Sukawi, Sukawi (2007) Pelajaran Mahal Minimnya Ruang Bermain. Jurnal Nasional .
| PDF - Published Version 15Kb |
Abstract
Suasana kegembiraan para mahasiswi Fakultas Pendidikan Taman Kanak-Kanak IKIP Veteran Semarang yang bermain dengan penuh canda di Taman Bermain Wonderia Semarang berubah dengan duka. Terdapat lima belas orang, diantaranya 9 korban mengalami retak tulang belakang akibat wahana plane tower yang jatuh dari ketinggian 3-4 m (Kompas, 16/11/2007). Dari peristiwa ini timbul pertanyaan, masih adakah ruang untuk bermain yang aman di kota ini? Kurangnya ruang bermain bagi anak di kota Semarang ini, dapat dilihat pada hari Minggu atau hari libur. Dimana setiap hari Minggu kawasan Simpang Lima sangat padat oleh lautan manusia yang berebut untuk mencari ruang bermain, berolahraga ataupun berbelanja. Anak anak terpaksa bermain di tempat bermain khusus dan tidak menggunakan tempat bermain di ruang terbuka yang merupakan sebuah ruang publik yang nyaman, karena memang tidak ada lagi ruang terbuka untuk bermain. Sering kita lihat banyak anak-anak bermain bola di jalanan beraspal, yang membahayakan nyawa mereka. Bahkan, kolam di Bundaran Tugu Muda dan Bubakan Semarang pun menjadi tempat bermain mereka. Lahan-lahan terbuka, tempat bermain, taman, dan ruang publik kota lainnya sudah lama secara perlahan berganti dengan gedung-gedung komersial. Ruang terbuka di Semarang memang tidak pernah bertambah, bahkan yang ada pun berubah fungsi dan terjadi privatisasi di dalamnya. Seleksi untuk masuk di dalamnya harus dilalui lewat tiket pembayaran. Ruang publik ini sudah tidak sesuai dengan fungsi sebenarnya dimana ruang publik mampu diakses oleh semua golongan masyarakat. Berkurangnya ruang terbuka publik ini tidak saja merupakan persoalan pakar lingkungan, tetapi menjadi beban psikologis masyarakat kota akan kebutuhan ruang sebagai aktualisasi diri. Saatnya kita harus mengambil pelajaran mahal atas peristiwa di Wonderia tersebut. Maraknya pembangunan gedung (mall, ruko, kantor) semakin meminggirkan anak-anak yang sangat membutuhkan ruang terbuka hijau untuk tempat bermain. Hal ini dialami oleh penulis, setiap kali ingin mengajak anak-anak bersantai, selalu kebingungan. Ke mana lagi akan membawa mereka supaya bisa bermain dengan bebas, tidak perlu dibatasi oleh tembok yang terdapat di mall. Di mana lagi anak-anak dapat menikmati udara yang berhembus di antara pepohonan, tidak perlu menghirup udara ber-air conditioner. Di mana lagi anak-anak bisa bermain dengan alam, di antara pepohonan, bermain bola di lapangan rumput, sehingga tidak perlu menghabiskan waktu di depan play station/ game net. Di mana lagi anak-anak bisa bermain bersama teman sebaya seperti sepak bola, petak umpet, lompat tali, sehingga tidak perlu berebutan satu wahana permainan. Berkembangnya game net menurut antropolog UGM Nicolaas Warouw, salah satunya disebabkan minimnya ruang publik yang ada di perkotaan. Keterbatasan ruang publik yang mengakibatkan orang lebih memilih tempat seperti ini. Saat ini tidak banyak ruang publik yang bisa memberikan tempat untuk berekspresi. Di game net, para gamer akan memiliki ruang untuk imajinasi, dan mereka bisa masuk dengan bebas, tidak ada kriminalisasi, tidak perlu ada sanksi moral, dan tekanan dari pihak mana pun. Kita merasa prihatin, bahwa dengan tiadanya ruang terbuka untuk bermain bersama, akan berdampak dengan semakin banyaknya anak-anak yang egois tidak memiliki semangat kebersamaan, karena permainan yang hampir selalu mereka mainkan adalah permainan individu. Sesungguhnya, sejak lima tahun lalu telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Namun, tidak bisa dipungkiri bila keberadaan UUPA belum terlalu berdampak terhadap perbaikan tumbuh-kembangnya anak. Secara alamiah, dunia anak adalah dunia belajar dan bermain, bukan dunia bekerja mencari uang. Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan anak-anak untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Beberapa ahli psikologi mengatakan bahwa permainan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa anak. Papalia (1995), mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Menurut Hughes (1999), bermain merupakan kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Hanya sekedar berlari-lari keliling taman, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenangkan oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain. Pentingnya ruang bermain bagi anak-anak di kota, seperti diungkapkan Pearce (1980), ruang bermain merupakan tempat dimana anak-anak tumbuh dan mengembangkan intelegensinya. Tempat dimana mereka membuat kontak dan proses dengan lingkungan, serta membantu sistem sensor dan proses otak secara keseluruhan. Dari tempat bermain pula, anak belajar sportivitas, disiplin dan mengembangkan kepribadiannya. Bagaimana dengan keberadaan lahan bermain sekarang? Jumlahnya juga kian terbatas. Itu sebabnya, anak-anak pun menggunakan taman, trotoar, bahkan badan jalan sebagai lahan bermain. Akibatnya, sering kita lihat tiba-tiba ada bola nyelonong ke tengah jalan yang kemudian diikuti oleh anak berlari mengejar bola tersebut. Atau anak-anak berlarian mengejar layang-layang yang putus. Kondisi ini sangat membahayakan keselamatan anak. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia F Hatta menyebutkan, lima kota, yaitu Solo, Sidoarjo, Kutai Kartanegara, Jambi, dan Gorontalo, sebagai contoh kota layak anak. Kota ramah anak mensyaratkan jaminan hak setiap anak sebagai warga kota, untuk berperan dan berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota, tentunya sesuai kemampuan dan kebutuhan anak. Anak-anak berhak mendapat pelayanan fasilitas kota, sarana air bersih, pelayanan kesehatan, pendidikan murah, transportasi mudah, dan jaminan keamanan. Memperbanyak taman bermain anak adalah salah satu bentuk yang tepat. Taman dan kota yang ramah anak menjadi ruang edukasi dan pembelajaran nyata bagi mereka. Kehadiran ruang terbuka, ruang bermain, atau ruang komunal yang merupakan ruang bagi masyarakat untuk melakukan integrasi dengan sesamanya di suatu kawasan perkotaan, seperti hadirnya taman dan ruang terbuka hijau sangat dibutuhkan Semarang. Namun yang kita lihat, hak-hak anak atas ruang bermain semakin hari semakin sempit. Pemerintah hanya menginginkan sisi komersial dari setiap pembangunan ruang bermain itu. Bukan semata-mata memberikan hak yang sepatutnya diterima masyarakat, khususnya bagi anak-anak. Harus diakui, keberadaan ruang terbuka merupakan bagian integral kegiatan pembangunan dan keberadaan suatu kawasan perkotaan. Namun saat ini semuanya terkesan cuma kosmetik. Kegiatan pembangunan ruang terbuka publik hingga kini masih belum dilakukan. Padahal, untuk di daerah padat hunian sangat membutuhkan ruang terbuka dan taman. Tidak hanya dalam konteks tata ruang dan kualitas lingkungan, tetapi yang terpenting dalam kaitan dengan manfaat sosial seperti areal bersosial, rekreasi, santai, eduksi, dan kesehatan. Perlu diketahui, anak yang dibesarkan dalam lingkungan homogen lebih kecil kemampuannya mengembangkan rasa empati terhadap orang lain serta tidak siap hidup dalam masyarakat yang beragam (Carmona, et.al., 2003). Konsumtif, egois, manja, kedengarannya bukan hal aneh saat ini, bukan? Untuk itu marilah Pemkot untuk menambah ruang terbuka hijau yang akan dapat bermanfaat bagi publik Dalam rangka untuk menambah Ruang Terbuka, perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama, untuk menghindari terjadinya penurunan jumlah dan luas taman, perlu adanya keputusan dan petunjuk teknis yang dapat memberikan kejelasan tentang jenis/klasifikasi taman, fungsi atau peruntukannya, pengaturan pengelolaan, serta sanksinya. Kedua, Perlunya penyediaan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), termasuk taman di pemukiman baru yang diusahakan oleh pengembang. Keberadaan taman-taman di pemukiman baru tersebut, paling tidak dapat merededuksi jumlah taman yang harus dibangun oleh pemerintah. Ketiga, Pemerintah hendaknya mengambil prakarsa dengan memberi dorongan, support, bonus, atau apa pun namanya, yang bertujuan memberi spirit bagi pengembang yang setia bersahabat dengan lingkungan. Atau pemerintah membuat regulasi untuk menindak pengembang yang merusak lingkungan, atau mengabaikan regulasi tentang lingkungan hidup. Keempat, untuk meningkatkan jumlah dan luas ruang terbuka serta pelibatan tanggung jawab masyarakat dan stakeholder, perlu dikaji penerapan adanya insentif dan disinsentif yang berupa Green Tax pemanfaatan ruang terbuka di pemukiman (pekarangan rumah). Pajak tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk memelihara dan membangun taman-taman baru. Jadi, masih beranikah kita tidak peduli terhadap pengembangan ruang terbuka di Semarang, yang sekaligus menjamin kelangsungan ketersediaan ruang bermain bagi anak cucu kita?
Item Type: | Article |
---|---|
Subjects: | N Fine Arts > NA Architecture |
Divisions: | Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering Faculty of Engineering > Department of Architecture Engineering |
ID Code: | 1432 |
Deposited By: | INVALID USER |
Deposited On: | 20 Oct 2009 14:26 |
Last Modified: | 20 Oct 2009 14:26 |
Repository Staff Only: item control page