Bawomataluo dan Hombo Batu

Sukawi, Sukawi (2007) Bawomataluo dan Hombo Batu. Jurnal Ilmiah .

[img]
Preview
PDF - Published Version
8Kb

Abstract

Cerita tentang Nias Selatan nyaris tidak lepas dari rumah adatnya dan tradisi hombo batu. Atraksi lompat batu khas daerah ini pernah menghiasi lembaran uang seribu rupiah. Tradisi lompat batu masih dilestarikan di desa adat Bawomataluo. Ini merupakan desa adat yang sering dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tradisi ini dahulunya merupakan sarana untuk melatih pemuda dan prajurit dalam persiapan perang antar suku. Batu ini berupa tugu yang tersusun dari batu yang lebih kecil yang mempunyai ketinggian sekitar 2 m dan bagian atas tugu tersebut mempunyai lebar 90 x 60 cm. Kompleks rumah adat Nias yang paling besar adalah Desa Bawamataluo lengkap dengan daya tarik berupa masih aslinya kehidupan masyarakat di sana dengan berbagai tradisi, seperti rumah adat, ritus lompat batu, tarian perang, dan tinggalan budaya megalitik. Berada di Desa Bawomataluo seakan terlempar ke masa silam. Deretan rumah tradisional terbuat dari kayu dengan arsitektur khas Nias itu dihuni sebagai mana layaknya kompleks perumahan. Ukiran batu megalitik menghias di beberapa tempat. Ketika menginjakkan kaki dihalaman gerbang bawah bawomataluo, kita dihadapkan pada dua patung penjaga gerbang desa adat berupa patung hewan berkepala lasara. Dengan menaiki tangga berjumlah 64 buah, kita sampai di desa adat Bawomataluo yang dalam bahasa Nias artinya adalah Matahari Terbit. Kita langsung disambut dengan anak-anak kecil yang menjajakan cinderamata khas Nias seperi perlengkapan perang mulai dari pelindung leher yang terbuat dari tempurung kelapa, dan souvenir dari kulit penyu dan patung-patung dari kayu. Ada ungkapan yang terkenal disana, “Belum ke Nias jika belum ke Bawomataluo dan melihat atraksi Hombo Batu”. Dengan merogoh sedikit kocek sekitar Rp 150.000, kita bisa melihat atraksi Hombo Batu. Tiga orang pemuda dengan pakaian adat perang siap untuk unjuk kebolehan. Dalam hitungan detik, sedikit ancang-ancang sejauh 15 m, mereka lari dan mendekati batu langsung melompat dan melayang melintasi tugu batu serta memutar tubuh dan mendarat dengan sigap dan tetap berdiri menghadap tugu batu tersebut. Untuk mengabadikan momen tersebut, wisatawan diijinkan untuk memakai pakaian adat perang dan diabadikan gambarnya untuk kenang-kenangan. Dari beberapa desa adat yang tim P5 Undip kunjungi diantaranya di Botohilitano, Orahili, Bawomataluo dan Hilinawa Mazinge, tidak semua melestarikan tradisi Hombo Batu. Hanya di Bawomataluo satu-satunya desa adat yang masih memegang teguh tradisi dan meletarikannya. Bowomataluo mempunyai jumlah rumah adat terbesar dengan jumlah sekitar 250 unit dengan Oma Sebua (rumah besar) yang paling besar di Nias. Saat ini penghuni desa adat Bawomataluo berjumlah sekitar 700 kepala keluarga. Hasil rapat UN Join Program yang pernah diikuti oleh Tim, Desa adat Bawomataluo sedang dalam penanganan UNESCO yang direncanakan akan dicanangkan menjadi Kawasan warisan cagar budaya dunia pada tahun 2010. Untuk itu segala persiapan termasuk perbaikan rumah adat yang rusak mulai dilakukan dengan bekerjasam pula dengan BRR Aceh Nias. Kita sebagai bangsa Indonesia wajib untuk mendukung Desa Adat Bawomataluo untuk menjadi Warisan Budaya Dunia pada tahun 2010 agar warisan luhur budaya kita dapat lestari dan tetap terpelihara sampai anak cucu kita.

Item Type:Article
Subjects:N Fine Arts > NA Architecture
Divisions:Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
ID Code:1445
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:20 Oct 2009 15:47
Last Modified:20 Oct 2009 15:47

Repository Staff Only: item control page