Sukawi, Sukawi (2007) Melayang di Puncak Lawang. Jurnal Ilmiah .
| PDF - Published Version 13Kb |
Abstract
MENJELANG malam, saya bersama Tim P5 Undip di Kota Padang setelah melakukan survei tata ruang dan harus menempuh perjalanan cukup melelahkan. Bayangkan, 12 jam kami harus melintasi jalur darat yang berkelok-kelok antara Sibolga dan Padang. Karena esok adalah hari Minggu, sebagai pelepas lelah, Pak Fauzi yang memandu kami mengajak berburu suvenir sekaligus menikmati keindahan alam pesona Danau Maninjau hingga Bukittinggi. Angin berembus semilir di Kabupaten Agam. Hawa sejuk pun menjamah tubuh dengan penuh kelembutan. Sementara itu, keindahan alam makin terasa tatkala kemegahan gunung yang terhampar tegar di wilayah kabupaten yang beribukotakan Lubuk Basung itu menebar pesona. Danau Maninjau berada sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, dan 38 km sebelah barat dari Kota Bukittingi. Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut, dengan luas sekitar 99,5 km persegi dan memiliki kedalaman maksimal 495 meter. Airnya biru jernih dan dikitari bebukitan indah sehingga menambah cantiknya pemandangan di sana. Menurut cerita tua, Maninjau ini berkembang dari legenda Bujang Sembilan. Ada sebuah keluarga terdiri atas 10 orang: 9 orang laki-laki (bujang) dan seorang perempuan bernama Sani. Keelokkan paras dan perilaku si gadis memikat pemuda bernama Sigiran. Meraka lalu menjalin asmara. Datanglah tuduhan dari Bujang bahwa selama menjalin asmara telah melakukan perbuatan amoral. Untuk membuktikan kedua sejoli itu tak melakukan seperti yang dituduhkan, keduanya harus terjun ke kawah gunung Tinjau. Kalau terbukti, gunung itu akan meletus dan menenggelamkan kampung itu. Dan terbuktilah. Maka seperti sebuah pembenaran, hingga sekarang masih bisa kita jumpai kawah di Danau Maninjau. Adapun Bujang Sembilan itu dikutuk menjadi ikan, dan konon masih hidup hingga kini. Danau Maninjau telah menjadi salah satu objek wisata internasional, terlebih dengan adanya kawasan wisata Puncak Lawang. Kejuaraan paralayang berkelas internasional berkali-kali dilakukan di sana. Menurut para penggemar paralayang, Puncak Lawang merupakan lokasi terbaik di Asia Tenggara untuk olah raga tersebut. Dari ketinggian Puncak Lawang itu kita bisa menyaksikan keindahan Danau Maninjau yang memukau dengan air yang tenang. Amboi, dinginnya kawasan tersebut langsung menyapa begitu kami turun dari mobil. Kabut tebal dan angin dingin segera membungkus tubuh kami. Pepohonan pinusnya seolah-olah riang bersiul diterpa angin. Panoramanya sangat mirip kalau kita berada di Swiss. Bayangkan saja hingga jam 11.00, kabut tak jua pergi dan mewarnai suasana bak pagi hari. Ya, Puncak Lawang memang surga bagi penggemar paralayang. Mereka bisa ber jam-jam melayang di atas danau ini. Tak heran, setiap bulan Juli selalu ada lomba di sana. Bahkan karena kekagumannya, Presiden RI pertama Soekarno pun juga pernah membuat puisi mengenai keindahan panorama Danau Maninjau itu. Untuk menikmati keindahan panorama dan paralayang, kami harus menaiki tangga yang cukup terjal. Didekat gardu pandang, terdapat lapangan yang cukup luas untuk take off paralayang. Saat kami mencapai puncak, sudah ada tiga orang penerbang paralayang yang bersiap-siap melayang-layang. Masing-masing membawa ransel punggung seberat 15 kilogram berisi payung terjun. Angin bertiup semilir menerpa wajah-wajah yang kedinginan. Ketika diukur, kecepatannya baru mencapai 5 hingga 7 kilometer per jam. Untuk terbang, diperlukan kecepatan angin minimal 10 kilometer per jam. Setelah menunggu cukup lama, sekitar pukul 12.00, seorang demi seorang penerbang yang disebut pilot di dunia paralayang itu mulai terbang. Dimulai dengan sedikit ancang-ancang sambil melihat bendera sebagai indikator arah angin, si pilot berlari menuju bibir jurang yang rimbun. Di belakangnya, dua orang membantu memegangi parasut. Satu-dua menit kemudian, parasut itu membentuk payung memanjang dan mulai melayang di udara. Sang pilot berlari-lari kecil dan tampak bergelayutan pada tali-temali paraglider-nya. Setelah berhasil, terdengar sorak penonton yang dari tadi mengikuti atraksi tersebut. Banyak di antara wisatawan yang mengabadikan momen tersebut dengan kamera maupun handycam. Jadi, wisatawan yang biasanya hanya menikmati keindahan danau kini disuguhi atraksi yang menarik. Setelah lepas landas dan melayang layang menikmati keindahan Danau Maninjau, para penggemar paralayang mendarat nun di bawah sana di tepi Danau Maninjau yang dinamakan Rizal Beach. Tempat itu merupakan padang hijau yang cukup luas. Untuk mencapai kawasan Puncak Lawang, kita akan melewati perjalanan dengan 44 belokan. Itu sebabnya rute ini dinamakan Kelok Ampek Puluah Ampek, yang dalam bahasa Indonesianya tikungan 44. Tikungannya tajam dan bisa membuat pengunjung mengalami mual perut atau kepala pusing. Tapi itu lantas dibayar oleh keindahan panorama yang tersaji. Gula Khas Bila Anda masih punya waktu di Puncak Lawang, jangan lupa membeli dan mencicipi manisnya Saka Lawang. Ya, perjalanan ke sana yang melelahkan itu bisa sejenak diobati dengan rehat dan menghilangkan dahaga dengan menikmati manisnya gula dari batang tebu. Perlu diketahui, hampir di seluruh daerah tersebut terdapat perkebunan tebu rakyat yang sengaja ditanam sebagai mata pencaharian masyarakat Puncak Lawang. Melalui proses tradisional, tebu itu diolah menjadi gula tebu (saka) yang digunakan sebagai bahan pemanis untuk masakan, terutama kue. Saka Lawang cukup populer bagi masyarakat Minang. Di sela-sela rimbunan kebun tebu, berdiri gubuk bertiang kayu, beratap ilalang. Meski amat sederhana, ratusan gubuk seperti itulah yang telah menebarkan manisnya gula ke antero ranah Minang. Orang-orang Puncak Lawang menyebut ratusan gubuk seperti itu kilang gula merah. Dalam proses pembuatan gula, menurut Pak Fauzi, dosen di Universitas Bung Hatta Padang yang juga kelahiran Lawang Kecamatan Matur, tebu-tebu ditebas dan dibersihkan daunnya. Air sari tebu yang manis diperas lewat gerinda kayu atau besi yang diputar dengan menggunakan tenaga tradisional yaitu kerbau. satwa itu ditutup matanya dengan tempurung kelapa agar patuh terhadap perintah sebagai pemutar gerinda. Ya, kerbau sudah menjadi rekan setia para perajin gula merah Puncak Lawang selama dua generasi.. Selanjutnya, air sari tebu dituang dalam kuali besar untuk kemudian dipanaskan dalam tungku batu berbahan bakar kayu dan ampas tebu. Dan bila air tebu telah mengental coklat kemerahan, itulah saatnya menyiapkan cetakan-cetakan kayu. Pasta coklat dituangkan, setelah gula merah mengeras, maka siap dipasarkan. Jika saja potensi yang cukup besar tersebut diolah dan ditata dengan baik pasti akan menimbulkan minat dan kesan tersendiri bagi para wisatawan. Benarlah bahwa Danau Maninjau itu rancak bana. Indah nian. Karena itu, kalau Anda berniat untuk berwisata ke Sumatra Barat, jangan lupa memasukkan Danau Maninjau berikut Kelok Ampek Puluah Ampek dan Puncak Lawangnya ke dalam agenda perjalanan Anda. Sungguh, Anda takkan menyesal.
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | N Fine Arts > NA Architecture |
Divisions: | Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering |
ID Code: | 1444 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 20 Oct 2009 15:40 |
Last Modified: | 20 Oct 2009 15:40 |
Repository Staff Only: item control page