HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEBOCORAN VASKULER DENGAN MORTALITAS PENDERITA DENGUE SHOCK SYNDROME

BUDI, JOSEF SETIA (1999) HUBUNGAN ANTARA DERAJAT KEBOCORAN VASKULER DENGAN MORTALITAS PENDERITA DENGUE SHOCK SYNDROME. Masters thesis, Program Pendidikan Pasca sarjana Universitas Diponegoro.

[img]
Preview
PDF - Published Version
1982Kb

Abstract

Background: DHF (Dengue hemorrhagic fever), especially DSS (Dengue shock syndrome), is still a major health problem in Indonesia. It has been recognized 30 years ago but until now its definitive treatment and prevention is unknown. Morbidity and mortality is still high, although decreasing these past years. Changes in humoral and cellular immunity has been suspected, which increases permeability and vascular leakage, causing hypovolemic shock. Organ dysfunction are secondary to hypovolemia. Vascular leakage is difficult to assess (radioisotope 1131 dilution method) so other parameters were used like plasma oncotic and osmotic pressure as a prognostic factor for mortality, organ dysfunction and duration of shock. Methods: This study is a prospective observational study, with 50 samples of DSS admitted in HND and PICU Dr. Kariadi Hospital, from January 1996 to December 1996. DSS was diagnosed using WHO revised criteria (1986). Protein fraction, blood sugar, and ureum were measured to assess plasma oncotic and osmotic pressure; blood count, coagulation study, and blood gas analysis were done to assess organ dysfunction. All laboratory parameters were measured at the time of diagnosis, after shock recovered, 24 hour, and 48 hours after diagnosis. Mortality was assessed after 7 days and duration of shock were expressed in hours. Chi-square, Pearson correlation and ANOVA were used for analysis; mortality risk was calculated using relative risk. Results: Fifty patients with DSS fulfilling inclusion criteria were included, 13 (26%) of them died and 37 (74%) survived. The group of children who died did not differ significantly with children who survived in terms of age, gender and nutritional status. Plasma oncotic and osmotic pressure at the time of shock does not vary significantly and could not be used as a prognostic value to assess outcome, organ dysfunction and duration of shock. Plasma oncotic pressure decreases at the time of shock and reach normal values within 48 hours after shock in children who survived, but it failed to increase in non-survivors. Conclusion: Plasma oncotic and osmotic pressure can not be used as a prognostic index in DSS. Plasma oncotic pressure decreases at the time of shock, but reach normal values in children who survived, but it failed to increase in children who did not survive. Key Words: DSS, plasma oncotic pressure, plasma osmotic pressure, mortality. Latar Belakang: Di Indonesia DBD, terutama DBD berat, sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat, karena walaupun DBD telah dikenal sejak 30 tahun yang lalu namun sampai saat ini belum ditemukan pengobatan definitif maupun pencegahan untuk penyakit ini. Angka kesakitan dan kematiannya masih tinggi walaupun saat ini cenderung menurun. Diduga perubahan imunologi humoral dan seluler, yang mengarah pada kebocoran vaskuler yang mencetuskan hipovolemia yang bila berlanjut akan menyebabkan renjatan hipovolemia, sedangkan kelainan pada organ lain bersifat sekunder terhadap renjatan. Derajat kebocoran vaskuler sulit diukur (metoda dilusi radioisotop Im) terutama pada pasien kritis, sehingga dicoba suatu alternatif pengganti dengan menghitung tekanan onkotik plasma dan tekanan osmotik plasma untuk meramalkan hasil akhir, disfungsi organ dan lamanya renjatan. Metodologi Peneltian: Penelitian ini bersifat prospektif observasional dengan menggunakan 50 penderita DSS yang dirawat di FIND dan PICU RSUP Dr. Kariadi, dari' Jarman 1996 - Desember 1996. Untuk menegakkan diagnosis DSS digunakan kriteria WHO revisi 1986. Fraksi protein, GDS, ureum dan elektrolit diukur untuk menghitung tekanan onkotik dan osmotik plasma; analisa gas darah, darah rutin dan studi koagulasi diukur untuk menentukan disfungsi organ. Semua pemeriksaan diatas diperiksa saat diagnosis renjatan, setelah renjatan teratasi, 24 jam setelah renjatan dan 48 jam setelah renjatan. Penentuan hidup-mati ditentukan setelah perawatan 7 hari, sedangkan lama renjatan dihitung dalam jam. Data diolah dengan menggunakan korelasi Pearson, CM-Square, ANOVA dan besarnya faktor risiko kematian menggunakan Risiko Relatif. Basil Penelitian. Lima puluh penderita DSS yang memenuhi kriteria penelitian diikutsertakan dalam penelitian ini, 13 (26%) diantaranya meninggal dan 37 (74%) hidup. .Kelompok yang meninggal dan kelompok yang hidup tidak berbeda dalam hal umur, status gizi dan jenis kelamin. Tekanan onkotik dan osmotik plasma saat diagnosis renjatan tidak dapat digunakan sebagai parameter prognostik untuk meramalkan kematian, disfungsi organ dan lamanya renjatan. Tekanan onkotik menurun pada saat renjatan dan meningkat sampai mencapai normal 48 jam setelah renjatan pada kelompok yang hidup, peningkatan ini tidak terjadi pada kelompok yang meninggal. Ke,simpulan : Tekanan onkotik dan osmotik plasma tidak dapat digunakan sebagai faktor prognostik untuk meramalkan hasil akhir pada DSS. Tekanan onkotik plasma menurun pada saat diagnosis renjatan dan meningkat pada penderita yang hidup, peningkatan ini tidak terjadi pada kelompok yang meninggal. Kata Kunci: DSS, tekanan onkotik, tekanan osmotik, mortalitas.

Item Type:Thesis (Masters)
Subjects:R Medicine > R Medicine (General)
Divisions:School of Postgraduate (mixed) > Master Program in Biomedical Science
ID Code:12201
Deposited By:Mr UPT Perpus 1
Deposited On:29 May 2010 15:26
Last Modified:29 May 2010 15:26

Repository Staff Only: item control page