PENGGUNAAN HUKUM P I DANA DADAM RANGKA PENANGGULANGAN T I NDAK P I DANA DI BIDANG PERPAJAKAN

KUSUMO, BAMBANG ALI (2003) PENGGUNAAN HUKUM P I DANA DADAM RANGKA PENANGGULANGAN T I NDAK P I DANA DI BIDANG PERPAJAKAN. Masters thesis, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO .

[img]
Preview
PDF - Published Version
6Mb

Abstract

Tax is a dominant sector in financing the national development. Therefore, maximizing the tax earnings needs to be done seriously. However, along with the efforts to maximize the earnings from this sector, violations or criminal offenses of taxation emerge in its various forms and dimention and threaten the continuity of tax role in financing the national development. For the reason, there has been used penal as one of the solutions. The application of penal is regulated in Undang-undang No. 16 year of 2000 about the second Revision of Undang-undang No. 6 year of 1983 about the General Rules and Procedures of Taxation. The penal policy includes acts that can be punished or banned acts that need to be prevented and their penal regulation. The regulation of punishable acts in UU. No. 16 year of 2000 is an incremental legislation product in the attempt to perfect the preceding law (UU. No. 6 year of 1983 and UU. No. 9 year of 1994). The penal regulation covers the crime types, the length/heaviness of the punishments and the form of sanction formulation. The type of punishment, according to this tax law, includes confinement, jailing and fine penalty. It seems that this tax law doesn't follow the pattern applied by KUHP since the difference between violation and crime is eliminated. In this tax law, the length of the punishment is changed to be longer than in the preceding and the form of sanction formulation is also changed from cumulative and alternative to become just cumulative. In its application, the cumulative system raises many problems. In the law enforcement in taxation field, tax law gives full authority to the investigating officers (PPNS Directorate General of Tax) to investigate or inquire in case of criminal acts in taxation. The full authority is given by this law with no guidelines or operational parameters and this makes the Directorate General of Tax free in making its own policy or interpretation in determining when and which kind of criminal acts in taxation can or cannot be proceeded to investigation. On top of that, a case that investigation has been done on it can be halted for the state earning interest (administrative). In the end, this situation will result in applicative policies that are bias, discriminative and have no law certainty. This is proved by the fact that the Directorate General of Tax tends to choose administrative settlement rather than the court in handling cases. From some cases connected to taxation that have been processed in court, in almost all of the cases the attorney as public prosecutor based their accusation on corruption law, not on taxation law, despite the adage "Lex Specialis Deroget Lex Generalis". As a result, the tax law, more specifically the crime sanction cannot function well or is not effective Pajak merupakan sektor yang cukup dominan dalam pembiayaan pembangunan nasional. Oleh sebab itu, maka memaksimalkan perolehan pajak perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Namun bersamaan dengan upaya memaksimalkan perolehan dari sektor pajak ini, muncul juga pelanggaran-pelanggaran atau tindak pidana di bidang perpajakan dengan berbagai bentuk dan dimensinya yang mengancam kelangsungan peranan pajak dalam pembiayaan pembangunan. Untuk itu digunakanlah hukum pidana (penal), yang merupakan salah satu sarana untuk mengatasinya. Penggunaan hukum pidana atau kebijakan hukum pidana di bidang perpajakan saat ini diatur dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Kebijakan hukum pidana ini meliputi perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan-perbuatan terlarang yang perlu ditanggulangi dan ketentuan-ketentuan pidananya. Kebijakan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana dalam UU. No. 16 Tahun 2000 merupakan produk perundang-undangan yang tambal sulam (inkremental) dalam rangka menyempurnakan undang-undang lama (UU. No. 6 Tahun 1983 dan UU. No. 9 Tahun 1994). Kemudian ketentuan pidananya meliputi jenis pidana, lamanya pidana/berat ringannya pidana dan bentuk perumusan sanksi. Jenis pidana menurut undang-undang perpajakan ini meliputi pidana kurungan, pidana penjara dan pidana denda. Tampaknya undang-undang perpajakan ini tidak mengikuti pola yang diterapkan KUHP, sebab perbedaan pelanggaran dan kejahatan dihapuskan. Dalam undang-undang perpajakan ini lamanya pidana mengalami perubahan menjadi lebih berat dibandingkan undang-undang lama serta bentuk perumusan sanksinya juga mengalami perubahan dari sifat kumulatif dan alternatif menjadi sifat kumulatif saja. Sistem kumulatif dalam penerapannya banyak menimbulkan masalah. Dalam penegakan hukum di bidang perpajakan, undang-undang perpajakan memberikan kewenangan penuh kepada aparat penyidik (PPNS Direktorat Jenderal Pajak) untuk memeriksa atau menyidik dalam hal terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan. Kewenangan penuh yang diberikan undang-undang ini tanpa disertai pedoman atau parameter operasional, sehingga Direktorat Jenderal Pajak dengan bebas membuat kebijakan sendiri atau menafsirkan sendiri dalam menentukan kapan dan bentuk tindak pidana di bidang perpajakan yang bagaimanakah yang dapat atau tidak dapat dilanjutkan ketahap penyidikan. Bahkan suatu kasus atau perkara yang telah dilakukan penyidikan dapat dihentikan demikepentingan penerimaan negara (administratif). Akhirnya keadaan ini akan menghasilkan kebijakan aplikatif yang bias, diskriminatif dan tidak ada kepastian hukum. Hal ini terbukti dengan adanya kecenderungan Direktorat Jenderal Pajak dalam menangani kasus atau perkara lebih memilih diselesaikan lewat jalur administrasi dibandingkan dengan melalui pengadilan. Dari beberapa kasus atau perkara yang berkaitan dengan perpajakan yang telah diproses di pengadilan, hampir seluruhnya Jaksa sebagai Penuntut Umum mendasarkan dakwaannya pada undang-undang korupsi bukannya mendasarkan pada undang-undang perpajakan, padahal ada adagium "Lex Specialis Deroget Lex Generalis". Akibat adanya kebijakan ini undang-undang perpajakan khususnya ketentuan sanksi pidananya tidak difungsikan dengan baik atau tidak efektif

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:K Law > K Law (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law
ID Code:14350
Deposited By:Mr UPT Perpus 1
Deposited On:15 Jun 2010 07:17
Last Modified:15 Jun 2010 07:17

Repository Staff Only: item control page