PENATAAN KEMBALI ORGANISASI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN DAN PROFESIONALISME

YAHYA, NUR (1998) PENATAAN KEMBALI ORGANISASI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN DAN PROFESIONALISME. Masters thesis, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO .

[img]
Preview
PDF - Published Version
5Mb

Abstract

ASSTRAKS Lembaga Kepolisian yang di anggap sebagai lembaga penegak hukum yang terdepan, dari waktu ke waktu kian dihadapkan pada tugas dan tantangan yang semakin berat dan kompleks. Tantangan tersebut tercermin dalam bentuk pertama, meningkatnya kuantitas kejahatan jenis baru sebagai akibat dari perkembangan kehidupan masyarakat. Kedua, meningkatnya kejahatan konvensional dengan cara yang semakin canggih, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, tumbuhnya kejahatan di bidang ekonomi melalui sarana dan dukungan korporasi atau dikenal sebagai kejahatan korporasi. Keempat kejahatan di lingkungan profesi. Kelima, kejahatan yang berlingkup internasional seperti narkotika, uang palsu, terorisme, sabotase dan kejahatan lain yang terorganisir secara rapi. Disamping berhadapan dengan berbagai jenis keja¬hatan seperti di atas, dalam menjalankan tugasnya Polri juga berhadapan langsung dengan segala lapisan masya-rakat yang semakin kritis menyoroti berlakunya hukum. Sementara itu dalam tataran yang paling umum tugas Polisi adalah menjaga dan memelihara ketertiban masyarakat serta sebagai penegak hukum yang pada kenyataannya sering memunculkan situasi yang dilematis. Polri juga dihadapkan pada kendala-kendala yang tidak hanya bersifat manajemen operasionalnya saja seperti keterbatasan personil, anggaran, kesejahteraan tetapi juga kendala struktural yang menyangkut keberadaan Polri dalam struktur hirarki militer (ABRI). Kendala struktural tersebut sangatlah terasa akibatnya ketika Polri dihadapkan pada tugas-tugas penegakan hukum dan pelayanan terhadap masyarakat yang dengan demikian jelas yang dihadapi Polri adalah masayarkat. Sementara ada tuntutan agar Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya ini bersikap protagonis bukan antagonis, sehingga doktrin militer mengakibatkan posisi Polri menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Penelitian ini mencatat pula adanya "distorsi" peran militer yang tercantum sebagai ideologi ABRI dimana Polri termasuk menjadi bagiannya, telah memasuki hampir semua sektor-sektor non militer dalam kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya sektor hukum, dan ini berdampak luas terhadap proses penegakan hukum yang diharapkan dapat memenuhi nilai-nilai keadilan, persamaan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.Penelitian ini untuk selanjutnya mencatat perlunya Polri melakukan penataan organisasinya agar lebih mempunyai otonomi yang memadai dan mandiri serta lebih profesional, salah satu alternatif yang disarankan adalah perlunya Polri lepas dari ABRI dan menjadi departemen tersendiri. Rekomendasi yang bertujuan untuk memberikan otonomi yang lebih luas serta untuk meningkatkan profesonalisme Polri dipertimbangkan berkaitan dengan tugas Kepolisian mempunyai perbedaan karakteristik apabila dibandingkan dengan tugas Tentara AD, AU, dan AL. Ketiga angkatan tersebut dalam fungsi pertahanan keamanan adalah menghadapi musuh, sehingga dalam doktrinnya "musuh harus dihancurkan". Fungsi-fungsi pembinaan masyarakat, pengayoman dan perlindungan, dan fungsi pelayanan yang diembannya tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila menggunakan doktrin militer. Penggunaan doktrin militer bagi kepolisian akan menyebabkan polisi berhadapan dengan masyarakat dalam kapasitas sebagai musuh, padahal lingkup kerja, tugas, dan tanggung jawabnya semua berada dalam lingkup masyarakat. Oleh karena itu polisi tidak boleh dan tidak akan pernah menganggap masyarakat sebagai musuh. Masyarakat dan polisi dapat memposisikan sebagai bayi dan pengasuhnya, sehingga masyarakat dapat merasa aman apabila ada polisi. Agar citra masyarakat terhadap polisi dapat diperbaiki maka polisi juga harus mengevaluasi doktrin militer yang dianutnya. Doktrin militer ternyata menyebabkan polisi menjadi antagonis bagi masyarakatnya. Penataan kembali organisasi Kepolisian Republik Indonesia untuk mewujudkan profesionnlisme dan kemandirian, setidaknya dapat ditempuh dengan dua cara yaitu meningkatkan mutu pendidikan kepolisian,memperbaiki fasilitas kerja serta kesejahteraan anggota Polri sedangkan yang kedua dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada Polri. Pembentukan polisi profesional diukur dengan empat kriteria yaitu pertama pelaksanaan tugas kepolisian secara ilmiah. Kedua, petugas polisi harus terpelajar. Ketiga, mempunyai integritas profesional, dan keempat adalah pemusatan pelayanan kepolisian dan konsolidasi satuan kepolisian sebagai unsur utama peningkatan efektivitas.

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:K Law > K Law (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law
ID Code:13669
Deposited By:Ms upt perpus3
Deposited On:07 Jun 2010 15:26
Last Modified:07 Jun 2010 15:26

Repository Staff Only: item control page