SURBAKTI, , NATANGSA (2003) GAGASAN LEMBAGA PEMBERIAN MAAF DALAM KONTEKS KEBIJAKAN PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Masters thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
| PDF - Published Version 12Mb |
Abstract
There has been a serious controversy on the existence of the criminal justice system for a long time. The controversy, is focussed on the performance of the criminal justice system and the criminal law as a whole, seem unsatisfactory. For the first reason, the bad effect of stigmatism upon the prisoner which is long life lasted. The second reason is that the criminal justice system with its prison sanction as the heart, is commonly presumed as has failed on its conceptual goal to reform a sentenced man to be better, in the contrary the results often show that those who have been a prisoner, the out come even worse. These controversy then take in turn the born of abolitionist group which says that the criminal law should be kept off from the criminal policy and should be replaced by a better device. The reformist group, principally agreed on the objection of the abolitionist, but argue that while there is no better device has been founded, the criminal law and the prison sanction should be reserved with reformation in any possibility. In Indonesian law enforcement system, the reformation on the criminal law has been done by drafting new code penal. This last new code penal draft contains some new ideas concerning the reformation on the fundamentals of criminal justice system. Judicial pardon is one of the new ideas. This research is mentioned to try to discuss this topic. The problems of the research are three, first is related to the position of the judicial pardon in Indonesian criminal justice system frame work; second, related to the empirical backgrounds as the reason for its accommodation in the criminal justice system; and the third, the position of the idea in the context of legislation policy in Indonesia. The goals of the research are to underline the position of the judicial pardon and its potency on criminal justice system reformation; and to underline the potential recommendation addressed to the Indonesian legislators in connection with the new code penal drafting. Due to the problems and goals expected, the method that is taken in this research is the socio-legal research. This method is done with multi discipline or approach, normative, sociologic, philosophic and policy. The results and conclusions show that the judicial pardon is quite new in statutory law and conceptually presumed to be potential on promoting the performance of Indonesian criminal justice system; this institution is well known and commonly used in Indonesian traditional laws; refer to some decisions made by judge seem that those young judge at some first court have responded such this judicial pardon in various ways. Finally, due to the national law enforcement and criminal policy and the spirit of criminal justice system and criminal law reformation, there are more then enough reasons to promote this deeply based value of the Indonesian social -cultural society it self; to be recommended for its accommodation in the criminal justice system in Indonesian new penal code. Keberadaan sistem peradilan pidana dan hukum pidana sebagai bagiannya telah sejak lama menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah Icritik yang tajam ditujukan pada ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh bekerjanya hukum pidana dengan pidana penjara sebagai jantungnya. Ekses-ekses negatif ini berupa terjadinya dampak stigmatisasi terhadap para mantan terpidana, yang berakibat berat dan sulit dihilangkan seumur hidup. Sementara itu hukum pidana bahkan dianggap tidak mampu mencegah dan nanggulangi kejahatan dalam arti yang sesungguhnya, karena hanya mampu menangkap gejala luamya belaka. Sistem peradilan pidana dengan penggunaan pidana penjaranya juga dianggap tidak mampu memperbaiki manusia yang jahat menjadi baik, sebaliknya justru sering mendorong orang untuk menjadi lebih jahat dari yang sebelumnya. Pro kontra ini berkembang pada munculnya golongan (abolisionist) yang menghendaki penghapusan penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan dan menggantikannya dengan sarana yang lain yang lebih baik. Pada sisi lain terdapat kelompok reformist, yang walaupun dengan menerima sepenuhnya kritik kaum abolisionist terhadap kelemahan sistem peradilan pidana, namun hingga kini belum ditemukan sarana pengganti yang lebih baik, sehingga hukum pidana mau tidak mau hams tetap dipertahankan dengan melakukan perbaikan-perbaikan sebisa munglcin. Dalam upaya perbaikan kinerja sistem peradilan pidana ini, telah banyak yang diupayakan baik dalam skala makro - global, maupun dalam skala nasional. Dalam konteks keindonesiaan, pembaharuan sistem peradilan pidana nasional telah ditandai dengan perubahan-perubahan terhadap sumber-sumber hukum pidana yang ada serta upaya penyusunan KUHP Nasional yang bam untuk menggantikan KUHP eks W.v.S. Pembaharuan sistem peradilan pidana melalui upaya penyusunan KUHP yang bam memungkinkan diakomodasinya gagasan-gagasan bam yang dipandang relevan dan berguna memperbaiki kinerja sistem peradilan pidana Indonesia. Lembaga pemberian maaf atau lembaga kewenangan hakim memberikan maaf merupakan salah satu di antara sejumlah, gagasan pembaharuan tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji secara mendalam keberadaan gagasan lembaga pemberian maaf ini. Permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama, berkaitan dengan sistem peradilan pidana. (a) Bagaimanakah kedudukan lembaga pemberian maaf tersebut di dalam kerangka sistem peradilan pidana? (b) Seberapa-jauhkah lembaga pemberian maaf di dalam kerangka sistem peradilan pidana itu diperlukan? (c) Seberapa-jauhkah keberadaan lembaga pemberian maaf di dalam sistem peradilan pidana dapat mendukung tercapainya tujuan pemidanaan ? Kedua, berkaitan dengan fakta-fakta empiris lembaga pemberian maaf (a) Bagaimanakah latar belakang filosofis keberadaan lembaga pemberian maaf di dalam praktik penegakan hukum adat selama ini? (b) Bagaimanakah karakteristik kasus-kasus hukum pidana yang memuat penggunaan lembaga pemberian maaf dalam praktik penegakan hukum adat selama ini? (c) Bagaimanakah latar belakang filosofis penggunaan lembaga pemberian maaf dalam praktik peradilan yang tertuang dalam yurisprudensi selama ini? Ketiga, berkaitan dengan kebijakanpembaharuan hukum pidana nasional. (a) Bagaimana konsistensi latar belakang filosofis keberadaan ide atau gagasan tentang lembaga pemberian maaf di dalam hukum adat dengan kebijakan pembaharuan hukum (pidana) nasional? (b) Bagaimana relevansi lembaga pemberian maaf di dalam hukum pidana adat untuk diakomodasikan di dalam sistem hukum pidana nasional? (c) Bagaimanakah implementasi dari gagasan lembaga pemberian maaf tersebut di dalam kerangka kebijakan legislatif/formulatif hukum pidana nasional? Penelitian ini bertujuan untuk, (a) Menemukan penjelasan tentang arti pentingnya keberadaan lembaga pemberian maaf tersebut di dalam kerangka sistem peradilan pidana serta kontribusinya bagi tercapainya tujuan pemidanaan. (b) Menemukan bukti-bukti empiris tentang keberadaan lembaga pemberian maaf tersebut di dalam praktik penegakan hukum pidana di masyarakat serta mengenali karakteristik kasus-kasus pidana yang memungkinkan dipergunakannya lembaga pemberian maaf tersebut. (c) Memperoleh penjelasan tentang konsistensi lembaga pemberian maaf tersebut di dalam praktik hukum di masyarakat dengan politik hukum nasional, politik kriminal dan politik hukum pidana nasional umumnya. Sejalan dengan masalah dan tujuan penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan metode sosio-legal (socio-legal research), yakni penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan multidisiplin, yakni dari segi normatif, kebijakan, sosiologis dan filosofis. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, berkaitan dengan sistem peradilan pidana pada umumnya. (a) Lembaga pemberian maaf ini merupakan salah satu gagasan bare di antara sejumlah gagasan pembaharuan yang dicoba diakomodasikan di dalam RUU KUHP Nasional yang barn. Lembaga pemberian maaf ini menempati kedudukan yang strategis dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana, khususnya pada proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, ketika hakim membuat pertimbangan penentuan putusan atas perkara yang bersangkutan. (b) Secara yuridis, sistem peradilan pidana di Indonesia hingga kini belum mengenal keberadaan lembaga pemberian maaf sebagaimana dicoba diakomodasikan di dalam RUU KUHP Nasional yang barn ini. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek teoretis perkembangan dan kebijakan pembaharuan hukum pidana nasional serta faktor realitas praktik penegakan hukum hukum secara empiris,rmaka keberadaan lembaga pemberian maaf itu memang sungguh-sungguh diperlukan keberadaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia. (c) Bertitik tolak dan demikian banyak kelemahan sistem peradilan pidana selama ini, maka hambatan¬hambatan dalam upaya mewujudkan sistem hukum nasional yang Pancasilais dan sistem peradilan pidana nasional yang humanis, dapat diminimalkan dengan diakotnodasinya gagasan-gagasan pembaharuan yang sejalan dengan kecenderungan perkembangan masyarakat Indonesia dan masyarakat global. Sejalan dengan kerangka konseptual lembaga pemberian maaf ini, maka pendayagunaannya secara tepat akan sangat mendukung dalam mewujudkan tujuan pemidanaan sebagaimana ditetapkan di dalam RUU KW-IP selama ini, di dalam menyelesaikan berbagai konflik atau sengketa atau perkara yang terjadi, selalu berpegang pada pedoman pemulihan keseimbangan yang terganggu, baik keseimbangan lahiriah maupun keseimbangan dunia batiniah yang sempat terganggu atau terguncang sebagai akibat terjadinya sesuatu pelanggaran hukum. Salah satu mekanisme pemulihan keseimbangan tersebut adalah pengenaan sanksi berupa permohonan maaf dari pihak pelak-u pelanggaran kepada pihak korban. (b) Dalam pandangan masyarakat hukum adat secara umum tidak dibedakan antara perkara pidana dan perkara perdata secara tajam, namun secara umum dalam masyarakat adat atau masyarakat tradisional, semua perkara dapat diselesaikan dengan menyertakan upaya-upaya perdamaian. Kendati demikian dalam konteks kekinian dalam perkara-perkara yang mengandung unsur politik, masyarakat adat memandang penyelesaiannnya harus melalui peradilan negara. (c) Sejalan dengan kerangka konseptual tentang kewajiban-kewajiban hakim dalam menyelesaikan sesuatu perkara, putusan-putusan pengadilan yang menjadi contoh bahasan dalam kajian ini menampakkan ketanggapan hakim-hakim di dalam menemukan landasan keberanan bagi putusannya. Sumber-sumber keberanaran yang menjadi rujukan ini selain semangat hukum yang terkandung di dalam berbagai peraturan perundang¬undangan, ajaran-ajaran agama (terutama Islam), kebijaksanaan-kebijaksanaan adat serta rasa kemanusiaan dan keadilan yang mendalam dari dalam diri hakim-hakim itu sendiri. Ketiga, berkaitan dengan kebijakan pembaharuan hukum pidana nasional. (a) Sebagai sebuah bangsa yang memiliki rasa bangga pada nilai-nilai budaya luhur masyarakat dan bangsa Indonesia yang telah berkembang sejak lama, maka terlihat jelas bahwa kebijakan pembaharuan hukum nasional pada umumnya dan dalam konteks kajian ini harus juga diartikan meliputi pembaharuan sistem peradilan pidana ingin dibangun di atas fondasi nilai-nilai filosofis, nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri, dengan tidak mengurangi arti keharusan memperhatikan kecenderungan perkembangan masyarakat global. Dengan demikian tampak jelas bahwa semangat yang terkandung di dalam keberadaan lembaga pemberian maaf dalam hukum adat yakni semangat peneguhan kembali (rekonsiliasi) merupakan landasan substansial dan filosofis yang kokoh bagi kebijakan pembaharuan sistem peradilan pidana Indonesia. (b) Sejalan dengan kebijakan pembaharuan hukum nasional, sebagaimana tertuang di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, maka kekayaan hukum adat yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia dengan sendirinya sangat relevan dan memiliki harkat dan martabat. yang penuh sebagai sumber nilai, sumber materiel pembaharuan hukum nasional, bersama-sama dengan gagasan-gagasan pembaharuan lain yang bersumber dari masyarakat dan bangsa-bangsa beradab lainnya. (c) Implementasi lembaga pemberian maaf di dalam kerangka kebijakan legislatif / formulatif hukum pidana dapat dalam tiga kemungkinan. Pertama, sebagai satu bentuk penyelesaian tunggal atas pokok perkara yang berintikan hakim memberikan maaf dan tidak menjatuhkan pidana atau tindakan. Kedua, sebagai bagian dari proses pemidanaan, yakni ditempatkan pada topik hal-hal yang meringankan. Hal ini dilakukan jika pihak keluarga terdakwa dan keluarga korban telah membuat kesepakatan sating memaafkan. Ketiga, sebagai bagian dari bentuk pidana tambahan. Dalam hal ini hakim dalam putusannya memerintahkan terpidana memohon maaf kepada pihak korban dan keluarganya. Pelaksanaan perintah menyampaikan permohonan maaf ini dilakukan di depan sidang pengadilan. .
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law |
ID Code: | 13395 |
Deposited By: | Mr UPT Perpus 1 |
Deposited On: | 04 Jun 2010 09:41 |
Last Modified: | 04 Jun 2010 09:41 |
Repository Staff Only: item control page