PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS KEBAKARAN HUTAN YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI DI AREAL HTI DAN HPH DI KALIMANTAN BARAT

ASWANDI, ASWANDI (2001) PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS KEBAKARAN HUTAN YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI DI AREAL HTI DAN HPH DI KALIMANTAN BARAT. Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

[img]
Preview
PDF - Published Version
10Mb

Abstract

Tekad pemerintah untuk menghadapkan perusahaan-perusahaan (korporasi seperti HTI dan HPH) yang melakukan kegiatan pembakaran hutan seperti tahun 1997 ke pengadilan guna diadili dan dijatuhi sanksi yang keras hingga sekarang tidak ada realisasinya. Melainkan terhadap kasus kebakaran hutan tersebut hanya diselesaikan secara persuasif belaka dan terhadap korporasi yang bersangkutan hanya diberi tindakan administratif dengan alasan demi untuk pembangunan. Bekerjanya birokrasi pemerintah dalam hal ini instansi Kehutanan beserta jajarannya di yang ditandai dengan aktivitas Polisi khusus (Polsus) Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Departemen Kehutanan di Kal-Bar di dalam proses penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi, teknologi; pengaruh tersebut bisa pula dilihat dari manusianya baik sebagai pribadi maupun sebagai penegak hukum dimana is menjadi anggota dari lembaganya. Dalam menghadapi kebakaran hutan seperti tahun 1997, birokrasi pemerintah hanya berupaya memadamkan api belaka, dan ini-pun tidak membawa hasil yang maksimal. Penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi tahun 1997 di Kalbar tidak terlaksana sebagaimana mestinya, dikarenakan : Tidak adanya kemauan atau tidak bekerjanya secara sungguh-sungguh aparat penegak hukum terutama birokrasi pemerintah yang ada di daerah ini untuk melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap perusahaan HTI dan HPH (Korporasi) yang melakukan pembakaran hutan; Selama ini penguasa/pemerintah selalu menganggap bahwa masyarakat peladang berpindahlah yang mengakibatkan kebakaran hutan dan penegakan hukum selalu ditujukan kepada mereka. Bekerjanya birokrasi pemerintah dalam hal ini instansi Kehutanan beserta jajarannya di Kalbar dalam proses penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi terdapat kendala-kendala yang mempengaruhinya, seperti: Minimnya jumlah aparat Polsus dan PPNS Departemen Kehutanan, dan kurangnya pemahaman tentang penyelidikan dan penyidikan tentang tata cara pengumpulan bukti awal yang berkaitan dengan perusakan dan pencemaran lingkungan akibat kebakaran hutan, apalagi yang dilakukan oleh korporasi; Tidak adanya soling berkoordinasi antara instansi Kehutanan dengan Kepolisian/penyidik; Adanya penyalahgunaan diskresi yang ada padanya sehingga tidak dilakukannya penyelidikan dan penyidikan; Mengenai pembentukan, substansi dan penerapan hukum/Undang-Undang yang berkaitan dengan perlindungan hutan dari perusakan/ kebakaran ataupun mengenai lingkungan hidup mengandung cacat atau tidak adil, tidak demokratis, serta diskriminatif; Adanya kebijakan pembangunan di bidang ekonomi dengan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, mendorong penguasa/ pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakannya yang hanya mementingkan kepentingan politik pemerintah dan keuntungan yang besar bagi elit penguasa/pejabat pemerintah beserta kelompoknya semata (korporasi/ konglomerat); Penyelenggaraan pemerintahan yang lebih menggunakan pendekatan kekuasaan dan pada hukum, birokrasi yang kuat (sentalistik) dan tidak netral serta tidak profesional serta adanya intervensi penguasa/pemerintah terhadap penegakan hukum (kemandirian dan kebabasan) di negeri ini; Di Kal-bar, bekerjanya birokrasi pemerintah hanya mengikuti/menunggu petunjuk atau kebijakan dari penguasa/ pemerintah Pusat dan telah terkooptasi dengan kebijakan dan tindakan yang diambil penguasa/pemerintah (Orde Baru) yang terkenal otoriter, birokrasi yang sudah dilanda krisis moral dan di tubuh birokrasi yang masih menguat dengan nepotisme, kolusi, dan korupsi (NICK), dimana hingga sekarang ini pengaruhnya masih sulit untuk dihilangkan; Persepsi aparat pemerintah (birokrat) dari instansi kehutanan dan jajarannya di Kalbar terhadap terjadinya kebakaran hutan tahun 1997, bahwa kebakaran hutan pada umumnya sebagai akibat dari adanya kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan dengan pembakaran oleh masyarakat di sekitar hutan; Persepsinya aparat pemerintah (birokrat) terhadap penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi, bahwa hendaknya penegakan hukum tersebut dilaksanakan secara persuasif yakni demi alasan pembangunan, jadi tidak mesti selesaikan secara pidana; Namun demikian, persepsi aparat pemerintah (birokrat) tersebut akan menjadi negatif, jika terhadap kasus kebakaran hutan 1997 yang dilakukan oleh korporasi tersebut dilaksanakan penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan diadili di depan Pengadilan, apalagi terhadap pihak perusahaan (korporasi) yang bersangkutan dijatuhi hukuman (pidana penjara). Oleh karena di balik terjadinya kebakaran hutan tahun 1997 yang dilakukan oleh korporasi tersebut bukan tidak mungkin terdapat tindakan kejahatan nepotisme, kolusi dan korupsi yang tersangkut atau terlibat di dalamnya para oknum penguasa/pejabat pemerintah bersama-lama dengan pihak perusahaan (korporasi) yang bersangkutan. Jadi hal tersebut sedikit banyak akan berhubungan dengan psikologis pejabat pemerintah yang bersangkutan yakni terutama sekali menyangkut citra atau nama baik aparat dan organisasi instansi kehutanan yang bersangkutan. Karena birokrasi pemerintah Departemen Kehutanan beserta jajarannya telah diberi kewenangan bersama Kepolisian untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan di bidang Kehutanan, dan keberadaannya atau tempatnya berada di tengah-tengah masyarakat, maka sudah semestinya memiliki kesadaran moral, kemauan, perhatian, merasakan, serta memahami kondisi dan tuntutan masyarakat mengenai pentingnya penegakan hukum secara sungguh-sungguh terhadap kasus kebaran hiitan yang dilakukan oleh korporasi. Bekerjanya birokrasi pemerintah dalam hal ini instansi Kehutanan beserta jajarannya di bidang Kehutanan, hendaknya bertindak sesuai dengan kapasitas atau tujuan yang telah ditetapkan, yang didukung sarana dan prasarana yang memadai, struktur organisasi, administrasi atau manajemen yang baik dan terbuka serta mampu berkoordinasi dengan instansi yang terkait dengan baik. Karena itu perlu memberdayakan masyarakat seperti Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) untuk ikut mengawasi. Selain itu hendaknya setiap persepsi aparat pemerintah (birokrat) terutama dari instansi Kehutanan dan jajarannya tidak lagi berpandangan bahwa pengertian hutan adalah hanya berupa kayu yang dapat dieksploitasi dan dieksport ke luar negeri secara besar-besaran demi pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, namun merusak dan mencemari lingkungan akibat rusak atau terbakamya hutan yang meresahkan dan merugikan rakyat banyak.

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:K Law > K Law (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law
ID Code:13332
Deposited By:Mr UPT Perpus 1
Deposited On:03 Jun 2010 22:03
Last Modified:05 Aug 2010 16:07

Repository Staff Only: item control page