SA’RONI, SA’RONI (2006) TANGGUNG JAWAB BALAI HARTA PENINGGALAN SEBAGAI KURATOR HARTA PAILIT SETELAH BERLAKUNYA UU NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN. Masters thesis, program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
| PDF - Published Version 285Kb |
Abstract
Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 lalu, mengakibatkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat. Hal itu telah mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, terutama terhadap para kreditor luar negeri, menjadi bertambah besar sehingga mengakibatkan banyak sekali Debitor tidak mampu membayar utang-utangnya. Sehingga pemerintah Indonesia terdesak untuk melakukan perubahan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepailitan, maka terbitlah UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Peran dari Balai Harta Peninggalan berkurang, sejak munculnya kurator swasta, apalagi Pengadilan Niaga berdasarkan permintaan debitor atau kreditor cenderung menggunakan kurator swasta dari pada menggunakan Balai Harta Peninggalan yang ada, dan dalam praktek pun Balai Harta Peninggalan kurang mendapatkan perhatian. Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa Balai Harta Peninggalan lamban dalam menjalankan tugasnya dan sumber daya manusianya yang kurang jika di bandingkan dengan kurator swasta. Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab Balai Harta Peninggalan selaku kurator setelah berlakunya Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan berbagai hambatan yang dihadapi Balai Harta Peninggalan dalam menjalankan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-empiris. yaitu suatu pendekatan yang mengunakan data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan yang hasilnya diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan. Hasil penelitian menyebutkan : dalam konteks kepailitan, tanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan yang dilakukan Balai Harta Peninggalan diatur dalam Pasal 72 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan belum memberikan kepastian hukum karena tidak adanya sanksi yang pasti dalam aturan tersebut. Sehingga bentuk tanggung jawab kurator atas kelalaian dan atau kesalahan bisa berbeda-beda dan disesuaikan dengan tingkat kesalahan dan kerugian yang ditimbulkannya. Balai Harta Peninggalan selaku kurator bertanggung jawab penuh mengganti kerugian yang diakibatkan dari kelalaian dan atau kesalahan Balai Harta Peninggalan selaku kurator, sesuai Pasal 80 Stbl 1872 No. 166 tentang Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia. Balai Harta Peninggalan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya selaku kurator sering menemui hambatan-hambatan seprti : hamabtan birokratis, hambatan yuridis, hambatan administrasi dan hambatan sumber daya manusia. Monetary crisis in the middle of 1997 weakened Rupiah currency to US Dollar. It has caused the debts of Indonesian entrepreneurs’ in foreign currency, especially to foreign Creditors, increase so that many debtors cannot discharge their debts. Therefore, the Indonesian government is pushed to amend the bills of bankruptcy. As the result of this, law of bankruptcy No. 37 2004 was issued. The role of Probate Court (BHP) has decreased since the presence of private receivers. Moreover, Pengadilan Niaga (Trade Court), according to debtors and creditors’ demands prefers private receivers to Probate Court, and in fact, Probate Court gets less attention. It is caused by an opinion that Probate Court clumsily runs its duty and that its human resources are not enough compared with the private receivers. The goals of the research are to understand and to analyze the responsibility of Probate Court as a receiver after the validity of law No. 37 2004 of bankruptcy and the obstacles faced by Probate Court in management and settlement of bankruptcy. The research applies methods of juridical-empirical approach, an approach that uses secondary data in advance and followed by primary data in field that will be used to answer the emerged problems. A research says: in the context of bankruptcy, the responsibility for failures and mistakes done by Probate Court is regulated in Article 72 of law No. 37 2004 of bankruptcy which has not given the law certainty as there is no definite punishments. Therefore, the receiver’s responsibility for failures and or mistakes can be different in form and is adjusted with the level of mistakes and loss. Probate Court as a receiver has full responsibilities for making up loss caused by their neglects and or mistakes, based on article 80 Stbl 1872 No. 166 of Instruction for Probate Court in Indonesia. Probate Court in running its duty and authority as a receiver finds some obstacles such as: bureaucracy, juridical, administration, and human resources.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Notary |
ID Code: | 15800 |
Deposited By: | Mr UPT Perpus 2 |
Deposited On: | 06 Jul 2010 13:18 |
Last Modified: | 06 Jul 2010 13:18 |
Repository Staff Only: item control page