AKRIAL, ZUL (1998) KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG RESTITTJSI DAN KOMPENSASI KEPADA KOREAN. Masters thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
| PDF - Published Version 7Mb |
Abstract
Pada awainya, reaksi terhadap suatu pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan penderitaan pada pihak lain, sepenuhnya merupakan hak dad pihak yang dirugikan untuk menuntut balas,Konsekuensi logis, dad hal ini, telah manimbulkan suatu keadaan ,balas dendam yang tidak berkeputusan diantara pihak-pihak yang bersengketa tersebut Keadaan ini dipandang tidak saja berhubungan dan hanya merupakan urusan antara kedua belch pihak itu raja, melainkan juga menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan ketertiban dalam kehidupan masyarakat pada umumnya Sehingga masyarakat (negara) dalam kaftan ini jugs berkepentingan untuk ikut menyelesaikan atas konflik yang terjadi itu. Dalam praktek penerapan hukum pidana, temyata pada akhirnya gangguan terhadap keseimbangan ketertiban dalam masyarakat inilah yang lebih diperhatikan, sehingga masyarakat (negara) merasa sebagai sate-satunya yang berhak untuk menuntut "balas" atau ganti rugi dmi pelt. Ini berakibat pada sentralisasi dalam sistem hukum pidana. Negara bertindak sebagai "wakil perdamaian" dalam masyarakat Korban yang merupakan pihak yang dirugikan secara kongkret, kehilangan haknya untuk melakukan tindakan terhadap pelaku. Suatu tindak pidana tidak lagi dilihat terutama sebagai kerugian terhadap manusia yang terdiri atas jiwa dan raga, melainkan adalah sebagai pelanggaran terhadap sesuatu yang abstrak yang dinamakan dengan ketertiban hukum. Dalam proses peradilan pidana, kepentingan korban hanyalah Bahr dad Behan banyak kepentingan yang mungkin dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum. Dengan munculnya aliran hukum pidana modem, sistem hukum pidana lebih berorientasi pate pelt tindak pidana. Sedangkan kepentingan korban kurang mendapat perhatian, terabaikan. Korban dalam konteks ini, meliputi baik korban kejahatan, maupun korban dalam pengertian tersangka, terdakwa atau terpidana ataupun pihak lain yang mendapat perlakuan atau tindakan yang tidak sah atau tindalcan/perlalcuan tanpa alasan berdasarkan undang-undang yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum, dalam rangka pelaksanaan/penerapan hukum pidana fortnil (KUHAP). Pada akhir abad kedua puluh ini bergema tuntutan masyarakat terhadap keadilan. Salah satu tuntutan keadilan tersebut adalah menghendaki adanya keseimbangan perhatian dan perlakuan antara korban dan pelaku dalam sistem hukum pidana, yang dalam penelitian ini dilakukan penelaahannya terhadap kebijakan legislatif tentang restitusi dan kompensasi kepada korban sebagai sahib Bath wujud perlindungan terhadap kepentingan korban. Kompensasi adalah ganti kerugian kepada korban yang dibebankan pada keuangan negara/masyarakat, sedangkan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban. Untuk maksud tersebut, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif sebagai pendekatan utama di straying yuridis komparatif dan yuridis historis sebagai penunj ang. Dalam hukum pidana positif, perlindungan terhadap kepentingan korban, pada umumnya adalah bersifat abstrak dan seen tidak langsung. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu, hukum pidana positif (materiil/formil) juga memberikan perhatian kepada korban secara "langsung", khususnya dalam kaitannya dengan restitusi dan kompensasi. Pengaturan tentang restitusi dan kompensasi dalam hukum pidana positif diatur dalam dua model .pengaturan, yaitu dalam hukum pidana materiil — termasuk di dalamnya di dalam perundang-undangan pidana khusus di luar KUHP — dan dalam hukum pidana formil. Dalam hukum pidana materiil (KUHP), restitusi diatur dalam Pasal 14c KUHP. Ganti kerugian dalam hal ini adalah sebagai syarat khusus yang bersifat fakultatif dalam lembaga pidana bersyarat. Sedangkan pengaturan restitusi dalam hukum pidana materiil dalam bentuk perundang-undangan pidana khusus di luar KUHP diatur dalam 3 Undang-Undang, yaitu dalam Pasal 8 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tabun 1955 Tentang Pengusutan, penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE). Kedudukan restitusi dalam ketentuan ini adalah sebagai sanksi berupa tindakan tata tertib yang dapat dijatuhkan oleh hakim bersama-sama dengan pidana pokok. Restitusi dalam Pasal 34 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah berkedudukan sebagai pidana tambahan yang bersifat fakultatif Di samping itu, restitusi juga dapat ditafsirkan pengaturannya di dalam Pasal 47 humf c, d da e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolann Lingkungan Hidup. Kedudukan restitusi dalam aturan ini adalah sebagai suatu bentuk tindakan tata tertib seperti halnya dengan restitusi dalam UUTPE. Untuk pengaturan restitusi dalam hukum pidana formil, terdapat dalam ketentuan Pasal 98 — 101 KUHAP (Tentang Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian). Ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh korban melalui lembaga ini hanya terbatas pada ganti kerugian yang bersifat materiil yaitu berupa "rugi" dan "biaya", padahal kerugian yang dapat ditimbulkan oleh pelaku terhadap did korban tidak saja kerugian materiil melainkan juga dapat menimbulkan kerugian yang bersifat immateriil. Kompensasi dalam hukum pidana formil diatur dalam Pasal 77 jo Pasal 95 — 96 KUHAP yang diwujudkan melalui lembaga praperadilan. Penetapan besarnya jumlah ganti kerugian yang dapat diputuskan oleh hakim melalui lembaga ini, oleh perundang¬undangan ditentukan secara interval minimum maksimum, sehingga hakim hanya mempunyai kebebasan untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang akan diberikan pada korban hanya dalam batas interval tersebut. Tidak terdapat alasan tentang dasar pikiran apa yang melatarbelakangi penentuan jumlah ganti kerugian tersebut yang ditetapkan secara interval, jika dikaitkan dengan kerugian berupa hilangnya nyawa korban. Dikaitkan dengan tujuan nasional negara Indonesia, seperti tercantum dalam Pembukaan DUD 1945, yaitu "melindimgi segenap bangsa Indonesii' dan "untuk • memajukan 'kesejahteraan umum", maka penetapan besarnya jumlah ganti kerugian yang akan dibayarkan pada korban, seyogyanya juga mengacu pada konsep kesejahteraan. Sehingga ganti kerugian tidak semata-mata demi ganti kerugian itu sendiri, melainkan pertimbangan penentuan besarnya jumlah ganti kerugian tersebut harus pula bemuansa kesejahteraan. Konsekuensinya adalah, bahwa jumlah ganti kerugian tidak ditetapkan secara limitatif dalam wujud interval minimum maksimum,
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law |
ID Code: | 12952 |
Deposited By: | Mr UPT Perpus 2 |
Deposited On: | 02 Jun 2010 11:03 |
Last Modified: | 02 Jun 2010 11:03 |
Repository Staff Only: item control page