TATA RUANG RUMAH TRADISIONAL KUDUS

Budi Sardjono , Agung (2009) TATA RUANG RUMAH TRADISIONAL KUDUS. Jurnal Arsitektur . (Unpublished)

[img]
Preview
PDF - Published Version
565Kb

Abstract

Rumah tradisional Kudus merupakan bagian dari arsitektur tradisional Jawa yang mempunyai karakter lokal khas Jawa Pesisiran. Dibandingkan dengan tata ruang rumah Jawa di pedalaman (Jogya, Solo) terdapat perbedaan-perbedaan yang menarik selain kesamaannya secara umum. Perbedaan tersebut antara lain tidak terdapatnya ruang pendopo serta pringgitan dalam rumah tradisional Kudus, sebagai gantinya terdapat Jogosatru sebagai pengembangan dari emperan dari Rumah Jawa. Karakter khas ini berkaitan dengan budaya masyarakat setempat sebagai pedagang santri. Satu masyarakat pesisiran golongan pedagang penganut islam puritan. Rumah tradisional Kudus kondisinya pada saat ini amat memprihatinkan karena hampir habis dijual dengan berbagai macam alasan. Oleh karena itu sangat penting pemahaman tata ruang rumah tradisional Kudus sebagai bagian dari apresiasi dan konserfasi kekayaan budaya lokal. Kata kunci: tata ruang; rumah; tradisional Latar Belakang Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa (1984) membagi kebudayaan Jawa menjadi beberapa wilayah kebudayaaan, yaitu: Banyumas, Bagelen, Nagarigung, Mancanagari, Sabrang Wetan dan Pesisir. Pembagian ini berdasarkan keragaman yang sifatnya regional. Keragaman budaya ini tentunya juga akan dijumpai pada bentukan arsitektur. Pemahaman tentang kebudayaan Jawa serta arsitekturnya selama ini lebih mengacu pada kebudayaan pedalaman (Nagarigung) sementara kebudayaan Pesisiran masih sedikit mendapatkan perhatian. Dari pembagian yang diutarakan Koentjaraningrat di atas tersirat cara pandang yang berpusat pada kerajaan-kerajaan Jawa di Solo dan Jogya. Kebudayaan veodal dengan basis pertanian serta agama Islam yang sinkretik seolah menjadi wakil dari kebudayaan Jawa. Dalam bentukan bangunannya arsitektur rumah Joglo dari raja maupun bangsawan menjadi rujukan dari arsitektur Jawa. Di sisi lain kebudayaan Pesisiran sebagai bagian keragaman budaya Jawa memiliki karakter yang tidak kalah menarik sesuai dengan kondisi setempat, demikian pula tampilan arsitektur bangunannya. Kudus merupakan salah satu daerah pesisiran yang memiliki corak kebudayaan yang unik. Masyarakat Kudus merupakan masyarakat Pedagang Santri. Penganut Islam puritan sebagaimana dicontohkan Sunan Kudus. Ungkapan Jigang yang merupakan kependekan dari Ngaji dan Dagang memberikan gambaran masyarakat Kudus (Sardjono, 1997). Keunikan tersebut terungkap pula pada arsitektur rumah tinggalnya. Kajian perbedaan dan persamaan dari budaya maupun cerminannya dalam arsitektur bangunan akan menarik untuk dibahas. Dalam bahasan arsitektur Jawa di Pesisiran dan Pedalaman (Nagarigung), persamaan ciri bangunan akan merujuk pada ciri satu kelompok besar kebudayaan Jawa sementara perbedaannya menunjukkan keragaman sesuai kondisi lokal. *) Pengajar pada Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang. Keragaman Budaya Pesisir dan Nagarigung, Kebudayaan Masyarakat Kudus Sekalipun secara umum sejarah Jawa sama, namun pengaruhnya pada lokalitas agak berbeda. Kalau dibandingkan perjalanan sejarah antara dua daerah di Jawa yakni Pesisir dan Nagarigung dapat diutarakan sebagai berikut: Daerah pesisiran banyak merujuk pada sejarah perdagangan dan penyebaran Islam di pulau jawa. Sejarah pesisir banyak bertutur tentang perdagangan serta pergaulan dengan daerah serta bangsa-bangsa lain. Tentang agama baru (Islam) yang dibawa oleh pedagang-pedagang asing dan disiarkan lebih luas oleh Walisongo, menggantikan agama lama dan kepercayaan masyarakat. Sejarah budaya pada daerah pedalaman lebih banyak merujuk pada kejayaan kerajaan-kerajaan Budha, Hindu dan kemudian Islam dengan dasar kehidupan agraris. Agama Islam kemudian dipeluk tetapi tanpa meninggalkan kepercayaan lama. Kudus sebagai bagian dari daerah pesisiran kemudian lebih menekankan pada peran Sunan Kudus. Pada awalnya ketika Sunan Kudus mulai membuka kota, mata pencaharian penduduk adalah berdagang. Perdagangan diantara masyarakat telah berkembang mengingat jarak yang tidak terlalu jauh dari Demak maupun Jepara sebagai Bandar perdagangan yang cukup ramai pada saat itu (Wikantari, 1995). Pada masa kekuasaan Mataram, Daerah sekitar Kudus berkembang menjadi daerah pemasok beras utama bagi Mataram. Menjelang akhir abad 19 kemakmuran masyarakat kembali meningkat karena melimpahnya hasil pertanian. Hasil panen ini menjadi mata dagangan penting bagi pedagang-pedagang Kudus. Daerah jelajah pedagang-pedagang Kudus juga semakin luas walaupun masih terbatas di dalam pulau Jawa (Castles, 1982). Pada paruh pertama abad 20 Kudus menjadi terkenal karena pabrik rokoknya. Industri yang semula merupakan kerajinan rumah tangga berkembang menjadi industri besar. Namun dalam perkembangannya kemudian rokok kretek milik pribumi mengalami kemunduran dan banyak yang kemudian bangkrut atau tutup. Kota Kudus Identik dengan kota santri atau kota Islam, sejak berdirinya yang merupakan bagian dari rangkaian penyebaran agama Islam di Jawa, Kudus berkembang menjadi pusat pengetahuan dan pengembangan agama Islam yang termashur di Jawa, bahkan nusantara. (Salam, 1977). Masyarakat Kudus dikenal sebagai masyarakat muslim yang fanatik. Mereka berusaha menjalankan semua perintah agamanya dan menjauhi larangan-larangan agama. Dalam melaksanakan agamanya masyarakat banyak meneladani ajaran Sunan Kudus. Agak berbeda dengan ajaran Sunan Kali Jaga yang berkembang di Demak serta daerah pedalaman yang banyak mengakomodir ajaran Hindu maupun kepercayaan animisme dan dinamisme, ajaran Sunan Kudus relatif lebih puritan dengan mengharamkan kegiatan-kegiatan yang berbau mistik dan sirik. Di kalangan masyarakat Kudus Kulon tidak pernah sama sekali menyelenggarakan kegiatan pagelaran wayang kulit yang dianggap banyak memasukkan unsur Hindu serta kepercayaan. Sementara wayang kulit merupakan alat ampuh bagi Sunan Kalijaga untuk menyebarkan ajaran Islam. Sampai saat ini dalam hal keagamaan masyarakat Kudus kulon merasa sebagai penganut Islam fanatik sementara penganut Islam yang lain disebut sebagai Islam abangan (Sardjono, 1997). Dalam masyarakat Kudus terdapat ungkapan Jigang yang merupakan kependekan dari ngaji (mengaji) dan dagang (berdagang). Ngaji adalah membaca, mempelajari dan menelaah kitab suci Al Quran, merupakan amal yang mengarah pada kemuliaan hidup di Akhirat (Ukhrowi). Ngaji juga menyiratkan keutamaan seorang Muslim dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Dagang merupakan amalan yang mengarah pada kemuliaan hidup di dunia, berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Bagi umat Islam harus ada keseimbangan antara tujuan akhirat dan tujuan di dunia. Pengalaman sejarah memberikan anggapan pada masyarakat Kudus bahwa perilaku, kekayaan dan keyakinannya yang kuat pada agama Islam membedakan mereka dari masyarakat luar. Sikap ini telah menjadikan mereka militan, tertutup dan kurang menyukai menjadi pegawai pemerintah. Mereka menjadi pedagang yang merdeka, hidup dengan hemat, cerdik dan cekatan menjadikan mereka berpeluang besar untuk menjadi orang-orang kaya. Ketertutupan mereka terhadap masyarakat luar juga didasari pada kecurigaan mereka bahwa orang luar akan mengincar harta benda mereka. Diantara masyarakat ada kebiasaan untuk mengawinkan anak mereka dengan orang-orang dilingkungan mereka sendiri, antara lain supaya harta mereka tidak mengalir keluar. Tata Ruang Rumah Tradisional Kudus Rumah tradisional Kudus tidak merupakan bangunan tunggal tetapi kesatuan beberapa masa bangunan yang berfungsi untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Pola tata bangunan dalam tapak terdiri dari bangunan utama, halaman terbuka serta bangunan pelengkap. Bangunan utama menghadap kearah Selatan, posisi bangunan pada sisi Utara tapak. Bangunan pelengkap biasanya menempati posisi di Selatan tapak berseberangan dengan bangunan utama dan dipisahkan oleh halaman terbuka di tengah tapak. Batas tapak berupa pagar tinggi dari pasangan batu bata. Akses ke tapak melalui regol di sisi samping atau depan tapak. Regol berbentuk Gapura beratap dengan pintu ganda. Seringkali regol ini merupakan satu-satunya pencapaian ke dalam tapak. Bangunan Utama. Merupakan masa bangunan terbesar dalam tapak. Berfungsi untuk mewadahi kegiatan utama penghuni di dalam rumah, seperti makan, minum, istirahat serta berinteraksi dengan anggota keluarga. Bangunan utama terdiri dari Dalem, Jogosatru serta Pawon. Dalem. Merupakan inti dari bangunan utama. Berbentuk bujur sangkar atau segiempat. Dalem terdiri dari Jogan di sisi Selatan serta Sentong di sisi Utara. Sentong terdiri dari tiga bagian, yakni Sentong kiwo, Sentong tengen dan Sentong tengah atau Gedongan. Jogan merupakan ruang bersama dari dalem yang digunakan untuk kegiatan keluarga yang bersifat semi prifat. Pada ruangan ini terdapat Kolom utama Dalem yang disebut Soko guru dengan tumpang sari di bagian atas. Lantai Jogan dari kayu (geladag kayu) dengan peil lantai naik sampai 50 cm dari ruang Jogosatru dan Pawon. Sentong merupakan ruang tidur penghuni rumah. Sentong tengen digunakan untuk ruang tidur orang tua dan sentong kiwo untuk ruang tidur anak-anak perempuan. Sentong tengah dalam kesehariannya dikosongkan, digunakan untuk ruang Shalat. Pada acara pernikahan Sentong tengah digunakan sebagai kamar pengantin. Sentong tengah mempunyai peil lantai yang sedikit dinaikkan dari Jogan. Dengan demikian Sentong tengah atau gedongan merupakan ruang paling tinggi dari seluruh ruang yang ada. Ketiga sentong berhubungan langsung dengan Jogan, sementara Jogan berhubungan dengan Jogosatru melalui pintu Dalem berbentuk kupu tarung serta kadang-kadang dengan Pawon melalui pintu tunggal atau pintu geser. Peil yang tinggi pada dalem menyebabkan untuk memasukinya memerlukan dingklik atau bancik. Ruang-ruang Dalem dibatasi dinding kayu tanpa jendela, kalaupun ada jendela ukurannya keci dan terdapat pada Jogan. Ornamentasi pada Dalem terutama pada sokoguru dan dinding (gebyog) sentong. Pengatapan Dalem kebanyakan menggunakan atap Joglo dengan sudut atap tinggi pada bagian brunjung atau disebut atap pencu. Jogosatru. Terletak pada sisi depan Dalem, dibatasi oleh gebyog Dalem. Berbentuk segi empat dengan panjang sama dengan dengan Dalem. Jogosatru digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu resmi. Jogosatru juga berbatasan dengan Pawon bagian depan. Hubungan dengan Dalem melalui pintu utama Dalem, sementara hubungan dengan pawon melalui pintu tunggal atau pintu geser. Jogosatru sebagai ruang tamu berorientasi ke luar, yakni ke halaman tengah. Hubungan dengan halaman ini melalui 3 buah pintu, yakni: Pintu utama di tengah berbentuk kupu tarung serta pintu pengapit di sisi kanan dan kiri pintu utama. Pintu pengapit ini berlapis dua, di sebelah luar berupa pintu sorong dengan trails kayu dan di sebelah dalam dengan dinding geser. Pada ruang Jogosatru terdapat tiang tunggal yang mendukung belandar besar di atasnya. Posisi tiang tunggal di depan pintu dalem sedikit bergeser ke kiri. Tampilan ruang Jogosatru paling mewah diantara ruang-ruang yang lain. Lantai dari bahan ubin dengan pola khusus. Ornamentasi memenuhi gebyog dalem, elemen-elemen ruang seperti pintu Dalem, tiang tunggal, bancik menambah kesan mewah dari ruangan. Setting perabot pada ruang yang memanjang ini biasanya berupa dua set kursi tamu yang memisahkan tamu laki-laki dan tamu perempuan. Untuk menegaskan pemisahan kemudian dipakai tirai pada batas tiang tunggal berada. Peil lantai Jogosatru naik setinggi 15 sampai 45 cm dari halaman. Untuk mencapainya diberi anak tangga sepanjang sisi depan rumah. Atap Jogosatru berupa atap miring (Panggang Pe) yakni sosoran (perpanjangan) dari atap pananggap dalem yang sudutnya direndahkan lagi. Pawon. Merupakan ruang untuk kegiatan aktif keluarga. Berbentuk segi empat panjang menutup sisi Jogosatru dan dalem. Pawon bagian belakang digunakan untuk kegiatan memasak atau dapur, bagian depan untuk tempat makan serta berkumpul keluarga. Kadang-kadang tamu yang sudah akrab diterima di pawon. Kadang kala dijumpai juga pawon bagiantengah disekat untuk menambah ruang tidur. Pawon berhubungan dengan Jogosatru, Dalem serta halaman masing-masing melalui sebuah pintu tunggal. Pintu ke Halaman berlapis dua sebagaimana pintu pengapit pada Jogosatru hanya saja berukuran lebih sempit. Atap Pawon menggunakan atap Kampung Gajah ngombe. Bagian yang bersisian dengan Dalem beratap kampung sementara yang bersisian dengan Jogosatru atapnya merupakan perpanjangan dari atap Jogosatru. Bangunan Pelengkap Bangunan pelengkap pada rumah tradisional Kudus terdiri dari Sumur dan Kamar mandi serta Sisir. Bangunan pelengkap ini berbentuk memanjang menutup sisi-sisi tapak di luar bangunan utama. Bangunan pelengkap digunakan untuk menampung kegiatan serfis serta kegiatan ekonomi atau produksi dari penghuni. Sumur dan Kamar Mandi. Merupakan kelengkapan bangunan utama yang digunakan untuk mandi, mencuci serta berwudlu. Posisi sumur dan kamar mandi terletak di depan bangunan utama, berorientasi ke halaman tengah. Sumur terletak di ruang terbuka, berupa sumur bong berdinding batu bata setinggi 90 cm (setinggi pinggang orang dewasa). Sekeliling sumur diperkeras dengan batu lempeng andesit atau plesteran untuk kegiatan mencuci. Untuk menutup pandangan dari halaman sumur berpagar dinding setinggi sekitar 150 cm (setinggi leher orang dewasa). Kamar mandi terletak bersebelahan dengan sumur, terdiri dari dua bilik mandi yang berhubungan langsung dengan sumur. Bak mandi masing-masing bilik berhubungan, terdapat corong yang membuka kea rah sumur untuk mengisi air. Kamar mandi beratap panggang pe. Sisir. Merupakan bangunan memanjang di sebelah Kamar mandi. Pada awalnya sisir berupa ruang memanjang tanpa sekat. Fungsi sisir untuk ruang serba guna, atau tempat penyimpanan, fungsi ruang sisir banyak ditentukan oleh pekerjaan dari penghuni. Kadang kala sisir digunakan untuk warung pada rumah yang bersisian dengan jalan. Sisir beratap Kampung. Pada penyelenggaraan acara tertentu seperti perkawinan atau khitanan yang melibatkan banyak orang, bangunan sisir berubah menjadi dapur umum. Halaman. Merupakan ruang terbuka atau pelataran pada rumah tradisional Kudus. Halaman ini merubpakan bagian penting. Berfungsi mengikat masa-masa bangunan di sekitarnya. Menerima tamu dari regol dan mengarahkannya ke dalem. Halaman digunakan untuk aktifitas di luar serta menghubungkan antar masa. Pada halaman ditanam pohon peneduh untuk naungan. Hamparan halaman kadangkala ditutup kerakal agar tidak becek. Pada beberapa rumah yang terletak berjajar rapat, halaman rumah saling berhubungan atau menerus membentuk jalan atau lorong yang melintas tapak. Memisahkan Bangunan utama dan bangunan pelengkap. Pada saat berlangsung acara besar halaman menjadi ruang tamu. Keragaman dan Perkembangan Beberapa fariasi dijumpai pada tata bangunan maupun tata ruang rumah tradisional Kudus. Dalam hubungannya dengan akses ke tapak serta regol. Pada umumnya regol berada pada sisi samping tapak (barat atau timur), namun kadangkala juga dijumpai regol pada sisi selatan tapak, yakni pada rumah-rumah yang terletak di sisi utara jalan yang membujur barat timur. Pawon pada umumnya terdapat satu buah terletak di sisi kanan atau kiri Dalem. Ada sementara anggapan apabila pawon ada di sisi kiri maka penghuni mempunyai anak perempuan, sementara apabila ada di sisi kanan penghuni mempunyai anak laki-laki. Namun juga dijumpai pawon terdapat dua buah dan mengapit Dalem. Bahkan terdapat juga Pawon ada di tiga sisi, yakni samping kanan, kiri dan belakang. Masing masing pawon ini tetap mempertahankan bentuk atap berupa atap kampung. Sisir kebanyakan berada pada bagian depan, namun pada beberapa kasus Sisir dapat diperpanjang ke sisi samping kanan maupun kiri sehingga hampir menyambung dengan pawon. Dalem pada umumnya beratap Joglo namun sekalipun jarang sekali, terdapat juga Dalem beratap Limas maupun kampung. Ornamentasi menjadi ciri dari rumah tradisional Kudus. Namun ternyata ornamentasi yang diterapkan pada bangunan ada tidak selalu sama kualitasnya. Ada yang mempunyai kualitas ukiran tinggi adapula yang sedang maupun rendah. Ada pula yang hanya menerapkan pola blok pada panil kayu tanpa diselesaikan dengan ukiran. Tata Ruang Rumah Tradisional Jawa Nagarigung Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan diketahui rumah Jawa yang lengkap terdiri dari beberapa masa bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda. Orientasi bangunan rumah kearah selatan. Pada garis besarnya terdapat bangunan utama berupa dalem serta bangunan-bangunan tambahannya di sebelah depan, samping maupun belakang. Rumah depan, yakni Pendapa dan pringgitan. Rumah samping, yakni gandhok serta rumah belakang, yakni gadri, pawon, pekiwan serta gedogan. Halaman terdapat di depan, untuk memasuki pekarangan melewati gerbang atau regol. Dalem terdapat di tengah. Berbentuk segi empat atau segi panjang. Di dalamnya terdapat 3 ruang tidur yang disebut sentong. Sentong kiwo, sentong tengen serta sentong tengah. Di depan sentong terdapat jogan. Sentong kliwo dan sentong tengen digunakan untuk tidur penghuni rumah, sentong tengah atau disebut krobongan dibiarkan kosong atau untuk menyimpan sesaji. Pawon terletak pada bagian belakang, terpisah atau kadang-kadang bersambungan dengan gadri. Pawon digunakan untuk memasak serta kadang-kadang juga berfungsi sebagai gudang. Sumur dan kamar mandi atau biasa disebut pekiwan terdapat di belakang, di sebelah pawon, bagian paling belakang kadang dijumpai kandang ternak. Rumah jawa lengkap di Nagarigung dipunyai oleh para Bangsawan, priyayi, pejabat pemerintahan atau pemuka masyarakat. Tata ruang rumah mereka mengacu pada Keraton dengan penyederhanaan. Kajian Rumah Kudus Sebagai Farian Rumah Tradisional Jawa Di Pesisir Sama seperti Rumah Kudus, Rumah tradisional Jawa di terdiri dari bangunan utama yakni Dalem, Pringgitan, Pendopo serta bangunan pelengkap yakni: Gandok, Gadri Pawon dan Kamar mandi serta Kandang di belakang. Dari susunannya apabila dibandingkan dengan rumah kudus perbedaan yang ada antara lain: - Pendopo berupa ruang terbuka tanpa dinding di depan Dalem tidak pernah dijumpai pada tata ruang rumah Kudus. - Pringgitan digantikan keberadaannya dengan Jogosatru dengan beberapa perbedaan. Pringgitan berbentuk emper terbuka (tanpa dinding pembatas) dengan pengatapan khusus berupa atap limas atau kampung. Sementara Jogosatru berupa ruang tertutup dengan dinding (Gebyog) dengan tiga pintu. Atap Jogosatru berbentuk panggang pe yang merupakan sosoran dari atap Dalem. Dua ruang ini secara fisik sebenarnya adalah emperan dari dalem yang dikembangkan dengan masing-masing caranya. - Gandok pada rumah Jawa barangkali dapat dipadankan dengan Pawon dari rumah Kudus yang posisinya ada pada sisi samping Dalem. Pawon diposisikan rapat menyambung di sisi dalem, sementara pada rumah jawa Gandok dibuat berjarak terhadap Dalem. Gadri pada rumah Jawa digantikan dengan Pawon belakang. Fungsi Pawon maupun Gandok dan gadri sebenarnya mirip, yakni sebagai ruang kegiatan aktif keluarga. - Pekiwan atau kamar mandi dengan sumur di rumah Jawa terletak di belakang sementara di rumah Kudus terletak di depan. - Sisir sebagai bangunan produksi atau bangunan kerja pada rumah Kudus tidak dijumpai pada rumah Jawa. - Dalem dengan Jogan dan Sentong sama, hanya saja pada sentong tengah rumah Jawa (Krobongan) masih digunakan untuk tempat persembahan pada leluhur maupun dewi sri, sementara pada rumah Kudus (Gedongan) digunakan untuk sholat atau menyimpan harta benda. - Pagar dan Regol. Pada rumah Kudus pagar massif dan tinggi sehingga tampilan rumah hampir tidak terlihat kecuali puncak atapnya. Pintu masuk ditandai berupa regol beratap dengan daun pintu. Kondisi keseharian daun pintu selalu dalam keadaan tertutup. Pada rumah Jawa regol sering kali tidak berdaun pintu, sebagai gantinya diberi aling-aling. - Halaman atau pelataran rumah Kudus terletak di tengah, halaman menerima dan mengarahkan pengunjung ke Jogosatru, halaman yang selalu tertutup bersifat prifat terhadap orang luar, berfungsi untuk mewadahi kegiatan penghuni di luar rumah. Halaman rumah Jawa terletak di depan, menjadi ruang penerima dan orientasi terhadap keseluruhan rumah. Mempunyai kesan formal. Keterkaitan Dengan Budaya Rumah sebagai elemen utama permukiman merupakan hasil karya bersama yang dalam ungkapan fisiknya sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dari masyarakat tersebut (Rapoport, 1966). Teori tersebut dapat dipakai untuk menerangkan bentukan arsitektur rumah tradisional Kudus dikaitkan dengan budaya masyarakat setempat. Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kalijaga mencoba mengadaptasikan kepercayaan baru tersebut dengan kepercayaan yang sudah lebih dulu dipeluk masyarakat agar Islam lebih mudah diterima. Salah satu dampak dari cara tersebut adalah terjadinya percampuran yang menghasilkan pemahaman Islam yang sinkretik. Sunan Kalijaga memanfaatkan kesenian Wayang kulit (ringgit) yang digemari masyarakat sebagai media penyebaran Islam dengan menyisipkan ajaran-ajaran Islam dalam cerita-cerita ringgit. Cara ini mendapat tentangan dari Sunan Kudus yang lebih suka dengan syiar yang lebih murni dan dengan cara yang lebih keras. Ajaran Sunan Kalijaga kemudian banyak berkembang di daerah selatan sementara ajaran Sunan Kudus lebih banyak dianut di daerah pesisir dengan skala yang lebih keci. Ringgit sebagai kesenian rakyat banyak digemari di daerah Demak, Semarang serta daerah Selatan Jawa, sementara di Kudus kesenian tersebut tidak pernah dipertunjukkan. Dalam hubungannya dengan tata ruang rumah Jawa, pagelaran ringgit menggunakan pendopo sebagai tempat penonton dan pringgitan sebagai tempat ringgit digelar serta dimainkan oleh dalang dan perangkatnya. Ringgit tidak pernah digelar di daerah Kudus karena dianggap syrik dengan mencampurkan ajaran Islam dengan ajaran Hindu serta kepercayaan masyarakat. Pendopo sebagai kelengkapan rumah Jawa menjadi perlambang rumah bangsawan atau pejabat yang mengemban kekuasaan. Pendopo menjadi tempat pemilik rumah menerima tamu-tamu secara resmi, seperti halnya pendopo keraton atau sitihinggil menjadi tempat raja menerima “pisowanan” dari rakyat dan bawahannya. Pada masyarakat Kudus yang pedagang, kegiatan menerima “pisowanan” tersebut tidak dikenal. Sikap dan sifat masyarakat pesisir yang lebih egaliter menganggap bahwa derajat manusia adalah sama, sehingga kunjungan seseorang terhadap orang lain lebih merupakan kunjungan silaturahim. Pendopo kemudian disederhanakan menjadi ruang tamu atau jogosatru yang lebih ramah. Harkat dan derajat sosial pada masyarakat Kudus kemudian digantikan oleh derajat dalam bidang ekonomi dengan lebih memandang pada kekayaan yang pada masyarakat pedagang lebih mudah dijumpai dan diperbandingkan. Cermin keberhasilan pemilik rumah kemudian diungkapkan dalam tampilan ruang jogosatru, ruang yang dapat dipamerkan pada setiap tamu yang datang. Kualitas bahan dan ornamentasi ruang Jogosatru mendapat porsi yang lebih besar dari ruang-ruang lain. Religiositas masyarakat Kudus yang tinggi terlihat pada kegiatan pelaksanaan ibadah, terutama ibadah sholat. Kegiatan sholat mensyaratkan wudlu (bersuci) dalam rangkaian kegiatannya. Setidaknya lima kali dalam satu hari orang akan memerlukan berwudlu untuk dapat menunaikan sholat. Tingginya intensitas kegiatan ini merubah anggapan tentang kamar mandi. Kamar mandi yang oleh orang Jawa dianggap sebagai tempat yang ‘kekiwo’ sehingga disebut pekiwan bagi orang Kudus berubah menjadi tempat yang terhormat sebagai pesucen atau tempat bersuci. Tempat kamar mandi kemudian dipindahkan ke depan agar lebih mudah dicapai. Sebagai masyarakat yang merdeka (bukan bawahan orang lain) masyarakat kudus banyak bergerak di bidang perdagangan serta industri rumahan (home industri). Kegiatan ini memerlukan tempat yang cukup luas serta terpisah dari rumah agar tidak saling mengganggu. Kebutuhan ini diwujudkan dengan bangunan sisir. Bangunan serbaguna ini tidak dijumpai pada masyarakat Jawa. Penutup Sebenarnya banyak hal yang masih dapat diungkap mengenai kekhasan rumah tradisional Kudus yang dapat lebih dieksplorasi lagi, apalagi bila dikaitkan dengan kekhasan budaya masyarakat setempat. Sayang sekali saat ini rumah-rumah tersebut sudah mulai jarang ditemukan. Perubahan budaya yang terjadi menyebabkan perubahan anggapan masyarakat terhadap rumah adatnya. Alasan yang umum dijumpai antara lain bahwa rumah tradisional tersebut tidak lagi dapat menyesuaikan kebutuhan penghuni, tidak praktis serta mahal dalam perawatan. Juga anggapan bahwa rumah adalah waris yang harus dibagi secara adil diantara keturunan. Pergantian generasi seakan menjadi batas eksistensi sebuah kebudayaan. Daftar Pustaka Bonnef, Marcel, 1983, Islam di Jawa Dilihat Dari Kudus, dalam Citra Masyarakat Indonesis, Sinar Harapan, Jakarta. Castles, Lance, 1982, Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kretek Kudus, Sinar Harapan, Jakarta. De Graaf, HJ, dan Pigeoud, TH, 1985, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Rapoport, Amos, 1969, House Form and Culture, Prentice Hall, London. Salam, Solikin, 1977, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam, Menara Kudus, Kudus. Sardjono, Agung B, 1996, Rumah-rumah di Kota Lama Kudus, Tesis Program Pascasardjana UGM, Yogyakarta. Tjahjono, Gunawan, 1989, Cosmos Centre and Duality In Javanese Architectural tradition : The Simbolik Dimention of House Shapes in Kota Gede and Surroundings, Disertasi, University of Calivornia, Barkelay. Wikantari, Ria R, 1995, Safe Guarding A Lifing Heritage A Model for The Architectural Conservation of an Historic Islamic District of Kudus Indonesia, Thesis University of Tasmania, Tasmania.

Item Type:Article
Subjects:N Fine Arts > NA Architecture
Divisions:Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
ID Code:1769
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:25 Nov 2009 10:27
Last Modified:25 Nov 2009 10:27

Repository Staff Only: item control page