Sukawi, Sukawi (2007) Jam Kota, Bukan Sekedar Elemen Estetis Kota. Jurnal Nasional .
| PDF - Published Version 8Kb |
Abstract
Jam atau arloji merupakan salah satu benda penting sebagai penunjuk waktu. Tempo dulu, arloji termasuk benda mewah sehingga yang memiliki hanya orang-orang tertentu. Mengingat jam atau arloji itu sangat dibutuhkan masyarakat maka pemerintah Belanda pernah mendirikan jam kota di dekat Pasar Johar yang sekarang sudah hilang tergusur trotoar pasar Ja’ik. Saat ini kita sering menjumpai jam kota yang didirikan pihak swasta di beberapa penggal jalan protokol. Jam kota dapat kita jumpai diantaranya di Pertigaan Kaliwiru, Perempatan Metro Peterongan, sudut Taman Diponegoro, sekitar Taman Menteri Supeno, taman di jalan Sudirman dan banyak lagi. Tetapi alangkah sedihnya, saat ini apabila kita berkendara dan menjumpai jam kota banyak yang mati dan tidak berfungsi. Rasa kecewa bertambah lagi ketika jam kota yang mahal ini tidak ada yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan rutin dan perbaikannya. Padahal sebenarnya kehadiran jam kota yang tersebar di jalan-jalan kota Semarang ini dimaksudkan untuk mengingatkan waktu kepada warga Semarang. Penunjuk waktu yang selanjutnya disebut jam ternyata sudah dikenal sejak 1.500 tahun sebelum Masehi oleh bangsa Mesir dengan sebutan sundial, sebuah instrumen penunjuk waktu dengan memanfaatkan bayang-bayang benda dari sinar matahari. Baru kemudian sundial dikenal bangsa China, Mesopotamia, dan Yunani. Kehadiran jam kota sangat dibutuhkan warga, sehingga letaknya harus strategis, jumlahnya harus cukup, sehingga bisa dilihat banyak orang. Meski tampak sepele, namun jam kota tersebut tidak sedikit jasanya bagi masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai penanda/ tetenger kawasan kota. Pemahaman makna tentang nilai, keunikan, karakteristik suatu tempat akan membentuk suatu identity. Identitas akan memberikan “arti” sebagai pembentukan image suatu tempat (place). (Lynch,1960). Salah satu di antaranya dapat menjadi identitas kota karena keunikan dari bentuknya. Seperti menara jam di Gedung Parlemen Inggris, yang terkenal dengan sebutan Big Ben. Di Bukittinggi, Sumatera Barat, ada jam Gadang yang menjadi identitas dan landmark kota. Jam ini dibangun oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1827 sebagai tempat pengintaian pada saat berkecamuk perang Padri (1825-1830). Tugu ini didirikan di dataran paling puncak Bukit Kandang Kabau yang berada di pusat Kota Bukittinggi. Lonceng juga berbunyi setiap jam dan penduduk Bukittinggi biasa menjadikan Jam Gadang sebagai panduan waktu karena dentangan loncengnya terdengar hingga jarak yang jauh. Sebenarnya pembangunan jam kota di Semarang ini agar dapat meningkatkan tingkat kedisiplinan masyarakat Semarang. Selama ini kita menilai tingkat kedisiplinan orang semarang sangat rendah. Banyak kita jumpai tindakan main serobot baik di jalan raya maupun antrean ditempat umum lainnya. Budaya main terobos inilah yang perlu terus diingatkan di jalan raya, dengan selalu mematuhi setiap rambu lalu lintas. Jangan sampai jam kota yang berdiri di tempat-tempat strategis kota hanya sebagai hiasan untuk memperindah jalan. Tugu jam bukan sekedar elemen estetis kota, melainkan benar-benar dapat dimanfaatkan masyarakat baik fungsinya sebagai penunjuk waktu, sebagai nilai keindahan/estetis kota serta dapat berguna untuk membudayakan sikap tepat waktu dan disiplin, di jalan raya maupun di tempat umum. Warga kota Semarang terus bermimpikan suasana tertib dan disiplin dijalan raya, walau tidak jelas kapan mimpi itu terealisasi, karena kita memelihara jam kota yang sudah ada pun tidak mampu dan tidak mau…
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | N Fine Arts > NA Architecture |
Divisions: | Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering |
ID Code: | 1442 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 20 Oct 2009 15:29 |
Last Modified: | 20 Oct 2009 15:29 |
Repository Staff Only: item control page