SANTOSO, DWI PRASETYO (2005) TANGGUNG JAWAB DIREKSI SEHUBUNGAN DENGAN KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Masters thesis, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO .
| PDF - Published Version 9Mb |
Abstract
Article 1 section (1) The Act No. 1 of 1995 giving defines that limited liability company is hereinafter referred to co-partnership, which is: "Legal entity basad on the law of agreement, conducting business activity with authorized capital which entirely divided in share and fulfill clauses set of law and it's regulation of execution." according to The Act No. 1 of 1995, managerial system of co-partnership consist of two ladder which is each part doing management and observation function. In some respects, commissary can do function management of co-partnership. As regular organization, co-partnership have organ consist of Stockholder Public Meeting (Rapat Utnum Pemegang Sahatn/RUPS), Board of Director and Commissary (Article 1 item (2) The Act No. 1 of 1995). Later then, in Article 82 said that "Board of Directors hold full responsible of co-partnership management for interest and target of co-partnership, and also represent... whether in and extrajudicial." Thereby, there is special relation between board of directors and corporation named by "fiduciary relationship" (trust relationship), bearing "fiduciary duties" for every board of directors. Hereinafter, in all sort of case befalling company, in this time, arising many bankrupt or broke cases. Theoretically, bankrupt is a process where a debtor having monetary difficulty to pay for the debt, and expressed by justice, in this case by Trial of Commercial, because of the debtor cannot pay for the debt. Debtor's property can be allotted to all creditors as according to regulations of government. In 1997, when monetary crisis knock over Indonesia, many debts cannot be paid keel even have been billed for. Based on that case, arise idea to develop bankrupt process by improve and repairing legislation in bankrupt area and postponement of debt obligation to pay, briefly shortened by PKPU. On April, 20th 1998, government have specified Government Regulation of Substitution of law No. 1 Year 1998 regarding Change of Bankruptcy Law which have been agreed by Parliament become law that is The Law No. 4 Year 1998 regarding Stipulating Government Regulation'No. 1 Year 1998 regarding Change of Bankruptcy Law, 9 September 1998 (Statute Book Republic of Indonesia Year 1998 Number 135). Since then, proffering of bankrupt statement applications began to be brought to The Trial of Commercial and born various justice decisions concerning bankrupt case. Hereinafter, emerge question how is board of director's responsibility to the company. Board of Directors is one of the co-partnership organs, having full of responsibility to manage company according to company's interest and objectives. According to The Limited Liability Company Law, Board of Directors has an obligation to run business as according to company's interest and objectives (Article 85 Section (1) Limited Liability Law). This Matter is recognized with term of fiduciary duties. If official member do not run business well, on the other hand resulting loss of company, hence he earns to be asked responsibility that coming up with personal property of him. It is known as Piercing the Corporate Veil. The principal of Piercing the Corporate Veil is embraced by Limited Liability Company Law (vide Article 85 Section (2)). Thereby, although a legal entity in form of limited liability, the official member remain to earn to be asked the responsibility into his personal property if he do not run a business well. Undang-Undang No. 1 tahun 1995. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1995 memberikan pengertian bahwa perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah: " badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya ".Berdasarkan UUPT sistem kepengurusan perseroan terdiri dari dua jenjang yang masing masing melakukan fungsi kepengurusan dan fungsi pengawasan. Dalam hal hal tertentu, komisaris dapat melakukan fungsi kepengurusan perseroan. Sebagai organisasi yang teratur perseroan mempunyai organ yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris (Pasal 1 Butir (2) UU No. 1/1995). Kemudian dalam Pasal 82 dikatakan bahwa "Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili baik di dalam maupun di luar pengadilan". Dengan demikian antara Direksi dan korporasi ada hubungan istimewa yang dinamakan afiduciwy relationship" (hubungan kepercayaan), yang melahirkan "fiduciary duties" bagi setiap anggota Direksi. Selanjutnya dalam pelbagai kasus yang menimpa perusahaan, saat ini lebih mencuat kasus pailit atau bangkrut, dimana secara teori dikatakan bahwa kepailitan adalah suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135). Sejak itu, pengajuan permohonan pemyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana dengan tanggung jawab yang diberikan kepada Direksi pada perusahaan yang dinyatakan pailit. Direksi adalah salah satu organ perseroan yang memiliki tanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan sesuai kepentingan dan tujuan perseroan. Menurut UU PT, direksi wajib menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingan dan tujuan perseroan (Pasal 85 ayat 1 UU PT). Hal ini dikenal dengan istilah fiduciary duties. Apabila pengurus tidak menjalankan perusahaan dengan baik yang mengakibatkan kerugian perusahaan, maka is dapat dimintai pertanggung jawaban bahkan sampai kepada harta pribadinya. Prinsip ini dikenal sebagai Piercing the corporate veil, yang merupakan prinsip yang dianut oleh UU PT (vide Pasal 85 ayat 2 UU PT). Dengan demikian, walaupun suatu badan hukum berbentuk PT, pengurusnya tetap dapat dimintai pertanggungjawaban sampai kepada harta pribadinya apabila tidak menjalankan perusahaan dengan baik
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Law |
ID Code: | 12853 |
Deposited By: | Mr UPT Perpus 5 |
Deposited On: | 01 Jun 2010 20:02 |
Last Modified: | 01 Jun 2010 20:02 |
Repository Staff Only: item control page