa : Ka,iian tentang Etika. Moral dan Tradisi Keprajuritan Jawa di Masa Mataram-. Istilah ksatria mempunyai dimensi luas, antara lain serierti sifat prajurit yang baik dan gagah berani. Konotasi ksatria sebagai sifat tercermin dalam tindakan dan perilaku manusia itu sendiri yang menyang¬kut masalah moral dan etika. Tujuan dari penelitian ini ialah: a. Memberikan deskripsi tentang k,atra Jawa. b, Melengkapi hubungan antara perilaku dan konsekuensinya terutama yang berka¬itan dengan tatanan etika dan moral. Cara penulisan dalam penelitian dengan menggunakan metode sejarah kritis yang biasanya ditempuh melalui empat tahapan. yaitu: a. heuri.stik atau penearian sum¬ber, b. kritik ekstern dan intern dalam rangka mencari authentisitas dan kredibilitas sumber, c. sinthesa, dan d. historiografi atau penulisan. Sumber yang dipakai ialah berupa sumber primer dan skunder seperti trsdisi babad dan naskah berupa tembang. Penelitian dilakukan di Pustakanas & Arsipnas Jakarta, Museum Sonobudoyo dan Kraton Yogyakarta, serta Museum Reksopustoko Mangkunega-¬ran. Kerajaan Mataram berdiri akhir abad ke-16 yang dibangun oleh Sutowijoyo yang bergelar Panembahan Seno¬pati dengan menyatukan kembali bekas wilayah Demak dan Pajang. Hanya dengan kekuatan pasukan yang handal, maka wilayah yang semula tercerai-berai dapat disatukan kembali. Di bawah kekuasaan Mataram berhasil diletakkan landasan yang kuat bagi pembentukan tentara. Berbagai naskah Jawa, Senopati digambarkan sebagai seorang praju¬rit yang pilih tanding, sakti mandraguna, pemberani dan bijaksana. Ia dianggap sebagi figur ksatria Jawa yang juga dapat menguasai dan berhubungan dengan makhluk fla¬tus seperti penguasa laut selatan atau Nyai Roro Kidul. Perhatiannya terhadap minter sangat besar, sehingga pengaruhnya dapat meresap dan terkait erat dengan kebu¬dayaan. Semasa cucunya, yaitu Sultan Agung pamor Mataram semakin cemerlang. Kegagalan penyerangannya selama dua kali ke Batavia tidak mengurangi kebanggaannya terhadap tentaranya. Sebab konsolidasi wilayah dan pembentukan tentaranya mencapai puncaknya pada masa itu. Pasukan Ma¬taram tidak hanyabersifat reguier yang profesional dan elit. namun is dapat merekrut prajurit dari kalangan pe¬tani untuk kepentingan milisi dan agresi. Latihan kepra¬juritan selalu diadakan setiap hari Sabtu atau disebut tradisi Seton dengan iringan gamelan tertentu basil ciptaannya sendiri seperti Monggang dan Kodhok Ngorek. Pada jaman Amangkurat I penggantinya, pasukan Ma¬taram harus menanggung aib dan malu karena dapat dika¬lahkan oleh gabungan prajurit Trunoioyo dari Madura dan Makasar yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sehingga pada 28 Juni 1677 Mataram jatuh ke tangan pemberontak, sedangkan raja terpaksa minta bantuan kumpeni di Bata¬via Muiai awal abad ke-18 Mataram dilanda perebutan kekuasaan sehingga terjadilah perpecahan hebat dan sa¬ting membnnuh. Selanjutnya pada tahun 1741 terjadi Gager Pacino yang menyebabkan kraton Kartosuro hancur serta intrik berkepanjangan di lingkungan kraton semakin me¬luas. Berkat campur tangan kumpeni kemelut dapat diatasi dengan didirikannya kraton Surakarta sebagai penerus Mataram. Makin besarnya pengaruh Relanda, make kebencian Lerhadap penguasa asing semakin tampak dan timbulah obsesi akan lahirnya ksatria Jawa kembali_ Tamp-dm/a Pangeran Mangkubumi dan Radon Mau Said atau Pangeran Sambernyowo sebagai idola figur ksat-Tia Jawa yang berani memberontak melawan ktimpeni. Walau se-care politis kemenangan P. Mangkubumi dan R. M. Said sangat merngikan keutuhan Mataram. sebab kerajaan ter¬paksa barns terbagi due yaitu Surakarta dan Yogyakarta dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Perjanjian Sa¬latiga tahun 1757. Kemudian pada awal abed ke--19 terjadi lag! Perang Sepoi dengan munculnya Kadipaten Pakualaman. Seianjutnya pada tahun 1825 - 1830 Jawa diguncang oleh pecahnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Perhng ini merupakan :Ease terakhir keterlihat.an tentara Jawa dalam peperangan. Sebab setelah Perang Diponegoro. pe¬merintah kolonial mengetrapkan strategi Baru dengan menanrangi prajurit kraton dan pengiring pare bupati. Tanah lungguh pare hangsawan hingga daerah mancanegara dikurangi, hal ini mengakibatkan kraton terpisah dengan pedesaan sebagi basis kekuatan militer. Akibatnya sangat idles. bahwa potensi militer Jawa lumpuh total. Di masa berikutnya satu-satunya kerajaan yang ma¬sih diberi kesempatan mengembangkan tentaranya adalah Mangkunegaran karena dinilai cukup loyal dan tidak mem¬bahayakan Belanda. Pada masa itu konsep tentang ksatria Jawa dikembangkan , namun aktualisasinya tidak lagi ber¬hubungan dengan organisasi kemiliteran. Pada waktu itu hiduplah dunia ide tentang ksatria Jawa yang ditransmi¬sikan lewat wayang dan piWulang yang ditekankan pada segi etika dan moral. Dunia keprajuritan hanyalah hidup dalam bayangan. Kebesaran. kemegahan. dan keperkasaan prajurit. Jawa hanya tinggal kenangan sebagai catatan se¬jarah yang terdapat dalam naskah babad, kronik, serta ceritera pitutur. Sebagai kesimpulan, bahwa keprajuritan Jawa sejak Mataram telah mengalami due proses perwujudan, yaitu: a. berupa manifestasi dalam dunia prajuritan Jawa bersama tradisi yang ada. Bentuk ini mengalami stagnasi akibat perubahan politik, ekonomi. sosial dan kultrural di masa kolonial, sehingga tinggalah sisa-sisa kebesaran dari kejayaan masa lampau. b. Berkembangnya dunia ide akibat aktuaiisasi secara fisik mengalami jaian buntu. Namun ide tentang keprajuritan itu telah banyak diadobsi untuk mengisi kejiwaan tentara modern di Indonesia, seperti rumusan Sapta Marga, Doktrin ABM yang banyakdidominir oleh konsep budaya Jawa.thr (knight) has a wide dimension, among other things, a good and heroic characteristic. The conotation of `Issatria' is reflected in his action and behavior which is related to moral and ethic problems. The aims of the research are (a) to describe about a Javanese knight; (b) to complete his relation, behavior, and responsibility which are especially related to ethics and morals. The research uses a critical history method, namely, !render, laternal and internal criticism, synthesis. and historiography. the sources used are tabad' from several MIII4e1MIS and libraries in Jakarta, Yooyakarta, and Surakarta. Mataralli kingdom was 'Minded by Panel-lab:than Setiopati in loth century tor reuniting, Demak and Palau"; regions. Ile was the founder of soldier cecrilitinent. According to Javanese article, he was described as a powerful and wise soldier, and a figure of Javanese knight, and was able to commonit te With spirits. llis interest to milit aes Was so anal that it V011111 penetrate into the Javanese culture. At the Sultan Aating's period Nlatarana kingdom got brighter_ Itrgionai consolidation Mill soldier reClilitifient readied its peak at that time. lire armrIvere reeneted not only from the regular and professional ones. lint also from the prelSalItS. The military training "%as conducted ever. Saturday. accompanied by 'gentling' (musics) of ins creation such as Monggang, Kodhok Ngorek. and the gamelan (Javanese music). Kyai Xinga However in his next generation, Sultan Amanglotrat 1, the kingdom was occupied by the rebel, I rmuojoyo from (xladora time 1617. I leen in 1741 there ++a' i;efter (1)AficH Riot) which made Eartosuro kingdom collapsed and was moved to lititakarta b v Ihe Dutch's interference. It seems that P.Nlangkubunti and R.M.Said were considered as figures ot Javanese knights because they were bold enough to rebel againts the Dutch. flowerer, their triumph politically undermined Ylataram since the kingdom had to be divided into Yogyakarta and Surakarta kingdoms in Perjanjian Giyanti 1'755 (Giyanti Pact) and Perjanjian Salatiga (Salatiga Pact). In 1825-1X30 Dipopuegoro war exploded in Java. This war was the last phase of Javanes soldier's involvement; because, after this war, the Dutch applied a new strategy to paralyse military strength in Java. It was only Mangkimegoro palace which was allowed to develop its soldiers. At that time the concept of Javanese knight was developed eventhough, in practice, it was no longer related to military organisation. 1avanrs knight was transmitted to puppets and teachings which stressed on ethics and morals. It can he concluded that Javanese knighthood since Matarain period has undergone two processes, namely (a) manifesting the world of Javanese knights with tradition, this form is stagnant Millie, to political, economic, social, and cultural changes in colonial period; (6) the development of idea world about knighthood. Rot the idea has been adapted to fill modern military spirit in Indonesia.

Item Type:Monograph (Documentation)
Subjects:B Philosophy. Psychology. Religion > BJ Ethics
Divisions:Faculty of Humanities > Department of History
ID Code:21694
Deposited By:Mr UPT Perpus 5
Deposited On:02 Sep 2010 13:43
Last Modified:02 Sep 2010 13:43

Repository Staff Only: item control page