HANIVA, HANIVA (2008) PELAKSANAAN SISTEM GADAI TERHADAP TANAH ULAYAT DI MINANGKABAU (STUDI KABUPATEN PADANG PARIAMAN). Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
| PDF - Published Version 247Kb |
Abstract
Tanah ulayat di Minangkabau dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan anak kemenakan. Pada dasarnya tanah ulayat tidak boleh dijual atau dihilangkan begitu saja, melainkan hanya boleh digadaikan, dalam hal ini gadai harus memenuhi empat peryaratan yaitu Mayik tabujua diateh rumah, rumah gadang ketirisan, gadih gadang alun balaki, dan mambangkik batang tarandam. Objek hak gadai di Minangkabau adalah hak mengelola atau hak menikmati hasil ulayat bukan atas tanahnya. Tanah tetap kepunyaan kaum. Dalam menggadaikan harus disepakati oleh seluruh kaum secara bersama-sama, baik seluruh anggota suku atau nagari. Penguasaan terhadap tanah ulayat ini adalah dipegang oleh mamak kepala waris atau penghulu kaum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan gadai tanah ulayat, faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan sistem gadai tanah ulayat dan bagaimana penyelesaian sengketa gadai yang terjadi di Kebupaten Padang Pariaman. Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan metode pendekatan secara yuridis empiris, dengan jalan menganalisa barbagai peraturan hukum adat Minangkabau dengan perilaku masyarakat dalam menggadai tanah ulayat. Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan gadai tanah ulayat tersebut tidak adanya persetujuan dalam kaum, mamak kepala waris, kerapatan adat nagari maupun wali nagari yang dalam hal ini sebagai unsur pemerintahan yang ikut mengetahui. Pelaksanaannya berdasarkan tiga kelarasan yakni kelarasan koto piliang, budi caniago dan lareh nan panjang. Ketiga kelarasan terdapat perbedaan dalam hal persetujuannya, namun perbedaan ini banyak juga terdapat persamaan. Namun faktor masyarakat menggadaikan tanah ulayat tersebut yang sangat berbeda dari kenyataan yang ada, dimana ada empat syarat untuk mengadai tanah ulayat dan di Padang Pariaman hanya tiga syarat yang dipakai kecuali membangkit batang tarandam kerena masyarakat merasa malu jika hal itu terjadi. Dan faktor itu berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mana lebih cendrung tanah ulayat itu digadaikan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan untuk pendidikan. Penyelesaian sengketa gadai tanah ulayat terlebih dahulu di selesaikan antara para pihak, tingkat kaum dan dilanjutkan ke Kerapatan Adat Nagari jika tidak didapati penyelesaian. Customary right for land in Minangkabau is applied for the prosperity of the nephew. Basically, the customary right for land may not be sold or omitted at all, but only can be pawned. In this case, the pawning should meet four requirements: Mayik tabujua diateh rumah, rumah gadang ketirisan, gadih gadang alun balaki, and mambangkik batang tarandam. In Minangkabau, the object of the pawning right is the right of managing or the right of enjoying the result of the customary right which is not on its land. The permanent land is owned by the clan. In pawning, it should be agreed by the whole clan together collectively, either for the tribe members or nagari. The domination of the customary right for land is holded by the mother of the heir leader or the clan chief. The aim of this research is to recognize how the implementation of the pawning of the customary right for land is, the factor causing the people perform the pawning system of the customary right for land and how to solve the pawning dispute happening in Regency of Padang Pariaman. In this thesis, the writer used the empirically juridical approaching method by analyzing various customary law rules of Minangkabau to the people behaviors in pawning the customary right for land. From the research having been done, it can be identified that there is no agreement in clan in the implementation of the pawning customary right for land, the mother of the heir leader, the density of the nagari custom or nagari proxy which in this case as the government element following to be acquainted with it. The implementation based on the three harmonies, namely the harmony of koto piliang, budi caniago and lareh nan panjang. The three harmonies have a difference in the agreement; however, this difference has also some similarities. Nevertheless, the people factor pawning the customary right for land is so different from the reality, in which there are four requirements to pawn the customary right for land and there are merely three requirements used in Padang Pariaman except to raise batang tarandam due to the people feel ashamed if it occurs. And, the factor develops as the need of the people in which the customary right for land more tends to be pawned to meet the economic need and for education. The dispute settlement of the customary right for land is solved in advance among sides, the clan stage and is continued to the nagari custom density if there is no solution.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Notary |
ID Code: | 17499 |
Deposited By: | Mr UPT Perpus 2 |
Deposited On: | 26 Jul 2010 08:36 |
Last Modified: | 26 Jul 2010 08:36 |
Repository Staff Only: item control page