(Belum) Robohnya Ruang Publik Kami

Triyono , Lukmantoro (2010) (Belum) Robohnya Ruang Publik Kami. Seputar Indonesia . (In Press)

[img]
Preview
PDF
121Kb

Abstract

Ada kabar baik, namun ada pula kabar buruk terkait eksistensi media massa sebagai ruang publik (public sphere). Kabar baik hadir dari ruang-ruang persidangan yang mengadili tujuh media, yakni Seputar Indonesia, RCTI, Suara Pembaruan, Detik.com, Kompas, Warta Kota, dan Republika. Ketujuh media itu digugat Raymond Teddy karena dinilai mencemarkan nama baiknya. Dalam persidangan yang dilakukan di empat Pengadilan Negeri (Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur), kalangan majelis hakim menolak gugatan itu. Media memang bisa menghela nafas lega sejenak. Ini dikarenakan, melalui pernyataan advokatnya, Raymond Teddy akan mengajukan banding. Kenyataan ini menunjukkan kedudukan media secara hukum masih rentan. Dalam gagasan Jurgen Habermas, ruang publik bisa memenangi pengaruh terlembaga atas pemerintah melalui instrumen lembaga pembuat hukum. Problem krusial yang dihadapi media pada saat ini adalah banyak aturan hukum yang justru menggagalkan media sebagai ruang publik. Pencemaran nama baik, pornografi, pembocoran rahasia negara, dan regulasi yang bersifat represif pada internet adalah problem yang harus dihadapi media. Artinya, negara masih enggan melindungi media. Ruang publik, Habermas menegaskan, adalah bidang kehidupan sosial yang menjadikan opini publik terbentuk. Seluruh warga memiliki jaminan mengaksesnya. Negara sebagai otoritas publik tidak boleh menghancurkannya. Negara harus merawat ruang publik sehingga warga bisa berpartisipasi di dalamnya. Jaminan bagi kebebasan berserikat dan berkumpul serta kebebasan mengekspresikan dan mempublikasikan opini warga merupakan kepentingan umum yang tidak lagi bisa dihindarkan. Namun, hukum yang serba membatasi berkeliaran dalam wujud yang lembut maupun kasar. Negara membiarkannya sebagai tameng pertahanan. Sungguh tepat ketika Louis Althusser (1918-1990) memasukkan hukum dalam dua kategori aparatus negara sekaligus: ideologis dan represif. Karakter ideologis hukum bisa dilihat ketika seluruh warga, termasuk kalangan pekerja media, dipaksa tunduk melalui indoktrinasi kepatuhan yang ditanamkan dalam kesadaran sosial. Watak represif hukum tampak pada keberadaan institusi kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan pemenjaraan. Dalam ranah ini, media dan para pekerjanya sangat potensial terkena kriminalisasi. Perpaduan kelembutan dan kekasaran yang terdapat pada hukum itulah yang mengakibatkan media sebagai ruang publik dapat dikalahkan. Media internet yang memiliki sifat virtual sekalipun mampu direngkuhnya. Apalagi media yang kasat mata pasti dengan mudah dicampakkannya. Memang, tidak ada sensor, bredel, atau label-label menyeramkan yang mengakibatkan hukum diidentikkan dengan kekuasaan otoriterian. Namun, hukum selalu mampu bermetamorfosis bagaikan ulat menjijikkan yang menjelma sebagai kupu-kupu yang penuh keindahan. Teknik tabloidisasi Apa kabar buruk bagi media sebagai ruang publik? Media diposisikan sekadar sebagai mesin-mesin dagang yang menyajikan keuntungan finansial berkelimpahan. Fenomena itu disebut sebagai komodifikasi. Dalam definisi ringkas, sebagaimana merujuk gagasan Karl Marx (1818-1883), komodifikasi adalah proses mengubah nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value). Media memiliki kegunaan sebagai sumber informasi, pendidikan, pewarisan norma-norma sosial, pengawasan, dan hiburan. Ketika semua kegunaan media itu dipandang mendatangkan nilai jual, maka hasrat menjadikan media sebagai pencetak uang diwujudkan secara berlebihan. Lebih ironis lagi, komoditas (dagangan) yang secara eksesif diproduksi media adalah hiburan. Pada momentum inilah fungsi media untuk memberikan informasi yang sehat, menyajikan nilai-nilai edukatif, mewariskan aturan-aturan sosial yang luhur, serta menjalankan pengawasan kepada pemerintah segera melemah. Sebab, dalam melakukan komodifikasi pada dunia hiburan, teknik dominan yang dijalankan media adalah tabloidisasi. Konsep tabloidisasi tidak hanya merujuk pada ukuran fisik media cetak, yakni setengah halaman koran normal. Tabloidisasi adalah mekanisme pemberitaan yang menonjolkan sensasionalisme. Tabloidisasi menghadirkan aneka berita yang menyoroti privasi, terutama selebriti, yang bermuara pada skandal seks. Karena yang menjadi titik jual tabloidisasi adalah sensasi ranah privat, maka media pun seakan-akan mengajak khalayak untuk mengintip suasana kamar tidur dan aneka perbincangan personal yang cenderung ngawur. Bahkan, akibat dorongan dari tabloidisasi yang amat melebihi takaran, maka para pekerja media bagaikan mengidap voyeurisme (kegemaran mengintip). Kenyataan ini dapat disimak ketika semua media menyoroti video mesum yang diduga dilakukan Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari. Sorotan media terhadap kasus ini sedemikian meraksasa. Semua pihak, dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri, para wakil rakyat, sampai kalangan masyarakat awam, terlibat dalam isu sensasional itu. Media dapat saja berkilah bahwa liputan itu dimaksudkan untuk mencegah maraknya peredaran video porno. Namun, kalau metode pemberitaan yang digunakan adalah tabloidisasi, maka media hanya mengagungkan sensasi skandal seks itu sendiri. Tabloidisasi hanya mentransformasikan media sebagai ruang publik menjadi ruang pribadi yang dipenuhi hasrat voyeuristik. Persoalan-persoalan kemasyarakatan yang lebih mendesak dibicarakan, seperti korupsi, rekening tidak wajar para perwira polisi, kecelakaan moda transportasi yang terus terjadi, dan masalah-masalah urgen lain semakin jauh dari perhatian. Produk puncak tabloidisasi media ialah banalitas (kedangkalan) pemberitaan persoalan privat yang mengarah kepada sajian kecabulan. Atas nama menjaga moralitas sosial, media justru terjatuh sebagai arena pementasan pornografi yang hendak dilawannya sendiri. Itulah paradoks tabloidisasi media yang justru mengkhianati sifat publiknya. Problem politisasi Persoalan lain yang menjadikan media mengalami penyempitan sebagai ruang publik berkenaan dengan aspek ekonomi politik atau kepemilikannya. Benar asumsi perspektif Marxian yang menegaskan: “Gagasan-gagasan dari kelas berkuasa pada setiap zamannya merupakan gagasan-gagasan yang berkuasa. Kelas yang memiliki kekuatan material pada saat yang bersamaan mempunyai kekuatan intelektual”. Pernyataan itu mengungkapkan bahwa mereka yang memiliki modal untuk menguasai media otomatis memiliki kemampuan mengatur agenda pemberitaan yang dipilihnya Masalah yang terjadi dalam lingkup ini sangat berlainan dengan tabloidisasi media. Sebab, penekanannya lebih pada problem politisasi media untuk mendapatkan citra baik di hadapan publik. Contoh paling konkret dari politisasi media ini terlihat pada bagaimana kalangan korban lumpur Lapindo dijadikan dekorasi politik untuk mendapatkan kekuasaan dan popularitas. Simaklah ANTV dan TvOne yang dimiliki keluarga Aburizal Bakrie yang menggambarkan para korban menjalani hidup penuh kedamaian dan kebahagiaan. Bahkan, dua stasiun televisi itu tidak pernah menamakan tragedi itu sebagai “Lumpur Lapindo”, melainkan “Lumpur Porong” atau “Lumpur Sidoarjo”. Lapindo tidak disalahkan. Luapan lumpur dinilai sebagai bencana alam. Lain halnya dengan Metrotv yang dimiliki Surya Paloh. Stasiun televisi ini sering menyebut kejadian tragis itu sebagai “Lumpur Lapindo”. Figur Aburizal secara personal dijadikan materi bulan-bulanan dalam pemberitaannya. Sosok para korban ditampilkan penuh penderitaan dan menjalani kesengsaraan tanpa kesudahan. Apakah Metrotv lebih baik daripada ANTV dan TVOne? Tentu, tidak! Semua stasiun televisi itu menjadikan para korban hanya sebagai obyek eksploitasi politik. Dua stasiun televisi milik Aburizal menutupi kebobrokan Lapindo. Stasiun televisi milik Surya Paloh membongkar secara vulgar kebusukan Lapindo. Fenomena itu menunjukkan media sebenarnya sekadar—merujuk pemikiran Herbert I. Schiller—menjadi suara korporat (corporate voice), namun seakan-akan berkedudukan sebagai suara rakyat. Apa kesimpulannya? Meminjam judul cerita pendek Robohnya Surau Kami yang ditulis AA Navis, maka media sebagai ruang publik pada saat ini dapat dicegah kerobohannya jika media tidak gampang terkena kriminalisasi, tidak mudah tergiur bujukan tabloidisasi, dan tidak digunakan sebagai praktik politisasi para pemiliknya. Namun, ketika media begitu gampang dituding melakukan kejahatan, sangat tergoda menciptakan aneka sensasi, dan hanya menjadi megafon permainan politik dari para pemilik modal, niscaya media sebagai ruang publik tinggal menunggu kerobohannya. * * * Triyono Lukmantoro, dosen Sosiologi Komunikasi FISIP Undip Semarang. (Seputar Indonesia, 13 Juli 2010)

Item Type:Article
Subjects:H Social Sciences > H Social Sciences (General)
Divisions:Document UNDIP
ID Code:19388
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:06 Aug 2010 20:05
Last Modified:06 Aug 2010 20:05

Repository Staff Only: item control page