SISTEM " UANG TEN " SEBAGAI FENOMENA BUDAYA HUKUM DALAM HUKUM PERTANAHAN DI DAERAH TINGKAT II KOTAMADIA JAMBI

HARISS , ABDUL (2001) SISTEM " UANG TEN " SEBAGAI FENOMENA BUDAYA HUKUM DALAM HUKUM PERTANAHAN DI DAERAH TINGKAT II KOTAMADIA JAMBI. Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

[img]
Preview
PDF - Published Version
6Mb

Abstract

" Uang Teh" tidaklah berarti pembayaran dengan uang sewa dibayar dengan daun teh atau uang hasil penjualan air teh atau uang dari penjualan daun teh atau lain-lain yang bermakna negatif, seperti halnya uang kopi. "Uang teh" disini adalah uang yang diberikan oleh si penyewa rumah kepada si pemilik tanah untuk sumbangan pembangunan rumah yang menjadi objek sewa. Konsekuensi dari pembayaran "uang teh" terjadi penyimpangan-penyinnpangan claim ketentuan yang berlaku pada unnumnya pada perjanjian sewa menyewa, seperti : uang sewa, mengulang-sewa, jangka waktu sewa dan lain-lain. Dari penyimpangan-penyimpangan di atas tampak pelanjian sewa-menyewa rumah dengan sistem " uang teh"gini ada nuansa " unik" yang tumbuh dan berkembang sebagai hukum tradisional di negara-negara sedang berkembang. Adalah Warga Negara Asing keturunan Cina di Kotamadia Jambi yang membuat suatu perjanjian sewa-menyewa rumah yang berbeda jika dibandingkan dengan sewa-menyewa rumah pada umumnya, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukunn Perdata (KUH Perdata). Perjanjian sewa-menyewa rumah dimaksud adalah Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah dengan Sistem " Uang Teh". Kalau sewa-menyewa rumah dengan " uang teh "dikatakan perjanjian sewa-menyewa rumah sebenarnya juga tidak tepat dalam penamaannya. Hal ini karena pada sewa-menyewa rumah yang nnembangun rumah adalah si pemilik tanah tetapi dalam perjanjian sewa-menyewa rumah dengan sistem "uang teh", si penyewa ikut membantu dalam pembiayaan pembangunan rumah di atas tanah yang bukan miliknya. Keterangan di atas menunjuldcan bahwa perjahjian dengan sistem " uang teh" itu sebenarnya lebih mengarah kepada perjanjian sewa tanah, tetapi kalau dikatakan perjanjian sewa tanah dengan jsistem "uang telt, orang tidak akan mengerti makna yang dikandung dari penamaan tersebut, karena yang lazim dipahami pada kalangan masyarakat Kotamadia Jambi adalah petjanjian sewa-menyewa rumah dengan sistem "uang teh" atau perjanjian "uang teh ". Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian "uang telt itu secara formal adalah perjanjian sewa-senyewa dan secara materiil adalah perjanjian sewa tanah. Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti berkesinnpulan bahwa sistem "uang telt adalah perjanjian sewa menyewa rumah yang memang sengaja diciptakan oleh WNA keturunan RRC, dikarenakan secara yuridis formal mereka tidak boleh menniliki tanah dengan status Hak Milik, sebagaimana termaktub dalam pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang berbunyi : hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Walaupun faktor ekonomi bukan merupakan faktor utanna dalam pembangunan rumah dengan sistem "uang telt, tetapi dalam realitasnya lama-kelamaan faktor ekonorni inilah yang membuat keberlangsungan sistem "uang teh" mengalami perubahan. Perubahan lingkungan menuntut perubahan kulturalyang bersifat adaptit; karena kebetulan atau sebab lain masyarakat mengubah pandangannya tentang lingkungan dan tentang tempatnya sendiri di dalannnya, atau masuknya gagasan atau ide-ide baru yang menyebabkan perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Masuknya gagasan b-aru tersebut terutama pada masyarakat petani kampung. Akibat dari perubahan tersebut, masyarakat yang pada awalnya hanya membuat runnah sewa di Kecamatan Pasar Jambi, beralih mennbangun rumah sewa diatas tanah-tanah sawah dan ladang yang terletak di Kecamatan Jelutung, Kecamatan Kotabaru, Kecamatan Jambi Selatan, Kecamatan Jambi Timur dan Kecamatan Telanaipura, yang dahulu tidak pernah dilirik untuk dibangun rumah sewa. Salah satu ciri-ciri dari perjanjian sewa menyewa rumah dengan sistem "uang telt adalah bahwa rumah yang menjadi objek sewa menyewa dapat diulang-sewakan oleh si penyewa. Ketentuan ini adalah sesuatu yang bersifat otomatis, artinya walaupun tidak dinyatakan dengan tegas dalann surat perjanjian atau secara lisan, maka ketentuan-ketentuan umum tersebut sudah berlaku dengan sendirinya. Selain itu perjanjian sewa menyewa rumah dengan sistem "uang telt' menurut kebiasaan yang berlaku, baik yang dibuat secara tertulis maupun secara lisan, tidak menentukan kapan berakhirnya perjanjian sewa menyewa tersebut. Hal ini merupakan salah-satu hak istimewa yang diperoleh oleh si penyewa rumah dengan sistem "uang ten". Pencerminan dari tidak adanya batas waktu berakhirnya perjanjian sewa menyewa rumah dengan sistem "uang telt, dapat dilihat dari adanya ketentuan penyewa boleh mengulang-sewakan rumah yang menjadi objek sewa. Pengulang-sewaan juga mennberikan hak yang sama kepada penyewa yang baru, sehingga menyebabkan perjanjian ini tidak ada batas akhirnya. Apa yang menjadi kebiasaan yang kemudian menjadi Hukum Adat pada perjanjian sewa menyewa rumah dengan sistem "uang teh"ini, pada akhirnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perumahan dan pemukiman. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jambi sendiri dalam usaha untuk melakukan peremajaan kota sebenarnya sudah mengeluarkan Peraturan Daerah ( Perda ) No. 20 Tahun 1980 tentang Peremajaan Kota. Dalam pelaksanaannya, Perda berlaku efektif terhadap pemindahan rumah-rumah terapung di sepanjang Sungai Batanghari yang berlokasi di Kotamadia Jambi, tetapi untuk peremajaan kota dari rumah-rumah yang berstatus "uang telt, Perda ini mengalami lemandulan, terbukti masih adanya runnah-rumah sewa dengan sistem "uang ten", "(fang Telt does not mean the payment with tea leaves, money from tea selling tea and tealeaves , or other negative meaning as well as "uang kopi " Uang teh" is paid by the house renter to the landowner as the contribution for house building that becomes a rented object. The consequence of paying "uang teh" is that there are some deviations from general stipulation in a rent agreement such as; payment of the rent, rehire (the renter can rent the house to other people), period of rent, and so on. From these deviations, when we rent a house with the "uang teh " system, we can see that there is a unique nuance, which grows and develops as traditional law in develoving countries. The "uang teh " rent system is just applied by Chinese ethnic in Jambi municipality. However, the system is different method compare with the rent system based on Civil Law (Kitap Undang-Undang Hukum Perdata — KUH Perdata). Then this system, in other hand, is also very unique because as we know generally the renter only rent the house without helping the owner to build it but in this system the renter has responsibility for building the house. According to the unique method of this system, actually the "uang teh" agreement refers to the land rent agreement. However, if we call it land rental agreement, people will not understand because what they know, especially people in Jambi Municipality, is house rental or with popular name "uang teh " system. So, formally, the house rental by using "uang teh " system is exactly the land rental agreement. The result of research shows that this "uang teh " system, which intentionally created by Chinese ethnic in-Jambi, is one of- the way of Chinese ethnic to have land because formally they are not allowed to own the land with property right status, as it is mentioned in the Agrarian Main Ordinance Section 21 item 1, Which goes as follow : Only Indonesian citizen can have the property right. Even thought economic factor is not the main factor in building house with " uang teh " system, in reality, the economic faktor causes of the change in " uang teh " system. Environmental change demands the adaptive cultural change, because people change their view about their environment, and they put the new ideas on that change their values and attitudes, especially for farmer community in the villages. The effect of this changes is people who once built the house rental in Jambi market sub district move out to build house rental on the farms in Jelutung sub district, Kotabaru sub district, Janbi Selatan sub district, Jambi Timur sub district and Telanaipura sub district.One of the characteristics of house rental "uang teh " system, either in written or in oral agreement, is not determining the end of rent agreement period because It is on of the spedal privileges got by the tenant from this system. This condition can be seen from the stipulation that allows the renter to rent the house to other renters and the new renter also has the same right as well as the first-hand renter. So it is causes of agreement is unlimited. The system then, which becomes a traditional law, is contrary to government regulation that arranges the housing and settlement problem. Local government of Jambi Province in its effort in order to renovate the city has issued the local regulation ( Perda ) No. 20 Year 1980 about city renovation. In its implementation, it is just effectively prevailed on the floating houses removal alongside The Batanghari River. Yet, city renovation for the houses with "uang teh " status is not effectively prevailed. It is proved by that there are still many house rental with "uang teh"system in Jambi Monicipality

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:K Law > K Law (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law
ID Code:13321
Deposited By:Mr UPT Perpus 1
Deposited On:03 Jun 2010 21:17
Last Modified:05 Aug 2010 16:15

Repository Staff Only: item control page