PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

MANUAIN, ORPA GANEFO (2005) PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

[img]
Preview
PDF - Published Version
401Kb

Abstract

Criminal Law System attended by Indonesian KUHP is Civil law System, which is not admitted corporation as law subject. But in its development, it shows that criminal law instead of KUHP already accepted corporation as law subject. In Indonesia, it was begun with Regulation No.7/Drt/1955 about Economic Criminal Action and followed by the others special criminal regulation such as Regulation of Corruption Criminal Action Elimination (Regulation No.31 year 1999 in connection with Regulation No.20 year 2001). In accordance with the above argumentation, the problem arises from this theses are: how the formulation of criminal regulation (criminal responsibility) of corporation in corruption criminal action, and the inversion of it in the future is. The aim is to evaluate/to analyze formulation criminal regulation (criminal responsibility) of corporation in corruption criminal action, and to evaluate/to analyze the prospect on the future. Main problem of this theses are the problem of criminal law policy in criminal regulation formula (criminal responsibility) of corporation in corruption criminal action, so it uses juridical normative approach, and then it is analyzed normatively qualitative juridical. Research resulted that there are some weaknesses on the formulation of criminal regulation (criminal responsibility) of corporation in corruption that are: it did not explain the definition of "working relation" and "the other relation" in the formula when corporation acts corruption; it did not arrange criminal weighing down for the corporation acts criminal as provided at Article 2 Clause (2); it did not arrange criminal substitute fine which was not paid by corporation. Instead, the general weakness of UUPTPK that influence corporation criminal responsibility is: it did not arrange the definition of evil consensus according to UUPTPK, and repetition requisition of corruption criminal action (recidivate) according to UUPTPK. Based on the above argumentation, the future prospect, UUPTPK should formulate: the definition of "working relation" and "the other relation", weighing down criminal for corporation as provided in Article 2 Clause (2); criminal substitute fine which was not paid by corporation, evil consensus definition; and repetition requisition of corruption criminal action. Considering the above weaknesses, we suggest that UUPTPK should be amended. Sistem hukum pidana yang dianut oleh KUHP Indonesia adalah sistem hukum Eropa Kontinental, yang tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum. Namun dalam perkembangan ternyata bahwa hukum pidana yang tersebar di luar KUHP sudah menerima korporasi sebagai subjek hukum. Di Indonesia hal ini diawali dengan lahirnya UU No 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian disusul oleh peraturan pidana khusus lainnya seperti Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah : bagaimana formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi, dan bagaimana sebaiknya formulasinya di masa yang akan datang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengkaji/menganalisis formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korporasi, dan mengkaji/menganalisis prospeknya di masa yang akan datang. Masalah pokok dalam tesis ini adalah masalah kebijakan hukum pidana dalam formulasi aturan pemidanaan (Pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi, maka pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah pendekatan yuridis-normatif, yang selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif normatif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana) korporasi dalam tindak pidana korupsi terdapat kelemahan-kelemahan sebagai berikut : dalam merumuskan kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi tidak dijelaskan pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”; tidak diatur pemberatan pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2); tidak diatur pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh korporasi. Selain itu juga terdapat kelemahan umum dari UUPTPK yang berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu : tidak diaturnya pengertian permufakatan jahat menurut UUPTPK, dan syarat-syarat pengulangan tindak pidana korupsi (residive) menurut UUPTPK. Berdasarkan hal-hal di atas maka untuk prospeknya di masa yang akan datang, UUPTPK harus memformulasikan : pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”; pemberatan pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2); pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh korporasi; pengertian permufakatan jahat; dan syarat-syarat pengulangan tindak pidana korupsi. Melihat kelemahan-kelemahan tersebut di atas, maka saran yang diberikan adalah UUPTPK perlu diamandemen.

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:K Law > K Law (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law
ID Code:18651
Deposited By:Mr UPT Perpus 2
Deposited On:04 Aug 2010 08:48
Last Modified:04 Aug 2010 08:48

Repository Staff Only: item control page