PENDAYAGUNAAN HAK BANTUAN HUKUM DALAM MENDUKUNG SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU

SUPRIYANTA, SUPRIYANTA (1996) PENDAYAGUNAAN HAK BANTUAN HUKUM DALAM MENDUKUNG SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU. Masters thesis, pROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO .

[img]
Preview
PDF - Published Version
6Mb

Abstract

RINGKASAN Secara historis, konsepsi bantuan hukurn diyakini berasal dari negara-negara Barat, yang sejak awal dimak¬sudkan sebagai syarat yang esensial untuk berjalannya fungsi dan integritas peradilan dengan baik serta meru¬pakan tuntutan dari rasa perikemanusian. Secara internasional bantuan hukum ini juga telah mendapat pengakuan, hal ini tercermin baik di dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR), The Inter¬national Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) maupun dalam instrumen internasional yang berupa Basic Principles on The Role of Lawyers yang telah diadopsi oleh Konggres Kejahatan kedelapan di Havana tanggal 27 Agustus sampai 7 September 1990. Dalam UDHR tersebut pertama kali dunia interna¬sional mengakui adanya "access to legal counsel" sebagai bagian dari hak asasi manusia dimana setiap orang yang dituntut dihadapan hukum berhak didampingi oleh seorang atau lebih penasihat hukum. Sedangkan dalam ICCPR jami¬nan hak atas bantuan hukurn tersebut antara lain tercan¬tum dalam artikel 14 butir 3 huruf d yang menyebutkan bahwa : To be tried in his presence, and to defend him self in person or through legal assistance of his own choosing; to be informed, if he does not have legal assistance assigned to him, in any case where the inte¬rests of justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it. Dalam Basic Principles on The Role of Lawyers antara lain dikemukakan bahwa program-program untuk memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban di dalam hukum dan pentingnya peran pembela di dalam melindungi hak-hak kebebasan fundamental harus selalu digelorakan. Dikemukakan juga bahwa mereka yang miskin atau malang yang tidak dapat memperjuangkan sendiri haknya dibantu untuk memperoleh bantuan hukum secukupnya. Bantuan hukum di Indonesia dikonsepsikan sebagai suatu hak yang dapat dituntut oleh setiap insan Indone¬sia. Hak ini dipandang sebagai hak asasi manusia sehingga program bantuan hukum di Indonesia pada dasar¬nya juga merupakan program penegakkan hak asasi manusia. Secara konstitusiorial hal ini mendapat legitimasi yang mantap sebagaimana tercermin didalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Ketentuan ini merupakan bukti adanya pengakuan terhadap asas persamaan di muka hukum (equali¬ty before the law).Di dalam Kebijaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II) sebagaimana digariskan dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), bidang hukum telah memperoleh arah dan posisi yang lebih jelas, meliputi materi hukum, aparatur hukum, serta sarana dan prasarana hukum. Dalam hubungan ini GBHN 1993 menggariskan bahwa pelayanan dan bantuan hukum terus ditingkatkan agar pencari keadilan mempero¬leh perlindungan hukum secara lancar, cepat dan tepat dengan biaya yang terjangkau oleh lapisan masyarakat. Ditekankan pula bahwa penataan kembali fungsi dan pera¬nan organisasi, lembaga dan profesi hukum, demikian pula setiap peradilan diiaksanakan agar aparatur hukum secara terpadu mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran dalam negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang 1945. Penjabaran lebih lanjut dari asas persamaan di muka hukum tersebut terdapat dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman baik dalam pasal-pasalnya (Pasal 35, 36, 37, 38) maupun dalam penjelasan umumnya. Secara lebih terperinci hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yaitu pada Bab VII tentang Bantuan Hukum, Pasal 69-74. Bahkan lebih jauh ini juga terdapat dalam Bab V tentang Tersangka dan Terdakwa Pasal 54-57; Pasal 60-62 serta dalam Bab XIV tentang Penyidik yaitu Pasal 114 dan 115. Mengamati perkembangan dunia peradilan di Indo¬nesia akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa tuntutan ter¬hadap perlindungan hak asasi manusia khususnya dalam proses peradilan semakin meningkat, sehingga sempat memunculkan pendapat perlunya mendayagunakan bantuan hukum/peran penasihat hukum secara optimal dalam proses peradilan pidana. Hak atas bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa selama dalam proses peradilan pidana hanya bisa terealisasi secara optimal jika didukung oleh sistem pengaturan yang memadai yang memungkinkan kompo¬nen penasihat hukum bisa mengambil peran atau akses secara penuh demi kepentingan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa. Ini berarti bahwa secara ideal keterpaduan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia harus juga mengikutsertakan komponen penasihat hukum di samping komponen yang lain seperti polisi, jaksa, hakim, serta petugas lembaga pemasyarakatan. Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka sistem pengaturan hak bantuan hukum dalam hukum positif di Indonesia khususnya yang ada didalam KUHAP periu dikaji dan dianalisis secara sistematis untuk mendapatkan kejelasan dan pemahaman apakah sistem pengaturan yang ada selama ini telah memadai untuk menjamin perlindungan hukum dan hak asasi bagi tersangka atau terdakwa selama dalam proses peradilan . Di samping itu dalam rangka mendapatkan deskripsi empiris mengenai pelaksanaan hak bantuan hukum bagi tersangka/terdakwaperlu juga dilakukan studi empiris dengan melihat pelak¬sanaannya di lapangan. Kedua hal inilah yang dicoba untuk diketengahkan sebagai permasalahan dalam penelitian ini. Secara keseluruhan maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang kebutuhan pengaturan bantuan hukum dalam hukum positif di Indone¬sia yang mampu mendukung terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu. Di samping itu juga untuk memperoleh pemahaman yang sebaik-baiknya tentang aktivitas penegakkan hukum dimana penasihat hukum sebagai salah satu pihak di dalamnya dan untuk menghimpun data mengenai pelaksanaan hak bantuan hukum dalam praktek peradilan pidana. Dari segi praktis manfaat yang bisa diharapkan dari peneli¬tian ini adalah dapat disajikannya bahan-bahan ketera¬ngan yang menunjang usaha pembaharuan hukum acara pidana dan penegakkannya dalam rangka peningkatan perlindungan hak asasi manusia. Sedangkan manfaat ilmiah yang diha¬rapkan adalah dapat dihimpunnya informasi empiris yang berhubungan dengan pelaksanaan hak bantuan hukum sebagai pembenaran terhadap arti pentingnya pendayagunaan hak bantuan hukum untuk mendukung terwujudnya sistem peradi¬lan pidana terpadu. Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara normatif kuali¬tatif yang dilengkapi dengan penelitian secara empiris sehingga diharapkan bisa diperoleh pemahaman dan kejela¬san yang sebaik-baiknya atas permasalahan yang dikemuka¬kan. Dalam rangka mendapatkan hasil yang diharapkan, maka dalam penelitian ini dilakukan kegiatan pengumpulan data melalui studi kepustakaan maupun studi lapangan dengan melakukan wawancara dengan berbagai pihak khusus¬nya yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan pida¬na. Disamping itu juga dilakukan pengamatan serta penye¬baran kuisioner dalam rangka menjaring informasi yang diperlukan. Jenis-jenis data yang dikumpulkan secara purposif, berkaitan dengan data-data lain dalam rangka menjawab permasalahan yang telah dikemukakan. Setelah data terkumpul kernudian dilakukan analisis data secara normatif kualitatif dan diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengaturan hak bantuan hukum dalam KUHAP, sebenarnya telah mencerminkan suatu keinginan untuk menempatkan komponen penasihat hukum sebagai pihak yang harus mendapat perhatian yang memadai. Secara sistematis ketentuan bantuan hukum dalam KUHAP bisa dibedakan menjadi dua kategori yaitu : a. Kategori "hak" dan sekaligus "wajib" mendapat bantuan hukum, hal ini berlaku untuk tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidanayang dikualifikasi oleh Pasal 56 KUHAP. Tindak pidana dimaksud adalah tindak pidana yang diandam dengan pidana mati, 15 tahun atau lebih, dan tindak pidana yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih tetapi kurang dari lima belas tahun dalam hal tersangka/terdakwa tidak manipu menyediakan penasihat hukum sendiri. b. Kategori "hak" untuk mendapatkan bantuan hukum yaitu untuk tindak pidana di luar kualifikasi yang ditentukan oleh Pasal 56 KUHAP. Dalani praktek penegakkan hukum ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut telah diperkuat dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No. : 501 K/Pid./1988 yang menegaskan bahwa pelaksanaan Pasal 56 KUHAP bersifat "imperatif" tertuju pada semua pejabat, pada semua tingkat pemeriksaan. Ketentuan ini tidak tertuju kepada terdakwa yang masih mempunyai hak untuk "menolak" untuk didampingi oleh penasihat hukum yang ditunjuk. Disamping itu khusus untuk tindak pidana korupsi terdapat yurisprudensi MARI No. 1565 K/Pid./1991 yang menegaskan bahwa pejabat pada semua tingkat pemer¬iksaan harus menunjuk penasihat hukum untuk mendampingi tersangka sejak di awal penyidikan. Keiaiaian atau pengabaian terhadap ketentuan ini akan berakibat semua hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa dinyatakan tidak sah. Dengan demikian disini tampak adanya sanksi proses yang dikembangkan melalui praktek peradilan pidana. 2. Pelaksanaan hak atas bantuan hukum dalam praktek peradilan pidana berdasarkan studi yang dilakukan di kotamadya Surakarta menunjukkan hal-hal sebagai berikut : a. Di tingkat kepolisian Terhadap tindak pidana yang dikualifikasi oleh Pasal 56 KUHAP yang dalam praktek disebut sebagai tindak pidana berat, pihak kepolisian telah menja¬lin kerja sama dengan pihak IKADIN cabang Solo, meskipun tidak secara tertulis, tetapi dalam bentuk konsensus dan pengertian bersama Oieh karena itu setiap kali terjadi tindak pidana berat dan menjadi perhatian masyarakat, maka tersangka/terdakwa selalu sudah tersedia penasihat hukum yang sanggup memberikan bantuannya secara cuma-cuma. Sedangkan untuk tindak pidana yang tidak termasuk kualifikasi pasal 56 KUHAP, artinya pejabat pada semua tingkat pemeriksaan oleh UU tidak diwajibkan untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka/terdakwa, kerja sama antara kepolisian dan penasihat hukum masih dalam taraf antar personal yang didasarkan pada hubungan baik diantara keduanya. Hal ini disebabkan karena anggaran untuk menghadirkan penasihat hukum ditingkat kepolisian tidak tersedia. Akibat lebih jauh dari hal ini adalah pihak kepolisian seringka¬li mengalami kesulitan untuk menghadirkan penasihat hukum bagi tersangka. Dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum kepada tersangka di tingkat kepolisian pihak pena¬sihat hukum tidak merasa kesulitan karena ada pengertian bersama antara keduanya, namun kehadi¬rannya dalam mengikuti jalannya pemeriksaan tetap dibatasi hanya dalam bentuk melihat dan mendengar pemeriksaan. Dalam berhubungan dengan tersangka yang ditahan, penasihat hukum hanya diijinkan pada setiap jam kantor dan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka tersebut tetap dalam pengawa¬san. Di sini menjadi masalah dalam hal tersangka yang ditahan tersebut misalnya diperiksa pada malam hari, artinya di luar jam kerja kantor yang disedi¬akan untuk penasihat hukum dalam mendampingi ter¬sangka. b. Di tingkat kejaksaan Di tingkat kejaksaan penasihat hukum sudah tidak mendampingi tersangka secara fisik, sebab sejak berlakunya KUHAP untuk tindak pidana umum yaitu tindak pidana yang diatur dalam KUHP, pihak kejaksaan tidak lagi melakukan pemeriksaan secara fisik terhadap tersangka. Peranan penasihat hukum di tingkat kejaksaan ini adalah dalam hal mendapat¬kan surat dakwaan terhadap tersangka/terdakwa guna kepentingan pembelaan setelah perkaranya diperiksa di sidang pengadilan. c. Di tingkat pengadilan Di tingkat pengadilan ini, untuk wilayah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, kerja sama secara kelembagaan dilakukan dengan unsur Lembaga Bantuan Hukum setempat ( 6 LBH), tetapi hal inipun masih terbatas untuk golongan masyarakat yang kurang mampu juga dengan anggaran yang terbatas.

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:K Law > K Law (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law
ID Code:13410
Deposited By:Ms upt perpus3
Deposited On:04 Jun 2010 10:02
Last Modified:04 Jun 2010 10:02

Repository Staff Only: item control page