Kapan Kita Peduli Sampah?

Sukawi, Sukawi (2007) Kapan Kita Peduli Sampah? Documentation. UNSPECIFIED.

[img]
Preview
PDF - Published Version
15Kb

Abstract

Fakta empirik menunjukkan, jumlah penduduk yang terus meningkat akan meningkatkan konsumsi masyarakat dan hal ini akan mengakibatkan semakin bertambahnya volume sampah. Sedangkan manajemen pengelolaan sampah yang dilakukan saat ini, tidak lebih dari sekadar memindahkan masalah. Artinya, sampah dari satu tempat diangkut ke tempat lain. Itupun, pengelolaannya cukup open dumping (buang dorong) serta tidak memenuhi standar memadai. Akibatnya, timbul berbagai masalah, antara lain pencemaran lingkungan, konflik sosial, dan menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi TPA. Coba kita tengok Lapangan Simpang Lima yang walaupun dikelilingi oleh tong sampah dengan label Dinas Kebersihan Kota Semarang tetapi selalu penuh dengan sampah yang meluber karena tanpa penutup, lebih-lebih pada hari minggu yang selalu dipadati oleh PKL. Tegok juga sungai-sungai yang melintasi kota ini, tidak sedikit sampah kiriman dari rumah tangga yang menganggap sungai merupakan ’bak sampah raksasa’ sampe-sampe kasur rusakpun dibuang ke sungai. Dari aspek peraturan perundang-undangan, sejauh ini harus diakui pada tingkat nasional terdapat beberapa UU yang berkaitan dengan sampah. Hanya, berbagai perangkat hukum itu masih diatur secara parsial, dan tidak komprehensif. Penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak. Apabila ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh tapi sahabat, karena bisa didaur ulang, dan dapat menghasilkan peningkatan ekonomi. Air limbah bila diolah tidak akan merugikan dan harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kemudian, pemberdayaan masyarakat di lokasi pembuangan sampah. Teori yang dilontarkan, sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang bernilai ekonomi, mengubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk memilah dan memilih sampah, pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru, hingga upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi kepada semua komponen melalui berbagai lembaga sosial masyarakat. Sudah saatnya pembungkus dari bahan plastik diganti dengan kertas. Sebab, sampah plastik secara kimiawi sulit terurai dalam tanah sehingga menyebabkan terjadinya polusi tanah. Kepada pemilik rumah makan, warung atau toko kelontong hingga supermarket, diharapkan mengurangi penggunaan tas plastik dan diganti dengan bahan kertas. Bagaimanapun, penanganan persoalan sampah ini tidak hanya tanggung jawab pemkot, namun harus didukung seluruh masyarakat. Lihat saja di permukiman padat penduduk, sebagian warga menjadikan sungai sebagai tempat membuang sampah. Terlepas sudah tumbuh atau belum kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sungai, cara yang paling praktis mengatasi problem sampah yakni menumbuhkan kesadaran warga. Setiap bulan warga membayar retribusi sampah dibarengkan rekening air bersih. Tetapi banyak juga sampah yang menumpuk dan jarang diangkut truk kebersihan. Sehingga warga menempuh jalan pintas dengan membuang sampah ke sungai. Soal membayar retribusi sampah ke Dinas Kebersihan Kota Semarang, warga kota yang punya rumah dan pasang instalasi air bersih, tidak luput dari kewajiban membayar retribusi sampah sebesar Rp 3.000,00 /bulan yang pembayarannya langsung bersamaan dengan rekening air bersih. Itupun, tidak sedikit lingkungan RT/RW yang juga menarik iuran sampah meskipun besarannya atas kesepakatan warga. Namun, hasil iuran sampah di lingkungan RT/RW tidak untuk disetor ke Dinas Kebersihan, tapi untuk menggaji tenaga pengambil sampah, kemudian di buang ke TPA terdekat. Soal sampah, juga tidak lepas dari tingkat kedisiplinan warga. Tidak hanya di lingkungan padat penduduk dan rata-rata berekonomi pas-pasan, namun di lingkungan elit pun tidak menjamin warganya disiplin. Tidak jarang, saluran air di perumahan elite juga penuh sampah meskipun di lingkungan padat penduduk lebih parah lagi. Akibatnya, jika hujan turun meskipun tidak deras, terjadi banjir (genangan air). Berdasarkan klasifikasi, rumah tinggal (RT) menempati urutan pertama yakni 65 persen sebagai kelompok yang berpotensi memberi kontribusi jasa kebersihan, disusul pabrik/industri, dan perkantoran. Selama ini proses pembuangan sampah sejak diambil dari rumah ke rumah sampai dibuang ke TPA, masih bercampur antara sampah organik dan non-organik. Pemisahan sampah organik dan non-organik seharusnya diterapkan. Mengatasi sampah di Semarang setidaknya meliputi tiga hal utama. Pertama, produksi sampah. Begitu banyaknya sampah menunjukkan bahwa penduduk di wilayah ini sangat produktif menghasilkan sampah. Rata-rata produksi setiap warga sehari hampir satu kilogram. Ini bisa dikurangi dengan mengubah perilaku, seperti kesediaan setiap orang untuk sesedikit mungkin menggunakan pembungkus setiap kali belanja. Kedua, mengubah kebiasaan membuang sampah secara sembarangan. Kita masih menyaksikan begitu banyak wilayah tanpa tempat sampah, dan juga kemalasan penduduk membuang sampah secara tertib. Gagasan memilah sampah organik dan anorganik ternyata belum berhasil. Perilaku buruk dalam membuang sampah ini, mengakibatkan kegiatan pengumpulan sampah menjadi makin mahal dan menyita waktu. Ketiga, penampungan terakhir dan pengolahan sampah. Selama ini sampah hanya dihargai oleh para pemulung, dan nilai ekonomis sampah hanya dilihat dalam kegiatan pengumpulan dan pengangkutan ke lokasi terakhir. Material sampah belum banyak diperhatikan, meskipun pengetahuan yang sederhana ini telah begitu banyak dibahas dan dirintis. Sampah-sampah organik masih sangat sedikit yang dimanfaatkan untuk dijadikan makanan ternak, atau pupuk kompos. Ketidakseriusan ini sudah berlangsung lama, dan belum ada tanda-tanda diakhiri. Masyarakat dapat berpartisipasi ikut meminimalisasi produksi sampah lewat “3R” (re-use, recycle, reduce), menggunakan kembali sampah organik menjadi kompos, melakukan daur ulang sampah, dan mengurangi sampah. Jika sampah dikelola sedikit demi sedikit, pasti akan lebih mudah daripada mengelola timbunan sampah yang banyak. Jika Singapura saja butuh 30 tahun untuk menegakkan hukum tentang pembuangan sampah dan mengubah kebiasaan semua masyarakat untuk hidup bersih, maka berapa lama waktu yang dibutuhkan Semarang? Selama menunggu waktu tersebut, dalam waktu dekat mau tidak mau kita harus peduli sampah dari sekarang.

Item Type:Monograph (Documentation)
Subjects:N Fine Arts > NA Architecture
Divisions:Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering
ID Code:1433
Deposited By:INVALID USER
Deposited On:20 Oct 2009 14:42
Last Modified:21 Oct 2009 08:23

Repository Staff Only: item control page