KAJIAN PKL DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG

Werdiningsih, Hermin (2008) KAJIAN PKL DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, 7 (1). pp. 59-68. ISSN 1412-7768

[img]
Preview
PDF - Published Version
912Kb

Abstract

Kota Semarang mempunyai kawasan Simpang Lima sebagai Central Business District. Pada kawasan tersebut berdiri bangunan Plaza Gajah Mada, Courts, Plaza Simpang Lima, Citra Land, Gedung HSBC, Masjid Baiturrahman dan Lapangan Pancasila sebagai ruang terbuka kota. Dengan semakin berkembangnya Kawasan Simpang Lima pada saat ini, berpengaruh pada komponen kawasan antara lain: Volume lalu-lintas, rasio perparkiran, arus pejalan kaki meningkat, infrastruktur, lansekap,adanya bisnis sektor formal dan informal serta adanya interaksi sosial di kawasan Simpang Lima. Namun yang menjadi salah satu masalah di Kawasan Simpang Lima adalah keberadaan para pedagang kaki lima yang tidak direncanakan secara terintegrasi dalam perancangan kota, sehingga mereka muncul secara spontan di ruang publik ( ruang terbuka, pedestrian,jalan ) dan baru dilakukan ‘ pengaturan ‘ bila pengguna ruang publik merasa ‘terganggu ‘ atau untuk kepentingan lainya. PENDAHULUAN Dalam perancangan kota, pedagang kaki lima dapat dikategorikan sebagai elemen perancangan kota, apa yang disebut activity support. Menurut Hamid Shirvani (1985), aktivitas pendukung (activity support) dapat meliputi semua penggunaan dan kegiatan yang membantu memperkuat ruang publik perkotaan, karena aktivitas dan ruang fisik selalu menjadi ruang pelengkap satu sama lain. Pedagang kaki lima walaupun dikategorikan aktivitas pendukung suatu perkotaan, sebagai bisnis eceran, pada dasamya memiliki masalah yang sama sebagaimana pedagang pengecer umum lainnya yaitu 1).Bagaimana mengkreasikan pilihan yang tepat antara produk yang ditawarkan dengan kebutuhan konsumennya dan sekaligus menjadikannya sebagai keuntungan yang layak, 2).Bagaimana membentuk percampuran dari komponen : produk yang ditawarkan tepat, pada lokasi yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang tepat, harga yang sesuai dan dengan pertimbangan stimulasi lainnya, 3). Pilihan yang tepat dari konsumen yaitu : apa yang dibeli, dimana membelinya, kapan membelinya, seberapa banyak pembeliannya, seberapa banyak uang yang dibelanjakan dan untuk siapa pembelian tersebut. Dari ketiga permasalahan tersebut yang paling essensial dari bisnis eceran yaitu permasalahan kedua, khususnya lokasi dari pengecer tersebut sebab dengan lokasi membuatnya pertama kali mendapat keuntungan dari kepuasan pembeli dan juga yang pertama kali mendukung kejatuhannya dari ketidakpuasan pembeli. Selain itu dengan lokasi dapat menyebabkan berbagai macam pengaruh operasional lainnya (D. M. Lewison & M. W. Delozier, 1982). Sesuai dengan peribahasa kuno yang menyatakan bahwa tiga variabel yang paling penting sehubungan dengan keberhasilan pedagang eceran adalah : 1). Lokasi, 2). Lokasi dan 3). Lokasi. RUANG PUBLIK Ruang publik pada dasamya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara individu maupun kelompok (Rustam Hakim, 1987). Sedangkan ruang terbuka merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Dengan adanya pertemuan bersama dan relasi antara banyak orang, kemungkinan akan timbul bermacam-¬macam kegiatan di ruang umum terbuka tersebut. Jadi sebetulnya ruang terbuka merupakan salah satu dari jenis ruang umum. Bentuk dari ruang publik sendiri dapat berupa ruang-ruang terbuka seperti jalan, taman, lapangan, pedestrian dsbnya serta yang berupa bangunan seperti plaza, mall, museum, halte dsbnya. Jika dipandang dari struktur kota, segala penghuni kota bertemu kontak dengan begitu banyak anggotanya di ruang publik. Biasanya, ruang publik merupakan vokal poin dari terpancamya identitas dan perhatian. Walaupun demikian, mereka juga memberikannya hanya untuk tujuan timbal balik kepada individu-individu lainnya yang berbeda kepentingan, latarbelakang etnis dan status ekonomi (lrwin Press & ME. Smith, 1980) Adapun fungsi dari ruang terbuka publik menurut Rustam Hakim ada dua yaitu : Fungsi Umum - tempat bermain, berolah raga - tempat bersantai - tempat komunikasi sosial - tempat peralihan, tempat menunggu - ruang terbuka untuk mendapatkan udara segar dengan lingkungan - sarana penghubung antara satu tempat dengan tempat lain - sebagai pembatas/jarak di antara massa bangunan Fungsi Ekologis - penyegaran udara - menyerap air hujan - pengendalian banjir - pemeliharan ekosistem - pelembut arsitektur bangunan AKTIVITAS DI RUANG PUBLIK Inti dari ruang publik adalah kebebasan untuk beraksi (fungsi aktif) dan in-aktif. Ruang terbuka ditinjau dari kegiatannya terbagi dua jenis yaitu : Ruang terbuka aktif Ruang terbuka aktif adalah ruang terbuka yang mengandung unsur-unsur kegiatan didalamnya antara lain : bermain, olah raga, upacara, berkomunikasi dan berjalan-jalan. Bentuknya dapat berupa : plaza, lapangan olah raga, tempat bermain, penghijauan di tepi sungai sebagai tempat rekreasi dll. Ruang terbuka pasif Ruang terbuka pasif adalah ruang terbuka yang didalamnya tidak mengandung kegiatan manusia antara lain berupa penghijauan/taman sebagai sumber pengudaraan lingkungan, penghijauan sebagai jarak terhadap rel kereta api dll. Menurut Long Beach: kerumunan atau keramaian orang membuktikan penggunaan ruang belanja, makan, melihat-lihat, beristirahat atau santai, pulang pergi kerja merupakan tanda¬-tanda vital sebuah kota yang sehat. Adanya ruang terbuka dengan kegiatan rekreasi pasif atau aktif, dapat memperkaya urban experience (Robert S. Cook Jr, 1.980). Aktivitas outdoor yaog terjadi di ruang publik menurut Jahn Gehl (1996) ada 3 jenis aktivitas: Aktivitas umum, termasuk didalamnya seperti berangkat ke sekolah atau bekerja, pergi belanja, menunggu bus atau orang, mengantarkan surat atau dengan kata lain semua aktivitas yang membutuhkan partisipasi. Aktivitas pilihan, orang akan berpartisipasi seandainya dia memutuskannya begitu, sedangkan waktu dan tempat mendukung untuk melakukan hal tersebut. Yang termasuk kategori ini seperti, aktivitas berjalan sambil menghisap udara segar, berdiri disekitar orang yang piknik di pantai atau duduk dan mandi sinar matahari. Akivitas Sosial, semua aktivitas yang tergantung keberadaan orang lain pada tempat tersebut. Aktivitas sosial antara lain anak-anak yang sedang bermain, memberikan salam dan berbincang-bincang, beberapa jenis aktivitas komunal, atau bisa juga bersifat kontak pasif seperti memandang sekilas dan mendengarkan orang lain berbicara. Hidup di antara bangunan secara potensi memperkuat proses sendiri. Ketika seseorang mulai melakukan sesuatu, terdapat kecenderuagan yang jelas bagi orang lain untuk bergabung dengan ikut berpartisipasi atau hanya sebagai pengalaman mereka apa yang orang lain sedang lakukan. Dalam masalah ini, individu dan kejadian dapat mempengaruhi dan menstimulus orang lain. Sekali prases ini dimulai, aktivitas keseluruhan hampir selalu bertambah besar dan menjadi lebih komplek daripada hasil komponen aktivitas yang sebenamya Integrasi dari berbagai aktivitas dan fungsi di dalam dan sekitar ruang publik menyediakan orang yang membutuhkan fungsi hersama-sama dan menstimulasi serta menginspirasi orang lainnya. Terjadinya aktivitas di suatu lingkungan termasuk ruang publik kota menurut Amos Rapoport (1977), dapat dianalisa dalam empat komponen yaitu : Aktivitas.sesungguhnya (makan, berbelanja, minum, berjalan); Aktivitas spesifik untuk melakukannya (berbelanja di bazaar, minum di bar, berjalan di jalan, duduk di lantai, makan bersama orang lain); Aktivitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi yang mana menjadi bagian dari sistem aktivitas (berbelanja sambil bergosip, pacaran sambil jalan jalan); Aktivitas simbolik (berbelanja sebagai konsumsi yang menyolok, memasak sebagai ritual, cara menegakkan identitas sosial). Lebih lanjut Rapoport menyatakan aktivitas sesungguhnya (activity proper) dan aktivitas spesifik (specific activity) merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” sedangkan aktivitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi (activity addiitonal, adjacent and associationed) dan aktivitas simbolik (symbolic activity) merupakan perwujudan “fungsi laten”. Aktivitas tambahan, berdampingan atau terassosiasi dan aktivitas simbolik inilah yang membentuk “citra” suatu tempat. Kegiatan di ruang terbuka publik di pusat kota merupakan perwujudan “fungsi manifestasi” (ruang terbuka sebagai pusat interaksi sosial budaya masyarakat dan fungsi ekologis kota, pedestrian dan jalan sebagai linkage system) dan juga fungsi laten (ruang terbuka sebagai aktivitas ekonomi dan jalan/pedestrian sebagai tempat aktivitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat). Terjadinya aktivitas tersebut sebagai perwujudan fungsi manifestasi dan laten dalam ruang publik sehari-hari yang saling bercampur baur antara satu aktivitas satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi, yang dilakukan oleh sekelompok orang atau kelompok yang mempunyai persepsi atau nilai-nilai sama atau mirip dan melakukan suatu rangkaian kegiatan atau perilaku tertentu untuk makna dan tujuan yang telah disepakati (Rapoport, 1977). Dalam pengertian ini, setiap kelompok atau sekelompok manusia dapat membentuk suatu behavior setting yang berbeda dalam satu tempat, tergantung nilai-nilai, kesempatan dan keputusan yang dibentuk oleh kelompok tersebut dan daya tampung setting itu sendiri untuk melakukan aktiivitas tersebut. Kegiatan eceran di ruang publik disebut oleh Hamid Shirvani (1985) sebagai salah satu elemen activity support yaitu aktivitas pendukung yang meliputi semua penggunaan dan kegiatan yang membantu memperkuat ruang publik kota, karena aktiftas-aktifitas dan ruang fisik selalu menjadi pelengkap satu sama lain. Yang nampaknya menjadi masalah kritis dan penting dari aktivitas pendukung adalah bagaimana perilaku aktifitas pendukung dan kesempatan yang dikembangkan, dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam susunan fisik perkotaan yang ada. Untuk terjadinya suatu aktivitas perlu didukung oleh kebersediaan orang mengunjungi suatu tempat ataupun ruang publik yang menurut D. J. Wamsley (1988), di pengaruhi ketersediaan waktu dan modal perjalanan. Waktu yang dapat mempengaruhi perilaku menurut Claude Javeau (dalam William Michleson, 1975) dibagi dalam 4 kategori yaitu : Waktu kebutuhan - tidur, makan, minum, dan kesehatan personal, Waktu kontrak - bekerja dan belajar, Waktu terencana - melakukan perjalanan, berbelanja keperluan rumah tangga, Waktu bebas - segala jenis aktivitas rekreasi. Dua jenis kategori pertama yaitu waktu kebutuhan & waktu kontrak cenderung bersifat stabil, sedangkan dua kategori terakhir yaitu waktu terencana & waktu bebas cenderung merupakan indikator dari life style. Sedangkan moda perjalanan di pusat kota menurut D. Paul Spraeigen (1965) dapat dibagi dalam 2 kategori pokok yaitu pertama ; radius pejalan kaki, kedua; radius transportasi umum dan kendaraan pribadi. KAWASAN SIMPANG LIMA Salah satu tempat yang memberi ciri khas bagi kota Semarang adalah Simpang Lima. Kawasan ini terletak di Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, tempat ini merupakan alun-alun yang berada di tengah-tengah persimpangan Jl. Pandanaran di sebelah barat, Jl. A. Yani di sebelah timur, Jl. Gajahmada dan Jl. Pahlawan di sebelah timur, sementara disebelah timur laut ada Jl.KH. Ahmad Dahlan. Berkembangnya fungsi Simpanglima menjadi alun-alun merupakan saran Presiden pertama Republik Indonesia yang menyarankan pengadaan alun-alun di Semarang sebagai ganti dari Kanjengan. Alun-alun yang dimiliki Semarang sejak masa pemerintahan Adipati Semarang yang pertama itu telah berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan. Kecamatan Semarang Selatan termasuk dalam BWK I, dimana lokasinya terletak di pusat kota. Kecenderungan perkembangan pola pemanfaatan tanah yang terjadi di daerah ini adalah menjadi pusat pendidikan, perkantoran, dan pemukiman. Dengan adanya fungsi campuran ini mengakibatkan konsentrasi pertumbuhan pelayanan-pelayanan jasa lainnya juga meningkat. Volume arus transportasi juga meningkat dan membuat permasalahan-permasalahan baru. Berfungsi sebagai tempat upacara, Simpanglima juga menjadi tempat berlangsungnya pertunjukan, tempat rekreasi, bahkan sebagai pasar tiban pada waktu-waktu tertentu. Berbagai jenis makanan baik makanan berat maupun makanan ringan dijual dengan gaya lesehan mengambil tempat sekitar trotoar dan sekeliling alun-alun. Sementara itu souvenir, alat sekolah sampai alat rumah tangga, sandal sampai hiasan rambut, juga dijual di sini. POTENSI DAN PERMASALAHAN DI KAWASAN SIMPANG LIMA Kawasan Simpang Lima dan sekitarnya merupakan pusat kegiatan olah raga dan perkantoran. Kemudian dengan perkembangan dan kemajuan jaman kawasan ini berkembang dengan kecenderungan ke arah perekonomian perdagangan dan jasa. Seiring dengan perkembangan tersebut maka akan terjadi dampak pada perkembangan tersebut diantaranya adalah merebaknya sektor informal yang ditandai dengan banyaknya para pedagang kaki lima di kawasan Simpang Lima. Tumbuhnya pedagang kaki lima di kawasan tersebut sangat pesat dengan menempati area publik. Peranan kaki lima tidak bisa dilepaskan begitu saja pada setiap perencanaan bangunan. Pedagang Kaki Lima sebagai komponen kota perlu diikut sertakan dalam proses pembinaan dan pembangunan kota. Suatu perencanaan hendaknya ikut memikirkan penempatan Pedagang Kaki Lima yang ditata secara teratur sebagai bagian dari kawasan tersebut. Area ini sangat menguntungkan untuk kegiatan informal masyarakat dimana para pedagang menawarkan barang atau jasa dengan harga bersaing. Waktu kerja/aktivitas yang mereka lakukan menyesuaikan dari tingkat kebutuhan lingkungan sekitar. Hal ini memerlukan penanganan sebagai usaha penataan untuk proses pengembangan kota. Dengan kata lain PKL adalah salah satu pemecahan masalah tenaga kerja dan sebagai salah satu tempat untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan dan juga sebagai pelayanan umum pada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari - hari khususnya penduduk sekitar kawasan. PKL itu ibarat ada gula ada semut, dimana ada keramaian dapat ditebak PKL juga akan ada. Puluhan tenda dan bangunan semi permanen milik PKL menjamur di berbagai tempat strategis. PKL di Kawasan Simpang Lima Jenis usaha dagangan Jenis usaha yang terdapat di kawasan Simpang Lima ini lebih didominasi oleh para pedagang makanan & minuman baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, pada hari biasa maupun hari libur. Hal ini dapat disebabkan karena konsumen para pedagang tersebut adalah para karyawan toko-toko di sekitar Simpang Lima dan juga para pengunjung pusat perbelanjaan tersebut. Adapula para pedagang aksessoris yang menjajakan barang dagangannya di sekitar Citraland dan Matahari. Para pedagang aksessoris ini akan lebih banyak pada hari sabtu malam dan minggu pagi dikarenakan pada hari itu konsumen akan lebih banyak daripada hari-hari biasa. Banyaknya jenis usaha dagangan di kawasan Simpang Lima ini dikarenakan beragamnya aktivitas yang terdapat di kawasan tersebut sehingga keberadaan para PKL sebagai sektor informal dapat menunjang aktivitas utama di kawasan Simpang Lima. Hal ini sesuai dengan teori Hamid Shirvani (1985) dalam teori elemen pembentuk kota dimana para PKL menjadi sebuah aktivitas pendukung bagi kegiatan utama pada suatu kawasan. Sarana Usaha Sarana usaha yang digunakan para pedagang untuk menjajakan dagangannya di kawasan Simpang Lima bervariasi sekali antara lain gerobak, tenda, gelaran, dsb. Untuk sarana yang berupa gerobak dan tenda merupakan sarana yang sifatnya bongkar pasang, sehingga bukan merupakan bangunan yang permanen. Menurut McGee & Yeung (1997:82-83) bentuk sarana fisik dagangan PKL bisa dikatakan sederhana dan mudah untuk dipindah-pindahkan atau mudah dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan menurut Perda No 11 Tahun 2000 menyebutkan bahwa PKL yang di dalam usahanya menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dibongkarpasang atau dipindah-pindahkan. Pada hari-hari biasa sarana usaha dengan bentuk gerobak dan tenda mendominasi banyaknya pedagang kaki lima di kawasan Simpang Lima. Sarana ini tidak melanggar peraturan yang telah ditetapkan, mengingat bangunan yang digunakan bukan bangunan permanen yang bisa dilakukan bongkar pasang. Akan tetapi para pedagang yang berlokasi kawasan Simpang Lima seringkali tidak membongkar sarana usaha yang telah mereka gunakan sebelumnya,sehingga mengakibatkan banyaknya sarana usaha yang terbengkalai begitu saja di sepanjang trotoar di kawasan tersebut. Hal ini dapat di lihat di sekitar depan Masjid Baiturrahman dan di depan Matahari. Selain itu keseragaman sarana usaha antara satu tempat dengan tempat lainnya juga belum terlihat di kawasan ini, oleh sebab itu para pedagang bisa dengan leluasa menentukan besarnya sarana usaha yang akan mereka gunakan. Namun pada lokasi antara Matahari dan Court, pedagang kaki lima di sekitar sini mulai terlihat rapi dengan para pedagang menggunakan sarana usaha etalase dan luas sarana usaha mereka tidaklah besar karena didominasi oleh para pedagang aksessoris sehingga pedestrian pada koridor tersebut masih berfungsi bagi pejalan kaki. Sarana usaha gelaran akan banyak terdapat pada hari Sabtu malam dan Minggu pagi. Mereka lebih banyak berlokasi di sisi lapangan Pancasila, hal ini disebabkan karena pada saat-saat itu konsumen banyak yang mendatangi kawasan tersebut. Para pedagang ini menggunakan gelaran sebagai sarana usahanya dan mereka meletakkan dagangannya di sekitar pedestrian sehingga dagangan tersebut menutupi sebagian besar pedestrian tersebut, hal ini mengakibatkan sirkulasi para pejalan kaki di lapangan Pancasila terganggu. Bedasarkan Perda dan definisi yang telah diutarakan oleh McGee & Yeung bisa dikatakan bahwa para pedagang kaki lima yang ada di wilayah studi melakukan beberapa penyimpangan terhadap sarana usaha yang mereka gunakan untuk menjajakan barang dagangannya. Lokasi & jumlah PKL Lokasi yang digunakan para pedagang kaki lima untuk menjajakan dagangannya pada umumnya berada pada ruang-ruang fungsional kota. Keberadaan PKL di kawasan Simpang Lima berkembang berdasarkan beragamnya aktivitas formal yang terdapat di kawasan tersebut. Sebagian besar PKL terdapat di depan Masjid Baiturrahman, koridor antara Citraland & Matahari, depan Matahari, dan koridor antara Matahari & Court. Hal ini terjadi karena aktivitas banyak dilakukan di tempat-tempat tersebut sehingga sesuai dengan teori bisnis eceran dimana para pedagang kaki lima akan mencari lokasi di tempat aktivitas banyak berlangsung. Para pedagang kaki lima tersebut banyak menggunakan pedestrian sebagai lokasi berjualan sehingga keberadaan PKL ini sering menjadi penyebab terganggunya sirkulasi pengguna pedestrian tersebut yaitu para pejalan kaki. Untuk bagian kawasan seperti area diantara Mall Ciputra – Plasa Simpang Lima (Matahari) yang merupakan bagian kawasan yang banyak dilalui orang, hal ini mengakibatkan banyak terdapat pedagang kaki lima bahkan sebagian dari mereka menempati jalan penghubung yang terletak di tengah pulau jalan sehingga hal ini dapat menambah terjadinya kemacetan pada kawasan tersebut. Dengan semakin banyaknya PKL yang menempati ruang publik mengakibatkan berkurang atau hilangnya ruang publik bagi masyarakat. Pada hari Sabtu malam dan Minggu pagi, lokasi PKL tidak hanya berada di sekitar Simpang Lima namun para PKL ini telah merambah ke lapangan Pancasila. Khusus pada hari Minggu pagi kawasan Simpang Lima ditutup untuk kendaraan bermotor dari pkl 06.00 sampai pkl. 08.00 hal ini untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat Semarang untuk berolahraga di kawasan Simpang Lima namun hal ini memberikan dampak bagi keberadaan PKL, sehingga PKL semakin banyak dan dapat menjajakan dagangannya hingga ke tengah jalan. Secara umum keberadaan PKL pada kawasan Simpang Lima dan sekitarnya menempati area ruang publik yang secara tidak langsung merubah fungsi ruang publik menjadi ruang privat hal ini mengakibatkan masyarakat kehilangan haknya atas ruang publik yang telah di sediakan serta menimbulkan terjadinya kesemrawutan pada kawasan tersebut, akan tetapi sebaliknya para PKL ini menjadi daya tarik bagi masyarakat terhadap kawasan ini sehingga diperlukan adanya penanganan khusus terhadap keberadaan PKL pada kawasan ini. Sarana dan prasarana Pada awal perencanaan, pedestrian dan ruang terbuka di kawasan Simpang Lima diperuntukkan bagi masyarakat pengguna kawasan tersebut namun seiring berkembangnya kawasan tersebut sebagai CBD (Central Bussines District) maka pedestrian dan ruang terbuka tersebut sering digunakan oleh para pedagang kaki lima. Dari segi aksesibilitas, keberadaan para PKL sangat strategis karena terletak di pinggir jalan sehingga memudahkan dalam pencapaiannya. Hal ini menguntungkan bagi bagi pihak PKL namun berdampak buruk bagi para pengguna jalan. Dampak lain yang ditimbulkan bagi aktivitas jalan adalah keberadaan pengunjung PKL yang memarkir kendaraannya di pinggir jalan akan menjadikan jalur menjadi sempit sehingga kesemrawutan lalu lintas menjadi bertambah. Pedestrian yang berubah fungsi sebagai area PKL secara tidak langsung memaksa para pejalan kaki untuk menggunakan jalur lambat atau bahu jalan sehingga membahayakan para pejalan kaki tersebut selain tidak tersedianya area parkir menjadikan pengunjung memanfaatkan bahu jalan, hal – hal inilah yang juga mendukung kawasan ini semakin macet dan semrawut. Ditinjau dari segi kebersihan, para PKL ini kurang memperhatikan kebersihan. Pedagang kaki lima dengan bentuk bentuk "usahanya" yang apa adanya itu sering dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tak acuh terhadap aturan ketertiban walaupun tidak semua, demikian dengan masalah kebersihan lingkungan kota serta penataan mereka. Apalagi dengan minimnya sarana kebersihan pada kawasan tersebut menambah permasalahan kebersihan pada kawasan tersebut. Namun saat ini segi kebersihan telah dikelola oleh pemda setempat dan konsekuensi bagi para PKL adalah membayar retribusi kebersihan. Keberadaan PKL pada kawasan ini tidaklah sepenuhnya buruk, semakin ramainya aktifitas pada kawasan ini menjadikan mereka juga dibutuhkan masyarakat sekitar dalam pemenuhan kebutuhan serta menjadi daya tarik kawasan bagi masyarakat sehingga juga membantu pengembangan kawasan bahkan telah menjadi salah satu landmark kota. PENUTUP Kesimpulan Dari semua analisis di atas dapat disimpulkan bahwa : - Kawasan Simpang Lima merupakan kawasan CBD (Central Bussines District) dengan para PKL (Pedagang Kaki Lima) sebagai penunjang aktivitas kegiatan utama di kawasan tersebut. Para PKL yang berada di kawasan Simpang Lima ini dapat dikategorikan sebagai berikut : - Berdasarkan jenis usaha dagangan : Makanan & minuman; Rokok; Pakaian; Aksessoris; Sepatu & sandal; Tas; Kaset; Buku & majalah; Mainan; DLL - Berdasarkan sarana usaha dagangan : Gerobak; Tenda; Gelaran; Pikul; Etalase; Kendaraan - Para Pedagang Kaki Lima (PKL) lebih banyak mencari tempat/lokasi yang banyak di lalui oleh masyarakat seperti di depan Baiturrahman dan depan Matahari Plaza. Hal ini sesuai dengan teori mengenai bisnis eceran dimana para pedagang eceran akan mencari lokasi yang strategis. Jumlah PKL akan melinjak pada hari libur tepatnya pada malam hari dan paada pagi harinya. - Dampak dari keberadaan para PKL ini di kawasan Simpang Lima ini adalah beralih fungsinya pedestrian dari ruang publik menjadi ruang privat bagi para PKL, selain itu dampak dari keberadaan PKL ini adalah pemerintah mendapatkan pendapatan dari retribusi para PKL. - Sarana kebersihan di kawasan Simpang Lima ini sangatlah minim apabila dilihat dari kurangnya tempat sampah, namun hal kebersihan telah ditanggulangi oleh pengelola setempat. Dalam hal ini pengelola adalah pihak kelurahan. Saran Pedagang Kaki Lima sebagai komponen kota perlu diikutsertakan dalam proses pembinaan dan pembangunan kota. Suatu perencanaan hendaknya ikut memikirkan penempatan Pedagang Kaki Lima yang ditata secara teratur sebagai bagian dari kawasan tersebut. Perlu adanya perhatian lebih terhadap kebijakan Pemerintah dalam menanggapi keberadaan PKL saat ini jika ditinjau antara kepentingan Masyarakat, Pedagang dan Pemerintah agar tidak terjadi kesemrawutan nantinya, jangan sampai kebijakan yang ada hanya mengarah pada pemasukan pajak pembangunan untuk daerah saja. Dengan kata lain penanganan dan pembinaan serta penyuluhan yang fleksibel jangan hanya tindakan represif saja yang nantinya dilakukan sebagai usaha peremajaan pelestarian kawasan serta mengembangkan kawasan sehingga nantinya kawasan dapat terkendali sebagai ruang publik kota yang nyaman dan aman. Perlu adanya penataan PKL dan peninjauan lokasi yang dianggap berijin dan tidak berijin menurut peraturan yang berlaku serta adanya kejelasan dan kemudahan tentang proses dan status PKL serta retribusinya mengingat peran PKL yang tidak sedikit dalam pengembangan kawasan dan pemasukan pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Darmawan, Edi. Ir. M. Eng. 2003. Teori dan Kajian Ruang Publik Kota. Semarang : Penerbit Universitas Diponegoro. Hakim, Rustam. 1987. Unsur Perancangan Dalam Arsitektur Lanskap. Jakarta : PT. Bina Aksara. Holahan, C. J. 1982. Enviromental Psychology. New York : Random House. Lewison, D. M. & Delozier, M. W. 1982. Retailing Principles and Practice. Ohio : Bell and Howel Company. Rapoport, Amos. 1977. Human Aspect of Urban Form. Perharman Press. Rubenstein, Harvey. 1992. Pedestrian Malls, Streetscape and Urban Spaces. New York : John Unley And Sons Inc. Shirvani, Hamid. 1985. The Urban Design Process. New York : Van Nistrand Reinhold Company. Teddy, Livian. 2003. Pengaruh Bangunan Komersial dan Pengguna Ruang Publik Terhadap Tumbuhnya Sektor Informal. Tesis S2 UNDIP (tidak diterbitkan). Winardi. 1993. Asas-Asas Marketing. Bandung : Penerbit Mada Maju.

Item Type:Article
Subjects:N Fine Arts > NA Architecture
Divisions:Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
ID Code:20149
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:12 Aug 2010 08:31
Last Modified:20 Sep 2011 10:04

Repository Staff Only: item control page