Semarang Waterfront City?

Sukawi, Sukawi (2007) Semarang Waterfront City? Jurnal Ilmiah .

[img]
Preview
PDF - Published Version
18Kb

Abstract

Kota Semarang merupakan kota yang dekat dengan pantai. Bentuk kota yang dimiliki Semarang ini membuat sebagian muka/wajah kota ini seolah menghadang laut, yang seharusnya sebagian masyarakat kota harus bertemu dengan alam laut setiap kali harus memulai aktifitas kesehariannya. Masyarakat lokal yang berprofesi nelayan tradisional menambatkan kehidupannya pada laut ini. Perlahan namun pasti pantai Semarang mulai dikuasai oleh perorangan dan swasta. Akankah masyarakat kota ini telah mendapatkan wisata laut yang begitu indah dengan “sunrise” sampai “sunset” tetap dinikmati secara cuma-cuma. Suasana ini terjadi setelah pantai Semarang diporak-porandakan oleh kegiatan “reklamasi”. Kini view sepanjang mata memandang tertutup oleh bangunan yang membentengi masyarakat kota Semarang terhadap “view” pemandangan ke laut. Menurut Kepres RI. No. 32 tahun 1990 tentang Pengolahan Kawasan Lindung dan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan pantai masuk dalam kawasan lindung dimana sepanjang pantai 100 meter dari tititk pasang tertinggi ke arah darat harus dilindungi atau bebas dari kawasan budidaya (bangunan, lahan pertanian, dll) guna untuk melindungi fungsi ekosistem pantai. Semarang yang memiliki garis wajah yang sebagian berada di sepanjang pantainya, dengan demikian zona ini rentan terhadap “pengrusakan” alam. Kawasan Pantai adalah bagian yang sangat strategis untuk memandang dan memasuki kota ini dari arah laut. Adanya pelabuhan Tanjung Emas, mempertegas image “Semarang Waterfront City”. Kini nelayan harus berhadapan dengan penggusuran lahan kerja mereka. Masyarakat ini harus terpaksa meubah mata pencaharian mereka dari “melaut” menjadi “pekerja” yang menempati sektor informal. Belum lagi hak-hak masyarakat kota yang semakin terampas akibat terbentangnya dinding-dinding pemisah yang sengaja memisahkan rangkaian aktfitas rutin masyarakat. Kita perlu menganggarkan biaya untuk melihat sunrise dan sunset di tepi pantai. Paling tidak bakal bersitegang lagi dengan penjaga kawasan untuk bisa masuk dengan gratis. Kondisi ini secara perlahan memupuk situasi yang tidak “fair” dan sangat menganggu keseimbangan kehidupan manusia di kota ini. Nah, kapan akan terjadi pembenahan habitat perairan Pantai Semarang, barangkali akan terlontarkan “tidak ada biaya” untuk itu. Inilah kondisi yang bakal terjadi di masa datang. Tidak ada tanda-tandanya pelaku ekonomi, pemrakarsa maupun pemerintah negeri ini untuk berupaya mengantisipasi kondisi pengrusakan lingkungan di masa datang. Apabila kita terpaku dan terdiam saja melihat suasana ini, atau kita hanya bisa puas saja dengan keadaan ini, maka kita akan setuju membawa negeri ini akan masuk pada kondisi lingkungan hidup “yang tidak berkelanjutan” yang selanjutnya bakal menuju pada kota yang sakit. Beberapa hal yang mesti diperhatikan, seperti: menjaga siklus kehidupan masyarakat kota Semarang dengan tetap menyediakan aksesibilitas publik untuk dapat menikmasti keindahan alam Pantai Semarang. Ruang-ruang publik harus tetap disediakan dalam rangka menjaga interaksi sosial antar sesama umat manusia tanpa harus memberikan beban tambahan seperti biaya (ongkos) untuk melaksanakan aktivitas ini. Dengan kata lain tidak semua lahan yang direncanakan untuk digunakan oleh investor ini semata-mata dibangun dengan bangunan-bangunan “masif” (tertutup) dan menghalangi “view’. Disana dapat dibuatkan ruang-ruang terbuka hijau yang memberikan pandangan aktif masyarakat ke alam laut ini. Tidak ada kesan membatasi ruang gerak kehidupan masyarakat dengan adanya bangunan-bagunan komersil ini. Perlu diingat, bahwa di kota Semarang saat ini hampir tidak ada lagi lokasi wisata laut yang gratis, tidak ada fasilitas rekreasi bagi masyarakat yang dibuatkan oleh pemerintah. Inilah sisi kehidupan sosial yang bakal menjadi masalah besar di masa yang akan datang. Semuanya terbatas oleh aturan dan biaya. Sindrom “individual” kota besar bakal diidap kota ini. Belum lagi nelayan tradisional yang secara perlahan tergusur dan habis sama sekali di kawasan ini. Peralihan budaya yang dipaksakan akibat hanya mempertimbangkan kegiatan ekonomi, sehingga untuk itu perlu adanya ruang-ruang terbuka untuk para nelayan tradisional agar tetap beraktifitas di lahan baru ini. Biarlah mereka dibuatkan aturan atau rambu khusus di lahan ini, dan biarlah kegiatan tradisional nelayan ini menjadi menyatu dengan kegiatan modern. Bukankah ini menjadi satu pemandangan unik (atraksi) yang bisa dijual. Membuat pembagian pemanfaatan ruang yang “fair” antara masyarakat, pemerintah maupun investor. Dengan memberikan hak dari masyarakat untuk memanfaatkan pantai ini. Tentunya jangan pula memperpanjang kerusakan yang terjadi di ekosistem perairan Pantai Semarang dengan membiarkan limbah-limbah cair yang kotor dibiarkan masuk ke laut tanpa melalui pengolahan limbah, juga jangan membiarkan sampah-sampah padat terbuang ke laut. Perlu tindakan nyata melaksanakan semua ini, perlu ketegasan dan keberanian pemerintah kota untuk menegakkan suatu kebenaran yang tentunya dilihat dari sisi kepentingan masayarakat dan lingkungan hidup kota ini agar berkelanjutan hidupnya. Perlu pengawasan yang ketat serta berani memberikan sanksi bagi pelanggar peraturan yang ditentukan. Kawasan “Pantai Semarang” merupakan daerah yang cukup penting di kota ini. Wajah kota akan tergambar dari penampilan kawasan ini sehingga perlu pengaturan yang cermat dan tegas. Tidak cukup hanya diatur di Rencana Umum Tata Ruang Kota yang bersifat makro dan tidak mudah dibaca oleh masyarakat. Kawasan ini perlu memiliki Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK) yang lebih menjelaskan area-area mana milik masyarakat, pemerintah dan investor. RDTRK ini sangat dibutuhkan untuk mengkontrol pembangunan fisik. Semua ini, paling tidak menata kembali lahan di tepi pantai sebagai zona lindung yang dapat melindungi ekosistem perairan pantai. Banyak hal yang sudah terjadi akibat tidak berimbangnya tanggung-jawab, yang kini dapat kita ambil hikmahnya secara bersama-sama. Oleh karena itu marilah kita sama-sama merendahkan hati untuk lapang dada menerima kritikan, merubah yang salah untuk membangun kebersamaan di bumi “Metropolis yang Religius” ini. Kita bersatu untuk menjadikan Semarang sebagai kota yang menjanjikan keberlanjutan lingkungan hidupnya demi anak cucu kita.

Item Type:Article
Subjects:N Fine Arts > NA Architecture
Divisions:Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
ID Code:1446
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:20 Oct 2009 15:52
Last Modified:20 Oct 2009 15:52

Repository Staff Only: item control page