PERLINDUNGAN IIUKUM TERHADAP KOREAN jPELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KERUSUHAN MASSAL PADA KASUS PEMBANTAIAN DUKUN SANTET DI BANYUWANGI

WINANDI , WORO (2000) PERLINDUNGAN IIUKUM TERHADAP KOREAN jPELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KERUSUHAN MASSAL PADA KASUS PEMBANTAIAN DUKUN SANTET DI BANYUWANGI. Masters thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

[img]
Preview
PDF - Published Version
8Mb

Abstract

Recently the human rights enforcement is not dominant expression of individualism, but is has already become an understanding of a basic right born as a blessing from the All Mighty God; therefore it makes the understanding of the human right generally more humanistic and it is formed is a right sticked on the human destiny. Whenever titer is a human right violation, our country must protect the victims of the human right violation based on the international referrences on the human rights enforcement. The human right violation is against the religious values, ettiquettes and Pancasila morality. In Indonesian Criminal Law, human right violation is a very serious problem so that it needs to formed in Criminal Law Policies based on the international instrument about human right. It is an effort from the government to protect the victims'interest in the violation, since the criminal law which is applied in Indonesia so far protects the doer's interests than that of the victims of the crime; in this case the human right victims are included. Furthermore it deals with the human right victims which are caused by the mass riot like the one happened in Banyuwangi with the case of sorcerer. The mass riot happened in Banyuwangi and the sorcerer rumors in 1998 caused the victims of the human right violation which includes the primary victims and secondary ones appeared after the law enforcement is done. The sorcerer case in Banyuwangi is not a new thing anymore, but it has happened so fat and it becomes a peak after the reformation in 1998 with the reason in the mass violation that happened in some cities in Indonesia, the doers are not taken into the court. Besides, the sorcerer and the witch practice as a methaphysic crime is not taken care in. the Indonesian regulation. Meanwhile, the law protection aplication towards the human right victims is noted in the regulation about the human right and dealing with the human right. court. The application of the law protection towards the human right victims is not done yet, since the applied regulation in the human right court regulation especially dealing with the law on the victims is not available. Therefore, to support the application of the law protection towards the human right victims needs to be formed with the application in giving the compensation and restitution for the human right victims. Pada saat ini penegakan hak asasi manusia bukan lagi dominan menjadi perwujudan paham individualisnr dan liberalisme, tetapi sudah menjadi pemahaman sebagai hak dasar yang lahir sebagi anugerah dari Winn Yang Matta Esa, sehingga menjadikan pemahainan tentang hak asasi manusia (HAM) yang secara umum lebih manusiawi dan dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat manusia. Dalam hal terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), negara wajib melindungi korban pelanggaran HAM dengan mengacu pada berbagai instrumen intemasional tentang penegakan HAM. Terlebih lagi pelanggaran HAM dipandang bertentangan dengan ni ai-nilai agama, etika, dan moral Pancasila. Di dalam bidang hukum pidana di Indonesia, pelanggaran HAM merupakan masalah yang serius sehingga perlu dirumuskan dalam kebijakan hukum pidana dengan mengacu pada instrumen internasional tentang penegakan HAM. Ini merupakan upaya bagi pemerintah untuk melindungi kepentingan korban (victim) pelanggaran HAM, karena hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia selama ini lebih melindungi kepentingan velaku daripada korban kejahatan, termasuk di dalamnya korban pelanggaran HAM. Apalagi korban pelanggaran HAM yang disebabkan oleh kerusuhan massal seperti yang terjadi di Banyuwangi dengan isu dukun santet. Kerusuhan massal yang terjadi di Banyuwangi dengan isu dukun santet pada tahun 1998 menimbulkan korban pelanggaran hak asasi manusia yang tidak sedikit jumlahnya, yang meliputi primary victim dan secondary victim yang timbul kemudian setelah proses penegakan hukum berlangsung. Isu dukun santet yang marak di Banyuwangi bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sudah lama berlangsung dan menjadi puncaknya setelah reformasi bergulir pada tahun 1998 dengan alasan dalam kerusuhan massal yang terjadi di beberapa kota di Indonesia, pelakunya tidak terjerat oleh hukUm. Disamping itu, perilaku dukun santet dan sihir dipandang jahat sehingga bagi pelakunya patut diadili oleh massa, serta keberadaan santet dan sihir sebagai kejahatan metafisis belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan realisai perrlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM dituangkan ke dalam UU Hak Asasi Manusia dan UU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Realisasi perlindungan huktun terhadap korban pelanggaran HAM belum dapat terlaksana, mengingat peraturan pelaksana yang terdapat dalam UU Pengadilan. HAM, khususnya tentang perlindungan hukum terhadap korban belum tersedia. Oleh karena itu untuk mendukung pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM perlu diundangkan peraturan pelaksananya dengan disertai dengan realisasi yang berupa pemberian ganti rugi, kompensasi, dan restitusi terhadap korban pelanggaran HAM.

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:K Law > K Law (General)
ID Code:13347
Deposited By:Mr UPT Perpus 1
Deposited On:04 Jun 2010 08:41
Last Modified:04 Jun 2010 08:41

Repository Staff Only: item control page